Aku memutuskan untuk mengajak Azqiara pulang setelah insiden videocall yang berujung kesedihan di wajah putri kecilku. Sepanjang jalan Azqiara kecil hanya diam saja. Tak satupun ucapanku ditanggapinya dengan kata-kata. Hanya gelengan dan anggukan saja yang diperlihatkan oleh gadis kecilku ini.
Kuhela nafas beberapa kali untuk menghalau rasa marah dan sakit hati yang sudah memenuhi hatiku. Lihat Mas, apa yang akan aku lakukan setelah ini.Jika memang janda dan anaknya itu lebih kamu prioritaskan maka dengan berbesar hati aku dan Azqiara akan mundur.Sesampainya di rumah ternyata Mas Aska belum juga pulang padahal tadi dia sempat mengirim pesan jika dia akan segera pulang dan menjelaskan kejadian tadi.Tapi nyatanya, hatinya lebih berat meninggalkan wanita itu ketimbang menjaga perasaan putrinya sendiri."Sayang mandi dulunya, mumpung masih sore." Kataku sambil menuntun Azqiara ke kamar mandi yang ada di dalam kamar utama.Sembari menunggu Azqiara selesai mandi, aku pindahkan baju Mas Aska ke kamar tamu yang berada di samping ruang tamu. Di kamar itu sudah ada lemari dan meja lengkap dengan kursinya.Kamar tamu itu sengaja kami siapkan untuk orang tua Mas Aska jika mereka berkunjung.Tak hanya baju, semua barang Mas Aska aku pindahkan ke sana. Ini salah satu bentuk ketegasanku dan bukti dari ucapanku kemarin.Sekitar pukul tujuh malam terdengar suara mobil Mas Aska berhenti di depan rumah. Tak lama suara gerbang terbuka lalu di susul pintu ruang tamu dibuka dari luar.Aku tetap sibuk dengan piring kotor bekas makan malamku dengan Azqiara. Sedangkan putri kecilku yang sedang asyik nonton film kartun kesukaannya langsung beranjak pergi menuju kamar tak lupa menutup pintunya."Semua barang Mas ada di kamar tamu," beritaku sambil mengelap tanganku yang basah."Maksudnya?" Mas Aska menghentikan langkahnya yang hampir mencapai pintu kamar kami."Itu sekarang kamar, Mas." Aku menunjuk ke arah pintu kamar sebelah ruang tamu. "Mulai sekarang kita pisah ranjang." Sambungku lalu berjalan hendak mematikan televisi yang tadi ditinggal begitu saja oleh Azqiara."Jangan kekanakan kamu," geramnya dengan wajah memerah.Apa? kekanakan katanya? Meski dadaku bergemuruh namun sekuat hati aku berusaha tenang. Kutatap netranya dalam, "Mas yang jangan egois!" ujarku tidak terima namun dengan nada setenang mungkin.Ingatan tentang keberadaan Azqiara membuatku harus menekan emosiku. Bagaimanapun aku harus menjaga mental gadis kecil itu."Bukankah sudah kukatakan pilih salah satu? Dan dari sikap yang Mas tunjukkan, aku bisa menyimpulkan jika Mas lebih memilih wanita itu.""Apa kamu tidak bisa lebih dewasa sedikit saja? Kamu kan tahu, dia itu di sini sendirian. Keluarganya jauh dan dia butuh orang untuk jadi sandarannya. Dia itu janda dengan anak satu yang perlu kita kasihani."Ibarat cermin yang dihantam palu dan hancur berkeping-keping, seperti itulah hatiku saat ini. Tanpa terasa kaca-kaca yang mengaburkan pandanganku berubah menjadi butiran bening dan membasahi pipiku.Sandaran katanya, kutarik nafas panjang ingin rasanya aku berteriak melampiaskan emosi yang sudah sejak tadi menumpuk didalam dadaku."Maka jadilah sandarannya! InsyaAllah aku ikhlas Mas, kehilangan laki-laki yang tidak bisa memprioritaskan diriku dan putriku dibanding orang lain.""Tenang