Seperti permintaan Zamar, pagi ini Shaka akan mengantarkan Nafisah ke pengadilan. Hari ini sidang pertama untuk kasus gugatan hak asuh yang dilayangkan Aska terhadap Nafisah. Setelah mengeluarkan mobil dari halaman rumahnya Shaka kembali turun untuk menutup kembali pagar rumah. Saat hendak berbalik sebuah panggilan menghentikan langkah kakinya. "Pak.... Pak Shaka...." teriak seorang wanita dengan menggandeng tangan putranya. "Iya?" Dahi Shaka berkerut melihat siapa yang memanggilnya. "Ada apa Bu?" tanyanya pada Vania yang baru saja sampai di depannya. "Maaf, boleh saya ikut sampai depan?" Wajah Vania memelas. "Ini sudah siang, ojek online yang saya pesan belum juga datang padahal putra saya sudah hampir terlambat masuk sekolah." Wanita itu mendorong pelan tubuh anaknya ke depan Shaka. "I-iya Om... boleh minta antar gak Om??" Bocah sembilan tahun itu tersenyum kaku, seperti terpaksa. Shaka diam sejenak, bingung menjawab. Tidak mungkin dia menolak karena bilangnya cuma sampai dep
"Karena sikap kasar dan ucapan pedas mantan istri saya. Saya khawatir sikapnya itu.... akan mempengaruhi tumbuh kembang putri saya..... Dan lebih saya khawatirkan, putri saya akan memiliki sikap buruk seperti mantan istri saya itu." Dengan hati bergemuruh dan mata memanas Nafisah menatap mantan suaminya. "Tega kamu Mas," gumam Nafisah lirih. Wanita dengan jilbab putih bermotif bunga itu tak menyangka Aska benar-benar mempermalukannya. Ucapan Nafisah memang terkadang pedas tapi hanya ketika dia kasari lebih dulu atau berhadapan dengan orang yang sudah menyakitinya. Jadi jika dikatakan Nafisah memiliki sikap kasar dan mulut pedas itu tidak benar. Ucapan Aska tak hanya membuat Hati Nafisah emosi. Melainkan ada dia pria dewasa yang sudah yang tersulut emosinya. Zamar dan Shaka kompak berdiri hendak protes andai saja tak diminta untuk kembali duduk oleh security. "Tenang Pak." Salah satu pengacara menoleh memberi arahan untuk Zamar dan Shaka kembali tenang. "Ada lagi Pak Aska, alasan
Pov Nafisah. Perdebatan demi perdebatan bergulir memenuhi ruang sidang yang hampir seperti sidang tertutup karena hanya ada dua sampai empat orang penonton. Tidak seperti sidang-sidang para artis yang bangku penontonnya dipenuh dengan awak media juga penggemar yang penasaran dengan kisah idolanya. Tak hanya perdebatan, saling serang dan saling tuding menjadi proses yang katanya wajar untuk mencapai kemenangan. Berkali-kali hatiku berdenyut nyeri mendapati kenyataan yang begitu miris ini. Ya... Alloh... Haruskah seperti ini? Kami seperti musuh besar padahal dulu kami pernah mengarungi hari-hari indah bersama sebagai suami istri. Aku seperti berperang dengan diriku sendiri ketika aku dituntut untuk membuka aib dari mantan suamiku itu. Meski hatiku sakit dan terluka atas pengkhianatan Mas Aska namun jiwaku seolah menolak saat aib mantan suamiku dijadikan senjata untuk mendapatkan hak asuh putri kami. Aku pun tak tahu juga tak pernah menyangka jika yang dimaksud Mas Zamar dan Kak
