Setelah menyelesaikan semua pekerjaan rumah. Aku sempatkan untuk mengemasi pakaianku dan Qiara yang rencananya nanti akan aku bawa pulang ke rumah Kak Shaka. "Kamu sudah benar-benar yakin mau pindah. Gak nunggu selesai sidang putusan saja." Tanya Mbak Sezha yang sejak tadi menungguiku di kamar. "Apapun hasilnya, aku sudah ikhlas Mbak. Seandainya hak asuh utu jatuh di tangan Mas Aska tetap Tante Halimah dan Om Jamiko yang akan mengasuh Qiara. Jadi, aku sedikit tenang." Jawabku sembari memasukkan pakaian ke dalam koper. "Iya, sih. Tapi Mbak kan, jadi kesepian kalau kalian pindah." Kakak iparku itu memasang wajah melas dengan mata yang sudah mengembun. "Nanti aku bakalan sering-sering kesini. Kalau Mbak gak sibuk, gantian Mbak yang tengokin aku."Aku pun jadi ikut sedih, padahal kami masih tinggal di satu kota yang sama. Untuk saling mengunjungi tak. butuh waktu lama. "Oh iya, nanti saat sidang putusan nitip Qiara ya, Mbak. Tolong jemput dan bawa pulang." Pintaku teringat tiga hari
Sore hari kami sudah bersiap ke rumah Kak Shaka. Tidak hanya kami bertiga yang berangkat tapi Mas Zamar dan keluarga kecilnya juga ikut mengantar. Rencananya akan menginap satu malam di rumah Kak Shaka."Ini sudah Mbak pesenkan makanan untuk dibagikan ke tetangganya Shaka sebagai tasyakuran pernikahan kalian." Kata Mbak Sezha saat aku baru selesai bersiap. Sekitar pukul tiga sore pesanan nasi kotak plus kue sudah diantar ke rumah. Mau menolak tapi sudah ada di depan mata. Diganti uangnya pasti tidak akan diterima. "Ya Alloh,.... kenapa repot-repot gini sih?" Bukan tak tau berterima kasih. Tapi aku benar-benar sungkan karena dua kali acara semua diurus oleh Mbak Sezha. "Emang kenapa? Aku sama Mas Zamar itu pengganti orang tua kamu ya memang harus repot." Balasnya. MasyaAllah..... "Mbak baik banget sih, makasih ya!" Aku memeluk kakak iparku manja. "Tunggu Mas Zamar pulang ya, soalnya kita mau ikut. Rencana mau nginep satu hari kalau boleh?" Katanya menatapku dan Kak Shaka bergantia
"Ada apa Naf?" tanya Mbak Sezha begitu melihat raut Kak Shaka yang menahan amarah. Pria itu menggendong Qiara naik ke lantai atas. "Ada Mas Aska didepan." Jawabku lalu berjalan menuju ruang tengah. "Loh, dia nyusul kesini?" Mbak Sezha mengekoriku. "Nggak Mbak, Mas Aska ke rumah depan bukan ke rumah ini." Aku menarik kursi dan menjatuhkan bobot tubuhku diatasnya. "Tadi Qiara gak sengaja ada Mas Aska terus nyamperin. Eh.... anaknya Vania langsung teriak, Om Aska kesini buat nganterin baju bola aku ya?" Aku menirukan ucapan bocah laki-laki itu dengan mimik kesal. Rasanya sebel sekali. "Ya Tahu, dia anak kecil tapi harusnya dikasih tahu dong, itu bukan ayahnya. Jadi biar tahu diri, kan kasihan Qiara, Mbak. Jadi langsung sedih." Aku menjelaskan panjang lebar sebelum. mendapat ceramah dari kakak iparku itu. "Iya faham. Mbak nggak akan belain wanita itu. Tapi kalau anaknya kamu benci juga kan kasihan," ucap Mbak Sezha sembari mengelus pundakku pelan. Tau, ah sebel. Aku mengarahkan tat
