"Naf, Shaka...." Mas Zamar berlari dari luar dengan wajah panik. Degh..... Degh...Degh... detik jangungkunmakin cepat. Aku semakin panik melihat raut wajah Mas Zamar. "Ada apa? Kenapa Kak Shaka?" tanyaku seketika bangun dari dudukku. Saat ini aku dan Mbak Sezha duduk di sofa panjang ruang tengah. Sedangkan semua kerabat yang datang sudah berkumpul di ruang tamu. "Shaka..... Mobilnya mengalami kecelakaan." "Hah???" Aku terkesiap, rasanya jantungku hampir lepas dari tempatnya. "Naf..." Mbak Sezha merangkulku yang tiba-tiba lemas. "Kejadiannya di lampu merah depan. Sebuah pick up menabrak mobil Shaka......" Reflek aku menahan nafas ketika Mas Zamar menjeda kalimatnya. "Tapi Shaka gak papa." Pria 34 tahun itu kembali berbicara dengan ekspresi yang berbeda, santai sekali. "Kamu nggak usah khawatir, calon suamimu sehat wal'afiat. Hanya saja depan mobilnya yang penyok dan lampu depan mobil pecah"Astaga...... Hampir saja beberapa kata mutiara keluar dari mulutku ini, andai aku tak bis
Pukul dua belas acara sudah selesai dan para tamu juga sudah pulang. Hanya tinggal orang tua Mbak Sezha yang membantu beberes dan orang tua Mas Aska yang memang ada keperluan lain selain menghadiri akad nikah. Setelah mengganti pakaian dan sholat dzuhur aku menemui Tante Halimah, kami duduk diatas karpet di ruang tamu. Sedikit berbincang-bincang ringan sambil menunggu para lelaki yang sedang sholat jama'ah dzuhur di masjid. "Tante sudah makan?" tanyaku pada paruh baya yang sedang memangku Qiara. Gadis kecil itu sudah mulai kembali manja pada neneknya setelah beberapa bulan merajuk. Sejak kejadian perebutan Qiara di rumahku waktu itu membuat Qiara takut dan trauma bertemu dengan nenek dan kakeknya. Namun setelah kuberi penjelasan lama-lama Qiara bisa menghilangkan rasa takutnya. Ya, bagaimanapun mereka sangat menyayangi Qiara. Penyebab dari semua masalah ini adalah Mas Aska. Keegosisan dan sikap tidak setianya yang membuat hubungan kami menjadi kacau."Sudah, Naf." Suara Tante Ha
"Tiara itu tidak seperti yang kamu pikirkan?" ujar Kak Shaka. "Hah?" Mataku mengerjab, "Maksudnya?" Kak Shaka memiringkan tubuhnya jadi menghadapku. Nampak lelakiku itu menghela nafas panjang. Seperti ada yang ingin diungkapkan tapi sulit. "Beberapa hari yang lalu dia sempat datang ke rumah. Dia bertanya, kenapa kamu menerimaku lagi setelah rencana lamaran pertama kamu batalkan?" Aku mengerutkan keningku, ada yang janggal dari cerita yang Kak Shaka sampaikan. Bukan dari pertanyaan Tiara tapi..... "Dari mana dia tahu alamat rumah Kakak? Seingatku aku tidak pernah mengatakannya," Kak Shaka mengangkat bahunya. "Mungkin di carai tahu. Sepertinya bukan itu intinya," sahutnya menatapku lekat. "Ck...." Aku berdecak sambil meliriknya kesal. "Iya, aku ngerti, maksud Kakak soal pertanyaannya kan?" Kak Shaka mengangguk. Aku gak bego-bego amat kali, hanya saja menurutku itu wajar. "Sebagai teman, tentu saja dia khawatir sama aku. Ya, mungkin karena aku gak cerita alasanku menerima Kakak la
Semalam tak ada yang terjadi. Tak seperti yang aku khawatirkan. Kami tidur dengan nyenyak tanpa melakukan ritual malam pertama seperti pengantin baru pada umumnya. Kak Shaka menepati janjinya, bersedia menunggu sampai aku benar-benar menerimanya kembali. Bersyukur, aku patut bersyukur karena telah mendapatkan suami sangat pengertian. Tak memaksa meski aku tahu dia pasti menginginkan itu. Meski begitu Kak Shaka tidur denah tenang tanpa sedikitpun menggeser guling yang aku letakkan di antar Kami. Untuk Qiara, sejak kecil bocah itu memang sudah terbiasa tidur dikamar terpisah denganku dan Mas Aska. Dan semalam bocah itu tanpa ada drama langsung mau tidur terpisah denganku. Pagi ini setelah sholat shubuh aku membantu Mbak Sezha di dapur menyiapkan sarapan untuk semua anggota keluarga. Seperti biasa, senin pagi adalah awal minggu yang penuh keriwehan. Selesai di dapur kubangunkan Qiara dan meminta bocah kecil itu untuk segera mandi. Setelah menyipakan pakaian Qiara aku beralih ke kamar
