Rayhan dan Bella mengunjungi pohon kesayangan mereka yang ada di taman belakang SMA. Pohon kenangan mereka sudah semakin besar dan tinggi. Tidak bisa lagi dipanjat oleh mereka dikarenakan dahan pohon yang terendah pun sudah terlalu tinggi untuk digapai. "Kita mau ngapain ke sini?" Bella mendongak menatap pohon besar dan tinggi berdaun lebat yang berada tepat di hadapannya. "Mau jadi penunggu pohon." Bella menatap horor ke arah Rayhan. Pria itu justru tertawa. "Ya lagian kamu nanya kayak gitu. Udah jelas kita kencan." "Berdiri aja gitu?" "Kamu mau aku gendong? Atau kalau mau ngesot juga boleh.""Rayhan!" teriak Bella kesal. "Aku pulang, nih," ancamnya. Rayhan tertawa lagi lalu duduk di bawah pohon dengan santai."Karena kita udah nggak mungkin manjat pohon ini lagi. Mending duduk di sini aja. Sama aja, kan." Bella mengikuti Rayhan duduk di sebelahnya tanpa protes, karena yang dikatakan Rayhan memang benar. Lagipula sudah belasan tahun berlalu, pohon kenangan mereka pun juga sudah
"Aku aja nggak pernah mimpi mau punya anak sama kamu." Ferly melanjutkan. "Gugurin aja, deh. Daripada bikin masalah tuh anak." Bella sudah tidak tahan, dia tidak mau terlalu jauh mengetahui masalah Nirina dan Ferly. Dia sudah tidak mau lagi terlibat masalah apapun dengan mereka. Bella tidak mau tahu apa yang terjadi pada mereka, dan dia memutuskan untuk pergi diam-diam kembali ke lokasi syuting. Menemui Daniel. "Bel, kamu dari mana aja, sih?" tanya Daniel. "Tadi aku ngelihat kamu waktu kamu dateng. Terus kamu ke mana?" Bella masih sedikit shock dengan apa yang dilihat dan didengarnya barusan, tapi berusaha tetap tenang. Dia tidak mau mencampuri urusan orang mengingat masalahnya sendiri saja sudah membuatnya pusing. "Oh ... nggak ke mana-mana, kok. Cuma jalan-jalan bentar." "Kamu tumben ke sini? Ada apa?" tanya Daniel dengan wajah cerianya. "Aku cuma mau ketemu sama kamu aja, Dan. Sejak aku nggak main lagi di drama ini, kita jadi jarang banget ngobrol bareng." Daniel gembira seka
Rayhan membuka kulkas di dapur rumahnya dan mengambil sebuah apel merah yang segar lalu memakannya sambil berjalan pergi. Saat dia melewati kamar papanya, dia melihat pintu sedikit terbuka. Dengan penasaran Rayhan mendekat untuk sekedar melihat apa yang dilakukan papanya di dalam kamar. Rayhan melihat Vicko---sang papa sedang duduk di pinggiran tempat tidur memandangi sebuah foto yang Rayhan tidak bisa melihat foto siapa itu. Tapi yang jelas, foto itu sangat berarti untuk Vicko melihat bagaimana cara pria itu memandangnya. "Aku minta maaf ...." kata Vicko pada foto itu dan Rayhan mendengarnya. "Aku sudah membuat kamu banyak menderita selama bertahun-tahun. Tapi kamu harus tahu, kalau dulu aku menikah dengan Naeri karena terpaksa. Aku tidak pernah berniat sedikitpun untuk menyakiti hati kamu. Aku sangat mencintai kamu, Evellyn. Seandainya saja kamu memberi aku kesempatan untuk menjelaskan ...." Rayhan baru tahu kalau foto yang dipegang papanya itu adalah foto Evellyn. Rayhan pun perg
