"Tunggu, biarkan aku menyelesaikan pembayaran ini, setelah itu kita bicara." Tanpa menunggu jawabanku Pria yang rahangnya terlihat mengeras itu langsung mengeluarkan kartu ATM nya dan memberikannya kepada pegawai toko. Meski ingin melarang tapi aku tak berani mencegahnya untuk membeli benda berkilau yang mahal itu. Pernikahan akan dibatalkan untuk apa membelinya, gumamku namun hanya berani dalam hati. Wajahnya yang kaku membuatku sedikit takut. "Di kirim saja Mbak, ke alamat yang kemarin." katanya. Setelah itu langsung menggendong Qiara dan menggandeng tanganku menuju parkiran mall. "Main ke taman sebentar, mau?" Hanya pada Qiara dia bertanya dan setelah mendapat persetujuan Qiara pria itu langsung menjalankan mobilnya ke sebuah taman yang searah dengan jalan pulang. Kadang aku suka heran, pria dengan badan tinggi besar dan berprofesi guru kenapa suka ngambek kayak anak kecil. Lagi-lagi aku hanya berani menggerutu dalam hati. "Qiara main dulu ya, biar Bunda sama Om Shaka tunggu d
Sudah dua minggu Qiara mengikuti les di tempat bimbingan belajar. Cukup ternama dan Bayaranya juga lumayan menguras dompet perbulannya. Tak apa, demi Qiara aku harus bekerja lebih giat lagi. Dan lagi sekarang Mas Aska juga sudah mau memberikan uang nafkah untuk Qiara meski hanya baru bulan ini. Katanya mulai sekarang dia akan rutin memberi uang untuk biaya hidup Qiara.Ya, kusambut dengan tangan terbuka. Bagaimanapun Qiara memang tanggung jawab Mas Aska. Namun dengan kembalinya perhatian Mas Aska pada Qiara membawa masalah baru. Vania, kekasihnya itu beberapa kali menelpon dan menerorku. Wanita yang lebih tua lima tahun dariku itu memintaku menjauhi Mas Aska. Memang sejak kapan aku mendekati kekasihnya itu. Kesabaranku rasanya terus saja diuji. Dua hari sekali Mas Aska datang ke rumah dan mengajakku untuk rujuk. Meski sudah kutolak tapi pria itu bermuka tembok. "Aku tidak berhenti sampai kamu kembali padaku. Lihat saja kamu juga pasti akan lukuh seperti Qoara." Katanya entah sudah
Nafisa Pov. Aku tidak pernah menyangka Vania yang nampak kalem dan innocent saat didepan Mas Aska itu bisa sebrutal ini. Wanita itu menampar pipi kananku juga mencakar lengan dan pundakku. Aku yang tidak siap dibuatnya kaget hingga tak sempat mengelak. Belum puas Vania hendak menjambak rambutku namun dengan sikap kutepis. Sayangnya aku tidak bisa memprediksikan tindakan selanjutnya. Sial, dia malah mendorongku sehingga aku tersungkur dan pelipisku tergores pinggiran pintu pagar. Beruntung aku sempat menghindar jadi aku tak sampai membentur benda besi itu. Kalau tidak lukaku di kepala tidak hanya sekedar goresan saja. Meski begitu aku cukup puas karena sempat membalasnya satu kali. Aku menendangnya cukup keras sampai wanita itu terjengkang kebelakang. Setelahnya beberapa warga datang memisahkannya kami. Vania yang masih tidak terima terus saja berteriak dan memakiku. Membuat warga kewalahan dan memutuskan untuk menggiring kami ke rumah Pak RT yang hanya berjarak beberapa meter dar
