Keesokan harinya. Aku memilih pergi meninggalkan rumah. Ini merupakan keputusan paling berani yang pernah aku ambil. Aku sudah siap dengan satu koper dan tas selempang di bahuku. Menghela napas berat kemudian turun menuruni anak tangga. Aku menyerah. Dua kata yang membuat tekadku kuat meninggalkan semuanya, termasuk rumah dan juga kota yang melahirkan aku. Napasku tercekat. Aku menatap sekeliling rumah. Dulu, rumah ini lah yang selalu menjadi tempat pulangku. Sekarang, aku harus meninggalkannya. Aku menaruh surat di atas meja. Surat itu aku tunjukan untuk kedua asisten rumah tanggaku. Hanya sepucuk surat dan pesan perpisahan singkat. Aku berharap, rumah ini selalu hidup meski penghuninya sudah lebih dulu menyerah. Lagi, lagi aku menghela napas berat. Dengan gontai, aku menyeret koper sampai luar. Masuk ke dalam mobil dan mulai pergi menuju tempat di mana aku akan memulai hidup baru di sana. —Bandar Udara Internasional Soekarno–Hatta. Aku sudah sampai di Bandara dengan tujuan De
—Denpasar, BaliSetelah menempuh perjalanan hampir 2 jam lamanya, akhirnya aku sampai dengan selamat di pulau dewata Bali. Aku menyeret koperku. Menghirup udara yang bagus di sini. Senyumku merekah. Ini lah hidup. Aku harus mulai semuanya dari awal. Saat aku sedang memesan kendaraan menuju Villa Mas Rifki, tiba-tiba seseorang nabrak tubuhku membuat ponselku hampir jatuh karenanya. "Sorry!" ucapnya. Aku tersenyum tipis dan mengangguk. "No problem." "Nunggu siapa?" tanya pria yang tadi menabrak aku. Aku menoleh ke arahnya. Mengerutkan kening rada bingung sedikit. Kupikir pria di hadapanku ini tidak bisa berbahasa Indonesia, sebab wajahnya lumayan bule. "Saya Elmar, salam kenal." Pria itu mengulurkan tangannya padaku. Aku menerimanya singkat. "Serena.""Nunggu siapa?" tanyanya lagi. "Ah, ini... saya lagi pesan mobil, lumayan susah ternyata. Internet saya nggak bagus," jawabku tersenyum kikuk. "Kalau gitu saya antar aja, ayo?""Eh?" Aku menatapnya tidak percaya. "Anggap saja ini
Malam pun tiba. Malam ini aku sedang sibuk memasak untuk makan malamku sendiri, sebab tidak ada pembantu di Villa ini. Oh, ya, aku juga sibuk melakukan video bersama ibu. Aku senang karena ibu mulai bawel padaku. Aku merasa hangat karena wanita itu kembali memperhatikanku. "Kamu jangan makan mie terus Serena. Ya ampun, sudah berapa kali Ibu bilangin. Bandel sekali," omel ibu dari seberang sana. Aku mematikan komper dan memasukkan mi rebus dengan telor sebagai toping ke dalam mangkuk. Aku membawa mi tersebut dan menaruhnya di atas meja makan. "Serena belum bisa masak apa-apa, Bu. Kulkas kosong, besok baru mau belanja. Sekarang makan yang ada dulu. Lagian, mie juga enak, kok," kilahku berbicara sambil mengaduk mi. "Iya, Ibu tau mie itu enak, tapi nggak baik buat anak kamu. Ingat kamu itu lagi hamil, harus makan makanan yang bergizi dan menyehatkan." Aku menghela napas lelah. "Iya, Bu, iya. Udah dulu ya Serena mau makan. Bye, Ibu!" "Besok jangan makan mie lagi!" Aku mengangguk pa