"Aku harap kamu mengizinkan aku untuk antar jemput Qiara. Aku juga ingin satu hari dalam satu bulan aku bisa membawa Qiara untuk jalan-jalan. Dan itu juga berlaku untukmu jika hak asuh itu jatuh padaku. Dan untuk masalah status Qiara harus kita perjelas." Tak langsung menjawab aku merenungkan sejenak setiap kata yang Mas Aska ucapkan. Hampir semua yang dia katakan aku juga setuju. Namun permintaan terakhirnya sedikit ambigu. "Maksud memperjelas status Qiara itu seperti apa?" tanyaku menatap pria yang kini duduk sambil menyandarkan punggungnya. "Merubah semua identitas Qiara sesuai dengan akta aslinya. Mulai dari rapot, ijazah dan juga kartu keluarga. Semua yang mencantumkan nama kita sebagai orang tua Qiara harus diganti dengan nama almarhum kakakku." "Loh, kalau dirubah semua berarti Qiara tidak masuk dalam kartu keluargaku dong?" protesku. "Qiara akan ikut kartu keluarga Papa dan Mama." "Gak bisa," "Kali ini Aska benar." Mas Zamar menyahut. "Mereka lebih berhak atas Qiara. Ka
"Aku bersumpah, sekalipun aku tidak pernah menyukai Tiara. Tidak dulu tidak juga sekarang," jelas Kak Shaka tanpa kuminta dengan mimik panik. Pria yang sejak tadi menggenggam tanganku itu semakin mengeratkan genggamannya. Ada yang menghangat didalam sana melihatnya begitu takut jika aku akan salah faham. "Ck..... sebenar apa sih yang kamu inginkan, Aska?Kompak aku dan Kak Shaka menoleh. "Kenapa membahas hal yang tidak penting?" Mas Zamar yang bicara, rautnya sudah memperlihatkan rasa kesal yang sudah menumpuk hingga membuat wajahnya yang tampan jadi menyeramkan. "Jangan salah faham Mas, saya hanya ingin Nafisah berhati-hati saja. Nafisah sangat polos, takutnya dia kembali terluka." "Terima kasih untuk perhatianmu. Setelah semua yang terjadi InsyaAllah Nafisah sudah bisa menjaga diri. pengkhianatan yang di alamainya jauh lebih buruk dari sekedar dikhianati teman." Mas Zamar sepertinya belum bisa berdamai dengan Mas Aska, kata-katanya penuh sindiran. Siapapun yang melihat ekspresi M
Sesuai jadwal hari ini sidang adalah sidang putusan. Setelah hampir satu bulan bergelut dengan masalah sidang kini akhirnya akan segera berakhir dengan keputusan yang kami aku harap terbaik untuk semua.Tadi pagi aku sudah menelpon Mbaak Sezha dan meminta tolong untuk nanti menjemput Qiara dan membawanya pulang ke rumahnya sampai aku datang menjemput setelah pulang dari pengadilan. Kak Shaka tetap berangkat mengajar tapi dia akan meminta izin keluar dan akan kembali setelah jam makan siang. Awalnya aku sudah menolaknya ikut ke pengadilan. Namun seperti biasa, pri bertubuh jakung itu sangat keras kepala. "Kewajiban seorang guru tidak bisa aku tinggalkan tapi menjadi kekuatan untuk istriku juga sebuah kewajiban. Aku akan melakukan keduanya dengan baik." Katanya untuk semalam ketika aku menolaknya untuk menemaniku datang ke sidang terakhir. "Besok aku akan tukar jam dengan Rico, jadi bisa tetap menemanimu tanpa mengabaikan tugasku sebagai guru." Aku pun setuju setelah mendengar penjel
Seperti niatku kemarin, hari ini dengan dibantu mbak Sezha aku sibuk di dapur membuat kue dan nasi kuning untuk dibagikan ke tetangga dan untuk dibagikan ke anak yatim yang ada di panti asuhan dekat sekolah Qiara. "Naf, yang buat tetangga berapa kotak?" tanya Mbak Sezha yang sibuk menghitung kotakan nasi dan sbak box yang baru selesai di isinya. Aku menghentikan kegiatanku mengisi amplop yang akan diserahkan ke panti asuhan. Kuarahkan pandanganku pada kotakan yang sudah di susun rapi oleh Mabk Sezha itu. "Dua puluh dua Mbak," "Loh satu gang ini cuma 22?" "Iya, yang sudah ditempatin cuma 22 aja, sisanya masih kosong.""Oh.." Tak terasa sambil berbincang pekerjaan pun selesai. Bersama Mbak Sezha aku membagikan makanan pada tetangga satu gang, termasuk Vania yang kebetulan baru pulang. Tanpa berkata apa-apa aku menyerahkan makanan yang kubawa pada wanita yang masih mengenakan setelan kerja. Kemeja dengan blazer dan sepan selutut. Fashionable itulah Vania, pantas saja Mas Aska kepin