"Assalamu'alaikum, " ucapku seraya melangkah masuk ke ruang tamu."Wa'alaikum salam.." kompak suara dari dalam. Degh.....Tubuhku tiba-tiba menegang. Kakiku kaku seolah terpaku di tempat melihat siapa tamu yang datang pagi ini. Untuk apa mereka datang ke sini? "Mereka menunggumu dari tadi," bisik Mbak Sezha sembari mengambil alih belanjaan yang kubawa dan membawanya ke dapur. Dengan jantung yang berdegup kencang aku pun mengurangi senyum tipis, "Sudah lama, Om, Tante...." Aku mencium pungung tangan kedua mantan mertuaku itu bergantian. Ya, tamu pagi ini adalah mantan mertuaku. Om Jatmiko dan Tante Halimah. Entah apa tujuan mereka datang? Jika ingin menemui Azqiara harusnya mereka datang tengah hari, bukan di jam-jam Azqiara sekolah. "Lumanyan sekitar satu jam. Kamu dari mana?" tanya Tante Halima dengan senyum hangat sama seperti dulu saat aku masih menjadi menantu kesayangannya."Maaf, tadi setelah mengantar Qiara, mampir belanja sebentar." Jawabku jujur. Dari dalam Mbak Sezha ke
"Siapapun nanti yang mendapatkan hak asuh Azqiara, kalian harus tetap mengatakan pada anak itu siapa orang tua kandungnya." Duar........ Mataku melotot sempurna. "Maksudnya Om, bagaiama?" Seperti orang bodoh aku meminta mantan mertuaku itu mengulangi ucapannya. Om Jatmiko mendengus kasar. Tubuhnya ditegakkan dan condong ke depan. "Azqiara berhak tahu siapa orang tua kandungnya. Cepat atau lambat kamu harus memberitahunya karena itulah kenyataannya. Jadi akan lebih baik dia tahu jati dirinya lebih awal." Hatiku seperti tertindih batu besar yang seketika membuatku sesak nafas. Tanpa bisa kucegah air mataku jatuh tanpa aba-aba. "Kenapa Om, mengingkarinya janji Om dulu?" tanyaku dengan jati yang penuh dengan kekecewaan. Mantan ayah mertuaku pun membisu. Aku yakin dai juga sama sedihnya sepertiku. Di sampingnya Tante Halimah menundukkan kepalanya sambil terisak. "Dulu Om sendiri yang membawa bayi Azqiara dan menyerahkannya padaku. Om memintaku menerimanya menjadi anakku," Tak bisa k
Sudah seminggu berlalu namun aku belum juga menghubungi mantan mertuaku untuk menyampaikan keputusanku atas kesepakatan yang mereka tawarkan. Jujur aku masih ragu. Satu sisi hati memahami perasaan mereka namun sisi yang lain takut jika anak yang aku rawat sejak kecil tak lagi menganggapku ibu kandungnya. Selain itu aku juga takut psikis Qiara tertekan setelah mengetahui kenyataan jika dirinya anak angkat. Meski begitu sebenarnya aku sudah memiliki pilihan. Hanya saja aku belum benar-benar yakin. Mungkin aku harus istikharah lagi untuk lebih menyakinkan hatiku.Di tengah deburan masalah dan kerisauan namun pernikahanku dan Kak Shaka yang sudah direncakan tetap dilaksanakan sesuai tanggal yang sudah kami sepakati. Tidak seperti rencana awal, kami hanya akan menjalani akad nikah tanpa resepsi.Banyaknya masalah yang datang membuat persiapan tidak bisa maksimal. Hampir seluruh waktu dan pikiran habis untuk tercurah pada persidangan perebutan hak asuh. Bagiku tak ada masalah toh ini ada
"Naf, Shaka...." Mas Zamar berlari dari luar dengan wajah panik. Degh..... Degh...Degh... detik jangungkunmakin cepat. Aku semakin panik melihat raut wajah Mas Zamar. "Ada apa? Kenapa Kak Shaka?" tanyaku seketika bangun dari dudukku. Saat ini aku dan Mbak Sezha duduk di sofa panjang ruang tengah. Sedangkan semua kerabat yang datang sudah berkumpul di ruang tamu. "Shaka..... Mobilnya mengalami kecelakaan." "Hah???" Aku terkesiap, rasanya jantungku hampir lepas dari tempatnya. "Naf..." Mbak Sezha merangkulku yang tiba-tiba lemas. "Kejadiannya di lampu merah depan. Sebuah pick up menabrak mobil Shaka......" Reflek aku menahan nafas ketika Mas Zamar menjeda kalimatnya. "Tapi Shaka gak papa." Pria 34 tahun itu kembali berbicara dengan ekspresi yang berbeda, santai sekali. "Kamu nggak usah khawatir, calon suamimu sehat wal'afiat. Hanya saja depan mobilnya yang penyok dan lampu depan mobil pecah"Astaga...... Hampir saja beberapa kata mutiara keluar dari mulutku ini, andai aku tak bis
