"Siapapun nanti yang mendapatkan hak asuh Azqiara, kalian harus tetap mengatakan pada anak itu siapa orang tua kandungnya." Duar........ Mataku melotot sempurna. "Maksudnya Om, bagaiama?" Seperti orang bodoh aku meminta mantan mertuaku itu mengulangi ucapannya. Om Jatmiko mendengus kasar. Tubuhnya ditegakkan dan condong ke depan. "Azqiara berhak tahu siapa orang tua kandungnya. Cepat atau lambat kamu harus memberitahunya karena itulah kenyataannya. Jadi akan lebih baik dia tahu jati dirinya lebih awal." Hatiku seperti tertindih batu besar yang seketika membuatku sesak nafas. Tanpa bisa kucegah air mataku jatuh tanpa aba-aba. "Kenapa Om, mengingkarinya janji Om dulu?" tanyaku dengan jati yang penuh dengan kekecewaan. Mantan ayah mertuaku pun membisu. Aku yakin dai juga sama sedihnya sepertiku. Di sampingnya Tante Halimah menundukkan kepalanya sambil terisak. "Dulu Om sendiri yang membawa bayi Azqiara dan menyerahkannya padaku. Om memintaku menerimanya menjadi anakku," Tak bisa k
Sudah seminggu berlalu namun aku belum juga menghubungi mantan mertuaku untuk menyampaikan keputusanku atas kesepakatan yang mereka tawarkan. Jujur aku masih ragu. Satu sisi hati memahami perasaan mereka namun sisi yang lain takut jika anak yang aku rawat sejak kecil tak lagi menganggapku ibu kandungnya. Selain itu aku juga takut psikis Qiara tertekan setelah mengetahui kenyataan jika dirinya anak angkat. Meski begitu sebenarnya aku sudah memiliki pilihan. Hanya saja aku belum benar-benar yakin. Mungkin aku harus istikharah lagi untuk lebih menyakinkan hatiku.Di tengah deburan masalah dan kerisauan namun pernikahanku dan Kak Shaka yang sudah direncakan tetap dilaksanakan sesuai tanggal yang sudah kami sepakati. Tidak seperti rencana awal, kami hanya akan menjalani akad nikah tanpa resepsi.Banyaknya masalah yang datang membuat persiapan tidak bisa maksimal. Hampir seluruh waktu dan pikiran habis untuk tercurah pada persidangan perebutan hak asuh. Bagiku tak ada masalah toh ini ada
"Naf, Shaka...." Mas Zamar berlari dari luar dengan wajah panik. Degh..... Degh...Degh... detik jangungkunmakin cepat. Aku semakin panik melihat raut wajah Mas Zamar. "Ada apa? Kenapa Kak Shaka?" tanyaku seketika bangun dari dudukku. Saat ini aku dan Mbak Sezha duduk di sofa panjang ruang tengah. Sedangkan semua kerabat yang datang sudah berkumpul di ruang tamu. "Shaka..... Mobilnya mengalami kecelakaan." "Hah???" Aku terkesiap, rasanya jantungku hampir lepas dari tempatnya. "Naf..." Mbak Sezha merangkulku yang tiba-tiba lemas. "Kejadiannya di lampu merah depan. Sebuah pick up menabrak mobil Shaka......" Reflek aku menahan nafas ketika Mas Zamar menjeda kalimatnya. "Tapi Shaka gak papa." Pria 34 tahun itu kembali berbicara dengan ekspresi yang berbeda, santai sekali. "Kamu nggak usah khawatir, calon suamimu sehat wal'afiat. Hanya saja depan mobilnya yang penyok dan lampu depan mobil pecah"Astaga...... Hampir saja beberapa kata mutiara keluar dari mulutku ini, andai aku tak bis
Pukul dua belas acara sudah selesai dan para tamu juga sudah pulang. Hanya tinggal orang tua Mbak Sezha yang membantu beberes dan orang tua Mas Aska yang memang ada keperluan lain selain menghadiri akad nikah. Setelah mengganti pakaian dan sholat dzuhur aku menemui Tante Halimah, kami duduk diatas karpet di ruang tamu. Sedikit berbincang-bincang ringan sambil menunggu para lelaki yang sedang sholat jama'ah dzuhur di masjid. "Tante sudah makan?" tanyaku pada paruh baya yang sedang memangku Qiara. Gadis kecil itu sudah mulai kembali manja pada neneknya setelah beberapa bulan merajuk. Sejak kejadian perebutan Qiara di rumahku waktu itu membuat Qiara takut dan trauma bertemu dengan nenek dan kakeknya. Namun setelah kuberi penjelasan lama-lama Qiara bisa menghilangkan rasa takutnya. Ya, bagaimanapun mereka sangat menyayangi Qiara. Penyebab dari semua masalah ini adalah Mas Aska. Keegosisan dan sikap tidak setianya yang membuat hubungan kami menjadi kacau."Sudah, Naf." Suara Tante Ha
