Shaka Pov. Seperti petir yang menyambar di tengah gemuruhnya hujan tangis yang sejak tadi menaungi ruangan berukuran 6X4 ini ketika pernyataan itu meluncur dengan mulus dari mulut papanya Aska. Aku begitu terkejut sampai membatu beberapa detik, sampai akhirnya tersadar setelah mendengar suara bergetar dari sisi sebelahku."Aku yang membesarkan Qiara. Aku juga menyayanginya seperti anak kandungku sendiri. Papa tidak boleh bicara seperti itu. Bagaimana jika Qiara dengar." Nafisah menatap nyalang pada mantan mertuanya dengan wajah yang dipenuhi air mata. Mendadak dadaku bergemuruh penuh amarah. Tanpa sadar kedua tanganku sudah mengepal kuat. Rasanya benar-benar tidak terima melihat wanita yang aku cintai terluka sampai menangis seperti ini. Wajahnya menyiratkan rasa kecewa yang begitu dalam sama seperti 12 tahun yang lalu. Ketika aku mengecewakannya.Segera kualihkan tatapanku pada Mas Zamar. Meminta persetujuannya untuk aku ikut campur. Namun pria itu memberiku isyarat untuk diam saja
"Batalkan rencana pernikahanmu dan rujuklah dengan Aska." Duar....... Dengan enteng meluncurlah syarat yang diajukan oleh pria yang rambutnya sudah di penuh dengan uban berwarna putih itu membuat tersentak kaget. Sumpah demi apapun jika tidak memikirkan dosa sudah pasti bogem tanganku mendarat mulus di wajah pria sok bijaksana itu. Tanpa punya rasa malu bisa-bisanya meminta syarat yang sangat tidak masuk akal. Meminta menantunya rujuk dengan putranya yang sudah selingkuh dan memilih wanita lain. Namun kemarahan itu tak lebih besar dari rasa penasaran di hatiku akan hatiku reaksi dari Nafisah, pemeran utama dari situasi ini. Segera aku menoleh pada wanita cantik di sampingku ini. Wajahnya yang sembab karena terlalu banyak mengeluarkan air mata itu kini bertambah pucat pasi. Tatapannya begitu shock dan kebingungan. Isak tangisnya memang sudah berhenti namun tidak dengan air matanya. Masih begitu deras seperti kran air yang bocor. Tak tega aku menggenggam tangannya yang terasa dingi
Nafisah Pov. Sudah seminggu berlalu setelah pertemuan yang tidak sengaja itu. kini hari-hariku dipenuhi dengan rasa takut dan kekhawatiran karena teror dan ancaman yang setiap hampir malam Mas Aska kirimkan lewat aplikasi pesan bergambar ganggang telpon berwarna hijau. Karena hal itu aku sempat stress berat dan jatuh sakit. Beruntung sekali sekarang sudah menginjak masa liburan sekolah sehingga aku bisa lebih tenang karena tidak over thinking, takut Mas Aska atau orang tuanya datang ke sekolah dan membawa Qiara pergi. Sejak mendapatkan pesan bernada ancaman dan teror dari Mas Aska aku yang dulunya berpikir santai kini jadi over thinking dan parno sendiri. Mas Aska sukses hidupku tak tenang. Entah apa yang ada dalam otak pria itu, tidak puaskan sudah menyakitiku dengan menduakan cintaku dan kini dengan begitu tak tahu malunya meminta rujuk dan saat ditolak malah mengancamku dengan menggunakan Qiara supaya aku membatalkan pernikahanku dengan Kak Shaka. [Jika kamu benar mencintai Qi