Kak Shaka langsung mengarahkan tatapannya pada wanita yang saat ini sudah melingkarkan tangannya dilengan Mas Aska. Entah siapa yang memberitahunya. Tiba-tiba saja pria yang beberapa hari ini aku abaikan muncul tanpa aku duga. Tangannya dengan lembut merapikan rambutku yang acak-acakan. "Sakit?" Aku mengangguk. Rahangnya nampak mengeras dan tatapannya berubah dingin. "Tahan sebentar, habis ini kita ke rumah sakit." "Sebenarnya ada apa ini Naf, kenapa jadi kayak gini?" Tiba-tiba suara Mas Aska terdengar. Pria itu menatap tak suka padaku dan seolah menyalakan aku atas kejadian ini. "Kalian berantem? Gak malu? Umur kalian itu sudah gak muda lagi, jangan seperti anak kecil!!" lanjutnya yang langsung membuat Mas Zamar hilang kendali. Kakak laki-lakiku itu dengan cepat berjalan mendekati Mas Aska. Tangannya yang mengepal sudah terangkat hendak menghantam wajah Mas Aska. Tap.... "Jangan Mas!" Beruntung Kak Shaka bergerak cepat dan berhasil menahan tangan Mas Zamar sehingga tak sampai t
"Mau kemana?" tanya Mas Zamar begitu aku keluar dari kamar. Pria yang sedang duduk kursi meja makan itu menatapku dari atas sampai bawah.Apa ada yang salah? Reflek aku menatap diriku sendiri. Atasan lengan panjang dengan celana jeans dan jilbab Salem yang menutupi dada. Kurasa tidak ada yang salah."Aku mau ketempat Tiara. Ada pesanan kue untuk dikirim nanti siang." Jawabku mengambil duduk di kursi sebelah Qiara yang sedang menikmati sarapannya. Kucium pipi gembul gadis kecilku itu. "Hari ini kamu jangan kemana-mana." Kata Mas Zamar setelah meneguk jus jeruk buatan istri tercintanya. "Kamu gimana sih Dek? Nanti mau ada acara, kok kamu malah kerja. Izin aja! Lagian hari minggu kok. kerja," sahut Mbak Sezha dari arah dapur. Alisku terangkat, ku pandangi wanita yang sejak pagi sibuk di dapur itu. Saking sibuknya kejar update ceritaku yang on going aku sampai tak sadar kakak iparku itu terlihat sibuk di dapur sejak semalam. "Kalau bisa, mulai sekarang kamu gak usah kerja lagi. Ngurus
Shaka pov. [Kamu ada waktu. Ada hal yang ingin aku bicarakan.] [Sore ini aku akan datang ke kafemu.] Bunyi pesan yang dikirim Mas Zamar tadi pagi ketika aku baru saja sampai di ruang guru.Pikiranku langsung tertuju pada satu nama, Nafisah Khumaira. Teman Mas Arsya itu pasti ingin membicarakan tentang adiknya. Tanpa pikir panjang aku pun langsung membalas pesannya. Kutulis aku akan menunggunya datang. Sekitar pukul satu lebih lima belas menit, tugasku mengajar telah selesai dan digantikan guru lain. Aku pun bergegas menuju parkiran untuk mengambil motor. Setengah jam berlalu dan aku sudah sampai di kafe yang siangnya ini terlihat cukup ramai pengunjung. Di lantai satu hampir semua meja kursi terisi. Memang di jam segini memang kafe milikku ini sering dijadikan tempat untuk mengerjakan tugas oleh para mahasiswa. Disamping tempatnya yang yang nyaman makanannya juga terjangkau, dan yang terpenting disini juga menyediakan Wifi. Kafe ini aku bangun saat awal-awal aku pindah ke kota in
Pukul 3 dini hari tadi pesawat yang ditumpangi Bang Arsya mendarat di bandara. Abangku satu-satunya itu sedikit ragu saat kuminta lagi untuk datang lagi ke kota ini. Tiga minggu lalu aku juga sempat memintanya datang namun aku batalkan setelah drama perdebatan di taman sepulang dari membeli perhiasan. Bang Arsya sempat ragu dan sangsi begitu aku kembali menelpon untuk memintanya datang sebagai wali untuk lamaran yang sebelumnya dibatalkan."Jika bisa datanglah, Mas. Untuk urusan diterima atau tidak biarlah jadi takdir Alloh. Ini adalah salah satu dari ikhtiarku untuk mendapatkan jodoh." Kataku dua hari yang lalu. "Kamu laki-laki, gak malu apa ditolak dua kali?" Suaranya terdengar bernada tak suka. "Datanglah sebagai Kakakku. Masalah malu biar aku yang menanggungnya." Jangankan dua kali, ditolak sepuluh kali pun aku tak akan mundur. Masa laluku lebih memalukan dibanding dengan penolakan Nafisah atas cintaku. Jika hari ini aku kembali ditolak masih ada hari esok dan seterusnya. Satu,