Rayhan dan Bella juga kaget, lalu segera kembali ke posisi semula. Rayhan tegang sekali dan sedikit merasa malu dengan Pak Glen. "Ada apa, Pak Glen?" tanya Rayhan dengan kesal karena ciumannya gagal. "Ada apa? Cepat bilang." Pak Glen merasa tak enak hati. Lalu kembali memutar tubuhnya menatap Rayhan. "Maaf, Pak. Kita sudah ditunggu di ruang rapat." "Ya sudah, nanti saya akan segera menyusul. Anda duluan saja." Pak Glen menganggukkan kepalanya lalu keluar dan memutup pintunya. Bella tertawa mengingat kejadian tadi, sementara Rayhan kesal sekali. "Dasar pengganggu," kata Rayhan. "Kalau gitu, ayo kita lakuin lagi. Kita ulangi lagi dari awal." "Kamu nggak rapat?" Bella malah menggoda Rayhan. "Kamu udah ditungguin, kan?" Rayhan kesal sekali, dia menarik tasnya dan berdiri. "Ya udahlah, aku mau rapat dulu. Lain kali kita harus berhasil. Kamu tahu kan, selama ini aku nggak pernah gagal melakukannya. Baru kali ini ada gangguan." Bella hanya tertawa. Rayhan baru berjalan beberapa lang
"Tapi aku cuma nggak mau dia meninggal lebih cepat di meja operasi, Pa. Dengan memberinya oba, paling nggak aku masih bisa memperpanjang hidupnya. Aku belum siap kehilangan dia." "NAURA!" teriak Bram marah sekali. Setelah semua yang dia dengar membuatnya kehabisan kata-kata, sekarang Bram mendengar hal yang lebih konyol lagi dari mulut Naura. Naura tahu papanya pasti akan marah, dia hanya berusaha mempertahankan apa yang sudah dia putuskan sejak lama. "Pa, aku tau aku salah. Tapi aku cuma takut kehilangan dia, Pa. Aku cinta sama dia." "Papa tau kamu mencintai dia, tapi nggak begini juga caranya. Kamu ini dokter, Naura. Bagaimana mungkin seorang dokter bersikap egois seperti itu? Lupakan dulu tentang perasaan kamu padanya dan bersikaplah layaknya seorang dokter. Beri tahu dia tentang penyakitnya dan lakukan pengobatan yang tepat. Rayhan perlu tau tentang kondisinya yang sebenarnya." "Om Vicko ngelarang aku ngasih tahu Rayhan, Pa." Bram terkejut. "Apa?" Naura mengangguk. "Lalu apa
Rayhan kembali duduk dengan tenang, berhadapan dengan Naura. "Semuanya nggak ada hubungannya sama kecelakaan kamu waktu itu. Mulanya aku juga sempat berpikir, kalau penyakit kamu ini efek samping dari kecelakaan itu. Tapi ternyata sama sekali bukan karena itu." Naura memulai menjelaskan meskipun dengan berat hati. "Terus karena apa?" "Karena ..." Naura kembali menarik napasnya untuk tetap bersikap tenang. "Karena faktor genetik." "Genetik?" Naura mengangguk. "Iya. Mungkin salah satu dari anggota keluarga kamu, ada yang punya riwayat penyakit itu, dan menurun ke kamu. Kalau ada salah satu dari keluarga kita yang dulu pernah mengidap penyakit itu, ada kemungkinan kalau penyakit itu juga bisa menurun ke anak atau cucu .... Tapi itu semua juga belum tentu pasti menurun." Meskipun shock, Rayhan tetap tenang. "Terus?" "Apa?" Naura tidak mengerti. "Jadi selama ini obat yang kamu bilang obat migrain itu, obat kanker?" tanya Rayhan. "Kenapa kamu harus bohong sama aku? Papa aku juga tah
Rayhan berjalan dengan langkah pelan di koridor rumah sakit yang banyak orang berlalu-lalang. Tatapannya kosong, seolah saat ini dia hanya membawa sebuah raga tanpa jiwa. Ingatannya kembali berputar ke kejadian sebelum dia menemui Naura. Flashback beberapa jam yang lalu .... Setelah mendapatkan surat hasil MRI dari brankas Vicko, Rayhan memutuskan untuk segera menemui Naura di rumah sakit untuk meminta penjelasan. Rayhan tahu dia mengidap suatu penyakit dan dia akan menanyakannya pada Naura hari ini. Tentunya setelah pertimbangan yang matang dan berharap sahabatnya itu akan berkata jujur padanya. Namun saat Rayhan mau memasuki lift untuk menuju ke lantai 5---tempat ruangan Naura berada, ternyata lift sedang dalam perbaikan dan Rayhan diminta menunggu tiga puluh menit. Rayhan tidak mau membuang-buang waktu untuk menunggu. Dia merasa harus segera menemui Naura dan menuntaskan semuanya, karena dia harus mengajukan beberapa pertanyaan pada sahabatnya itu. Rayhan memutuskan akan ke lan