Dengan penuh amarah Zamar mendatangi apartemen Aska. Ditengah perjalanan ponselnya berdering. Sebuah panggilan masuk dari Shaka. [Mas, tolong Share Lock. Aku tahu kamu tidak membutuhkan bantuanku tapi Nafisah dan Mbak Sezha butuh bantuanku untuk membuat mereka sedikit lebih tenang jika aku bersamamu.]Meski merasa tak suka, tapi Zamar tetap menuruti permintaan sang calon adik ipar. Shaka benar, dirinya memang butuh orang ketiga untuk menemaninya bertemu Aska disaat emosinya sedang memuncak seperti saat ini. Tepat setelah Zamar memarkir mobilnya Shaka sampai di parkiran apartemen. Pria berbadan tegap itu segera melangkah lebar menyusul Zamar yang sudah berjalan lebih dulu menuju lift. "Mas, tolong sedikit tenang. Jangan terbawa emosi." Ucap pria berhidung mancung itu setelah bisa mensejajarkan langkahnya sambil ngos-ngosan. Zamar hanya melirik sebentar lalu segera masuk kedalam besi berbentuk kotak yang akan membawanya dan Shaka menuju unit dimana orang yang sudah memetik emosinya t
"Untuk apa kamu menasehati orang egois seperti Aska. Mana mungkin dia mengerti dengan perasaan Qiara dan Nafisah. Bajing** sepertinya hanya akan memikirkan dirinya sendiri." Zamar masih terus mengumpat dan meluapkan amarahnya dengan kata-kata kasar. Shaka menghela nafas, "Dulu aku juga pernah melakukan kesalahan sampai membuat Nafisah tidak hanya membenciku, dia juga sangat jijik padaku. Meski aku begitu mencintanya, aku memilih untuk pergi supaya Nafisah bisa bahagia." Aska langsung mendongakkan wajahnya menatap Shaka yang masih berdiri di tengah-tengah Zamar dan Aska. "Posisi dan situasi kita tidak sama. Dulu hubungan kalian hanya sekedar pacaran tapi kami sudah disatukan dengan nama Allah." Shaka dan Zamar kompak tertawa remeh. "Alloh memang menyatukan kalian tapi kamu sendiri yang memotong ikatan itu." Ucap Zamar yang sangat muak dengan omongan Aska yang berlagak jadi korban. "Kamu itu tersangka tapi seolah jadi korban yang paling tersakiti. Malu, aku sebagai lelaki melihat sik
Sekitar pukul tiga sore motor yang dikendarai oleh Shaka berhenti tepat didepan pintu pagar rumahnya. Dengan santai pria itu turun dan membuka kunci gembok pagar lalu membuka satu sisinya untuk akses motornya masuk. Libur sekolah sudah tiba, tapi untuk para pengajar masih mendapat giliran jadwal piket datang ke sekolah. Setiap guru mendapatkan jatah tiga hari dalam seminggu. Mulai jam 7 sampai jam satu siang. Tadi pulang dari sekolahan Shaka menyempatkan mampir ke rumah Zamar untuk bertemu Nafisah dan Qiara. Liburan sekolah membuat gadis kecil itu tak mau menerima les dari Shaka. Jadilah Pak guru Shaka harus menahan rindu selama hampir sepekan karena tak melihat wajah cantik Nafisah dan imutnya Qiara. Dua hari yang lalu setelah dari apartemen Aska, pak guru tak mengantar Zamar pulang karena bawa mobil sendiri-sendiri. Seingatnya terakhir kali melihat wajah Nafisah ketika wanita itu sakit tiga hari sebelum Qiara libur sekolah. "Kan sekolahnya masih libur, lesnya juga libur dong. M
Seperti permintaan Zamar, pagi ini Shaka akan mengantarkan Nafisah ke pengadilan. Hari ini sidang pertama untuk kasus gugatan hak asuh yang dilayangkan Aska terhadap Nafisah. Setelah mengeluarkan mobil dari halaman rumahnya Shaka kembali turun untuk menutup kembali pagar rumah. Saat hendak berbalik sebuah panggilan menghentikan langkah kakinya. "Pak.... Pak Shaka...." teriak seorang wanita dengan menggandeng tangan putranya. "Iya?" Dahi Shaka berkerut melihat siapa yang memanggilnya. "Ada apa Bu?" tanyanya pada Vania yang baru saja sampai di depannya. "Maaf, boleh saya ikut sampai depan?" Wajah Vania memelas. "Ini sudah siang, ojek online yang saya pesan belum juga datang padahal putra saya sudah hampir terlambat masuk sekolah." Wanita itu mendorong pelan tubuh anaknya ke depan Shaka. "I-iya Om... boleh minta antar gak Om??" Bocah sembilan tahun itu tersenyum kaku, seperti terpaksa. Shaka diam sejenak, bingung menjawab. Tidak mungkin dia menolak karena bilangnya cuma sampai dep