Nafisah Pov. "Kalau kamu memang tidak mencintainya, kamu bisa menolaknya supaya dia berhenti mengharapkan kamu lagi." Kata-kata Mas Zamar tadi pagi masih terus terngiang di telinga dan pikiranku. "Kenapa mesti nunggu nanti sih? Hubungi saja sekarang, katakan kalau gak mau. Kasihan nanti dia malu," balasku. "Kalau gak cinta gak usah mikirin dia malu apa nggak!" Mas Zamar memang seenaknya. Bagaimana bisa aku tutup mata seperti itu. Kak Shaka sudah sangat baik padaku dan Qiara, teganya aku ingin memperlakukan pria itu didepan keluarganya. Kalau ditanya cinta, aku juga bingung dengan perasaanku sendiri. Aku bahagia dan nyaman ketika bersama pria dari masa laluku itu, namun untuk menikah lagi aku masih butuh waktu. Kegagalan di pernikahan pertamaku meninggalkan rasa takut yang cukup dalam. "Jangan melamun aja, gak lucu kalau kamu sampai kesambet. Malu dong sama rombongan keluarga Shaka." Astaghfirullah...... Spontan aku mengelus dadaku karena kaget. Aku yang bersandar di sandaran ran
[Kha, Nafisah mengalami kontraksi. Sepertinya akan melahirkan. Sekarang kami dalam perjalanan menuju ke rumah sakit Harapan Bunda. Kamu cepatlah menyusul.]Pesan dari Sezha yang seketika membuat Shaka panik. Dengan tangan gemetaran dia membereskan buku-bukunya. "Karena saya ada keperluan, tolong kalian kerjakan tugas harian halaman selanjutnya."Segera dia berlari keluar kelas setelah mengucapkan salam. Ruang guru yang ditujunya. Meminta tolong pada piket untuk menggantikan dirinya tiga jam ke depan. "Ada apa?" Geri yang baru masuk ruang guru langsung mengerutkan keningnya. Ada yang tak biasa dengan rekan kerjanya yang satu ini. "Istriku akan melahirkan," jawab Shaka tanpa menoleh ke lawan bicaranya. Yang nnya sibuk memasukkan barang-barangnya ke dalam ransel miliknya. "Katanya masih seminggu lagi, kok jadi sekarang. Dokter gak kompeten," gerutu Shaka sambil bergumam. Geri yang berdiri tak jauh darinya hanya mengulas senyum tipis, seolah melihat dirinya sendiri setahun yang lalu.
Kabar bahagia tidak hanya datang dari keluarga kecil Shaka dan Nafisah. Dari luar pulau pun terdengar kabar yang tak kalah menggembirakan. Kabar dari dua sejoli yang terikat karena keterpaksaan. Arsya dan Kirana sudah mendaftarkan pernikahan mereka ke KUA setempat. Ternyata dalam hitungan bulan cinta itu akhirnya tumbuh di hati keduanya. Pernikahan yang terjadi karena keterpaksaan itu pun kini sudah sah di mata hukum dan agama. "Kehamilan Nafisah benar-benar membawa banyak keberkahan. Banyak berita bahagia setelah hadirnya calon anakmu itu, Kha." komentar Zamar sesat setelah Shaka memberitahu tentang keadaan perkebunan yang semakin baik juga tentang hubungan Arsya dengan Kirana. "Alhamdulillah, Mas benar. Banyak hal baik setelah kehadirannya. Aku benar-benar bersyukur atas anugrah yang Alloh berikan." Shaka pun tak henti-hentinya mengucap syukur atas anugrah yang tidak pernah ia sangka akan diberikan dalam waktu secepat ini. Saat menikahi Nafisah, pria itu tak pernah berani walau