Setelah tenaga kembali terkumpul, Rayhan dan Bella memulai acara kencan mereka dengan mengitari stupa-stupa dan mengamati relief-relief yang tertempel indah pada dinding candi tersebut. Tak lupa mereka juga mengabadikan momen kebersamaannya dengan berfoto bersama. Saat Rayhan dan Bella sedang asyik berfoto, ada sepasang warga asing atau istilah umumnya bule yang juga sedang berpacaran, tiba-tiba berciuman mesra di depan mereka berdua. Hal itu sontak mengundang keterkejutan bukan hanya bagi Rayhan dan Bella, tapi juga untuk semua pengunjung yang kebetulan melihat adegan tersebut. Namun mereka semua memaklumi, kalau di negara asing memang berciuman di tempat umum adalah hal biasa, jadi mereka semua yang melihat hanya tersenyum saja dan bersikap cuek. Tak perlu mencampuri urusan sepasang sejoli yang sedang memadu kasih. Rayhan membisikkan sesuatu ke telinga Bella saat melihat sepasang bule yang sedang berciuman. "Aku lebih jago melakukan itu dari pada bule itu, kan?" "Ngaco." Bella me
Mike sedang sibuk dengan ponselnya---membaca berita di internet dalam keadaan tenang. Tiba-tiba ada keributan datang dan mengganggu ketenangannya. Empat anak kecil---dua perempuan dan dua laki-laki yang semuanya masih kecil-kecil berlari menghampirinya. "PAPA!!!!" Mike kaget dan buru-buru meletakkan ponselnya dan menyambut kedatangan mereka. "Ada apa? Kenapa ribut-ribut?" tanya Mike. "Kalian nggak sekolah?" "Aku belum sekolah, Pa," kata salah satu anak perempuannya yang masih kecil. "Aku masih tiga tahun." "Maksud Papa, kakak-kakak kamu itu." Mike menunjuk ketiga anaknya yang lainnya. "Kenapa kalian nggak sekolah?" "Ini kan hari Minggu, Pa," kata salah satu anak laki-lakinya. "Papa aja santai-santai di rumah, nggak kerja." "Apa?" Mike bengong. "Masa Papa nggak tahu kalau hari ini hari Minggu? Ih, ternyata Papa kita payah." Mike langsung kesal. "Hei, biar payah gini, aku ini papa kalian, tahu. Kalau Papa nggak ada, nggak mungkin kalian bakalan ada." Mike mengatakan hal-hal yan
Sepuluh Tahun Kemudian .... Bella sedang menjalani syuting film terbarunya di sebuah taman bermain. Dia berdialog panjang sekali, sampai-sampai harus mengulang sampai tiga kali karena salah terus. Dan di take ke tiga-nya .... "Kamu nggak tahu kenapa aku melakukan ini?" kata Bella dalam dialognya bersama seorang pria yang menjadi lawan mainnya. "Sudah 15 tahun aku menunggu kamu, tapi apa? Kamu hanya memberikan janji-janji tapi nggak pernah menepatinya. Kalau kamu terus seperti ini, mendingan kita---" "MAMA!!!!" Dialog Bella lagi-lagi terputus, kali ini bukan karena Bella lupa dialognya, melainkan ada yang memanggilnya di luar syuting. Dua anak laki-laki memakai seragam SD dan seorang anak perempuan memakai seragam TK berlari ke arahnya dan memasuki lokasi syuting. Mereka bertiga mendekati Bella. "CUT! CUT! CUT!!" teriak sutradara. "Aduh, ada apa lagi sih, itu?!" Sutradara mulai frustrasg "Mama, ayo pulang!" rengek salah seorang anak laki-lakinya yang kembar. "Iya, Mama!" si kemb
