"Cepat buka mulut kamu," perintah Mas Samuel. Dengan hati dongkol, aku pun perlahan membuka mulut dan saat sendok itu hampir masuk ke dalam mulutku, tiba-tiba dering ponsel menyelamatkan diriku. "Ada telepon. Aku angkat dulu."Mas Samuel terlihat mendesah. Dan nasi yang tadi ia masukkan ke dalam mulutnya secara. Aku bergidik ngeri, lalu sedikit menjauh dari sana. "Halo, Mbak?" jawabku. Yang menelepon adalah Mbak Yuni. "Serena, kamu di mana? Bisa ke rumah sakit sekarang? Mbak mau jemput Kenzo dulu. Atau mau kamu aja yang sekalian ada di luar buat jemput Kenzo?"Aku menimang sebentar dan akhirnya memutuskan. "Biar aku aja, Mbak. Mbak di sana aja, nggak usah ke mana-mana.""Makasih, ya, Serena. Kenzo ada di kelas 1A, kalau nggak ketemu kamu tanya aja ke guru di sana."Baru aja aku hendak menjawab, Mbak Yuni lebih dulu menyerobot. "Oh, ya, Mbak boleh nitip sesuatu nggak? Mbak pengen makan lontong sayur.""Lontong sayur beli di mana, Mbak?" Jujur, aku memang kurang tahu yang jual lonto
Pukul 07.00 WIB. Seperti biasa, jam segini waktunya aku berkeliaran mencari makanan. Karena yang menjaga Ibu sudah ada Mas Rifki dan Mbak Yuni, jadi tidak masalah jika aku pergi. Aku menghirup udara malam. Cukup tenang dan menyejukkan. Posisiku saat ini masih di depan rumah sakit. Menikmati awan yang hampir menggelap sempurna. Aku menarik napas sebentar, lalu berjalan keluar rumah sakit dengan alas kaki seadanya. Jalan-jalan seperti ini membuat pikiranku lebih rileks. Rupanya aku memiliki hobi baru, yaitu jalan-jalan setelah matahari terbenam. Rasanya lebih menyenangkan. Aku tak perlu ngeluh panas dan sebagainya. Ada yang related tidak? Dibanding sunrise, sunset lebih menenangkan? Ya, sebab setelahnya malam. Sejujurnya, siang itu menurutku sangat pengap. Setiap matahari terbit, aku selalu berdoa cepatlah malam. Karena malam cukup menenangkan. Tidak terlalu bising. Juga jalan terbaik menghindari bertemu dengan orang-orang. Aku bukan introvert, tapi tidak suka bergaul dengan banyak
Beberapa hari kemudian. IBU sudah kembali sehat. Semenjak kepulangan Ibu dari rumah sakit, sudah seminggu ini aku tidak pulang ke rumah. Bi Siti selalu menelpon setiap harinya, menanyakan keadaanku, kenapa aku tidak pulang dan lain sebagainya.Dan hari ini aku memutuskan pulang. Aku memandang rumah 2 lantai tersebut dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Entah sampai kapan aku berada di dalamnya, yang jelas berat sekali jika hari itu tiba dan mau tidak mau aku harus pergi. Meninggalkan semuanya. "Ya ampun Bu Serena!" ujar Bi Siti langsung menghampiriku. "Ibu gimana kabarnya? Sehat kan?"Aku tersenyum tulus dan mengangguk lirih. "Alhamdulillah kalau gitu. Ayo masuk, Bu. Bibi khawatir sama Bu Serena," katanya seraya membawaku ke dalam. Sesampainya di dalam, aku tidak langsung duduk di sofa. Berdiri tegak dengan perasaan yang benar-benar sulit dijelaskan. Rumah ini masih sama. Sayangnya, saat aku pulang tidak ada lagi yang merindu. Tidak ada sosok yang ku jadikan alasan untuk pulang k
"Saya ikut senang mendengarnya Mbak Kinan," ucapku setelah lama terdiam. Tersenyum lebar untuknya. Senyumanku dibalas lebih lebar oleh Kinan. "Kamu tidak keberatan bukan, Serena?""Tidak sama sekali," jawabku melirik Mas Samuel sebentar. "Oh, ya, ini baru rencana bukan?" tanyaku tiba-tiba. Aku melirik tangan yang masih bertautan itu. "Saya lupa nawarin minum. Ngomong-ngomong mau minum apa? Biar saya buatkan sendiri.""Nggak usah Serena. Kami nggak lama—""Saya harus ke kantor." Mas Samuel berdiri lebih dulu. Aku dan Kinan pun sontak ikut berdiri."Kami pergi dulu Serena. Terima kasih sudah meluangkan waktu sepagi ini," ujar Kinan. "Ayo, Mas?"Mas Samuel terlihat tidak suka. Pria itu melepas rangkulan di tangannya. Menatap Kinan begitu tajam. Katanya mereka mau menikah, tapi kenapa sikap Mas Samuel justru aneh? "Kamu tunggu di mobil. Saya perlu bicara sama Serena," ucap Mas Samuel. "Tapi, Mas—" Mas Samuel langsung memotong. "Berdua."Helaan napas keluar dari mulut Kinan. Perempuan
