"Mak-maksudnya gimana?" Nafisah mendadak gagap. Shaka menurunkan tangannya yang dengan lancang memegangi pergelangan tangan Nafisah. Perlahan beralih menggenggam kedua telapak tangan wanita itu. Tanganya sedikit gemetar takut jika Nafisah memukul-mukul tangannya sendiri seperti dulu. Ya, Shaka trauma dengan sikap histeris dan jijik Nafisah pada dirinya. "Gracia berbohong." Katanya tegas. "Dia ingin merusak hubungan kita karena itu dia mengaku hamil.""Jadi dia gak hamil?" tanya Nafisah yang di jawab gelengan oleh Shaka. "Astagfirullah...," pekik Nafisah sambil menundukkan kepalanya. Itu artinya dirinya sudah benar-benar menyebarkan fitnah yang Gracia ucapkan. Pikiran yang masih labil ditambah kemarahan terhadap Shaka membuatnya tak bisa menjaga omongan ketika teman-temannya membela Shaka. Sebenarnya Nafisah tidak berniat menjelekkan Shaka namun saat itu dia tidak terima beberapa teman membela Shaka dan mengatakan Nafisah kekanakan karena tidak mau memaafkan Shaka. Yang teman-tema
Pov Shaka. "Kalau begitu kamu juga harus bertanggung jawab." Aku mencoba untuk memanfaatkan situasi. "Maksudnya, aku harus bertanggung jawab sama Kak Shaka?" tanya Nafisah dengan raut bingung dan takut. Terkadang omongannya memang pedas tapi semua orang pasti bisa merasakan kalau hatinya sangat lembut. "Ya." Kuanggukkan kepala, mempertegas jawabanku. Kepolosannya dulu tidak perlu aku tanggapi terlalu serius. Saat itu dia masih muda dan sedang dalam keadaan sakit hati. Tentu normal baginya membela diri dan secara tidak langsung menyebarkan berita yang tidak sepenuhnya dusta itu. "Tanggung jawab yang seperti apa yang Kak Shaka masksud?" Matanya memicing. Kembali pada mode judesnya. "Ya, kamu punya dosa sama aku karena menyebarkan sesuatu yang belum tentu kebenaran. Meski ada yang benar tapi kebohongan Gracia juga membuat bencana untukku. Dan kamu ikut menyebarkannya." "Bencana apa?" sahutnya cepat, rautnya kini berubah khawatir. Jika melihatnya seperti ini aku jadi tak tega. "Ak
Malam itu antara bingung dan tidak percaya memenuhi otak kecilku ketika Kak Shaka mengutarakan pernyataan cintanya. Benarkah laki-laki yang dulu pernah membuatku kecewa itu masih menyimpan rasa cintanya yang begitu besar untukku yang hanya seorang janda anak satu? Ditambah sebuah fakta tentang kebohongannya Gracia yang dengan sadar aku sebarkan, hal itu cukup membuatku terkejut dan merasa bersalah. Ya...Robbi... benarkah ini takdir-Mu? Dia yang dulu pernah menorehkan luka di hatiku kini ingin menjadi obat di lukaku yang baru. Kata-katanya terdengar bersungguh-sungguh dan menyakinkan namun rasa takut akan dikhianati masih membuatku bimbang. Meski begitu kucoba untuk membuka diri. Mencoba untuk menyisihkan keraguan yang masih saja menyelimuti pikiranku. Dengan mengucap Bismillah kubuka hatiku dan mempertimbangkan ketulusan yang bisa aku lihat di netra beriris hitam itu. Tak bisa kupungkiri hatiku sangat tersentuh dengan sikap Kak Shaka yang rela memohon dan mengiba agar aku memberi
Pov Nafisah.Setelah mengomel di sambungan telpon sekarang pria itu datang ke rumah. Sejak habis magrib tadi dia sudah datang dengan membawa sekotak ayam Kentucky kesukaan Qiara. Mas Aska masih mengenakan kemeja kerjanya, kurasa dia langsung datang kesini dari kantor. Tadi sempat meminta izin mandi dan sholat magrib di sini tapi aku aku tolak dengan alasan status kami yang bukan lagi suami istri. Aku menyarankan dia untuk pulang dulu atau sholat di musholla di gang sebelah. Pria itu memutuskan sholat di musholla gang sebelah. Sebelum Mas Aska kembali dari musholla aku sudah menyiapkan secangkir kopi dan ayam goreng yang tadi dibawanya di atas meja teras. Aku juga mewanti-wanti Qiara supaya bersikap baik dan ramah didepan Ayahnya. Bagaimanapun selama delapan tahun pria itulah yang sudah memberinya nafkah dan kasih sayang. Pukul setengah tujuh malam Mas Aska kembali dari musholla. Aku langsung mempersilahkan dia untuk duduk di kursi meja teras. Mantan suamiku itu sempat protes, "Apa
