Daniel tersenyum diam-diam. "Kamu kenapa sih, kayak gini aja ribet banget? Ya udahlah biarin aja. Namanya juga wartawan, suka melebih-lebihkan berita. Kamu nggak perlu cemas. Nanti juga ilang sendiri beritanya."
"Tapi Dan, kamu tahu kan image apa yang melekat di aku selama ini?""Playgirl?" Daniel menjawab."Iya.""Emangnya kenapa kalau aku pacaran sama playgirl?" Daniel terlihat tidak keberatan sama sekali. "Aku nggak keberatan, kok."Bella terdiam---lebih tepatnya sedang memikirkan sesuatu."Aku pikir kamu bakalan seneng dengan gosip ini, tapi nggak tahunya kamu malah kelabakan kayak gini? Aku sedih nih, sekarang," ujar Daniel sedikit bergurau."Dan, aku udah punya pacar." Bella berusaha memberi pengertian ke Daniel yang justru terkesan santai saja."Aku tahu kamu udah punya pacar," kata Daniel masih dengan nada tenang. "Lagipula itu cuma gosip nggak berdasar, Bel. Udahlah tenang aja. Tapi kalo kamu masih khawatir aja, aku akan klarifikasi ke media.""Beneran?""Iya. Udah, tenang aja. Nggak usah terlalu dipikirin. Semuanya biar aku yang urus. Mendingan kamu fokus aja ke syuting nanti malam. Kamu ada scene sama aku, lho." Daniel mengingatkan.Bella akhirnya menyudahi pembicaraannya dengan Daniel dengan perasaan sedikit lega."Kenapa?" tanya Melissa."Daniel bilang dia yang akan klarifikasi terkait beritanya dan minta aku buat nggak terlalu mikirin." Meskipun sudah merasa sedikit lega, tapi tetap saja masih ada yang mengganjal di hatinya."Ya bagus dong, kalo kayak gitu, Bel. Kamu percaya aja sama Daniel.""...."***Rayhan mengadakan rapat dengan orang-orang penting di kantornya, termasuk para manajer, sutradara, dan penulis naskah, yang selama ini terlibat dalam pembuatan drama, film atau FTV di SG Entertainment. Mereka membahas mengenai perusahaan. Tentu saja setelah tempo hari Rayhan meminta semua laporan-laporan perusahaan selama beberapa tahun terakhir serta kontrak-kontrak mereka dengan para artis."Saya sudah mempelajari semua berkas-berkas yang saya terima. Tahun ini ada sekitar dua puluh FTV dan lima drama yang dibuat perusahaan ini?" tanya Rayhan sembari melihat sebuah catatan kontrak yang diberikan sekretarisnya. "Perusahaan kita juga berhasil menguasai semua slot jam tayang prime time dan berhasil meraup rating memuaskan. Saya rasa semuanya tidak ada masalah kecuali satu ...."Kalimat Rayhan yang menggantung membuat semua orang kelihatan tegang, apalah gerangan yang menjadi perkecualian itu. Kelihatan sekali mereka semua masih ada dalam tahap penyesuain diri dengan pemimpin baru mereka."Memproduksi terlalu banyak drama saya rasa itu tidak perlu. Dalam setahun saya ingin perusahaan ini hanya akan membuat satu atau dua drama saja, dan meningkatkan produksi FTV. Karena saya pikir, drama di negara ini sudah lazim dan jalan ceritanya pun hanya seperti itu saja tapi dibuat dengan episode yang sangat panjang. Sudah jelas itu akan membuat orang yang menontonnya menjadi jenuh dengan cerita yang begitu-begitu saja. Saya justru ingin memperbanyak FTV dan kalau perlu merambah ke layar lebar atau membuat semacam operet."Bertahun-tahun selalu memegang prinsip lama, tentu saja keputusan Rayhan tersebut mengundang banyak penolakan dari semua yang hadir di sana. Terbukti mereka semua saling melempar pandang satu sama lain, saling meminta pendapat lewat tatapan