saja, aku sudah belajar dengan sangat baik selama ini untuk bisa menjadi wanita mandiri. Halalkan dia dan jandakan aku,""Jaga ucapanmu!" sentak Mas Aska. "Mulutmu itu terlalu pedas kalau bicara." Wajah Mas Aska memerah.Di sisi tubuhnya kedua tangannya mengepal menahan emosi karena ucapanku."Ya, Mas benar. Aku memang bukan wanita lemah lebih lembut seperti mantan kekasihmu itu. Tapi setidaknya aku tidak pernah menjadikan suami orang sebagai sandaran hidupku. Aku tidak akan merusak kebahagiaan wanita lain untuk kebahagiaanku.""Ka-mu....." Geram Mas Aska dengan mata memerah, dia melangkah lebar kearahku. Dengan kasar dia mencengkram kedua lenganku. "Sekali lagi aku ingatkan jaga ucapanmu!!"Kutarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan, kunikmati rasa sakit yang menjalar di kedua lenganku. Ini adalah rasa sakit pertama yang disebabkan oleh tangan suamiku.Setelah delapan tahun pernikahan baru kali ini Mas Aska bersikap kasar padaku. "Apa yang kurang dariku Mas?" tanyaku dengan air mata yang tak bisa kutahan."Apa yang tidak aku lakukan untukmu? Semua kekuranganmu aku terima, semua permintaanmu aku lakukan. Inikah balasanmu atas pengabdian tujuh tahunku?""Aku hanya memintamu untuk sedikit saja mengerti posisiku?" Cukup sudah aku tak tahan lagi.Kuhela nafas panjang lalu kutarik satu sudut bibir, "Aku wanita biasa seperti wanita pada umumnya yang tidak mampu membagi suamiku dengan wanita lain. Namun jika kamu berkeras hati, cobalah bertanya pada ibumu, apakah dia bisa menerima wanita dari masalalu ayahmu hadir di antara mereka?"Perlahan genggaman tangannya terlepas. Namun ekspresi wajahnya tetap geram dengan dada naik turun."Jangan membawa orang tuaku dalam masalah kita!" Suaranya lirih namun penuh penekanan. Sepertinya amarah makin tersulut."Tamparlah, hal itu akan mempermudah jalanku lepas darimu."Tangannya yang sempat terangkat seketika diturunkannya. Rautnya langsung berubah tenang, "Aku akan tidur di kamar tamu, mungkin kita butuh waktu. Sampai kamu bisa lebih tenang kita pisah ranjang."Tanpa menunggu jawabanku laki-laki yang sudah aku temani selama delapan tahun itu melenggang pergi masuk ke dalam kamar tamu.Maaf kali ini aku tidak bisa lagi memaafkan kamu. Kuusap air mata di wajahku lalu berjalan menuju halaman belakang rumah. Sengaja amu memilih tempat ini agar tak ada yang mendengar suaraku.Aku menscroll nomor kontak di ponselku. Mencari nomor seseorang yang kemarin diberikan oleh Tiara, sahabatku."Halo," sapaku pada orang di seberang sana."Iya, saya Nafisah. Bisa segera diurus?"Kudengarkan dengan seksama instruksi dari lawan bicaraku itu. "Siap, besok saya akan datang ke kantor untuk mengantar berkasnya.""Iya, terima kasih." ucapku sebelum mengakhiri panggilan telpon.🌸🌸🌸Sudah beberapa hari kami pisah ranjang. Dan sikap Mas Aska tetap sama, acuh dan tak mersa bersalah sedikitpun. Setiap hari pulang malam dan semakin tak peduli dengan putrinya. Aku juga sering mendengar dia berbicara lewat sambungan telpon dengan wanita itu. Biarlah, meski aku masih sangat mencintainya tapi aku sudah menyerah untuk menjadi satu-satunya wanita di hatinya.Pagi ini setelah mengantarkan Azqiara ke sekolah aku segera menuju rumah Tiara. Semalam sahabatku itu memberitahu jika hari ini ada pesanan kue basah yang harus dikirim sebelum jam 2 siang. Sudah dua tahun ini aku berkerja di catering milik sahabatku itu. Awalnya hanya sekedar bantu-bantu sebagai bentuk dukungan kepada teman yang sedang merintis usaha. Di awal-awal membuka usaha, Tiara tidak punya cukup uang untuk membayar karyawan. Di samping masalah keuangan yang belum stabil juga karena pesanan yang masih sedikit. Melihat itu hatiku tergerak untuk membantunya."Kamu hanya perlu membayarku dengan sepiring nasi untu