Seiring berjalannya waktu, aku mulai menerima kehidupan ini. Hidup seorang diri di kota orang. Aku jauh dari kata baik-baik saja, tapi aku sadar jika tidak begini, aku terus terjebak di masa lalu. Karena sejatinya, kita harus mengejar sesuatu yang membuat kita merasa hidup. "Mbak Serena sarapannya sudah jadi," panggil Mbok Darmi. Sebenarnya aku bingung, kenapa Mbok Darmi bisa dipekerjakan oleh Mas Rifki. Sepertinya, Mbok Darmi juga bukan orang sini, apakah beliau ini merantau? Aku duduk di meja makan dengan Mbok Darmi yang sedang menuangkan air minum untukku. "Mbok, saya mau tanya. Mbok Darmi ini asli Bali atau rantauan?" tanyaku memandangnya. Ia menaruh gelas itu tepat di depanku. "Mbok aslinya orang Solo, Bu. Ikut suami ke sini karena suami kerja di sini. Mbok di sini sudah 20 tahun. Mbok juga yang dari awal mengurus Villa Mas Rifki sampai akhirnya dihuni Bu Serena."Aku mangut-mangut sendiri. Mbok Darmi tinggal di Bali hampir mencapai usiaku. Berarti beliau sudah banyak tahu. A
"Mbok aku keluar sebentar, ya!" kataku."Iya, Mbak!" jawab Mbok Darmi tidak kalah lantang, sebab perempuan itu sedang masak untuk makan malamku. Tidak terasa hari sudah mulai sore. Aku bergegas keluar karena ingin menikmati udara pantai senja sebagai pelengkapnya. Aku berjsalan menuju pantai karena Villa yang aku tempati jaraknya tidak terlalu jauh dengan pantai. Seiring dengan langkah gontaiku, akhirnya aku sampai di tempat tujuan. Aku menatap kosong ombak di depan sana. Menenangkan. Ini kali pertamanya aku ke pantai sendirian dan mungkin akan menjadi rutinitas sepanjang tinggal di sini. Musti kalian tahu, aku kembali mengganti nomor teleponku. Yang tahu hanya keluargaku dan Bella saja. Aku serius ketika berucap tidak ingin lagi berurusan dengan orang di masa lalu. Aku, ingin hidup tenang di sini. Aku mendekat ke arah pesisir pantai hingga kakiku mengenai ombak air. Aku tersenyum senang. Rasanya dingin, tapi menyejukkan. Di sini tidak terlalu ramai. Hanya ada beberapa orang yang
Pagi ini aku disibukan dengan berkas yang menumpuk di atas meja. Harusnya hari ini jadwalku terbang ke Bali karena ada proyek yang sedang berjalan di sana. Namun, hal itu harus dijadwalkan kembali karena proyek di Singapura ada sedikit masalah. "Ini yang semalam minta direvisi oleh klien, Pak." Hendra menyerahkan satu berkas ke hadapanku. "Di bagian lantai ada sedikit perubahan. Di sini, klien minta rombak karena ia merasa kurang cocok." Hendra terus menjelaskan apa yang salah dan harus segera diperbaiki. "Ini satu lagi, Pak. Di bagian belakang rumah, klien minta dibuatkan gazebo letaknya di sini, tidak jauh dari kolam renang."Saat Hendra sedang menjelaskan apa saja yang baru ia revisi. Pintu terbuka kencang dari luar dan menampilkan ibu dengan sorot marah datang ke ruanganku. Aku lantas berdiri dan Hendra segera menyingkir lalu ia membungkuk pada ibuku. Ia menatap padaku sebentar sebelum akhirnya pergi. Hal itu juga sama dilakukan oleh Reno yang tadi sempat mengantar ibu ke sini.