Pov Nafisah. Hari ini seperti biasanya setelah pekerjaan catering selesai aku segera menyusul Qiara di kafe milik Kak Shaka. Hari ini jadwal ngajar pak guru itu hanya sampai setengah dua belas. Jadi Kak Shaka meminta supaya dirinya saja yang menjemput Qiara dan membawanya ke kafe miliknya."Sembari memberi les sekalian memeriksa laporan keuangan kafe," katanya lewat sambungan telpon. Seorang karyawan dengan Name tag Kurniawan menyambutku saat aku memasuki kafe. "Tadi Pak Shaka berpesan, kalau Mbak Nafisah datang disuruh langsung naik ke lantai dua. Pak Shaka ada di ruang kerjanya. Itu lurus saja, ruangannya paling ujung." Beritahu karyawan itu. Les belum selesai saat aku masuk ruang kerja Kak Shaka. Tidak ingin mengganggu aku izin menggunakan musholla karyawan untuk sholat ashar. Karena pulangnya aku berniat untuk mampir belanja bulanan, aku sempatkan dulu sholat ashar takut kelupaan. Seorang karyawan perempuan diminta Kak Shaka untuk mengantarku. Karyawan bernama wati itu sangat
"Tunggu, biarkan aku menyelesaikan pembayaran ini, setelah itu kita bicara." Tanpa menunggu jawabanku Pria yang rahangnya terlihat mengeras itu langsung mengeluarkan kartu ATM nya dan memberikannya kepada pegawai toko. Meski ingin melarang tapi aku tak berani mencegahnya untuk membeli benda berkilau yang mahal itu. Pernikahan akan dibatalkan untuk apa membelinya, gumamku namun hanya berani dalam hati. Wajahnya yang kaku membuatku sedikit takut. "Di kirim saja Mbak, ke alamat yang kemarin." katanya. Setelah itu langsung menggendong Qiara dan menggandeng tanganku menuju parkiran mall. "Main ke taman sebentar, mau?" Hanya pada Qiara dia bertanya dan setelah mendapat persetujuan Qiara pria itu langsung menjalankan mobilnya ke sebuah taman yang searah dengan jalan pulang. Kadang aku suka heran, pria dengan badan tinggi besar dan berprofesi guru kenapa suka ngambek kayak anak kecil. Lagi-lagi aku hanya berani menggerutu dalam hati. "Qiara main dulu ya, biar Bunda sama Om Shaka tunggu d
Sudah dua minggu Qiara mengikuti les di tempat bimbingan belajar. Cukup ternama dan Bayaranya juga lumayan menguras dompet perbulannya. Tak apa, demi Qiara aku harus bekerja lebih giat lagi. Dan lagi sekarang Mas Aska juga sudah mau memberikan uang nafkah untuk Qiara meski hanya baru bulan ini. Katanya mulai sekarang dia akan rutin memberi uang untuk biaya hidup Qiara.Ya, kusambut dengan tangan terbuka. Bagaimanapun Qiara memang tanggung jawab Mas Aska. Namun dengan kembalinya perhatian Mas Aska pada Qiara membawa masalah baru. Vania, kekasihnya itu beberapa kali menelpon dan menerorku. Wanita yang lebih tua lima tahun dariku itu memintaku menjauhi Mas Aska. Memang sejak kapan aku mendekati kekasihnya itu. Kesabaranku rasanya terus saja diuji. Dua hari sekali Mas Aska datang ke rumah dan mengajakku untuk rujuk. Meski sudah kutolak tapi pria itu bermuka tembok. "Aku tidak berhenti sampai kamu kembali padaku. Lihat saja kamu juga pasti akan lukuh seperti Qoara." Katanya entah sudah
Nafisa Pov. Aku tidak pernah menyangka Vania yang nampak kalem dan innocent saat didepan Mas Aska itu bisa sebrutal ini. Wanita itu menampar pipi kananku juga mencakar lengan dan pundakku. Aku yang tidak siap dibuatnya kaget hingga tak sempat mengelak. Belum puas Vania hendak menjambak rambutku namun dengan sikap kutepis. Sayangnya aku tidak bisa memprediksikan tindakan selanjutnya. Sial, dia malah mendorongku sehingga aku tersungkur dan pelipisku tergores pinggiran pintu pagar. Beruntung aku sempat menghindar jadi aku tak sampai membentur benda besi itu. Kalau tidak lukaku di kepala tidak hanya sekedar goresan saja. Meski begitu aku cukup puas karena sempat membalasnya satu kali. Aku menendangnya cukup keras sampai wanita itu terjengkang kebelakang. Setelahnya beberapa warga datang memisahkannya kami. Vania yang masih tidak terima terus saja berteriak dan memakiku. Membuat warga kewalahan dan memutuskan untuk menggiring kami ke rumah Pak RT yang hanya berjarak beberapa meter dar