Pov Nafisah.Setengah empat sore semua orderan untuk hari ini sudah siap dan akan segera dikirim. Ada dua orang yang bertugas mengirimkan pesanan dan empat karyawan untuk memasak plus packing termasuk aku. Setelah mendapatkan upah untuk pekerjaan hari ini aku pun bergegas menuju rumah Mas Zamar, menyusul Azqiara yang sudah lebih dulu kesana bersama kakak ipar dan keponakanku. Sepanjang jalan pikiranku masih dipenuhi dengan pembicaraanku dengan Tiara tadi pagi. "Melihat sikap Aska yang arrogant, kamu yakin dia akan mengakui perselingkuhannya dan bersedia bercerai secara baik-baik?" Kata-kata Tiara tadi pagi. "Aku yakin seratus persen, laki-laki yang mementingkan image seperti Aska pasti akan menolak menceraikanmu apalagi dengan perselingkuhan sebagai alasan perceraian kalian." Sambungnya tadi pagi. Kurasa Tiara benar, sifat Mas Aska yang mementingkan reputasinya pasti akan mengelak dan tak mengakui hubungannya dengan Vania. Dan bisa aku pastikan dia akan menjadikan Azqiara sebagai
"Kak..." Aku terperanjat kaget melihat Kak Sakha ya g tiba-tiba sudah berdiri di belakangku. "Kamu sedang apa berjongkok di situ?" ulangnya lalu mengulurkan tangannya ke arahku. "Kamu nangis?" Sadar dengan wajahku yang sudah penuh air mata aku pun mengusapnya kasar lalu bangun dan berjalan cepat menuju motorku yang ada di halaman rumah Kak Shaka. "Maaf aku harus pulang. Terima kasih sudah dinizinkan mampir." Aku berbicara sambil memakai jaket dan helmet. "Tolong minggir," pintaku pada pria yang hnaya menatapku lekat tanpa mengucapkan sepatah katapun.Kuhela nafas, mengatur emosi yang sejak tadi sudah berkerumun di dalam dadaku. "Kak Shaka dengar kan? Tolong minggir!" Suara meninggi dan terdengar tegas. "Aku antar," katanya setelah mendengus kasar dan merebut kunci motor yang aku pegang. "Gak usah." Tolakku merebut kembali kunci motorku. "Aku bisa pulang sendiri." Dengan agak kasar aku menyingkirkan tangannya yang memegangi stir motor matic punyaku. "Jangan sok kuat! Kamu tidak p
Pagi ini, seperti rencana Mas Zamar. Aku akan diantar pulang ke rumahku oleh Mas Zamar. Niatnya untuk berbicara langsung dengan Mas Aska tentang perceraian yang kami.Aku dan Mas Zamar berangkat setelah mendapat kabar dari pengacara yang aku sewa jika gugutanku sudah didaftarkan dan hanya tinggal menunggu antrian saja untuk segera di proses. Katanya paling lambat satu bulan surat panggilan akan dikirim kepada tergugat.Kami hanya berdua, sedangkan Azqiara di rumah dengan Mbak Sezha dan Aydan. Sengaja tidak membawa Qiara karena Mas Zamar tak mau ada perebutan anak saat kami membahas perceraian. Mas Zamar juga memintaku dan Qiara untuk sementara waktu tinggal di rumahnya sampai keputusan hakim keluar. Mobil Mas Zamar ditepikan di pinggir jalan depan rumahku. Tak mau menungguku, Mas Zamar langsung keluar saat melihat Mas Aska keluar dari dalam rumah dengan pakaian rapi. "Kamu mau keluar?" tanya Mas Zamar setelah membuka gerbang yang ternyata tidak di kunci. Mas Aska terlihat kaget namu