Pukul dua belas acara sudah selesai dan para tamu juga sudah pulang. Hanya tinggal orang tua Mbak Sezha yang membantu beberes dan orang tua Mas Aska yang memang ada keperluan lain selain menghadiri akad nikah. Setelah mengganti pakaian dan sholat dzuhur aku menemui Tante Halimah, kami duduk diatas karpet di ruang tamu. Sedikit berbincang-bincang ringan sambil menunggu para lelaki yang sedang sholat jama'ah dzuhur di masjid. "Tante sudah makan?" tanyaku pada paruh baya yang sedang memangku Qiara. Gadis kecil itu sudah mulai kembali manja pada neneknya setelah beberapa bulan merajuk. Sejak kejadian perebutan Qiara di rumahku waktu itu membuat Qiara takut dan trauma bertemu dengan nenek dan kakeknya. Namun setelah kuberi penjelasan lama-lama Qiara bisa menghilangkan rasa takutnya. Ya, bagaimanapun mereka sangat menyayangi Qiara. Penyebab dari semua masalah ini adalah Mas Aska. Keegosisan dan sikap tidak setianya yang membuat hubungan kami menjadi kacau."Sudah, Naf." Suara Tante Ha
[Kha, Nafisah mengalami kontraksi. Sepertinya akan melahirkan. Sekarang kami dalam perjalanan menuju ke rumah sakit Harapan Bunda. Kamu cepatlah menyusul.]Pesan dari Sezha yang seketika membuat Shaka panik. Dengan tangan gemetaran dia membereskan buku-bukunya. "Karena saya ada keperluan, tolong kalian kerjakan tugas harian halaman selanjutnya."Segera dia berlari keluar kelas setelah mengucapkan salam. Ruang guru yang ditujunya. Meminta tolong pada piket untuk menggantikan dirinya tiga jam ke depan. "Ada apa?" Geri yang baru masuk ruang guru langsung mengerutkan keningnya. Ada yang tak biasa dengan rekan kerjanya yang satu ini. "Istriku akan melahirkan," jawab Shaka tanpa menoleh ke lawan bicaranya. Yang nnya sibuk memasukkan barang-barangnya ke dalam ransel miliknya. "Katanya masih seminggu lagi, kok jadi sekarang. Dokter gak kompeten," gerutu Shaka sambil bergumam. Geri yang berdiri tak jauh darinya hanya mengulas senyum tipis, seolah melihat dirinya sendiri setahun yang lalu.
Kabar bahagia tidak hanya datang dari keluarga kecil Shaka dan Nafisah. Dari luar pulau pun terdengar kabar yang tak kalah menggembirakan. Kabar dari dua sejoli yang terikat karena keterpaksaan. Arsya dan Kirana sudah mendaftarkan pernikahan mereka ke KUA setempat. Ternyata dalam hitungan bulan cinta itu akhirnya tumbuh di hati keduanya. Pernikahan yang terjadi karena keterpaksaan itu pun kini sudah sah di mata hukum dan agama. "Kehamilan Nafisah benar-benar membawa banyak keberkahan. Banyak berita bahagia setelah hadirnya calon anakmu itu, Kha." komentar Zamar sesat setelah Shaka memberitahu tentang keadaan perkebunan yang semakin baik juga tentang hubungan Arsya dengan Kirana. "Alhamdulillah, Mas benar. Banyak hal baik setelah kehadirannya. Aku benar-benar bersyukur atas anugrah yang Alloh berikan." Shaka pun tak henti-hentinya mengucap syukur atas anugrah yang tidak pernah ia sangka akan diberikan dalam waktu secepat ini. Saat menikahi Nafisah, pria itu tak pernah berani walau