Aku keluar dari ruangan, berjalan ke tempat kerja Hendra. Semua mata hampir tertuju padaku, tapi mereka kembali ke pekerjaannya masing-masing. "Hendra," panggilku nyaris berbisik. Hendra sontak berdiri. "Iya, kenapa, Pak? Soal revisi tadi, apa ada yang salah? Perlu saya tinjau dan buatkan ulang?" Aku menggeleng pelan. Rupanya Hendra menganggap aku mendatanginya karena masalah pekerjaan. Padahal bukan itu. Aku memiliki tujuan lain. "Kamu masih dekat dengan Bella?" tanyaku pelan. Hendra tampak kebingungan. "Gimana maksudnya, Pak?" "Jangan pura-pura. Dua hari ini kamu sering antar jemput Bella. Benarkan?" Hendra langsung bungkam. "Saya butuh informasi." Aku berbisik pada Hendra. Pria itu langsung terdiam. Wajahnya tidak bisa berbohong kalau ia terkejut akan perintahku barusan. "Bonus akhir bulan, sebagai imbalannya." Aku menepuk pundak Hendra sebelum akhirnya kembali masuk ke dalam ruang kerjaku. Aku tersenyum tipis setelah duduk di tempat kerja. Semoga Hendra dapat membantuku
"Mbok aku keluar dulu, ya, mau cari udara segar!" teriakku. "Nggeh, Mbak!" balas Mbok Darmi yang sedang sibuk dengan pekerjaannya. Keluar pagi seperti ini sebenarnya bukan hanya mencari udara segar saja, aku berniat mencari kerja juga. Sudah beberapa hari tinggal di Bali, aku tidak mungkin mengandalkan uang tabungan terus. Aku juga tidak ingin merepotkan banyak orang, termasuk Mas Rifki. Agendaku pagi ini yang pertama adalah periksa kandungan. Sekarang aku sudah di perjalanan menuju rumah sakit. Mungkin memerlukan waktu 30 menit, sebab rumah sakit terdekat hanya itu yang lain rata-rata 1-2 jam dari rumah. Aku sudah melihat ratingnya, dan di sana juga cukup bagus. Jadi, tidak salahnya aku periksa ke sana. Untungnya perjalanan ke rumah sakit tidak padat, jadi sampai di tempat tujuan pun dengan timing yang tepat. Aku turun dari Taxi usai membayarnya. Aku menatap kagum ke arah rumah sakit yang menjulang tinggi di depan. Semoga biayanya tidak mahal, itu yang kurapalkan dalam hati. Seb
Sudah beberapa hari ini, Mas Samuel rutin bertamu ke rumah Ibu. Entah apa tujuannya, tapi pria itu selalu saja menyempatkan waktu datang ke sini sekalipun baru pulang kerja. Ia juga membelikan banyak main untuk Sakti. Ah, perihal itu, aku sudah memberitahu Sakti. Semuanya, tanpa ada yang terlewat. Anak itu kesenangan sendiri, ia memang sempat tidak mau bicara padaku, tapi akhirnya dibujuk Mas Samuel hingga kini kami seperti keluarga. "Tumben Samuel belum datang? Biasanya dia jam 6 sudah ada di sini," ujar Ibu mengompori. Ya, biasanya Mas Samuel datang setiap jam 6 pagi ke sini. Ikut sarapan bersama kami dan setelahnya mengantar Sakti berangkat sekolah. Namun, sudah setengah 7 tapi batang hidung pria itu belum juga kelihatan. Aku sedikit, khawatir takut ia kenapa-kenapa. "Udah, dihabiskan dulu sarapannya. Kalau Samuel beneran nggak jemput Sakti, kamu bisa antar Sakti dulu. Ke butik bisa belakangan," ujar Ibu. Aku memang memutuskan kerja di butik Ibu. Aku dibimbing Ibu menjadi desai
1 Minggu kemudian. Di 1 Minggu ini, aku tidak banyak berjumpa dengan orang-orang sekitar. Semenjak pindah ke rumah ibu, waktuku dihabiskan bersama ibu dan Sakti. Aku juga telah mengurus beberapa surat kepindahan dan akhirnya saat ini aku bisa mendaftarkan Sakti ke TK. Soal panggilan dari Sky Group, aku memilih menolaknya. Waktu itu sempat tahap interview, tapi tidak jadi karena diriku memilih pergi. Aku—mungkin tidak akan bisa bekerja di bawah naungan Mas Samuel. "Kamu udah apply lamaran ke perusahaan, Mas?" tanya Mas Rifki yang pagi-pagi sudah ada di rumah Ibu. Pertanyaan itu langsung dapat anggukan dariku. Kami saat ini sedang sarapan bersama, Mas Rifki datang bersama istri dan anaknya hanya karena aku mendaftarkan Sakti ke TK di mana tempatnya sama dengan Sekolah Dasar Kenzo. Mbak Yuni menyahut, "Kamu jadi kerja di tempat Mas Rifki, Ser? Ngelamar posisi apa?" "Iya, bagian admin Mbak. Jalur referensi Mas Rifki. Katanya lagi ngebutuhin admin di sana," balasku apa adanya. Tiba