"Karena sikap kasar dan ucapan pedas mantan istri saya. Saya khawatir sikapnya itu.... akan mempengaruhi tumbuh kembang putri saya..... Dan lebih saya khawatirkan, putri saya akan memiliki sikap buruk seperti mantan istri saya itu." Dengan hati bergemuruh dan mata memanas Nafisah menatap mantan suaminya. "Tega kamu Mas," gumam Nafisah lirih. Wanita dengan jilbab putih bermotif bunga itu tak menyangka Aska benar-benar mempermalukannya. Ucapan Nafisah memang terkadang pedas tapi hanya ketika dia kasari lebih dulu atau berhadapan dengan orang yang sudah menyakitinya. Jadi jika dikatakan Nafisah memiliki sikap kasar dan mulut pedas itu tidak benar. Ucapan Aska tak hanya membuat Hati Nafisah emosi. Melainkan ada dia pria dewasa yang sudah yang tersulut emosinya. Zamar dan Shaka kompak berdiri hendak protes andai saja tak diminta untuk kembali duduk oleh security. "Tenang Pak." Salah satu pengacara menoleh memberi arahan untuk Zamar dan Shaka kembali tenang. "Ada lagi Pak Aska, alasan
[Kha, Nafisah mengalami kontraksi. Sepertinya akan melahirkan. Sekarang kami dalam perjalanan menuju ke rumah sakit Harapan Bunda. Kamu cepatlah menyusul.]Pesan dari Sezha yang seketika membuat Shaka panik. Dengan tangan gemetaran dia membereskan buku-bukunya. "Karena saya ada keperluan, tolong kalian kerjakan tugas harian halaman selanjutnya."Segera dia berlari keluar kelas setelah mengucapkan salam. Ruang guru yang ditujunya. Meminta tolong pada piket untuk menggantikan dirinya tiga jam ke depan. "Ada apa?" Geri yang baru masuk ruang guru langsung mengerutkan keningnya. Ada yang tak biasa dengan rekan kerjanya yang satu ini. "Istriku akan melahirkan," jawab Shaka tanpa menoleh ke lawan bicaranya. Yang nnya sibuk memasukkan barang-barangnya ke dalam ransel miliknya. "Katanya masih seminggu lagi, kok jadi sekarang. Dokter gak kompeten," gerutu Shaka sambil bergumam. Geri yang berdiri tak jauh darinya hanya mengulas senyum tipis, seolah melihat dirinya sendiri setahun yang lalu.
Kabar bahagia tidak hanya datang dari keluarga kecil Shaka dan Nafisah. Dari luar pulau pun terdengar kabar yang tak kalah menggembirakan. Kabar dari dua sejoli yang terikat karena keterpaksaan. Arsya dan Kirana sudah mendaftarkan pernikahan mereka ke KUA setempat. Ternyata dalam hitungan bulan cinta itu akhirnya tumbuh di hati keduanya. Pernikahan yang terjadi karena keterpaksaan itu pun kini sudah sah di mata hukum dan agama. "Kehamilan Nafisah benar-benar membawa banyak keberkahan. Banyak berita bahagia setelah hadirnya calon anakmu itu, Kha." komentar Zamar sesat setelah Shaka memberitahu tentang keadaan perkebunan yang semakin baik juga tentang hubungan Arsya dengan Kirana. "Alhamdulillah, Mas benar. Banyak hal baik setelah kehadirannya. Aku benar-benar bersyukur atas anugrah yang Alloh berikan." Shaka pun tak henti-hentinya mengucap syukur atas anugrah yang tidak pernah ia sangka akan diberikan dalam waktu secepat ini. Saat menikahi Nafisah, pria itu tak pernah berani walau