"Maaf, Mas. Tapi aku tidak akan menceriakan Nafisah. Sekalipun tidak pernah terlintas dalam pikiranku untuk berpisah dengan anak dan istriku. Sekali lagi Maaf, tapi perlu saya ingatkan Mas Zamar tidak punya hak mencampuri urusan rumah tangga kami." jawab Mas Aska menyatakan penolakannya. Pria itu memberi alasannya yang menurutku tak sesuai dengan tindakannya. Katanya, dia tidak ingin berpisah denganku dan Azqiara, tapi kenyataannya selama kami hidup satu atap dia bahkan tak punya waktu sekedar menemani anaknya belajar.Ucapannya benar-benar membuatku bingung antara harus senang ataukah miris mendengar penolakannya untuk berpisah. Ucapannya seakan-akan begitu mencintaiku dan tak ingin kehilangan diriku namun sikapnya menunjukkan sebaliknya. Selama ini dia hanya menjadikan aku babysitter untuk Azqiara dan pembantu di rumahnya. Semua pekerjaan rumah adalah tugasku termasuk juga segala urusan Qiara juga menjadi tanggung jawabku. Sedangkan dirinya sibuk di luar rumah yang katanya mencari
"Azqiara akan tetap bersamaku. Bercerai denganku itu artinya kamu memilih berpisah dengan Azqiara." Ucapan bernada ancaman keluar dari mulut lelaki yang dulu selalu mengucap kata cinta padaku sebelum badai ini datang. "Pikirkan baik-baik! Dengan mengambil keputusan berpisah, kamu akan melukai putri kita satu-satunya." Mas Aska menatapku tajam. Kilatan amarah terlihat jelas di kedua netra hitam miliknya. Kubalas tatapan tajam Mas Aska, Kuselami kedua matanya untuk mencari rasa cinta yang dulu selalu kulihat. Namun kini tak kutemukan lagi. Kupejamkan mataku, menikmati rasa sakit itu dengan kepasrahan. Inilah takdir yang harus aku jalani. Terima dan jalani meski masih ada rasa tak rela jika membayangkan kebahagiaan yang selama ini kami rajut bersama akan segera berakhir. Tenanglah, pasrahkan segalanya pada Alloh dan semua akan baik-baik saja. Kamu dan Azqiara bisa bahagia meski tanpa Mas Aska."Keputusanku sudah bulat, Mas. Aku siap. berperang di pengadilan untuk mendapatkan Azqiara.
Pov Shaka. Pagi itu aku diminta menggantikan rekan kerjaku untuk menjadi salah satu juri di acara Olimpiade matematika yang kebetulan diadakan di sekolah tempatku mengajar.Pak Rico, istrinya sedang hamil tua dan pagi ini dia menelpon jika istrinya itu mengalami kontraksi dan kemungkinan akan melahirkan hari ini juga. Aku tak tega untuk menolak meskipun sebenarnya aku ada acara pertemuan keluar besar dari keturunan almarhum inu bersama kakakku. Di jenjang SD, menjadi tugasku untuk mengawasi siswa-siswi pilihan yang berseragam putih merah itu. Bocah-bocah yang belum genap sepuluh tahun itu sangat antusias. Mereka mengerjakan dengan serius setiap soal yang diujikan.Di pojok ruangan seorang gadis kecil menarik perhatian. Sosoknya yang imut mengingatkanku pada seseorang di masa lalu. Mimik wajah dan ekspresinya tak asing bagiku. Bibirnya yang mengerucut sambil jari telunjuknya mengetuk-ngetuk pipinya sendiri membuatku tanpa sadar menarik ujung bibirku. 'Mirip,' gumamku dalam hati. "