mata.Seorang pria mengangkat tangannya, mengajukan usul."Ya, Bapak Wilson selaku Associate Producer di perusahaan." Rayhan menyebutkan nama sekaligus dengan posisi orang tersebut. "Silahkan.""Kalau menurut saya, itu semua tidak perlu kita lakukan. Seperti yang Anda katakan tadi, drama dengan episode yang sangat panjang itu memang sengaja dibuat dengan memperhatikan ratingnya, Pak. Kalau drama itu ratingnya jelek, kita tidak perlu memperpanjangnya, tapi sebaliknya kalau rating bagus kita harus terus memperpanjang episodenya karena itu juga menguntungkan untuk perusahaan kita." Kelihatan sekali pak Wilson ini tidak begitu suka dengan Rayhan, apalagi semua ide-idenya. Dia tetap ingin menerapkan sistem lamanya.Rayhan menanggapinya dengan tenang. "Ya, itu memang benar. Semua yang Anda katakan memang benar sekali. Tapi FTV atau mini series dengan judul yang berbeda-beda di setiap penayangannya, serta tokoh-tokoh yang baru dengan cerita yang baru, saya rasa itu akan lebih menarik perhatian penonton dan ratingnya pun juga selalu bagus. Sudah saatnya kita keluar dari tema-tema cerita yang bahkan sudah sering digunakan oleh rumah produksi lain.""Bisa jelaskan maksud Anda, Pak?" Kelihatan sekali pak Wilson sangat menahan dirinya untuk tidak terpancing emosi. Yakin, jika perdebatan ini bukan dilakukan oleh bos dan bawahan, pak Wilson pasti sudah melemparkan sendal ke wajah Rayhan. Wajah tenang Rayhan justru membuatnya kesal seolah sang CEO itu seperti tak mengindahkan gagasannya.Rayhan tersenyum tipis menanggapinya. "Apakah Anda suka membaca, Pak Wilson?" Rayhan justru mengajukan pertanyaan yang tidak ada hubungannya dengan apa yang mereka bahas."Maaf?""Mulai sekarang, saya ingin membuat drama atau film yang diangkat dari novel-novel best seller karya anak bangsa. Cerita mereka lebih beragam daripada kita terus fokus pada satu tema yang sudah sering digunakan. Plus satu lagi." Rayhan berkata sembari memamerkan jari telunjuknya. "Kisah-kisah viral di media sosial, bisa kita angkat ke layar lebar dengan sedikit modifikasi tentunya. Saya yakin, itu semua juga akan menarik perhatian semua orang.""Tapi, Pak ..." Pak Wilson angkat tangan lagi. "Sejak perusahaan ini berdiri, kami tidak pernah melakukan hal tersebut. Novel best seller atau kisah viral yang Anda katakan, belum tentu sesuai dengan selera penonton. Dan tema-tema yang kita tampilkan selama ini juga sangat diterima oleh masyarakat. Jadi kita tidak perlu repot mencari tema lain. Itu juga sangat menguntungkan perusahaan kita, Pak." Pak Wilson sudah ingin mengubur Rayhan hidup-hidup."Iya, itu memang benar. Tapi di sini saya tidak hanya ingin mencari keuntungan saja, saya juga ingin pendapat masyarakat terhadap SG Entertainment juga positif. Lagipula di negara ini banyak sekali drama jiplakan luar negeri yang ditayangkan, dan saya tidak suka itu. Image drama jiplakan sudah menyebar ke masyarakat. Itu bukan sesuatu yang harus kita banggakan kan? Kita tidak bisa bangga hanya karena membuat drama jiplakan seperti itu. Saya ingin membuat drama yang bisa membekas di hati penonton walaupun sudah tamat bertahun-tahun lamanya.""Tapi perusahaan ini tidak pernah membuat sinetron jiplakan, Pak," kata pak Wilson lagi."Memang tidak. Tapi jujur saja, saya tidak suka dengan drama yang terlalu panjang dan akhirnya