Setelah menyelesaikan semua pekerjaan rumah. Aku sempatkan untuk mengemasi pakaianku dan Qiara yang rencananya nanti akan aku bawa pulang ke rumah Kak Shaka. "Kamu sudah benar-benar yakin mau pindah. Gak nunggu selesai sidang putusan saja." Tanya Mbak Sezha yang sejak tadi menungguiku di kamar. "Apapun hasilnya, aku sudah ikhlas Mbak. Seandainya hak asuh utu jatuh di tangan Mas Aska tetap Tante Halimah dan Om Jamiko yang akan mengasuh Qiara. Jadi, aku sedikit tenang." Jawabku sembari memasukkan pakaian ke dalam koper. "Iya, sih. Tapi Mbak kan, jadi kesepian kalau kalian pindah." Kakak iparku itu memasang wajah melas dengan mata yang sudah mengembun. "Nanti aku bakalan sering-sering kesini. Kalau Mbak gak sibuk, gantian Mbak yang tengokin aku."Aku pun jadi ikut sedih, padahal kami masih tinggal di satu kota yang sama. Untuk saling mengunjungi tak. butuh waktu lama. "Oh iya, nanti saat sidang putusan nitip Qiara ya, Mbak. Tolong jemput dan bawa pulang." Pintaku teringat tiga hari
Sore hari kami sudah bersiap ke rumah Kak Shaka. Tidak hanya kami bertiga yang berangkat tapi Mas Zamar dan keluarga kecilnya juga ikut mengantar. Rencananya akan menginap satu malam di rumah Kak Shaka."Ini sudah Mbak pesenkan makanan untuk dibagikan ke tetangganya Shaka sebagai tasyakuran pernikahan kalian." Kata Mbak Sezha saat aku baru selesai bersiap. Sekitar pukul tiga sore pesanan nasi kotak plus kue sudah diantar ke rumah. Mau menolak tapi sudah ada di depan mata. Diganti uangnya pasti tidak akan diterima. "Ya Alloh,.... kenapa repot-repot gini sih?" Bukan tak tau berterima kasih. Tapi aku benar-benar sungkan karena dua kali acara semua diurus oleh Mbak Sezha. "Emang kenapa? Aku sama Mas Zamar itu pengganti orang tua kamu ya memang harus repot." Balasnya. MasyaAllah..... "Mbak baik banget sih, makasih ya!" Aku memeluk kakak iparku manja. "Tunggu Mas Zamar pulang ya, soalnya kita mau ikut. Rencana mau nginep satu hari kalau boleh?" Katanya menatapku dan Kak Shaka bergantia
"Ada apa Naf?" tanya Mbak Sezha begitu melihat raut Kak Shaka yang menahan amarah. Pria itu menggendong Qiara naik ke lantai atas. "Ada Mas Aska didepan." Jawabku lalu berjalan menuju ruang tengah. "Loh, dia nyusul kesini?" Mbak Sezha mengekoriku. "Nggak Mbak, Mas Aska ke rumah depan bukan ke rumah ini." Aku menarik kursi dan menjatuhkan bobot tubuhku diatasnya. "Tadi Qiara gak sengaja ada Mas Aska terus nyamperin. Eh.... anaknya Vania langsung teriak, Om Aska kesini buat nganterin baju bola aku ya?" Aku menirukan ucapan bocah laki-laki itu dengan mimik kesal. Rasanya sebel sekali. "Ya Tahu, dia anak kecil tapi harusnya dikasih tahu dong, itu bukan ayahnya. Jadi biar tahu diri, kan kasihan Qiara, Mbak. Jadi langsung sedih." Aku menjelaskan panjang lebar sebelum. mendapat ceramah dari kakak iparku itu. "Iya faham. Mbak nggak akan belain wanita itu. Tapi kalau anaknya kamu benci juga kan kasihan," ucap Mbak Sezha sembari mengelus pundakku pelan. Tau, ah sebel. Aku mengarahkan tat
"Aku harap kamu mengizinkan aku untuk antar jemput Qiara. Aku juga ingin satu hari dalam satu bulan aku bisa membawa Qiara untuk jalan-jalan. Dan itu juga berlaku untukmu jika hak asuh itu jatuh padaku. Dan untuk masalah status Qiara harus kita perjelas." Tak langsung menjawab aku merenungkan sejenak setiap kata yang Mas Aska ucapkan. Hampir semua yang dia katakan aku juga setuju. Namun permintaan terakhirnya sedikit ambigu. "Maksud memperjelas status Qiara itu seperti apa?" tanyaku menatap pria yang kini duduk sambil menyandarkan punggungnya. "Merubah semua identitas Qiara sesuai dengan akta aslinya. Mulai dari rapot, ijazah dan juga kartu keluarga. Semua yang mencantumkan nama kita sebagai orang tua Qiara harus diganti dengan nama almarhum kakakku." "Loh, kalau dirubah semua berarti Qiara tidak masuk dalam kartu keluargaku dong?" protesku. "Qiara akan ikut kartu keluarga Papa dan Mama." "Gak bisa," "Kali ini Aska benar." Mas Zamar menyahut. "Mereka lebih berhak atas Qiara. Ka