Nafisah Pov. "Kalau kamu memang tidak mencintainya, kamu bisa menolaknya supaya dia berhenti mengharapkan kamu lagi." Kata-kata Mas Zamar tadi pagi masih terus terngiang di telinga dan pikiranku. "Kenapa mesti nunggu nanti sih? Hubungi saja sekarang, katakan kalau gak mau. Kasihan nanti dia malu," balasku. "Kalau gak cinta gak usah mikirin dia malu apa nggak!" Mas Zamar memang seenaknya. Bagaimana bisa aku tutup mata seperti itu. Kak Shaka sudah sangat baik padaku dan Qiara, teganya aku ingin memperlakukan pria itu didepan keluarganya. Kalau ditanya cinta, aku juga bingung dengan perasaanku sendiri. Aku bahagia dan nyaman ketika bersama pria dari masa laluku itu, namun untuk menikah lagi aku masih butuh waktu. Kegagalan di pernikahan pertamaku meninggalkan rasa takut yang cukup dalam. "Jangan melamun aja, gak lucu kalau kamu sampai kesambet. Malu dong sama rombongan keluarga Shaka." Astaghfirullah...... Spontan aku mengelus dadaku karena kaget. Aku yang bersandar di sandaran ran
Setelah makan siang sekitar pukul satu lebih, acara telah selesai. Semua tamu undangan sudah pulang dengan membawa bingkisan berisi kue dan nasi lengkap dengan teman-temannya. Hanya tinggal Mas Arsya dan Kak Shaka juga temannya, Angga beserta istrinya Miranda. Mas Zamar dan Mas Arsya duduk di teras rumah, entah membicarakan apa? Mungkin mengenang masa kuliah mereka. Sedangkan aku dan Kak Shaka berbincang dengan Angga juga istrinya, Miranda. Dari cerita Kak Shaka, dirinya dan Angga berteman sejak masih kuliah dan akhirnya kini sama-sama menjadi guru negeri yang ditugaskan di kota yang sama meski berbeda sekolah. Sebenarnya aku ingin membantu Mbak Sezha yang sedang beberes bekas makan para tamu. Namun kakak iparku itu menyuruhku untuk menemani Kak Shaka berbincang-bincang dengan Angga dan Miranda. Dari perbincangan dengan pasangan suami istri ini aku mendapatkan banyak nasihat dan pelajaran hidup. Ternyata Miranda sama sepertiku. Wanita dengan gamis dan kerudung Syar'i itu juga se
[Jadi benar, kamu bertunangan hari ini? Bukannya kamu sudah menolak pria itu, kenapa sekarang malah tunangan? Kenapa kamu sangat egois, tidak memiliki perasaan Qiara?] Egois katanya. Pria gil*.Eh tapi tunggu dulu, dari mana pria itu tahu aku bertunangan hari ini. Bukan hanya itu, bagaimana bisa dia juga tahu aku pernah menolak Kak Shaka. [Nafisah, jawab!] Mantan suamiku itu masih menggunakan nada tinggi untuk berbicara.Sontak Kak Shaka mengulurkan tangannya. "Berikan padaku!" pintanya dengan rahang mengeras. Ada kilatan amarah di sorot matanya. "Bentar," aku berdiri dan berjalan sedikit menjauh tapi Kak Shaka mengikutiku dan tetap berdiri di belakangku. [Nafisah, kamu dengar suaraku?] katanya dengan nada menantang. [Bisa gak bicaranya lebih sopan?][Nggak.] Tidak bisa. Aku juga bisa marah kalau terus dibentak. [Aku ingatkan kamu ya, Mas. Sekarang kamu bukan lagi siapa-siapa aku. Kamu tidak punya hak bentak-bentak aku. Jadi, jaga ucapan kamu atau aku tutup telponnya!!!] Apa di