Dengan kaki yang gemetaran aku berjalan keluar gerbang. Qiara berpegangan erat pada leherku, takut jatuh. Rasa mual semakin menjadi, perut serasa diaduk-aduk dan kepalaku pusing. Terpaksa aku berhenti dan menurunkan Qiara. "Huek.... huek...." Sambi berpegangan pagar aku berjongkok memuntahkan isi perutku. "Naf.... Kamu gak papa?" Mbak Sezha menyusul bersama Aydan. Tak kuhiraukan, mataku menjelajah ke jalanan mencari taksi atau ojek online yang biasanya mangkal di warung kopi dan pinggir jalan. Namun nihil, tak ada satu pun, mungkin karena ini di pinggiran kota makanya tak banyak ojek online yang mangkal. Segerakan kubuka aplikasi taksi online, mencari yang posisi terdekat setelahnya aku memesan satu. "Kamu kamu gak papa kan?" Aku mengangguk pertanyaan Mbak Sezha meski tak menoleh. "Dek," panggil Kak Shaka. Kulirik pria itu, entah dari mana saja dia, kenapa baru muncul. "Kita pulang, ya!" ucapnya perlahan mengangkat tangannya hendak menyentuhku.Melihat tangan dan wajah itu memb
[Kha, Nafisah mengalami kontraksi. Sepertinya akan melahirkan. Sekarang kami dalam perjalanan menuju ke rumah sakit Harapan Bunda. Kamu cepatlah menyusul.]Pesan dari Sezha yang seketika membuat Shaka panik. Dengan tangan gemetaran dia membereskan buku-bukunya. "Karena saya ada keperluan, tolong kalian kerjakan tugas harian halaman selanjutnya."Segera dia berlari keluar kelas setelah mengucapkan salam. Ruang guru yang ditujunya. Meminta tolong pada piket untuk menggantikan dirinya tiga jam ke depan. "Ada apa?" Geri yang baru masuk ruang guru langsung mengerutkan keningnya. Ada yang tak biasa dengan rekan kerjanya yang satu ini. "Istriku akan melahirkan," jawab Shaka tanpa menoleh ke lawan bicaranya. Yang nnya sibuk memasukkan barang-barangnya ke dalam ransel miliknya. "Katanya masih seminggu lagi, kok jadi sekarang. Dokter gak kompeten," gerutu Shaka sambil bergumam. Geri yang berdiri tak jauh darinya hanya mengulas senyum tipis, seolah melihat dirinya sendiri setahun yang lalu.
Kabar bahagia tidak hanya datang dari keluarga kecil Shaka dan Nafisah. Dari luar pulau pun terdengar kabar yang tak kalah menggembirakan. Kabar dari dua sejoli yang terikat karena keterpaksaan. Arsya dan Kirana sudah mendaftarkan pernikahan mereka ke KUA setempat. Ternyata dalam hitungan bulan cinta itu akhirnya tumbuh di hati keduanya. Pernikahan yang terjadi karena keterpaksaan itu pun kini sudah sah di mata hukum dan agama. "Kehamilan Nafisah benar-benar membawa banyak keberkahan. Banyak berita bahagia setelah hadirnya calon anakmu itu, Kha." komentar Zamar sesat setelah Shaka memberitahu tentang keadaan perkebunan yang semakin baik juga tentang hubungan Arsya dengan Kirana. "Alhamdulillah, Mas benar. Banyak hal baik setelah kehadirannya. Aku benar-benar bersyukur atas anugrah yang Alloh berikan." Shaka pun tak henti-hentinya mengucap syukur atas anugrah yang tidak pernah ia sangka akan diberikan dalam waktu secepat ini. Saat menikahi Nafisah, pria itu tak pernah berani walau