Daniel melihat ke foto yang dirobek Naura, lalu tersenyum kecil. "Nyerah?" Naura terdiam, memandangi fotonya yang sudah terpisah dengan foto Rayhan. "Menurut kamu?" "Aku juga udah berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan apa yang aku mau. Tapi memang, ada hal-hal yang seharusnya memang bukan menjadi milik kita. Sekeras apapun usaha kita untuk ngejar dia, kalau emang dia bukan milik kita, pasti akan tetep ninggalin kita." Naura masih diam, memandangi foto Rayhan. "Gimana kalau aku nyaranin, mendingan kamu mulai lupain dia?" tanya Daniel. "Emang itu yang mau aku lakuin sekarang," jawab Naura. "Aku udah cukup bahagia Rayhan sekarang sembuh. Aku juga bahagia, kalau Rayhan bahagia." Daniel menoleh, memandangi Naura dengan tatapan aneh. Sebuah pemikiran pun terlintas di benaknya. "Ra?" "Iya, kenapa?" "Kamu mau ikut aku ke Sidney?" tanya Daniel tiba-tiba. Naura memandang Daniel---bingung. "Sidney?" "Aku bakal bantu kamu buat bisa ngelupain Rayhan sepenuhnya," ujar Daniel. "Untuk m
Satu tahun kemudian .... Bella berlari-lari sambil membawa sepatu hak tingginya. Dia berlari di atas rerumputan hijau yang subur, dan berkali-kali dia menginjak tanah becek karena sepertinya habis hujan deras tadi malam. Tentu saja dia sangat kesusahan berlari apalagi dengan mengenakan sepatu hak tinggi, makanya dia memutuskan untuk telanjang kaki saja.Setelah lari-lari dan menghadapi beberapa rintangan, seperti tanah becek, genangan air, dan lain-lain, Bella sampai juga di tempat tujuan. Sebuah pohon besar yang sudah tidak asing lagi untuknya. Napasnya terengah-engah dan hampir saja dia tidak bisa bernapas karena terlalu lelah."Terlambat dua menit, lima puluh tiga detik," kata seseorang.Bella berteriak kesal. "HEI!"Seseorang berdiri membelakangi Bella sambil menatap pohon besar tua di depan matanya yang daunnya tampak lebat dan hijau subur. Rayhan memutar tubuhnya dan tersenyum jahil padanya. "Aku kan udah bilang, aku nggak punya banyak waktu. Aku suruh kamu dateng dalam waktu l
FlashbackRayhan dan Vicko menghabiskan akhir pekannya dengan pergi memancing sesuai rencana. Tempat yang mereka pilih untuk acara memancing adalah sebuah sungai besar yang terletak di tepi hutan. Air sungai yang jernih serta dikelilingi banyak bebatuan, menjadikan tempat itu sangat nyaman untuk bersantai sambil memancing. "Udaranya seger ya, Pa?" Rayhan yang duduk di atas bebatuan sambil memegang kail pancingnya, berkata pada sang papa yang juga melakukan hal yang sama di sebelahnya. "Iya, kebetulan cuaca agak mendung jadi nggak panas. Mudah-mudahan aja nggak hujan." Vicko menengadah ke langit dan melihat gumpalan awan abu-abu yang tersebar di langit sejak pagi tadi. "Sebenernya ya, Pa. Dari pada mancing, aku lebih suka nyemplung aja ke sungai terus berenang." Rayhan berkata sembari tertawa. "Aku udah lupa kapan terakhir kali mandi di sungai." "Waktu kamu kelas 1 SD dan Papa bawa kamu pulang sambil dijewer kupingnya." Vicko menjawab sekaligus mengingatkan. Jawaban Vicko sukses m
Sambungan flashback"Aku janji nggak akan lupa sama pelajaran sekolah kok, Ma." Bella memberikan pembelaan. "Sekolah tetep jadi yang utama buat aku. Lagian, kita pacarannya nggak akan macem-macem, kok."Rayhan mengangguk lagi, mengiyakan ucapan Bella. "Betul, Mama---emm maksud saya Tante. Kita berdua nggak akan ngelakuin hal-hal yang aneh, kok.""Saya sudah menyuruh kamu diam, ya." Evellyn melotot ke arah Rayhan. "Kenapa kamu main nyerobot saja dari tadi? Diam."Rayhan menutup mulutnya rapat-rapat dan kembali menganggukkan kepalanya.Evellyn kembali menatap ke arah putrinya. "Bella, kamu nggak pacaran aja nilai kamu sudah jelek. Kamu bahkan menempati urutan ke tiga terendah di kelas kamu. Apalagi sekarang kamu sok-sok an pacaran segala? Mau jadi apa kamu nanti? Sebenarnya kamu ke sekolah buat belajar apa buat pacaran, sih?""Aku janji bakal rajin belajar kalau Mama ngijinin aku sama Rayhan pacaran, Ma." Bella tetap bersikeras. "Kamu pikir Mama percaya? Pokoknya Mama nggak setuju kali