"Kayaknya kamu hamil deh, Naf." Seorang wanita cantik dengan hijab hijau toska berjalan masuk dengan seorang anak kecil di sebelahnya. "Mbak Sezha." Nafisah sedikit kaget melihat kakak iparnya yang tiba-tiba muncul. "Pintu gerbangnya gak dikunci. Nutupnya juga gak bener, jadi kami bisa langsung masuk." Sezha langsung menjelaskan tanpa ditanya. "Tapi aku sudah menguncinya kok," sahut Aydan dengan menepuk dadanya. "Terima kasih Aydan." Shaka mengacungkan dua jempolnya. "Sepertinya istri kamu itu hamil, Ka." Ujar Sezha mengulangi ucapannya tadi. "Beneran, Mbak" tanya Shaka dengan mata berbinar. "Dilihat dari tanda-tandanya sih gitu." Wanita berkulit putih bersih itu meletakkan tasnya diatas meja. Setelahnya memanggil Qiara yang sejak tadi memegangi tangan Bundanya. "Main sama Kak Aydan, ya. Bunda gak papa, sayang...." bujuk Sezha pada gadis kecil yang menampilkan raut wajah sedih. "Tadi Bunda muntah-muntah," jawab Qiara. Mata gadis kecil itu sudah mengembun. Nafisah mengurai s
"Hidup tak selamanya tentang kebahagiaan. Namun terkadang hidup itu tentang menghadapi masalah dengan senyuman dan semangat. Hidup tidak akan lebih baik tanpa masalah tapi akan lebih bijak setelah mengalami banyak ujian."Hari terus bergulir tanpa terasa sudah lima bulan berlalu setelah kembali Shaka dan Nafisah ke Jakarta. Hari-hari mereka lalui selayaknya pasangan pada umumnya. Kadang bermesraan tak jarnah juga berdebat yang diakhiri dengan pengakuan salah dari Shaka. Seminggu sekali Aska akan menjemput Qiara untuk menginap di apartemen laki-laki itu dan satu bulan sekali berkunjung ke rumah kakek dan neneknya yang ada di luar kota. Namun tentu saja mengikuti jadwal kegiatan Qiara yang semakin besar semakin padat dengan Olimpiade dan eskul sekolahnya. "Ya Alloh.... Kak Shaka, kan sudah dibilangin kalah habis mandi handuknya jangan ditaruh di kasur. Tuh.... ada jemuran kecil di balkon," omel Nafisah begitu masuk kamar. Wanita itu baru saja dari kamar putrinya, memastikan gadis kec
Sudah di putuskan, Shaka dan Nafisah akan kembali ke Jakarta segera setelah kepulangan Arsya bersama Kirana. Tak mau menunggu lama satu haribsetalah kepulangan Arsya, suami Nafisah itu pun segera pamit. Sebelum pergi Shaka menyerahkan segala urusan perkebunan kembali pada Arsya. Tak lupa Shaka juga menceritakan tentang tawaran keluarga Gracia yang bersedia menanggung segala kerugian atas perbuatan Gracia dan Hartama yang sengaja berniat merusak citra baik hasil perkebunan milik mereka. "Aku sudah melaporkannya dan wanita itu sudah beberapa kali dipanggil ke kantor polisi namun masih sebagai saksi. Untuk kelanjutannya terserah kamu," ujar Shaka di malam sebelum keberangkatannya. "Silahkan, kamu putuskan sendiri apa yang menurutmu baik untuk perkebunan ini. Mulai hari perkebunan ini sepenuhnya tanggung jawabmu dan aku tidak akan ikut campur lagi. Tapi, jika boleh aku memberi saran, jangan pernah membukakan pintu untuk kucing yang pernah mencuri ikan di rumahmu." Tak bisa di pungkiri
Kak Shaka berdiri membelakangi pintu dengan tatapan mengarah keluar jendela. Pelan aku mendekatinya. Kulihat rahangnya mengeras dengan otot-otot leher menonjol, ekspresi marah yang jarang sekali kulihat. "Mereka sudah pergi," beritahuku namun sampai beberapa menit tak mendapat respon darinya. Mungkin Kak Shaka merasa kesal padaku. Kurasa dia merasa aku membela Gracia. "Gracia meminta maaf. Dia menyesal sudah membuat kekacauan dan merugikan banyak pihak. Katanya dia akan menggangu rugi semuanya." Kusampaikan pesan dari Gracia. Sempat tak percaya namun itulah kebenarannya. Wanita sombong itu benar-benar meminta maaf. Entah tikus atau tidak, yang pasti dia tidak mau keluarga besarnya ikut menanggung hasil perbuatannya. Aku beralih ke sofa tak jauh dari jendela. Dari posisiku saat ini terlihat jelas ekspresi wajah Kak Shaka. Wajahnya memerah dengan dada naik turun. "Semua yang terjadi tentu tak bisa dikembalikan seperti sedia kala. Tapi dengan marah dan menyimpan dendam juga tak bisa