ceritanya tidak karuan ke arah mana. Membuat drama dengan episode yang panjang tentu tidak salah, asalkan penulis sudah memikirkan ending di awal cerita, sehingga cerita tidak akan melenceng dari outline yang sudah dibuat. Di samping itu, saya lebih suka dengan satu cerita yang pasti. Karena itu saya sudah putuskan, hanya akan memproduksi satu atau dua drama saja dalam setahun dan menambah produksi film layar lebar.""Lalu bagaimana dengan drama-drama yang sudah terlanjur dikontrak, Pak?" Lagi-lagi pak Wilson masih belum terima."Tamatkan sesuai outline yang sudah para penulis buat." Rayhan berkata dengan tegas dan jelas. "Saya mau drama-drama di SG Entertainment tamat dengan terhormat. Dalam artian, tidak peduli rating sedang bagus atau tidak, jika sudah waktunya tamat, maka tamatkan saja. Saya yakin penonton tidak akan kecewa. Itu keputusan rapat kali ini." Rayhan menutup laptopnya, tanda menutup rapat. "Apa ada yang keberatan?"Semuanya terlihat mengangguk-angguk setuju dengan ide Rayhan. Memang iya, jika drama yang terlalu panjang ceritanya kebanyakan makin ke belakang makin tak jelas dan membosankan. Lalu drama yang tamat tak terhormat pun banyak, walaupun tak semua drama Indonesia seperti itu. Tapi pak Wilson tetap terlihat keberatan, biarpun dia tidak lagi mengungkapkan pendapatnya itu."Baiklah, rapat kali ini selesai. Kita bertemu lagi di pertemuan minggu depan. Selamat siang," kata Rayhan.Rayhan keluar ruang rapat bersama pak Glen, sementara yang lain menyusul di belakang. Pak Wilson keluar dan langsung disambut sekretarisnya yang sudah menunggu rapat mereka di luar."Bagaimana, Pak?" tanya sekretaris.Pak Wilson mengendorkan dasinya mirip orang lagi bangkrut. "Hhh ... baru beberapa hari menginjakkan kakinya di sini, dia sudah berani membuat banyak peraturan. Benar-benar menjengkelkan. Kenapa pak Carlo menyerahkan perusahaan ini pada anak bau kencur yang sombong seperti dia?""Apa Anda mau minum kopi?"Pak Wilson menatap horor sekretarisnya.***Rayhan sedang bersantai di kamarnya setelah selesai mandi. Hari ini dia sangat lelah. Tidur lebih awal tak masalah. Dia rebahkan tubuhnya ke tempat tidur dan mulai memejamkan matanya.Belum satu menit, ponselnya bergetar. Rayhan terpaksa membuka matanya lagi dan mengambil ponsel yang ada di atas nakas."Halo?""Halo, Ray," sapa seseorang di ujung sana.Rayhan terkejut mendengar suara orang itu. Dia rubah posisinya menjadi duduk untuk lebih jelas mendengarkan suara itu. "Halo?""Ini aku, Ray. Jangan bilang kamu lupa sama suara aku."Rayhan mencoba untuk menebak dengan ragu-ragu karena takut salah. "Si Penguntit?"Seorang wanita di ujung telepon tertawa mendengarnya. "Iya, ini aku."Rayhan senang. "Kamu rupanya? Kenapa telepon?" Rayhan melihat nomor wanita itu di layar ponselnya. "Ini kan nomor Indonesia? Emangnya kamu sekarang di Indonesia?""Iya, aku di Jakarta sekarang.""Di Jakarta?" Rayhan hampir tidak percaya."Iya. Aku mau ketemu kamu."Bella berada di lokasi syuting, dan kali ini dia sedang beradegan mesra dengan Daniel. Di drama ini mereka berperan sebagai sepasang kekasih dan pastinya harus mesra. Adegan kemesraan mereka sangat tidak disukai oleh Nirina yang melihat mereka dari samping sutradara yang sedang sibuk memperhatikan gambar di monitornya. "CUT!!!" teriak sutradara. "Cukup bagus!"Bella dan