Suara dering ponsel mampu membangunkan tidur nyenyak 'ku. Panggilan itu berasal dari Reno. "Kenapa, Reno?" tanyaku bersandar di kepala ranjang. Kepalaku terasa berat. Mungkin efek mabuk semalam. "Di kantor ada Pak Rifki, Pak. Beliau menunggu di ruangan Bapak," jelas Reno. Aku mengerutkan kening. Untuk apa Rifki datang ke kantorku? "Saya segera ke sana," ucapku langsung memutus sambungan. Aku beranjak dari ranjang dengan kepala yang masih terasa pening. Namun, pandanganku tertuju kepada meja yang di atasnya terdapat lampu tidur. Di sana terdapat satu gelas air dengan sepucuk surat di bawahnya. > [Ini jamu yang bisa buat badan kamu lebih enakan. Jangan lupa diminum kalau sudah bangun. /from Serena]Aku tersenyum hangat membaca pesan tersebut. Kupikir perempuan itu marah karena semalam tanpa sadar aku telah membuatnya tidak berdaya di ranjang. Tanganku menggapai gelas tersebut dan meminumnya hingga tandas. Bentuk perhatiannya yang seperti membuatku makin yakin bahwa Serena hanya cu
Cekalan itu langsung terlepas ketika kami sampai di luar, tepatnya di depan mobil pria itu. Aku jadi tidak enak dengan Elmar yang masih di dalam. Pria itu pasti kecewa karena diriku pergi begitu saja tanpa mengucap sepatah kata. Saat kulihat, tatapan elang penuh amarah seketika tertuju padaku. Aku masih syok dengan kedatangannya yang di luar kendali. Apalagi melihat sorot matanya yang begitu menakutkan. Sehingga siapa pun yang melihatnya tidak berani menyapa, bahkan melirik saja mungkin tidak sampai. Setiap pergerakannya tidak lepas dari bola mataku. Meski aku takut sendiri, tapi pandanganku tidak bisa lepas darinya. Ia membuka jas yang menempel ditubuhnya, menyisakan kemeja putih sebagai pakaian yang kenakan. Tanpa diduga, jas hitam yang sempat ia copot tersebut beralih posisi sehingga kini aku yang memakai jas kebesaran itu. Tatapan kami bertemu. Tentu saja aku terkejut. Perhatiannya barusan membuat jantungku berdebar kencang. "Masuk," tegasnya berjalan lebih dulu ke arah mobil.
Saat ini, aku sedang mengobati luka Mas Samuel. Meski lukanya tidak cukup serius, tapi jika dibiarkan bisa jadi infeksi. Apalagi pukulan yang diberikan cukup keras sehingga sudut bibir pria itu sobek sedikit. Ah, soal Mas Rifki, ia sudah ditenangkan oleh Mbak Yuni. Aku menuangkan alkohol ke atas kapas, memegang dagu Mas Samuel tidak asa-asa. Pria itu meringis kala lukanya tidak sengaja ku tekan. Ini kedua kalinya aku melihat Mas Samuel terluka oleh kakakku, tapi soal rumah sakit. Apakah aku harus menanyakannya pada pria ini? "Tanya aja. Nggak usah ngeliatin saya kaya gitu," ucap Mas Samuel. Aku salah tingkah sendiri. Menurunkan tangan dari dagunya, lalu menatapnya lamat-lamat. "Yang dibilang Mas Rifki itu... benar?" tanyaku hati-hati. "Soal saya yang masuk rumah sakit karena kakak kamu?" Langsung kuberi anggukkan. "Soal itu, memang benar. Kejadiannya udah lama. Lagipula, saya masih hidup sampai sekarang. Jadi, pukulan Mas kamu nggak seberapa buat saya."Nggak seberapa bagaimana?