Pagi ini aku akan pergi ke rumah Tiara setelah mengantar Qiara sekolah. Rencananya hari ini aku akan pamit untuk tidak lagi bekerja di tempatnya. Ini juga salah satu permintaan Kak Shaka juga Mas Zamar. Awalnya tentu saja aku menolak. Apapun alasannya aku ingin bisa memghidupi diriku sendiri dan Qiara. Tapi ucapan Mas Zamar juga benar."Nafkah seorang wanita itu ditangan ayahnya, jika sudah tiada berada di tangan kakak laki-lakinya. Apa kamu sudah menganggap aku tiada?" Itu kalimat Mas Zamar saat tahu aku bekerja di tempat Tiara. "Tidak perlu bekerja!! Kecuali kamu sudah menikah lagi, aku tidak akan ikut campur." Aku masih teringat jelas kata-katanya waktu itu. Kakak laki-lakiku itu sangat tegas. Dia bahkan mengancam akan menemui Tiara untuk meminta sahabatku itu memecatku. Beruntung Mbak Sezha berhasil membujuk suaminya itu. Dengan alasan jika aku hanya sekedar membantu saja. "Catering punya Tiara itu masih tahap merintis, Mas. Adikmu itu hanya sekedar membantu sebagai teman. Untu
"Aku kok jadi bingung siapa ya, yang ngasih tahu Mas Aska kalau aku sempat nolak Kak Shaka." Tiara langsung menatapku. "Mana aku tahu. Lagian itu bukan urusanku," jawabnya ketus lalu kembali sibuk dengan catatannya. Aku bukan curiga pada Tiara tapi melihat sikapnya yang mendadak ketus membuatku berpikiran negatif padanya. Meski benar dia yang memberitahu Mas Aska, aku juga tak akan marah. Toh, itu memang benar. Hanya saja apa motifnya memberi tahu Mas Aska tentang aku dan Kak Shaka. Bukankah awalnya dia sangat mendukungku untuk bercerai dan memulai hidup baru. Bahkan saat aku pertama cerita tentang Kak Shaka, dia memberikan support. "Kalau dia sudah berubah. Gak ada salahnya memberinya kesempatan. Yang penting dia mencintaimu dan bisa nerima Qiara." Katanya waktu itu. Suasana yang canggung membuatku tak nyaman. Akhirnya aku pamit pulang. Kuucapkan terima kasih lagi dan memohon maaf jika selama bekerja disini aku melakukan kesalahan. Tak hanya pada Tiara, aku pun meminta maaf pad
Author Pov. "Mama." Nafisah terpaku. Dia tak menyangka jika orang tua Aska akan datang ke rumahnya. Tubuhnya mendadak kaku sampai tak membalas pelukan ibunya Aska. "Kenapa diam saja? Nggak suka Mama datang kesini?" Halimah, mamanya Aska mengerutkan dahi melihat sang menantu yang hanya diam saja, seolah tak mengharapkan kedatangannya. "Ah.... bu-bukan begitu Ma. Aku hanya terkejut." Nafisah memberi alasan. "Kalian dari mana saja, kami hampir dua jam menunggu di depan rumah." Sahut pria paruh baya yang baru saja turun dari mobil. "Habis keluar cari makan Pa," jawab Nafisah lalu menoleh pada Shaka yang berjalan menyusulnya sambil menggandeng Qiara. "Kita masuk dulu ya, Pa, Ma." Nafisah mengambil kunci dari dalam tasnya dan segera membuka pintu pagar rumahnya. "Qiara sayang..... kok gak salim sih sama Nenek," ujar Halimah sambil cemberut lalu melirik pada sosok pria yang sedang menggandeng tangan cucunya. "Dia siapa? Saudara kamu? Lalu dimana Aska?" Perempuan berkerudung biru tua
"Maju, siapa yang mau membawa keponakanku!!!" Katanya lantang. Halimah langsung gemetaran. Wanita yang tadinya begitu galak begitu melihat Zamar nyalinya langsung ciut. Saking takutnya sampai hampir jatuh jika tidak dipegangi oleh Aska. "Mama gak papa? Sebaiknya Mama duduk saja." Aska menuntun Mamanya untuk duduk.Dari luar muncul Sezha bersama Aydan berjalan masuk lalu membantu Nafisah mengambil alih Qiara dari tangan Jatmiko. Saat pria paruh baya itu menolak Shaka dengan sigap memegangi lengannya. "Lepaskan, atau keselamatan kalian jadi taruhanya. Saya bisa lebih kejam dari Mas Zamar jika itu tentang Nafisah." Bisik Shaka dengan rahang yang mengeras. Sejak tadi dia diam bukan berarti takut. Dia hanya berusaha sabar karena sadar akan posisinya. Tapi kesabarannya mulai terkikis habis oleh air mata Nafisah. Perlahan Jatmiko pun melepaskan tangannya dari tubuh Qiara. Pria itu mundur, sadar tak akan menang jika adu otot dengan pria yang jauh lebih muda darinya apalagi sekarang ada Z