Daniel berjalan menepi dan duduk di belakang sutradara untuk istirahat. Daniel menyodorkan sebotol air mineral pada Bella. Dari belakang, terlihat Melissa mengurungkan niatnya untuk mendekati Bella dan memberinya minuman setelah keduluan Daniel. Dia juga tidak mau mengganggu mereka, lalu memutuskan untuk kembali ke belakang. "Makasih." Bella menerimanya dan langsung meneguknya. Nirina datang dan memberikan sekaleng jus pada Daniel. "Dan, ini minum buat kamu," kata Nirina dengan penuh sayang. Daniel sedikit kaget karena Nirina tiba-tiba menghampirinya. "Oh, iya. Makasih ya, Na." Daniel menerima minuman itu.Nirina te
Mike berjalan santai keluar Deva Market---salah satu supermarket terbesar di Jakarta---yang merupakan perusahaan yang dia pimpin. Dia berjalan dengan gaya sok cool dan sok keren. Mengabaikan tatapan satpam yang berjaga di sebelah pintu masuk---yang tentu saja dia sudah hafal betul dengan sifat bosnya tersebut. Ketika itu ada telepon masuk di ponselnya."Halo, mamaku yang cantik. Ada apa?" tanya Mike narsis."MICHAEL!!!!" Sofia---mama Mike malah berteriak di ujung telepon sana.Membuat Mike menjauhkan ponsel dari telinganya. "Aduh, Mama. Ada apa sih? Kenapa teriak-teriak?""Kamu ini bener-bener mau bikin Mama cepet mati, ya?!"Mike kaget. "Mama kenapa, sih? Ya enggaklah, masa aku mau Mama cepet mati. Mama ini ngomong apa?" Mike hanya menanggapi santai kemarahan sang mama yang jika sekarang ini ada di sana pasti sudah melayangkan sendal ke arahnya.Mike menuju mobilnya dan masuk ke dalam mobilnya, bersiap untuk pergi."Mama dengar dari sekretaris kamu, katanya hari ini kamu membuat masal
Rayhan membuka matanya perlahan. Samar-samar dia melihat langit-langit putih polos, dia memejamkan matanya lagi lalu membukanya lagi. Kali ini dia bisa melihat dengan jelas langit-langit sebuah ruangan yang putih polos. Dia menoleh dan sedikit mendongakkan kepalanya, melihat kantong infus tergantung di atasnya, kemudian sadar kalau lengan kanannya dipasangi selang infus. Rayhan melihat pakaiannya, dia mengenakan baju rumah sakit. Setelah mengamati semuanya, dia baru sadar kalau dia ada di rumah sakit sekarang ini. "Aku di rumah sakit?" kata Rayhan pelan, seraya tangan kirinya yang tidak diinfus meraba kepalanya yang sekarang sudah tidak sakit lagi. "Kenapa aku bisa ada di sini?" Rayhan sama sekali tidak ingat apa yang terjadi karena dia pingsan. Dia juga tidak tahu siapa yang membawanya ke rumah sakit. Tapi mengingat tentang kantor, Rayhan jadi teringat sesuatu yang penting dan tanpa sengaja terlupakan. Rayhan terduduk dengan kaget. "Bella? Aku kan harusnya ketemu sama Bella sekaran
Pukul delapan pagi, Rayhan mengadakan rapat di kantornya. Hampir semua karyawan berkumpul---termasuk para sutradara dan penulis naskah. Beberapa kepala bagian dan manajer keuangan memberikan laporannya pada Rayhan. Setelah semuanya mendapat tanggapan dari Rayhan dan selesai, kini giliran Pak Wilson yang mengajukan laporannya. Pak Wilson biarpun kelihatannya sangat tidak suka, dia terpaksa menyerahkan beberapa berkas ke depan Rayhan sembari berkata, "Drama Love Is Rain baru-baru ini mengalami rating yang buruk, Pak. Padahal sebelumnya drama ini tidak pernah keluar dari sepuluh besar acara paling populer di televisi." Rayhan mengamati satu per satu berkas yang diberikan Pak Wilson padanya. "Drama ini sudah sampai pada 115 episode, dan sudah tiga kali mengalami perpanjangan sebelumnya. Saya sudah membicarakan dengan Pak Gio---yang bertanggungjawab atas naskah ini, dan kami pikir, para penonton sudah mulai jenuh dengan jalan ceritanya, dan kami menyarankan bagaimana kalau kita sedikit m