"Kayaknya kamu hamil deh, Naf." Seorang wanita cantik dengan hijab hijau toska berjalan masuk dengan seorang anak kecil di sebelahnya. "Mbak Sezha." Nafisah sedikit kaget melihat kakak iparnya yang tiba-tiba muncul. "Pintu gerbangnya gak dikunci. Nutupnya juga gak bener, jadi kami bisa langsung masuk." Sezha langsung menjelaskan tanpa ditanya. "Tapi aku sudah menguncinya kok," sahut Aydan dengan menepuk dadanya. "Terima kasih Aydan." Shaka mengacungkan dua jempolnya. "Sepertinya istri kamu itu hamil, Ka." Ujar Sezha mengulangi ucapannya tadi. "Beneran, Mbak" tanya Shaka dengan mata berbinar. "Dilihat dari tanda-tandanya sih gitu." Wanita berkulit putih bersih itu meletakkan tasnya diatas meja. Setelahnya memanggil Qiara yang sejak tadi memegangi tangan Bundanya. "Main sama Kak Aydan, ya. Bunda gak papa, sayang...." bujuk Sezha pada gadis kecil yang menampilkan raut wajah sedih. "Tadi Bunda muntah-muntah," jawab Qiara. Mata gadis kecil itu sudah mengembun. Nafisah mengurai s
"Hidup tak selamanya tentang kebahagiaan. Namun terkadang hidup itu tentang menghadapi masalah dengan senyuman dan semangat. Hidup tidak akan lebih baik tanpa masalah tapi akan lebih bijak setelah mengalami banyak ujian."Hari terus bergulir tanpa terasa sudah lima bulan berlalu setelah kembali Shaka dan Nafisah ke Jakarta. Hari-hari mereka lalui selayaknya pasangan pada umumnya. Kadang bermesraan tak jarnah juga berdebat yang diakhiri dengan pengakuan salah dari Shaka. Seminggu sekali Aska akan menjemput Qiara untuk menginap di apartemen laki-laki itu dan satu bulan sekali berkunjung ke rumah kakek dan neneknya yang ada di luar kota. Namun tentu saja mengikuti jadwal kegiatan Qiara yang semakin besar semakin padat dengan Olimpiade dan eskul sekolahnya. "Ya Alloh.... Kak Shaka, kan sudah dibilangin kalah habis mandi handuknya jangan ditaruh di kasur. Tuh.... ada jemuran kecil di balkon," omel Nafisah begitu masuk kamar. Wanita itu baru saja dari kamar putrinya, memastikan gadis kec
Sudah di putuskan, Shaka dan Nafisah akan kembali ke Jakarta segera setelah kepulangan Arsya bersama Kirana. Tak mau menunggu lama satu haribsetalah kepulangan Arsya, suami Nafisah itu pun segera pamit. Sebelum pergi Shaka menyerahkan segala urusan perkebunan kembali pada Arsya. Tak lupa Shaka juga menceritakan tentang tawaran keluarga Gracia yang bersedia menanggung segala kerugian atas perbuatan Gracia dan Hartama yang sengaja berniat merusak citra baik hasil perkebunan milik mereka. "Aku sudah melaporkannya dan wanita itu sudah beberapa kali dipanggil ke kantor polisi namun masih sebagai saksi. Untuk kelanjutannya terserah kamu," ujar Shaka di malam sebelum keberangkatannya. "Silahkan, kamu putuskan sendiri apa yang menurutmu baik untuk perkebunan ini. Mulai hari perkebunan ini sepenuhnya tanggung jawabmu dan aku tidak akan ikut campur lagi. Tapi, jika boleh aku memberi saran, jangan pernah membukakan pintu untuk kucing yang pernah mencuri ikan di rumahmu." Tak bisa di pungkiri
Kak Shaka berdiri membelakangi pintu dengan tatapan mengarah keluar jendela. Pelan aku mendekatinya. Kulihat rahangnya mengeras dengan otot-otot leher menonjol, ekspresi marah yang jarang sekali kulihat. "Mereka sudah pergi," beritahuku namun sampai beberapa menit tak mendapat respon darinya. Mungkin Kak Shaka merasa kesal padaku. Kurasa dia merasa aku membela Gracia. "Gracia meminta maaf. Dia menyesal sudah membuat kekacauan dan merugikan banyak pihak. Katanya dia akan menggangu rugi semuanya." Kusampaikan pesan dari Gracia. Sempat tak percaya namun itulah kebenarannya. Wanita sombong itu benar-benar meminta maaf. Entah tikus atau tidak, yang pasti dia tidak mau keluarga besarnya ikut menanggung hasil perbuatannya. Aku beralih ke sofa tak jauh dari jendela. Dari posisiku saat ini terlihat jelas ekspresi wajah Kak Shaka. Wajahnya memerah dengan dada naik turun. "Semua yang terjadi tentu tak bisa dikembalikan seperti sedia kala. Tapi dengan marah dan menyimpan dendam juga tak bisa