Shaka Pov. Seperti petir yang menyambar di tengah gemuruhnya hujan tangis yang sejak tadi menaungi ruangan berukuran 6X4 ini ketika pernyataan itu meluncur dengan mulus dari mulut papanya Aska. Aku begitu terkejut sampai membatu beberapa detik, sampai akhirnya tersadar setelah mendengar suara bergetar dari sisi sebelahku."Aku yang membesarkan Qiara. Aku juga menyayanginya seperti anak kandungku sendiri. Papa tidak boleh bicara seperti itu. Bagaimana jika Qiara dengar." Nafisah menatap nyalang pada mantan mertuanya dengan wajah yang dipenuhi air mata. Mendadak dadaku bergemuruh penuh amarah. Tanpa sadar kedua tanganku sudah mengepal kuat. Rasanya benar-benar tidak terima melihat wanita yang aku cintai terluka sampai menangis seperti ini. Wajahnya menyiratkan rasa kecewa yang begitu dalam sama seperti 12 tahun yang lalu. Ketika aku mengecewakannya.Segera kualihkan tatapanku pada Mas Zamar. Meminta persetujuannya untuk aku ikut campur. Namun pria itu memberiku isyarat untuk diam saja
[Kha, Nafisah mengalami kontraksi. Sepertinya akan melahirkan. Sekarang kami dalam perjalanan menuju ke rumah sakit Harapan Bunda. Kamu cepatlah menyusul.]Pesan dari Sezha yang seketika membuat Shaka panik. Dengan tangan gemetaran dia membereskan buku-bukunya. "Karena saya ada keperluan, tolong kalian kerjakan tugas harian halaman selanjutnya."Segera dia berlari keluar kelas setelah mengucapkan salam. Ruang guru yang ditujunya. Meminta tolong pada piket untuk menggantikan dirinya tiga jam ke depan. "Ada apa?" Geri yang baru masuk ruang guru langsung mengerutkan keningnya. Ada yang tak biasa dengan rekan kerjanya yang satu ini. "Istriku akan melahirkan," jawab Shaka tanpa menoleh ke lawan bicaranya. Yang nnya sibuk memasukkan barang-barangnya ke dalam ransel miliknya. "Katanya masih seminggu lagi, kok jadi sekarang. Dokter gak kompeten," gerutu Shaka sambil bergumam. Geri yang berdiri tak jauh darinya hanya mengulas senyum tipis, seolah melihat dirinya sendiri setahun yang lalu.
Kabar bahagia tidak hanya datang dari keluarga kecil Shaka dan Nafisah. Dari luar pulau pun terdengar kabar yang tak kalah menggembirakan. Kabar dari dua sejoli yang terikat karena keterpaksaan. Arsya dan Kirana sudah mendaftarkan pernikahan mereka ke KUA setempat. Ternyata dalam hitungan bulan cinta itu akhirnya tumbuh di hati keduanya. Pernikahan yang terjadi karena keterpaksaan itu pun kini sudah sah di mata hukum dan agama. "Kehamilan Nafisah benar-benar membawa banyak keberkahan. Banyak berita bahagia setelah hadirnya calon anakmu itu, Kha." komentar Zamar sesat setelah Shaka memberitahu tentang keadaan perkebunan yang semakin baik juga tentang hubungan Arsya dengan Kirana. "Alhamdulillah, Mas benar. Banyak hal baik setelah kehadirannya. Aku benar-benar bersyukur atas anugrah yang Alloh berikan." Shaka pun tak henti-hentinya mengucap syukur atas anugrah yang tidak pernah ia sangka akan diberikan dalam waktu secepat ini. Saat menikahi Nafisah, pria itu tak pernah berani walau