"Kamu pasti terkejut kan?" Daniel berkata dengan sangat yakin. Bella memang terkejut tapi bukan terkejut karena melihat lapangan seluas dan setenang ini, melainkan terkejut karena hal lain. "Pemandangan di sini emang bagus banget. Cocok buat orang-orang yang lagi suntuk atau banyak pikiran. Pergi ke tempat ini bisa bikin kita lebih tenang." Daniel menghirup udara segar dengan penuh perasaan. Bella masih terdiam, memandang jauh ke lapangan yang luas itu. "Kamu bisa main golf?" tanya Daniel. Bella kaget. "Eh, eng-enggak. Nggak bisa." Daniel tersenyum, sepertinya itu jawaban yang sesuai dengan harapannya. "Nggak apa-apa. Aku bakal ngajarin kamu gimana caranya? Oh iya, aku lupa minumannya. Bentar, ya?" Daniel meletakkan dua tongkat golf dan bola di atas rerumputan hijau lalu berbalik mengambil minuman. Bella tetap memandangi lapangan itu. Ingatannya 12 tahun lalu mendadak muncul tanpa permisi.Rayhan memberikan sebuah tongkat golf pada Bella dengan senyuman cerahnya, secerah matahar
"Hei, Rayhan, Rayhan!" Mike memanggil Rayhan yang berlari menuruni anak tangga rumahnya.Rayhan berbalik dengan wajah tidak sabar. "Ada apa? Aku lagi buru-buru, nanti aja." Sebelum Mike sempat menjawab, Rayhan sudah berbalik lagi dan melesat pergi."HEI!!" Mike berteriak tapi Rayhan sudah pergi. "Kenapa sih, tuh anak? Buru-buru mau ke mana, sih? Ini kan masih pagi?" Sofia muncul dari dapur dengan membawa segelas limun. "Itu namanya orang pekerja keras. Pagi-pagi sudah berangkat ke kantor. Nggak kayak kamu. Malas-malasan terus sepanjang hari." "Yee ... Mama. Bukannya muji anak sendiri, malah muji anak orang lain?" Mike kesal lalu memasukkan roti tawar ke mulutnya dan mengunyahnya cepat-cepat. "Buat apa Mama muji anak yang malas-malasan? Mendingan Mama muji anak orang lain yang emang patut buat dipuji. Lagian Rayhan itu bukan orang lain, dia keponakan Mama---adik kamu juga."Mike mencibir. "Si Rayhan hari ini nggak ke kantor. Lihat aja dandanannya tadi. Pasti janjian sama cewek, tuh.
Rayhan sedang merapatkan mengenai penambahakn produksi FTV mereka. Dia mempercayakan mengenai pemilihan aktor dan aktrisnya kepada Pak Benny, dan tentang pemilihan cerita atau sutradara dia mempercayakan kepada Pak Wilson---yang nanti tentunya juga harus atas persetujuan Rayhan sebelum pembuatan film dimulai. "Pak Wilson, saya harap Anda bekerja keras untuk pemilihan aktor dan aktris dalam FTV kali ini. Jangan pernah kecewakan saya," kata Rayhan pada Pak Wilson. Pak Wilson mendengkus kesal. 'Tanpa disuruhpun aku kan selalu bekerja keras selama ini. Bahkan sebelum dia datang ke sini, Pak Carlo selalu mempercayai aku. Apa dia pikir aku nggak bisa melakukannya kali ini?'"Kenapa?" Rayhan merasakan tatapan tak menyenangkan dari mata Pak Wilson mengarah padanya. "Apa Anda tidak bersedia?" "Eh?" Pak Wilson sedikit tergeragap. "Iya, tentu saja saya bersedia. Selama ini saya selalu melakukan tugas itu dengan sangat baik. Dulu Pak Carlo selalu mempercayai saya sepenuhnya mengenai hal ini."