Siang ini aku meminta Rico menemaniku ke sekolah Azqiara. karean mendatangi sekolah di mana Azqiara mencari ilmu. Entah apa yang terjadi rasanya hatiku berbunga-bunga hingga membuatku tak berhenti tersenyum."Aku yang baru jadi bapak, kok sebelahku yang kesenengan." Celetuk Rico yang duduk di sebelahku. Kulirik, pria yang baru beberapa hari menikmati jadi bapak itu dengan ekor mataku tanpa berniat menoleh. "Gak usah lirik-lirik, fokus kedepan jalanan ramai, Bapak." ujarnya lagi. "Kamu lagi kesambet apa gimana sih? Ngomel aja,"Laki-laki itu langsung memutar tubuhnya menghadap ke arahku, "Heh, Tuan kutub utara, bukannya kamu yang lagi kesambet? Gak cuma banyak bicara pakai senyum-senyum segala lagi? Korang lagi jatuh cinta?" Tak kuhiraukan ucapannya, aku fokus dengan jalanan karena sudah tak sabar untuk bertemu dua wanita cantik yang entah sejak kapan membuatku bersemangat jika teringat wajah lucu keduanya. Sesampainya di sekolah kami segera menemui kepala sekolah untuk menyampaik
[Kha, Nafisah mengalami kontraksi. Sepertinya akan melahirkan. Sekarang kami dalam perjalanan menuju ke rumah sakit Harapan Bunda. Kamu cepatlah menyusul.]Pesan dari Sezha yang seketika membuat Shaka panik. Dengan tangan gemetaran dia membereskan buku-bukunya. "Karena saya ada keperluan, tolong kalian kerjakan tugas harian halaman selanjutnya."Segera dia berlari keluar kelas setelah mengucapkan salam. Ruang guru yang ditujunya. Meminta tolong pada piket untuk menggantikan dirinya tiga jam ke depan. "Ada apa?" Geri yang baru masuk ruang guru langsung mengerutkan keningnya. Ada yang tak biasa dengan rekan kerjanya yang satu ini. "Istriku akan melahirkan," jawab Shaka tanpa menoleh ke lawan bicaranya. Yang nnya sibuk memasukkan barang-barangnya ke dalam ransel miliknya. "Katanya masih seminggu lagi, kok jadi sekarang. Dokter gak kompeten," gerutu Shaka sambil bergumam. Geri yang berdiri tak jauh darinya hanya mengulas senyum tipis, seolah melihat dirinya sendiri setahun yang lalu.
Kabar bahagia tidak hanya datang dari keluarga kecil Shaka dan Nafisah. Dari luar pulau pun terdengar kabar yang tak kalah menggembirakan. Kabar dari dua sejoli yang terikat karena keterpaksaan. Arsya dan Kirana sudah mendaftarkan pernikahan mereka ke KUA setempat. Ternyata dalam hitungan bulan cinta itu akhirnya tumbuh di hati keduanya. Pernikahan yang terjadi karena keterpaksaan itu pun kini sudah sah di mata hukum dan agama. "Kehamilan Nafisah benar-benar membawa banyak keberkahan. Banyak berita bahagia setelah hadirnya calon anakmu itu, Kha." komentar Zamar sesat setelah Shaka memberitahu tentang keadaan perkebunan yang semakin baik juga tentang hubungan Arsya dengan Kirana. "Alhamdulillah, Mas benar. Banyak hal baik setelah kehadirannya. Aku benar-benar bersyukur atas anugrah yang Alloh berikan." Shaka pun tak henti-hentinya mengucap syukur atas anugrah yang tidak pernah ia sangka akan diberikan dalam waktu secepat ini. Saat menikahi Nafisah, pria itu tak pernah berani walau