"Kayaknya kamu hamil deh, Naf." Seorang wanita cantik dengan hijab hijau toska berjalan masuk dengan seorang anak kecil di sebelahnya. "Mbak Sezha." Nafisah sedikit kaget melihat kakak iparnya yang tiba-tiba muncul. "Pintu gerbangnya gak dikunci. Nutupnya juga gak bener, jadi kami bisa langsung masuk." Sezha langsung menjelaskan tanpa ditanya. "Tapi aku sudah menguncinya kok," sahut Aydan dengan menepuk dadanya. "Terima kasih Aydan." Shaka mengacungkan dua jempolnya. "Sepertinya istri kamu itu hamil, Ka." Ujar Sezha mengulangi ucapannya tadi. "Beneran, Mbak" tanya Shaka dengan mata berbinar. "Dilihat dari tanda-tandanya sih gitu." Wanita berkulit putih bersih itu meletakkan tasnya diatas meja. Setelahnya memanggil Qiara yang sejak tadi memegangi tangan Bundanya. "Main sama Kak Aydan, ya. Bunda gak papa, sayang...." bujuk Sezha pada gadis kecil yang menampilkan raut wajah sedih. "Tadi Bunda muntah-muntah," jawab Qiara. Mata gadis kecil itu sudah mengembun. Nafisah mengurai s
"Hidup tak selamanya tentang kebahagiaan. Namun terkadang hidup itu tentang menghadapi masalah dengan senyuman dan semangat. Hidup tidak akan lebih baik tanpa masalah tapi akan lebih bijak setelah mengalami banyak ujian."Hari terus bergulir tanpa terasa sudah lima bulan berlalu setelah kembali Shaka dan Nafisah ke Jakarta. Hari-hari mereka lalui selayaknya pasangan pada umumnya. Kadang bermesraan tak jarnah juga berdebat yang diakhiri dengan pengakuan salah dari Shaka. Seminggu sekali Aska akan menjemput Qiara untuk menginap di apartemen laki-laki itu dan satu bulan sekali berkunjung ke rumah kakek dan neneknya yang ada di luar kota. Namun tentu saja mengikuti jadwal kegiatan Qiara yang semakin besar semakin padat dengan Olimpiade dan eskul sekolahnya. "Ya Alloh.... Kak Shaka, kan sudah dibilangin kalah habis mandi handuknya jangan ditaruh di kasur. Tuh.... ada jemuran kecil di balkon," omel Nafisah begitu masuk kamar. Wanita itu baru saja dari kamar putrinya, memastikan gadis kec
Sudah di putuskan, Shaka dan Nafisah akan kembali ke Jakarta segera setelah kepulangan Arsya bersama Kirana. Tak mau menunggu lama satu haribsetalah kepulangan Arsya, suami Nafisah itu pun segera pamit. Sebelum pergi Shaka menyerahkan segala urusan perkebunan kembali pada Arsya. Tak lupa Shaka juga menceritakan tentang tawaran keluarga Gracia yang bersedia menanggung segala kerugian atas perbuatan Gracia dan Hartama yang sengaja berniat merusak citra baik hasil perkebunan milik mereka. "Aku sudah melaporkannya dan wanita itu sudah beberapa kali dipanggil ke kantor polisi namun masih sebagai saksi. Untuk kelanjutannya terserah kamu," ujar Shaka di malam sebelum keberangkatannya. "Silahkan, kamu putuskan sendiri apa yang menurutmu baik untuk perkebunan ini. Mulai hari perkebunan ini sepenuhnya tanggung jawabmu dan aku tidak akan ikut campur lagi. Tapi, jika boleh aku memberi saran, jangan pernah membukakan pintu untuk kucing yang pernah mencuri ikan di rumahmu." Tak bisa di pungkiri
Kak Shaka berdiri membelakangi pintu dengan tatapan mengarah keluar jendela. Pelan aku mendekatinya. Kulihat rahangnya mengeras dengan otot-otot leher menonjol, ekspresi marah yang jarang sekali kulihat. "Mereka sudah pergi," beritahuku namun sampai beberapa menit tak mendapat respon darinya. Mungkin Kak Shaka merasa kesal padaku. Kurasa dia merasa aku membela Gracia. "Gracia meminta maaf. Dia menyesal sudah membuat kekacauan dan merugikan banyak pihak. Katanya dia akan menggangu rugi semuanya." Kusampaikan pesan dari Gracia. Sempat tak percaya namun itulah kebenarannya. Wanita sombong itu benar-benar meminta maaf. Entah tikus atau tidak, yang pasti dia tidak mau keluarga besarnya ikut menanggung hasil perbuatannya. Aku beralih ke sofa tak jauh dari jendela. Dari posisiku saat ini terlihat jelas ekspresi wajah Kak Shaka. Wajahnya memerah dengan dada naik turun. "Semua yang terjadi tentu tak bisa dikembalikan seperti sedia kala. Tapi dengan marah dan menyimpan dendam juga tak bisa