Bella kembali ke lantai dasar dan sampai di lapangan basket sekolah. Dulu, tempat itu selalu ramai tiap kali jam istirahat karena ada banyak murid laki-laki yang bermain basket di sana dan para murid perempuan menjadi penonton.Di sisi yang lain, dulu pernah ada sebuah panggung hiburan di sana saat pentas seni sekolah. Di panggung itu dulu Bella dan Rayhan berduet menyanyikan lagu sampai tragedi Rayhan lupa lirik dan semua teman-temannya melempari mereka dengan segala macam benda yang ada termasuk sepatu.Pengalaman yang tak akan pernah terlupakan oleh Bella."Bella!"Bella menoleh lagi mendengar namanya disebut. Lalu dia seolah berada di masa belasan tahun yang lalu, saat hujan turun ketika pelajaran olahraga.Rayhan remaja membawakan payung berwarna kuning dan menghampiri Bella remaja yang sedang asik menikmati hujan pertama di lapangan, sementara semua teman-temannya berteduh."Kamu ngapain hujan-hujanan?" tanya Rayhan remaja sambil memayungi Bella remaja yang seragam olahraganya s
Hari ini tiba-tiba Bella ingin mengunjungi SMA tempatnya dulu bersekolah. Setelah berkali-kali hanya lewat dan lebih sering mengunjungi taman belakangnya yang merupakan tempat kencan favoritnya bersama Rayhan, kali ini Bella menyempatkan mendatangi sekolah lamanya dan menyapa beberapa guru yang dulu pernah mengajarnya di kelas. SMA Pelangi---papan nama itu masih tetap terpampang dengan jelas di atas pintu gerbang. Bella sengaja datang di saat jam pelajaran berlangsung karena dia ingin berjalan-jalan di sekolah tanpa ada keramaian. Ketika melangkahkan kakinya memasuki halaman sekolah, Bella langsung bernostalgia tentang masa-masa SMA nya dulu. Seolah dia melihat dirinya sendiri yang memakai seragam SMA sedang berlarian bersama teman-temannya---dengan tawa candanya. Senyuman Bella mengembang saat dia mulai teringat masa remajanya dulu. Dia melanjutkan langkahnya menuju serambi sekolah. Suasana sangat sepi seperti yang dia harapkan dikarenakan proses belajar mengajar masih berlangsung
Bella memarkir mobilnya di tepi jalan dengan lampu sein sebelah kiri menyala. Di dalam ada Daniel yang duduk di sebelahnya. Suara kendaraan berlalu lalang menjadi latar belakang."Sebelumnya aku mau minta maaf sama kamu, Bel." Daniel membuka percakapan mereka. "Aku minta maaf karena udah minta kamu buat ketemu sama mama aku. Aku juga nggak tahu ternyata mamaku kayak gitu. Aku pikir dia minta mau ketemu kamu buat tujuan yang baik. Nggak tahunya ...." Daniel benar-benar menyesalkan semuanya."Nggak apa-apa. Aku ngerti, kok." Bella berusaha memahami perasaan Daniel, walaupun dia merasa sedikit tersinggung dengan ucapan Catherine tempo hari. "Aku juga minta maaf mewakili mama aku, Bel. Aku janji, aku bakal kasih pengertian lagi ke mama. Aku nggak akan nyerah biar mama aku bisa terima kamu.""Dan." Bella berusaha menjelaskan. "Aku yang harus minta maaf ke kamu. Mungkin selama ini aku terkesan ngasih harapan palsu ke kamu."Daniel seolah tahu apa yang akan dikatakan Bella selanjutnya, tamp