Mike sedang duduk di belakang meja kerjanya dengan bosan. Dia bukannya bekerja dan mengecek keadaan supermarketnya, tapi malah sibuk buka-buka I*******m dan chatting-an dengan para gadis. Kegembiraan Mike berakhir sudah ketika mamanya tiba-tiba masuk tanpa ketuk pintu dan langsung menggebrak meja Mike--- membuat Mike kaget dan hampir jungkir balik jatuh dari kursi. "Bushet, deh! Mama!" seru Mike protes. "Mama apa-apaan, sih? Bikin jantungan aja?" "Kamu benar-benar menguji kesabaran Mama ya, Mike? Apa-apaan ini?" Sofia melemparkan map ke meja Mike dengan kasar. Mike lalu memeriska map itu dan ternyata itu adalah laporan keuangan bulan ini. Mike nyengir ke arah mamanya. "Mama dapet dari mana ini? Pasti dari sekretaris aku, ya?" "Kamu ini benar-benar mau membuat bangkrut Deva, ya?! Kamu seneng kalau Mama ini kena serangan jantung gara-gara ulah kamu ini?!" Sofia marah-marah. "Pokoknya Mama nggak mau tahu, kamu harus merubah sikap kamu itu! Kerja yang bener, atau kalau nggak Mama akan
Mike sedang sibuk dengan ponselnya---membaca berita di internet dalam keadaan tenang. Tiba-tiba ada keributan datang dan mengganggu ketenangannya. Empat anak kecil---dua perempuan dan dua laki-laki yang semuanya masih kecil-kecil berlari menghampirinya. "PAPA!!!!" Mike kaget dan buru-buru meletakkan ponselnya dan menyambut kedatangan mereka. "Ada apa? Kenapa ribut-ribut?" tanya Mike. "Kalian nggak sekolah?" "Aku belum sekolah, Pa," kata salah satu anak perempuannya yang masih kecil. "Aku masih tiga tahun." "Maksud Papa, kakak-kakak kamu itu." Mike menunjuk ketiga anaknya yang lainnya. "Kenapa kalian nggak sekolah?" "Ini kan hari Minggu, Pa," kata salah satu anak laki-lakinya. "Papa aja santai-santai di rumah, nggak kerja." "Apa?" Mike bengong. "Masa Papa nggak tahu kalau hari ini hari Minggu? Ih, ternyata Papa kita payah." Mike langsung kesal. "Hei, biar payah gini, aku ini papa kalian, tahu. Kalau Papa nggak ada, nggak mungkin kalian bakalan ada." Mike mengatakan hal-hal yan
Sepuluh Tahun Kemudian .... Bella sedang menjalani syuting film terbarunya di sebuah taman bermain. Dia berdialog panjang sekali, sampai-sampai harus mengulang sampai tiga kali karena salah terus. Dan di take ke tiga-nya .... "Kamu nggak tahu kenapa aku melakukan ini?" kata Bella dalam dialognya bersama seorang pria yang menjadi lawan mainnya. "Sudah 15 tahun aku menunggu kamu, tapi apa? Kamu hanya memberikan janji-janji tapi nggak pernah menepatinya. Kalau kamu terus seperti ini, mendingan kita---" "MAMA!!!!" Dialog Bella lagi-lagi terputus, kali ini bukan karena Bella lupa dialognya, melainkan ada yang memanggilnya di luar syuting. Dua anak laki-laki memakai seragam SD dan seorang anak perempuan memakai seragam TK berlari ke arahnya dan memasuki lokasi syuting. Mereka bertiga mendekati Bella. "CUT! CUT! CUT!!" teriak sutradara. "Aduh, ada apa lagi sih, itu?!" Sutradara mulai frustrasg "Mama, ayo pulang!" rengek salah seorang anak laki-lakinya yang kembar. "Iya, Mama!" si kemb