Pov Nafisah."Kesepakatan?" Tak hanya Kak Shaka, aku pun sempat tertegun beberapa saat ketika mendengar ucapan Gracia. Wanita berpakaiannya seksi itu dengan gamblang mengutarakan tujuannya datang menemui kami. Tak ada basa-basi bahkan tanpa membiarkan kami duduk atau sekedar bersalaman. Begitu tak sopannya wanita itu sebagai tamu. Dari ekor mataku, kulihat Kak Shaka tersenyum tipis. Genggamannya yang sempat terlepas kembali ia kaitkan jemarinya pada jemariku. Tangannya terasa dingin, sedingin tatapannya pada ketiga orang tamu yang datang hari ini. "Kesepakatan katamu?" Ulang Kak Shaka lalu tersenyum remeh. "Iya, sebuah kesepakatan yang menguntungkan untukmu." Gracia dengan percaya dirinya. "Ck.... percaya diri sekali," gumam Kak Shaka masih dengan senyum tipisnya. Namun sedetik kemudian tatapan itu berubah sinis tat kala netra hitamnya mengarah pada pria paruh baya yang berdiri tepat di samping Gracia. Pria itu tampak sudah berumur lebih dari 60 tahun, dengan beberapa uban tersel
Nafisah menghela nafas panjang, berbagai pikiran berkecamuk dalam pikirannya. "Menurut Kak Shaka, apa seharusnya aku menyerahkan Qiara pada keluarga aslinya?" Shaka tersentak, tubuhnya kaku karena kaget mendengar ucapan istrinya itu. Matanya melebar dengan bibir terbuka. "Hah....."Entah pikiran dari mana tiba-tiba saja Nafisah ingin menyerahkan Qiara pada keluarga mantan suaminya. Apa dia sudah lupa sekeras apa dirinya memperjuangkan hak asuh gadis kecil itu. "Bukan aku tak sayang lagi padanya. Hanya saja....." Nafisah menunduk tak ingin melanjutkan kalimatnya. Tak ingin suasana menjadi tak nyaman. Helaan nafas terdengar dari mulut Shaka. Meski Nafisah tak mau melanjutkan kalimatnya namun Shaka tahu betul semua masalah karena kehadirannya di sisi Nafisah. "Maaf, jika situasinya jadi memburuk. Aku tak pernah berpikir wanita itu akan muncul lagi. Setelah sekian lama menghilang dan kata-kata Shaka yang membuatku yakin dia tidak akan muncul lagi untuk mengganggu kita." Pelan, Shaka m
Apa yang dilakukan Gracia sangat berdampak pada kepercayaan perusahaan yng selama ini menggantungkan bahan utama produksinya dari perkebunannya milik Shaka. Kwalitas yang buruk membuat banyak perusahaan komplain. Tak sedikit juga yang memutuskan untuk tidak lagi melanjutkan kerja sama dikarenakan selama ini keluhannya tidak pernah mendapatkan respon. Dan itu semua ulah Bimo juga beberapa karyawan yang tidak puas dengan gaji mereka sehingga dengan sadar menerimanya uang dari Gracia dan mengkhianati kepercayaan Arsya. Saat ini Shaka sedang berusaha memperbaiki keadaan. Pemasukan yang menipis dan banyaknya komplain mengharuskannya membayar ganti rugi. Tak mengapa jika hanya minta ganti rugi dan tetap melanjutkan hubungan kerja sama. Rugi sedikit asalkan tetap berjalan, itu sudah merupakan keberuntungan bagi Shaka. Sudah seminggu ini Shaka berkeliling dari perusahaan satu ke perusahaan yang lain untuk meminta maaf dan meminta kesempatan kedua untuk tetap menjadi pemasok kelapa sawit bag