"Kayaknya kamu hamil deh, Naf." Seorang wanita cantik dengan hijab hijau toska berjalan masuk dengan seorang anak kecil di sebelahnya. "Mbak Sezha." Nafisah sedikit kaget melihat kakak iparnya yang tiba-tiba muncul. "Pintu gerbangnya gak dikunci. Nutupnya juga gak bener, jadi kami bisa langsung masuk." Sezha langsung menjelaskan tanpa ditanya. "Tapi aku sudah menguncinya kok," sahut Aydan dengan menepuk dadanya. "Terima kasih Aydan." Shaka mengacungkan dua jempolnya. "Sepertinya istri kamu itu hamil, Ka." Ujar Sezha mengulangi ucapannya tadi. "Beneran, Mbak" tanya Shaka dengan mata berbinar. "Dilihat dari tanda-tandanya sih gitu." Wanita berkulit putih bersih itu meletakkan tasnya diatas meja. Setelahnya memanggil Qiara yang sejak tadi memegangi tangan Bundanya. "Main sama Kak Aydan, ya. Bunda gak papa, sayang...." bujuk Sezha pada gadis kecil yang menampilkan raut wajah sedih. "Tadi Bunda muntah-muntah," jawab Qiara. Mata gadis kecil itu sudah mengembun. Nafisah mengurai s
"Hidup tak selamanya tentang kebahagiaan. Namun terkadang hidup itu tentang menghadapi masalah dengan senyuman dan semangat. Hidup tidak akan lebih baik tanpa masalah tapi akan lebih bijak setelah mengalami banyak ujian."Hari terus bergulir tanpa terasa sudah lima bulan berlalu setelah kembali Shaka dan Nafisah ke Jakarta. Hari-hari mereka lalui selayaknya pasangan pada umumnya. Kadang bermesraan tak jarnah juga berdebat yang diakhiri dengan pengakuan salah dari Shaka. Seminggu sekali Aska akan menjemput Qiara untuk menginap di apartemen laki-laki itu dan satu bulan sekali berkunjung ke rumah kakek dan neneknya yang ada di luar kota. Namun tentu saja mengikuti jadwal kegiatan Qiara yang semakin besar semakin padat dengan Olimpiade dan eskul sekolahnya. "Ya Alloh.... Kak Shaka, kan sudah dibilangin kalah habis mandi handuknya jangan ditaruh di kasur. Tuh.... ada jemuran kecil di balkon," omel Nafisah begitu masuk kamar. Wanita itu baru saja dari kamar putrinya, memastikan gadis kec
Sudah di putuskan, Shaka dan Nafisah akan kembali ke Jakarta segera setelah kepulangan Arsya bersama Kirana. Tak mau menunggu lama satu haribsetalah kepulangan Arsya, suami Nafisah itu pun segera pamit. Sebelum pergi Shaka menyerahkan segala urusan perkebunan kembali pada Arsya. Tak lupa Shaka juga menceritakan tentang tawaran keluarga Gracia yang bersedia menanggung segala kerugian atas perbuatan Gracia dan Hartama yang sengaja berniat merusak citra baik hasil perkebunan milik mereka. "Aku sudah melaporkannya dan wanita itu sudah beberapa kali dipanggil ke kantor polisi namun masih sebagai saksi. Untuk kelanjutannya terserah kamu," ujar Shaka di malam sebelum keberangkatannya. "Silahkan, kamu putuskan sendiri apa yang menurutmu baik untuk perkebunan ini. Mulai hari perkebunan ini sepenuhnya tanggung jawabmu dan aku tidak akan ikut campur lagi. Tapi, jika boleh aku memberi saran, jangan pernah membukakan pintu untuk kucing yang pernah mencuri ikan di rumahmu." Tak bisa di pungkiri
Kak Shaka berdiri membelakangi pintu dengan tatapan mengarah keluar jendela. Pelan aku mendekatinya. Kulihat rahangnya mengeras dengan otot-otot leher menonjol, ekspresi marah yang jarang sekali kulihat. "Mereka sudah pergi," beritahuku namun sampai beberapa menit tak mendapat respon darinya. Mungkin Kak Shaka merasa kesal padaku. Kurasa dia merasa aku membela Gracia. "Gracia meminta maaf. Dia menyesal sudah membuat kekacauan dan merugikan banyak pihak. Katanya dia akan menggangu rugi semuanya." Kusampaikan pesan dari Gracia. Sempat tak percaya namun itulah kebenarannya. Wanita sombong itu benar-benar meminta maaf. Entah tikus atau tidak, yang pasti dia tidak mau keluarga besarnya ikut menanggung hasil perbuatannya. Aku beralih ke sofa tak jauh dari jendela. Dari posisiku saat ini terlihat jelas ekspresi wajah Kak Shaka. Wajahnya memerah dengan dada naik turun. "Semua yang terjadi tentu tak bisa dikembalikan seperti sedia kala. Tapi dengan marah dan menyimpan dendam juga tak bisa