Daniel melihat ke foto yang dirobek Naura, lalu tersenyum kecil. "Nyerah?" Naura terdiam, memandangi fotonya yang sudah terpisah dengan foto Rayhan. "Menurut kamu?" "Aku juga udah berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan apa yang aku mau. Tapi memang, ada hal-hal yang seharusnya memang bukan menjadi milik kita. Sekeras apapun usaha kita untuk ngejar dia, kalau emang dia bukan milik kita, pasti akan tetep ninggalin kita." Naura masih diam, memandangi foto Rayhan. "Gimana kalau aku nyaranin, mendingan kamu mulai lupain dia?" tanya Daniel. "Emang itu yang mau aku lakuin sekarang," jawab Naura. "Aku udah cukup bahagia Rayhan sekarang sembuh. Aku juga bahagia, kalau Rayhan bahagia." Daniel menoleh, memandangi Naura dengan tatapan aneh. Sebuah pemikiran pun terlintas di benaknya. "Ra?" "Iya, kenapa?" "Kamu mau ikut aku ke Sidney?" tanya Daniel tiba-tiba. Naura memandang Daniel---bingung. "Sidney?" "Aku bakal bantu kamu buat bisa ngelupain Rayhan sepenuhnya," ujar Daniel. "Untuk m
Satu tahun kemudian .... Bella berlari-lari sambil membawa sepatu hak tingginya. Dia berlari di atas rerumputan hijau yang subur, dan berkali-kali dia menginjak tanah becek karena sepertinya habis hujan deras tadi malam. Tentu saja dia sangat kesusahan berlari apalagi dengan mengenakan sepatu hak tinggi, makanya dia memutuskan untuk telanjang kaki saja.Setelah lari-lari dan menghadapi beberapa rintangan, seperti tanah becek, genangan air, dan lain-lain, Bella sampai juga di tempat tujuan. Sebuah pohon besar yang sudah tidak asing lagi untuknya. Napasnya terengah-engah dan hampir saja dia tidak bisa bernapas karena terlalu lelah."Terlambat dua menit, lima puluh tiga detik," kata seseorang.Bella berteriak kesal. "HEI!"Seseorang berdiri membelakangi Bella sambil menatap pohon besar tua di depan matanya yang daunnya tampak lebat dan hijau subur. Rayhan memutar tubuhnya dan tersenyum jahil padanya. "Aku kan udah bilang, aku nggak punya banyak waktu. Aku suruh kamu dateng dalam waktu l
FlashbackRayhan dan Vicko menghabiskan akhir pekannya dengan pergi memancing sesuai rencana. Tempat yang mereka pilih untuk acara memancing adalah sebuah sungai besar yang terletak di tepi hutan. Air sungai yang jernih serta dikelilingi banyak bebatuan, menjadikan tempat itu sangat nyaman untuk bersantai sambil memancing. "Udaranya seger ya, Pa?" Rayhan yang duduk di atas bebatuan sambil memegang kail pancingnya, berkata pada sang papa yang juga melakukan hal yang sama di sebelahnya. "Iya, kebetulan cuaca agak mendung jadi nggak panas. Mudah-mudahan aja nggak hujan." Vicko menengadah ke langit dan melihat gumpalan awan abu-abu yang tersebar di langit sejak pagi tadi. "Sebenernya ya, Pa. Dari pada mancing, aku lebih suka nyemplung aja ke sungai terus berenang." Rayhan berkata sembari tertawa. "Aku udah lupa kapan terakhir kali mandi di sungai." "Waktu kamu kelas 1 SD dan Papa bawa kamu pulang sambil dijewer kupingnya." Vicko menjawab sekaligus mengingatkan. Jawaban Vicko sukses m
Sambungan flashback"Aku janji nggak akan lupa sama pelajaran sekolah kok, Ma." Bella memberikan pembelaan. "Sekolah tetep jadi yang utama buat aku. Lagian, kita pacarannya nggak akan macem-macem, kok."Rayhan mengangguk lagi, mengiyakan ucapan Bella. "Betul, Mama---emm maksud saya Tante. Kita berdua nggak akan ngelakuin hal-hal yang aneh, kok.""Saya sudah menyuruh kamu diam, ya." Evellyn melotot ke arah Rayhan. "Kenapa kamu main nyerobot saja dari tadi? Diam."Rayhan menutup mulutnya rapat-rapat dan kembali menganggukkan kepalanya.Evellyn kembali menatap ke arah putrinya. "Bella, kamu nggak pacaran aja nilai kamu sudah jelek. Kamu bahkan menempati urutan ke tiga terendah di kelas kamu. Apalagi sekarang kamu sok-sok an pacaran segala? Mau jadi apa kamu nanti? Sebenarnya kamu ke sekolah buat belajar apa buat pacaran, sih?""Aku janji bakal rajin belajar kalau Mama ngijinin aku sama Rayhan pacaran, Ma." Bella tetap bersikeras. "Kamu pikir Mama percaya? Pokoknya Mama nggak setuju kali