—Di dapurAku masih memikirkan ucapan Mbak Yuni. Entah kenapa hal itu malah menganggu konsentrasi. Mas Samuel dan Kinan tidak kembali. Dalam artian mereka tidak rujak atau menikah kembali. Apakah menutup telinga selama ini kesalahan terbesarku? "Serena?" Pikiranku saat ini penuh. Berbagai macam pertanyaan muncul di kepala. Tidak mungkin aku menyesal atas apa yang telah kupilih lima tahun yang lalu. Ya, tidak mungkin. Perasaan ini mungkin hanya sesaat saja. Perasaan memilukan karena tidak tahu bahwa nasib Mas Samuel justru lebih sulit dari dugaanku. "Astaga, Serena!" Aku tersentak. Buru-buru mematikan kompor. Menatap nanar ikan gosong di penggorengan. Miris. Bahkan ikan tersebut tidak ada yang bisa dimakan. Semuanya menghitam. "Kamu lagi mikirin apa coba? Masak kok malah ngelamun. Ikannya jadi gosong, kan," omel Ibu. Tatapku masih tertuju pada penggorengan di sana. Kecerobohanku lagi-lagi merugikan. Ibu terlihat marah juga khawatir. Aku tidak mengucapkan apa-apa, sebab masih syok
—HOTELAku sudah kembali ke hotel dengan perasaan campur aduk. Suaminya tidak sesuai yang aku harapkan. Harusnya aku lebih berhati-hati karena ketika hal buruk menimpa hidupku dengan Sakti, aku punya cara untuk menghindarinya. Kalau sudah seperti ini, apa yang harus aku lakukan, Tuhan? "Terima kasih, Mas. Aku sama Sakti ke dalam dulu," ujarku tersenyum tipis kepada Elmar. Elmar memegang tanganku kala pintu hotel hendak ditutup. Pria itu memberi kode kepada Sakti agar anak itu pergi lebih dulu ke dalam. Ia menarik tanganku sehingga kini aku berada di luar pintu. "Ada yang mau saya tanyakan sama kamu," ujar Elmar melepas cekalan tadi. Aku menekuk kedua alis. Apakah pria itu akan bertanya soal Mas Samuel? "Sejak kapan kamu dekat lagi dengan Samuel?" tanyanya. Dugaanku benar. Elmar menanyakan soal Mas Samuel. Namun, kenapa tiba-tiba begini? Ini bahkan terasa seperti interogasi, bukan tanya bertanya."Aku rasa kita nggak perlu bahas itu, Mas. Lagipula, dekat lagi atau nggak, itu hak
"Papa senang, akhirnya kita bertemu, Sakti."Bella langsung memegang pundakku. Perempuan itu juga membawa Sakti pergi menjauh dari kami. Kini, tinggal aku dan Mas Samuel yang saling berhadapan satu sama lain. Aku tidak tahu kenapa keadaan saat ini cukup mencekam. Mas Samuel terus menatapku seolah tidak ada objek lain di sekitarnya. Aku benar-benar tidak bisa berkata apa pun. Ini membuatku mati kutu. "Saya sudah melakukan tes DNA," ucap Mas Samuel makin mengejutkanku. "Ibu bilang bahwa Sakti begitu mirip dengan saya sewaktu kecil. Awalnya saya nggak berpikir demikian. Tapi, saat saya mencoba mendekat pada Sakti, saya merasa memang benar ada kemiripan antara saya dan Sakti. Itu sebabnya saya melakukan tes DNA," jelas pria itu. Mas Samuel menatapku sangat dalam. "Serena, jika Sakti memang anak kita berdua, kenapa kamu menyembunyikan hal ini dari saya?" Aku membuang wajah ke arah lain. Menarik napas di sana. Lalu menatap Mas Samuel dengan napas sedikit tercekat. "Sakti bukan anak ka
"Sakti?" panggilku langsung menghampirinya. "Kamu habis ngobrol sama siapa?" "Tadi ada uncle Samuel, Mom."Aku menatap arah pandangan Sakti. Yang terlihat hanya bagian belakangnya saja. Pria itu sudah menjauh. Ia berada di seberang jalan, lalu membuka pintu mobil dan pergi dari sana. "Mobilnya uncle Sakti bagus, ya, Mom." Aku mengangguk mengiyakan ucapan Sakti. "Lihat, uncle Samuel juga kasih mainan buat Sakti. Katanya ini mobil Tamia keluaran terbaru. Kalau besar nanti, Sakti mau jadi pembalap mobil, ya, Mom. Bolehkan?" Aku tersenyum dan mengangguk setuju. Apa pun untuk Sakti aku pasti akan perjuangkan. Cita-cita juga keinginannya sebisa mungkin akan kuberikan yang terbaik untuknya. Aku tidak ingin Sakti kekurangan apa pun. Untuk itu, aku harus berjuang lebih keras lagi. Tin! Tin! Tin! Tiba-tiba sebuah mobil berhenti di depan kami. Kaca mobil tersebut pun terbuka menampilkan sosok teman yang masih setia bersamaku hingga detik ini. "Aunty Bella!" pekik Sakti. Bella pun turun d