Pov Nafisah."Kesepakatan?" Tak hanya Kak Shaka, aku pun sempat tertegun beberapa saat ketika mendengar ucapan Gracia. Wanita berpakaiannya seksi itu dengan gamblang mengutarakan tujuannya datang menemui kami. Tak ada basa-basi bahkan tanpa membiarkan kami duduk atau sekedar bersalaman. Begitu tak sopannya wanita itu sebagai tamu. Dari ekor mataku, kulihat Kak Shaka tersenyum tipis. Genggamannya yang sempat terlepas kembali ia kaitkan jemarinya pada jemariku. Tangannya terasa dingin, sedingin tatapannya pada ketiga orang tamu yang datang hari ini. "Kesepakatan katamu?" Ulang Kak Shaka lalu tersenyum remeh. "Iya, sebuah kesepakatan yang menguntungkan untukmu." Gracia dengan percaya dirinya. "Ck.... percaya diri sekali," gumam Kak Shaka masih dengan senyum tipisnya. Namun sedetik kemudian tatapan itu berubah sinis tat kala netra hitamnya mengarah pada pria paruh baya yang berdiri tepat di samping Gracia. Pria itu tampak sudah berumur lebih dari 60 tahun, dengan beberapa uban tersel
Nafisah menghela nafas panjang, berbagai pikiran berkecamuk dalam pikirannya. "Menurut Kak Shaka, apa seharusnya aku menyerahkan Qiara pada keluarga aslinya?" Shaka tersentak, tubuhnya kaku karena kaget mendengar ucapan istrinya itu. Matanya melebar dengan bibir terbuka. "Hah....."Entah pikiran dari mana tiba-tiba saja Nafisah ingin menyerahkan Qiara pada keluarga mantan suaminya. Apa dia sudah lupa sekeras apa dirinya memperjuangkan hak asuh gadis kecil itu. "Bukan aku tak sayang lagi padanya. Hanya saja....." Nafisah menunduk tak ingin melanjutkan kalimatnya. Tak ingin suasana menjadi tak nyaman. Helaan nafas terdengar dari mulut Shaka. Meski Nafisah tak mau melanjutkan kalimatnya namun Shaka tahu betul semua masalah karena kehadirannya di sisi Nafisah. "Maaf, jika situasinya jadi memburuk. Aku tak pernah berpikir wanita itu akan muncul lagi. Setelah sekian lama menghilang dan kata-kata Shaka yang membuatku yakin dia tidak akan muncul lagi untuk mengganggu kita." Pelan, Shaka m
Apa yang dilakukan Gracia sangat berdampak pada kepercayaan perusahaan yng selama ini menggantungkan bahan utama produksinya dari perkebunannya milik Shaka. Kwalitas yang buruk membuat banyak perusahaan komplain. Tak sedikit juga yang memutuskan untuk tidak lagi melanjutkan kerja sama dikarenakan selama ini keluhannya tidak pernah mendapatkan respon. Dan itu semua ulah Bimo juga beberapa karyawan yang tidak puas dengan gaji mereka sehingga dengan sadar menerimanya uang dari Gracia dan mengkhianati kepercayaan Arsya. Saat ini Shaka sedang berusaha memperbaiki keadaan. Pemasukan yang menipis dan banyaknya komplain mengharuskannya membayar ganti rugi. Tak mengapa jika hanya minta ganti rugi dan tetap melanjutkan hubungan kerja sama. Rugi sedikit asalkan tetap berjalan, itu sudah merupakan keberuntungan bagi Shaka. Sudah seminggu ini Shaka berkeliling dari perusahaan satu ke perusahaan yang lain untuk meminta maaf dan meminta kesempatan kedua untuk tetap menjadi pemasok kelapa sawit bag