"Tiara itu tidak seperti yang kamu pikirkan?" ujar Kak Shaka. "Hah?" Mataku mengerjab, "Maksudnya?" Kak Shaka memiringkan tubuhnya jadi menghadapku. Nampak lelakiku itu menghela nafas panjang. Seperti ada yang ingin diungkapkan tapi sulit. "Beberapa hari yang lalu dia sempat datang ke rumah. Dia bertanya, kenapa kamu menerimaku lagi setelah rencana lamaran pertama kamu batalkan?" Aku mengerutkan keningku, ada yang janggal dari cerita yang Kak Shaka sampaikan. Bukan dari pertanyaan Tiara tapi..... "Dari mana dia tahu alamat rumah Kakak? Seingatku aku tidak pernah mengatakannya," Kak Shaka mengangkat bahunya. "Mungkin di carai tahu. Sepertinya bukan itu intinya," sahutnya menatapku lekat. "Ck...." Aku berdecak sambil meliriknya kesal. "Iya, aku ngerti, maksud Kakak soal pertanyaannya kan?" Kak Shaka mengangguk. Aku gak bego-bego amat kali, hanya saja menurutku itu wajar. "Sebagai teman, tentu saja dia khawatir sama aku. Ya, mungkin karena aku gak cerita alasanku menerima Kakak la
Semalam tak ada yang terjadi. Tak seperti yang aku khawatirkan. Kami tidur dengan nyenyak tanpa melakukan ritual malam pertama seperti pengantin baru pada umumnya. Kak Shaka menepati janjinya, bersedia menunggu sampai aku benar-benar menerimanya kembali. Bersyukur, aku patut bersyukur karena telah mendapatkan suami sangat pengertian. Tak memaksa meski aku tahu dia pasti menginginkan itu. Meski begitu Kak Shaka tidur denah tenang tanpa sedikitpun menggeser guling yang aku letakkan di antar Kami. Untuk Qiara, sejak kecil bocah itu memang sudah terbiasa tidur dikamar terpisah denganku dan Mas Aska. Dan semalam bocah itu tanpa ada drama langsung mau tidur terpisah denganku. Pagi ini setelah sholat shubuh aku membantu Mbak Sezha di dapur menyiapkan sarapan untuk semua anggota keluarga. Seperti biasa, senin pagi adalah awal minggu yang penuh keriwehan. Selesai di dapur kubangunkan Qiara dan meminta bocah kecil itu untuk segera mandi. Setelah menyipakan pakaian Qiara aku beralih ke kamar
Setelah menyelesaikan semua pekerjaan rumah. Aku sempatkan untuk mengemasi pakaianku dan Qiara yang rencananya nanti akan aku bawa pulang ke rumah Kak Shaka. "Kamu sudah benar-benar yakin mau pindah. Gak nunggu selesai sidang putusan saja." Tanya Mbak Sezha yang sejak tadi menungguiku di kamar. "Apapun hasilnya, aku sudah ikhlas Mbak. Seandainya hak asuh utu jatuh di tangan Mas Aska tetap Tante Halimah dan Om Jamiko yang akan mengasuh Qiara. Jadi, aku sedikit tenang." Jawabku sembari memasukkan pakaian ke dalam koper. "Iya, sih. Tapi Mbak kan, jadi kesepian kalau kalian pindah." Kakak iparku itu memasang wajah melas dengan mata yang sudah mengembun. "Nanti aku bakalan sering-sering kesini. Kalau Mbak gak sibuk, gantian Mbak yang tengokin aku."Aku pun jadi ikut sedih, padahal kami masih tinggal di satu kota yang sama. Untuk saling mengunjungi tak. butuh waktu lama. "Oh iya, nanti saat sidang putusan nitip Qiara ya, Mbak. Tolong jemput dan bawa pulang." Pintaku teringat tiga hari
Sore hari kami sudah bersiap ke rumah Kak Shaka. Tidak hanya kami bertiga yang berangkat tapi Mas Zamar dan keluarga kecilnya juga ikut mengantar. Rencananya akan menginap satu malam di rumah Kak Shaka."Ini sudah Mbak pesenkan makanan untuk dibagikan ke tetangganya Shaka sebagai tasyakuran pernikahan kalian." Kata Mbak Sezha saat aku baru selesai bersiap. Sekitar pukul tiga sore pesanan nasi kotak plus kue sudah diantar ke rumah. Mau menolak tapi sudah ada di depan mata. Diganti uangnya pasti tidak akan diterima. "Ya Alloh,.... kenapa repot-repot gini sih?" Bukan tak tau berterima kasih. Tapi aku benar-benar sungkan karena dua kali acara semua diurus oleh Mbak Sezha. "Emang kenapa? Aku sama Mas Zamar itu pengganti orang tua kamu ya memang harus repot." Balasnya. MasyaAllah..... "Mbak baik banget sih, makasih ya!" Aku memeluk kakak iparku manja. "Tunggu Mas Zamar pulang ya, soalnya kita mau ikut. Rencana mau nginep satu hari kalau boleh?" Katanya menatapku dan Kak Shaka bergantia