Pov Nafisah."Kesepakatan?" Tak hanya Kak Shaka, aku pun sempat tertegun beberapa saat ketika mendengar ucapan Gracia. Wanita berpakaiannya seksi itu dengan gamblang mengutarakan tujuannya datang menemui kami. Tak ada basa-basi bahkan tanpa membiarkan kami duduk atau sekedar bersalaman. Begitu tak sopannya wanita itu sebagai tamu. Dari ekor mataku, kulihat Kak Shaka tersenyum tipis. Genggamannya yang sempat terlepas kembali ia kaitkan jemarinya pada jemariku. Tangannya terasa dingin, sedingin tatapannya pada ketiga orang tamu yang datang hari ini. "Kesepakatan katamu?" Ulang Kak Shaka lalu tersenyum remeh. "Iya, sebuah kesepakatan yang menguntungkan untukmu." Gracia dengan percaya dirinya. "Ck.... percaya diri sekali," gumam Kak Shaka masih dengan senyum tipisnya. Namun sedetik kemudian tatapan itu berubah sinis tat kala netra hitamnya mengarah pada pria paruh baya yang berdiri tepat di samping Gracia. Pria itu tampak sudah berumur lebih dari 60 tahun, dengan beberapa uban tersel
Nafisah menghela nafas panjang, berbagai pikiran berkecamuk dalam pikirannya. "Menurut Kak Shaka, apa seharusnya aku menyerahkan Qiara pada keluarga aslinya?" Shaka tersentak, tubuhnya kaku karena kaget mendengar ucapan istrinya itu. Matanya melebar dengan bibir terbuka. "Hah....."Entah pikiran dari mana tiba-tiba saja Nafisah ingin menyerahkan Qiara pada keluarga mantan suaminya. Apa dia sudah lupa sekeras apa dirinya memperjuangkan hak asuh gadis kecil itu. "Bukan aku tak sayang lagi padanya. Hanya saja....." Nafisah menunduk tak ingin melanjutkan kalimatnya. Tak ingin suasana menjadi tak nyaman. Helaan nafas terdengar dari mulut Shaka. Meski Nafisah tak mau melanjutkan kalimatnya namun Shaka tahu betul semua masalah karena kehadirannya di sisi Nafisah. "Maaf, jika situasinya jadi memburuk. Aku tak pernah berpikir wanita itu akan muncul lagi. Setelah sekian lama menghilang dan kata-kata Shaka yang membuatku yakin dia tidak akan muncul lagi untuk mengganggu kita." Pelan, Shaka m
Apa yang dilakukan Gracia sangat berdampak pada kepercayaan perusahaan yng selama ini menggantungkan bahan utama produksinya dari perkebunannya milik Shaka. Kwalitas yang buruk membuat banyak perusahaan komplain. Tak sedikit juga yang memutuskan untuk tidak lagi melanjutkan kerja sama dikarenakan selama ini keluhannya tidak pernah mendapatkan respon. Dan itu semua ulah Bimo juga beberapa karyawan yang tidak puas dengan gaji mereka sehingga dengan sadar menerimanya uang dari Gracia dan mengkhianati kepercayaan Arsya. Saat ini Shaka sedang berusaha memperbaiki keadaan. Pemasukan yang menipis dan banyaknya komplain mengharuskannya membayar ganti rugi. Tak mengapa jika hanya minta ganti rugi dan tetap melanjutkan hubungan kerja sama. Rugi sedikit asalkan tetap berjalan, itu sudah merupakan keberuntungan bagi Shaka. Sudah seminggu ini Shaka berkeliling dari perusahaan satu ke perusahaan yang lain untuk meminta maaf dan meminta kesempatan kedua untuk tetap menjadi pemasok kelapa sawit bag