"Kayaknya kamu hamil deh, Naf." Seorang wanita cantik dengan hijab hijau toska berjalan masuk dengan seorang anak kecil di sebelahnya. "Mbak Sezha." Nafisah sedikit kaget melihat kakak iparnya yang tiba-tiba muncul. "Pintu gerbangnya gak dikunci. Nutupnya juga gak bener, jadi kami bisa langsung masuk." Sezha langsung menjelaskan tanpa ditanya. "Tapi aku sudah menguncinya kok," sahut Aydan dengan menepuk dadanya. "Terima kasih Aydan." Shaka mengacungkan dua jempolnya. "Sepertinya istri kamu itu hamil, Ka." Ujar Sezha mengulangi ucapannya tadi. "Beneran, Mbak" tanya Shaka dengan mata berbinar. "Dilihat dari tanda-tandanya sih gitu." Wanita berkulit putih bersih itu meletakkan tasnya diatas meja. Setelahnya memanggil Qiara yang sejak tadi memegangi tangan Bundanya. "Main sama Kak Aydan, ya. Bunda gak papa, sayang...." bujuk Sezha pada gadis kecil yang menampilkan raut wajah sedih. "Tadi Bunda muntah-muntah," jawab Qiara. Mata gadis kecil itu sudah mengembun. Nafisah mengurai s
"Hidup tak selamanya tentang kebahagiaan. Namun terkadang hidup itu tentang menghadapi masalah dengan senyuman dan semangat. Hidup tidak akan lebih baik tanpa masalah tapi akan lebih bijak setelah mengalami banyak ujian."Hari terus bergulir tanpa terasa sudah lima bulan berlalu setelah kembali Shaka dan Nafisah ke Jakarta. Hari-hari mereka lalui selayaknya pasangan pada umumnya. Kadang bermesraan tak jarnah juga berdebat yang diakhiri dengan pengakuan salah dari Shaka. Seminggu sekali Aska akan menjemput Qiara untuk menginap di apartemen laki-laki itu dan satu bulan sekali berkunjung ke rumah kakek dan neneknya yang ada di luar kota. Namun tentu saja mengikuti jadwal kegiatan Qiara yang semakin besar semakin padat dengan Olimpiade dan eskul sekolahnya. "Ya Alloh.... Kak Shaka, kan sudah dibilangin kalah habis mandi handuknya jangan ditaruh di kasur. Tuh.... ada jemuran kecil di balkon," omel Nafisah begitu masuk kamar. Wanita itu baru saja dari kamar putrinya, memastikan gadis kec
Sudah di putuskan, Shaka dan Nafisah akan kembali ke Jakarta segera setelah kepulangan Arsya bersama Kirana. Tak mau menunggu lama satu haribsetalah kepulangan Arsya, suami Nafisah itu pun segera pamit. Sebelum pergi Shaka menyerahkan segala urusan perkebunan kembali pada Arsya. Tak lupa Shaka juga menceritakan tentang tawaran keluarga Gracia yang bersedia menanggung segala kerugian atas perbuatan Gracia dan Hartama yang sengaja berniat merusak citra baik hasil perkebunan milik mereka. "Aku sudah melaporkannya dan wanita itu sudah beberapa kali dipanggil ke kantor polisi namun masih sebagai saksi. Untuk kelanjutannya terserah kamu," ujar Shaka di malam sebelum keberangkatannya. "Silahkan, kamu putuskan sendiri apa yang menurutmu baik untuk perkebunan ini. Mulai hari perkebunan ini sepenuhnya tanggung jawabmu dan aku tidak akan ikut campur lagi. Tapi, jika boleh aku memberi saran, jangan pernah membukakan pintu untuk kucing yang pernah mencuri ikan di rumahmu." Tak bisa di pungkiri
Kak Shaka berdiri membelakangi pintu dengan tatapan mengarah keluar jendela. Pelan aku mendekatinya. Kulihat rahangnya mengeras dengan otot-otot leher menonjol, ekspresi marah yang jarang sekali kulihat. "Mereka sudah pergi," beritahuku namun sampai beberapa menit tak mendapat respon darinya. Mungkin Kak Shaka merasa kesal padaku. Kurasa dia merasa aku membela Gracia. "Gracia meminta maaf. Dia menyesal sudah membuat kekacauan dan merugikan banyak pihak. Katanya dia akan menggangu rugi semuanya." Kusampaikan pesan dari Gracia. Sempat tak percaya namun itulah kebenarannya. Wanita sombong itu benar-benar meminta maaf. Entah tikus atau tidak, yang pasti dia tidak mau keluarga besarnya ikut menanggung hasil perbuatannya. Aku beralih ke sofa tak jauh dari jendela. Dari posisiku saat ini terlihat jelas ekspresi wajah Kak Shaka. Wajahnya memerah dengan dada naik turun. "Semua yang terjadi tentu tak bisa dikembalikan seperti sedia kala. Tapi dengan marah dan menyimpan dendam juga tak bisa