"Kayaknya kamu hamil deh, Naf." Seorang wanita cantik dengan hijab hijau toska berjalan masuk dengan seorang anak kecil di sebelahnya. "Mbak Sezha." Nafisah sedikit kaget melihat kakak iparnya yang tiba-tiba muncul. "Pintu gerbangnya gak dikunci. Nutupnya juga gak bener, jadi kami bisa langsung masuk." Sezha langsung menjelaskan tanpa ditanya. "Tapi aku sudah menguncinya kok," sahut Aydan dengan menepuk dadanya. "Terima kasih Aydan." Shaka mengacungkan dua jempolnya. "Sepertinya istri kamu itu hamil, Ka." Ujar Sezha mengulangi ucapannya tadi. "Beneran, Mbak" tanya Shaka dengan mata berbinar. "Dilihat dari tanda-tandanya sih gitu." Wanita berkulit putih bersih itu meletakkan tasnya diatas meja. Setelahnya memanggil Qiara yang sejak tadi memegangi tangan Bundanya. "Main sama Kak Aydan, ya. Bunda gak papa, sayang...." bujuk Sezha pada gadis kecil yang menampilkan raut wajah sedih. "Tadi Bunda muntah-muntah," jawab Qiara. Mata gadis kecil itu sudah mengembun. Nafisah mengurai s
"Hidup tak selamanya tentang kebahagiaan. Namun terkadang hidup itu tentang menghadapi masalah dengan senyuman dan semangat. Hidup tidak akan lebih baik tanpa masalah tapi akan lebih bijak setelah mengalami banyak ujian."Hari terus bergulir tanpa terasa sudah lima bulan berlalu setelah kembali Shaka dan Nafisah ke Jakarta. Hari-hari mereka lalui selayaknya pasangan pada umumnya. Kadang bermesraan tak jarnah juga berdebat yang diakhiri dengan pengakuan salah dari Shaka. Seminggu sekali Aska akan menjemput Qiara untuk menginap di apartemen laki-laki itu dan satu bulan sekali berkunjung ke rumah kakek dan neneknya yang ada di luar kota. Namun tentu saja mengikuti jadwal kegiatan Qiara yang semakin besar semakin padat dengan Olimpiade dan eskul sekolahnya. "Ya Alloh.... Kak Shaka, kan sudah dibilangin kalah habis mandi handuknya jangan ditaruh di kasur. Tuh.... ada jemuran kecil di balkon," omel Nafisah begitu masuk kamar. Wanita itu baru saja dari kamar putrinya, memastikan gadis kec
Sudah di putuskan, Shaka dan Nafisah akan kembali ke Jakarta segera setelah kepulangan Arsya bersama Kirana. Tak mau menunggu lama satu haribsetalah kepulangan Arsya, suami Nafisah itu pun segera pamit. Sebelum pergi Shaka menyerahkan segala urusan perkebunan kembali pada Arsya. Tak lupa Shaka juga menceritakan tentang tawaran keluarga Gracia yang bersedia menanggung segala kerugian atas perbuatan Gracia dan Hartama yang sengaja berniat merusak citra baik hasil perkebunan milik mereka. "Aku sudah melaporkannya dan wanita itu sudah beberapa kali dipanggil ke kantor polisi namun masih sebagai saksi. Untuk kelanjutannya terserah kamu," ujar Shaka di malam sebelum keberangkatannya. "Silahkan, kamu putuskan sendiri apa yang menurutmu baik untuk perkebunan ini. Mulai hari perkebunan ini sepenuhnya tanggung jawabmu dan aku tidak akan ikut campur lagi. Tapi, jika boleh aku memberi saran, jangan pernah membukakan pintu untuk kucing yang pernah mencuri ikan di rumahmu." Tak bisa di pungkiri
Kak Shaka berdiri membelakangi pintu dengan tatapan mengarah keluar jendela. Pelan aku mendekatinya. Kulihat rahangnya mengeras dengan otot-otot leher menonjol, ekspresi marah yang jarang sekali kulihat. "Mereka sudah pergi," beritahuku namun sampai beberapa menit tak mendapat respon darinya. Mungkin Kak Shaka merasa kesal padaku. Kurasa dia merasa aku membela Gracia. "Gracia meminta maaf. Dia menyesal sudah membuat kekacauan dan merugikan banyak pihak. Katanya dia akan menggangu rugi semuanya." Kusampaikan pesan dari Gracia. Sempat tak percaya namun itulah kebenarannya. Wanita sombong itu benar-benar meminta maaf. Entah tikus atau tidak, yang pasti dia tidak mau keluarga besarnya ikut menanggung hasil perbuatannya. Aku beralih ke sofa tak jauh dari jendela. Dari posisiku saat ini terlihat jelas ekspresi wajah Kak Shaka. Wajahnya memerah dengan dada naik turun. "Semua yang terjadi tentu tak bisa dikembalikan seperti sedia kala. Tapi dengan marah dan menyimpan dendam juga tak bisa