Pov Nafisah."Kesepakatan?" Tak hanya Kak Shaka, aku pun sempat tertegun beberapa saat ketika mendengar ucapan Gracia. Wanita berpakaiannya seksi itu dengan gamblang mengutarakan tujuannya datang menemui kami. Tak ada basa-basi bahkan tanpa membiarkan kami duduk atau sekedar bersalaman. Begitu tak sopannya wanita itu sebagai tamu. Dari ekor mataku, kulihat Kak Shaka tersenyum tipis. Genggamannya yang sempat terlepas kembali ia kaitkan jemarinya pada jemariku. Tangannya terasa dingin, sedingin tatapannya pada ketiga orang tamu yang datang hari ini. "Kesepakatan katamu?" Ulang Kak Shaka lalu tersenyum remeh. "Iya, sebuah kesepakatan yang menguntungkan untukmu." Gracia dengan percaya dirinya. "Ck.... percaya diri sekali," gumam Kak Shaka masih dengan senyum tipisnya. Namun sedetik kemudian tatapan itu berubah sinis tat kala netra hitamnya mengarah pada pria paruh baya yang berdiri tepat di samping Gracia. Pria itu tampak sudah berumur lebih dari 60 tahun, dengan beberapa uban tersel
Nafisah menghela nafas panjang, berbagai pikiran berkecamuk dalam pikirannya. "Menurut Kak Shaka, apa seharusnya aku menyerahkan Qiara pada keluarga aslinya?" Shaka tersentak, tubuhnya kaku karena kaget mendengar ucapan istrinya itu. Matanya melebar dengan bibir terbuka. "Hah....."Entah pikiran dari mana tiba-tiba saja Nafisah ingin menyerahkan Qiara pada keluarga mantan suaminya. Apa dia sudah lupa sekeras apa dirinya memperjuangkan hak asuh gadis kecil itu. "Bukan aku tak sayang lagi padanya. Hanya saja....." Nafisah menunduk tak ingin melanjutkan kalimatnya. Tak ingin suasana menjadi tak nyaman. Helaan nafas terdengar dari mulut Shaka. Meski Nafisah tak mau melanjutkan kalimatnya namun Shaka tahu betul semua masalah karena kehadirannya di sisi Nafisah. "Maaf, jika situasinya jadi memburuk. Aku tak pernah berpikir wanita itu akan muncul lagi. Setelah sekian lama menghilang dan kata-kata Shaka yang membuatku yakin dia tidak akan muncul lagi untuk mengganggu kita." Pelan, Shaka m
Apa yang dilakukan Gracia sangat berdampak pada kepercayaan perusahaan yng selama ini menggantungkan bahan utama produksinya dari perkebunannya milik Shaka. Kwalitas yang buruk membuat banyak perusahaan komplain. Tak sedikit juga yang memutuskan untuk tidak lagi melanjutkan kerja sama dikarenakan selama ini keluhannya tidak pernah mendapatkan respon. Dan itu semua ulah Bimo juga beberapa karyawan yang tidak puas dengan gaji mereka sehingga dengan sadar menerimanya uang dari Gracia dan mengkhianati kepercayaan Arsya. Saat ini Shaka sedang berusaha memperbaiki keadaan. Pemasukan yang menipis dan banyaknya komplain mengharuskannya membayar ganti rugi. Tak mengapa jika hanya minta ganti rugi dan tetap melanjutkan hubungan kerja sama. Rugi sedikit asalkan tetap berjalan, itu sudah merupakan keberuntungan bagi Shaka. Sudah seminggu ini Shaka berkeliling dari perusahaan satu ke perusahaan yang lain untuk meminta maaf dan meminta kesempatan kedua untuk tetap menjadi pemasok kelapa sawit bag