Bella kembali ke lantai dasar dan sampai di lapangan basket sekolah. Dulu, tempat itu selalu ramai tiap kali jam istirahat karena ada banyak murid laki-laki yang bermain basket di sana dan para murid perempuan menjadi penonton.Di sisi yang lain, dulu pernah ada sebuah panggung hiburan di sana saat pentas seni sekolah. Di panggung itu dulu Bella dan Rayhan berduet menyanyikan lagu sampai tragedi Rayhan lupa lirik dan semua teman-temannya melempari mereka dengan segala macam benda yang ada termasuk sepatu.Pengalaman yang tak akan pernah terlupakan oleh Bella."Bella!"Bella menoleh lagi mendengar namanya disebut. Lalu dia seolah berada di masa belasan tahun yang lalu, saat hujan turun ketika pelajaran olahraga.Rayhan remaja membawakan payung berwarna kuning dan menghampiri Bella remaja yang sedang asik menikmati hujan pertama di lapangan, sementara semua teman-temannya berteduh."Kamu ngapain hujan-hujanan?" tanya Rayhan remaja sambil memayungi Bella remaja yang seragam olahraganya s
Hari ini tiba-tiba Bella ingin mengunjungi SMA tempatnya dulu bersekolah. Setelah berkali-kali hanya lewat dan lebih sering mengunjungi taman belakangnya yang merupakan tempat kencan favoritnya bersama Rayhan, kali ini Bella menyempatkan mendatangi sekolah lamanya dan menyapa beberapa guru yang dulu pernah mengajarnya di kelas. SMA Pelangi---papan nama itu masih tetap terpampang dengan jelas di atas pintu gerbang. Bella sengaja datang di saat jam pelajaran berlangsung karena dia ingin berjalan-jalan di sekolah tanpa ada keramaian. Ketika melangkahkan kakinya memasuki halaman sekolah, Bella langsung bernostalgia tentang masa-masa SMA nya dulu. Seolah dia melihat dirinya sendiri yang memakai seragam SMA sedang berlarian bersama teman-temannya---dengan tawa candanya. Senyuman Bella mengembang saat dia mulai teringat masa remajanya dulu. Dia melanjutkan langkahnya menuju serambi sekolah. Suasana sangat sepi seperti yang dia harapkan dikarenakan proses belajar mengajar masih berlangsung
Bella memarkir mobilnya di tepi jalan dengan lampu sein sebelah kiri menyala. Di dalam ada Daniel yang duduk di sebelahnya. Suara kendaraan berlalu lalang menjadi latar belakang."Sebelumnya aku mau minta maaf sama kamu, Bel." Daniel membuka percakapan mereka. "Aku minta maaf karena udah minta kamu buat ketemu sama mama aku. Aku juga nggak tahu ternyata mamaku kayak gitu. Aku pikir dia minta mau ketemu kamu buat tujuan yang baik. Nggak tahunya ...." Daniel benar-benar menyesalkan semuanya."Nggak apa-apa. Aku ngerti, kok." Bella berusaha memahami perasaan Daniel, walaupun dia merasa sedikit tersinggung dengan ucapan Catherine tempo hari. "Aku juga minta maaf mewakili mama aku, Bel. Aku janji, aku bakal kasih pengertian lagi ke mama. Aku nggak akan nyerah biar mama aku bisa terima kamu.""Dan." Bella berusaha menjelaskan. "Aku yang harus minta maaf ke kamu. Mungkin selama ini aku terkesan ngasih harapan palsu ke kamu."Daniel seolah tahu apa yang akan dikatakan Bella selanjutnya, tamp