Pov Nafisah."Kesepakatan?" Tak hanya Kak Shaka, aku pun sempat tertegun beberapa saat ketika mendengar ucapan Gracia. Wanita berpakaiannya seksi itu dengan gamblang mengutarakan tujuannya datang menemui kami. Tak ada basa-basi bahkan tanpa membiarkan kami duduk atau sekedar bersalaman. Begitu tak sopannya wanita itu sebagai tamu. Dari ekor mataku, kulihat Kak Shaka tersenyum tipis. Genggamannya yang sempat terlepas kembali ia kaitkan jemarinya pada jemariku. Tangannya terasa dingin, sedingin tatapannya pada ketiga orang tamu yang datang hari ini. "Kesepakatan katamu?" Ulang Kak Shaka lalu tersenyum remeh. "Iya, sebuah kesepakatan yang menguntungkan untukmu." Gracia dengan percaya dirinya. "Ck.... percaya diri sekali," gumam Kak Shaka masih dengan senyum tipisnya. Namun sedetik kemudian tatapan itu berubah sinis tat kala netra hitamnya mengarah pada pria paruh baya yang berdiri tepat di samping Gracia. Pria itu tampak sudah berumur lebih dari 60 tahun, dengan beberapa uban tersel
Nafisah menghela nafas panjang, berbagai pikiran berkecamuk dalam pikirannya. "Menurut Kak Shaka, apa seharusnya aku menyerahkan Qiara pada keluarga aslinya?" Shaka tersentak, tubuhnya kaku karena kaget mendengar ucapan istrinya itu. Matanya melebar dengan bibir terbuka. "Hah....."Entah pikiran dari mana tiba-tiba saja Nafisah ingin menyerahkan Qiara pada keluarga mantan suaminya. Apa dia sudah lupa sekeras apa dirinya memperjuangkan hak asuh gadis kecil itu. "Bukan aku tak sayang lagi padanya. Hanya saja....." Nafisah menunduk tak ingin melanjutkan kalimatnya. Tak ingin suasana menjadi tak nyaman. Helaan nafas terdengar dari mulut Shaka. Meski Nafisah tak mau melanjutkan kalimatnya namun Shaka tahu betul semua masalah karena kehadirannya di sisi Nafisah. "Maaf, jika situasinya jadi memburuk. Aku tak pernah berpikir wanita itu akan muncul lagi. Setelah sekian lama menghilang dan kata-kata Shaka yang membuatku yakin dia tidak akan muncul lagi untuk mengganggu kita." Pelan, Shaka m
Apa yang dilakukan Gracia sangat berdampak pada kepercayaan perusahaan yng selama ini menggantungkan bahan utama produksinya dari perkebunannya milik Shaka. Kwalitas yang buruk membuat banyak perusahaan komplain. Tak sedikit juga yang memutuskan untuk tidak lagi melanjutkan kerja sama dikarenakan selama ini keluhannya tidak pernah mendapatkan respon. Dan itu semua ulah Bimo juga beberapa karyawan yang tidak puas dengan gaji mereka sehingga dengan sadar menerimanya uang dari Gracia dan mengkhianati kepercayaan Arsya. Saat ini Shaka sedang berusaha memperbaiki keadaan. Pemasukan yang menipis dan banyaknya komplain mengharuskannya membayar ganti rugi. Tak mengapa jika hanya minta ganti rugi dan tetap melanjutkan hubungan kerja sama. Rugi sedikit asalkan tetap berjalan, itu sudah merupakan keberuntungan bagi Shaka. Sudah seminggu ini Shaka berkeliling dari perusahaan satu ke perusahaan yang lain untuk meminta maaf dan meminta kesempatan kedua untuk tetap menjadi pemasok kelapa sawit bag