Pov Nafisah."Kesepakatan?" Tak hanya Kak Shaka, aku pun sempat tertegun beberapa saat ketika mendengar ucapan Gracia. Wanita berpakaiannya seksi itu dengan gamblang mengutarakan tujuannya datang menemui kami. Tak ada basa-basi bahkan tanpa membiarkan kami duduk atau sekedar bersalaman. Begitu tak sopannya wanita itu sebagai tamu. Dari ekor mataku, kulihat Kak Shaka tersenyum tipis. Genggamannya yang sempat terlepas kembali ia kaitkan jemarinya pada jemariku. Tangannya terasa dingin, sedingin tatapannya pada ketiga orang tamu yang datang hari ini. "Kesepakatan katamu?" Ulang Kak Shaka lalu tersenyum remeh. "Iya, sebuah kesepakatan yang menguntungkan untukmu." Gracia dengan percaya dirinya. "Ck.... percaya diri sekali," gumam Kak Shaka masih dengan senyum tipisnya. Namun sedetik kemudian tatapan itu berubah sinis tat kala netra hitamnya mengarah pada pria paruh baya yang berdiri tepat di samping Gracia. Pria itu tampak sudah berumur lebih dari 60 tahun, dengan beberapa uban tersel
Nafisah menghela nafas panjang, berbagai pikiran berkecamuk dalam pikirannya. "Menurut Kak Shaka, apa seharusnya aku menyerahkan Qiara pada keluarga aslinya?" Shaka tersentak, tubuhnya kaku karena kaget mendengar ucapan istrinya itu. Matanya melebar dengan bibir terbuka. "Hah....."Entah pikiran dari mana tiba-tiba saja Nafisah ingin menyerahkan Qiara pada keluarga mantan suaminya. Apa dia sudah lupa sekeras apa dirinya memperjuangkan hak asuh gadis kecil itu. "Bukan aku tak sayang lagi padanya. Hanya saja....." Nafisah menunduk tak ingin melanjutkan kalimatnya. Tak ingin suasana menjadi tak nyaman. Helaan nafas terdengar dari mulut Shaka. Meski Nafisah tak mau melanjutkan kalimatnya namun Shaka tahu betul semua masalah karena kehadirannya di sisi Nafisah. "Maaf, jika situasinya jadi memburuk. Aku tak pernah berpikir wanita itu akan muncul lagi. Setelah sekian lama menghilang dan kata-kata Shaka yang membuatku yakin dia tidak akan muncul lagi untuk mengganggu kita." Pelan, Shaka m
Apa yang dilakukan Gracia sangat berdampak pada kepercayaan perusahaan yng selama ini menggantungkan bahan utama produksinya dari perkebunannya milik Shaka. Kwalitas yang buruk membuat banyak perusahaan komplain. Tak sedikit juga yang memutuskan untuk tidak lagi melanjutkan kerja sama dikarenakan selama ini keluhannya tidak pernah mendapatkan respon. Dan itu semua ulah Bimo juga beberapa karyawan yang tidak puas dengan gaji mereka sehingga dengan sadar menerimanya uang dari Gracia dan mengkhianati kepercayaan Arsya. Saat ini Shaka sedang berusaha memperbaiki keadaan. Pemasukan yang menipis dan banyaknya komplain mengharuskannya membayar ganti rugi. Tak mengapa jika hanya minta ganti rugi dan tetap melanjutkan hubungan kerja sama. Rugi sedikit asalkan tetap berjalan, itu sudah merupakan keberuntungan bagi Shaka. Sudah seminggu ini Shaka berkeliling dari perusahaan satu ke perusahaan yang lain untuk meminta maaf dan meminta kesempatan kedua untuk tetap menjadi pemasok kelapa sawit bag