"Ada klien menunggu, Bu," ujar pegawai berbisik pada Ibu namun masih bisa kudengar. "Serena kamu lihat-lihat dulu aja, Ibu keluar dulu sebentar."Aku mengangguk lirih. Setelah Ibu keluar bersama pegawai tadi, aku mengambil ponsel dan memotret gaun tersebut. Entah untuk apa, yang jelas aku ingin menyimpan foto tersebut di dalam ponselku. "Kalau gaun ini milik Kinan, kenapa waktu itu aku nggak denger pemberitaan kalau dia dan Baskara sempat ingin menikah?" Aku terus berpikir keras. "Apa Mas Samuel sebelumnya udah tau, tapi nggak pernah cerita sama aku?" tanyaku pada diri sendiri. Aku langsung melotot kala sesuatu muncul dalam pikiranku. "Jangan-jangan Kinan masuk RSJ karena ini?!" pekikku. Tidak salah lagi. Teoriku masuk akal. Setahuku, Kinan masuk rumah sakit jiwa penyebabnya karena Baskara. Pria itu membuat Kinan hingga mengalami depresi karena pernikahan tidak jadi tersebut. Ya, kalau memang tebakanku benar. Berarti selama ini, Baskara telah memaksa Kinan untuk menikah dengannya
Aku membawa Kenzo ke toko bunga milik Ibunya. Meski omongan Kenzo cukup membuatku berpikir keras, aku harus bersikap biasa saja. Kenzo itu sebenarnya belum terlalu paham tentang perceraian, tapi anak itu tahu bahwa diriku dan Mas Samuel sudah berpisah. Mbak Yuni menjelaskannya dengan cara sederhana. Perempuan itu cukup berkata bahwa aku dan Mas Samuel tidak lagi tinggal dalam satu rumah dan kami bukan pasangan seperti ia dan Mas Rifki. Dan, ya, anak kelas 1 SD itu bisa menangkap apa yang Ibunya katakan. Sesampainya kami di toko bunga. "Udah pulang ternyata. Kenzo taruh dulu sana tasnya di dalam. Mama nggak bawa baju ganti, kamu pakai baju itu aja nggak apa," ujar Mbak Yuni menyambut anaknya. Kenzo pun pergi ke dalam sesuai perintah. "Makasih, ya, Serena. Maaf jadi merepotkan kamu," ujar Mbak Yuni memandangku. "Nggak, kok, Mbak. Kebetulan aku bisa, jadi nggak merepotkan sama sekali." "Kamu mau minum apa? Biar Mbak buatkan."Aku menolaknya dengan halus. "Nggak usah, Mbak. Kayanya
Malam yang dingin. Suasana malam ini cukup berbeda. Setelah percakapan denganku Mas Samuel, pria itu tidak lama pergi lagi ke kantor dan kini datang kembali dengan pakaian santai. Posisi pria itu saat ini sedang menonton siaran televisi yang menayangkan pertandingan bola. Aku sampai di anak tangga terakhir, meliriknya sebentar lalu melanjutkan perjalanan menuju dapur. Waktu ia datang ke sini, aku sejujurnya tidak tahu. Tiba-tiba ia tengah duduk santai di ruang tamu dengan kopi yang tersedia di atas meja. Bahkan tidak menyapaku terlebih dahulu, seolah ini masih rumahnya dulu. "Mas Samuel nggak bergerak dari tempatnya, Bi?" tanyaku seraya menuangkan air putih ke dalam gelas. "Nggak, Bu. Dari tadi Bapak fokus nonton bola." Aku menatap Bi Siti yang hendak memasak kentang goreng. "Itu juga buat dia?" "Iya, Bu. Tadi Bapak minta dibuatkan kentang goreng," balas Bi Siti. Aku menaruh gelas di atas meja yang airnya sisa setengah lagi. Menatap ke arah ruang tamu dengan ekspresi bingung. K
Keesokan harinya. Aku memilih pergi meninggalkan rumah. Ini merupakan keputusan paling berani yang pernah aku ambil. Aku sudah siap dengan satu koper dan tas selempang di bahuku. Menghela napas berat kemudian turun menuruni anak tangga. Aku menyerah. Dua kata yang membuat tekadku kuat meninggalkan semuanya, termasuk rumah dan juga kota yang melahirkan aku. Napasku tercekat. Aku menatap sekeliling rumah. Dulu, rumah ini lah yang selalu menjadi tempat pulangku. Sekarang, aku harus meninggalkannya. Aku menaruh surat di atas meja. Surat itu aku tunjukan untuk kedua asisten rumah tanggaku. Hanya sepucuk surat dan pesan perpisahan singkat. Aku berharap, rumah ini selalu hidup meski penghuninya sudah lebih dulu menyerah. Lagi, lagi aku menghela napas berat. Dengan gontai, aku menyeret koper sampai luar. Masuk ke dalam mobil dan mulai pergi menuju tempat di mana aku akan memulai hidup baru di sana. —Bandar Udara Internasional Soekarno–Hatta. Aku sudah sampai di Bandara dengan tujuan De
Sudah beberapa hari ini, Mas Samuel rutin bertamu ke rumah Ibu. Entah apa tujuannya, tapi pria itu selalu saja menyempatkan waktu datang ke sini sekalipun baru pulang kerja. Ia juga membelikan banyak main untuk Sakti. Ah, perihal itu, aku sudah memberitahu Sakti. Semuanya, tanpa ada yang terlewat. Anak itu kesenangan sendiri, ia memang sempat tidak mau bicara padaku, tapi akhirnya dibujuk Mas Samuel hingga kini kami seperti keluarga. "Tumben Samuel belum datang? Biasanya dia jam 6 sudah ada di sini," ujar Ibu mengompori. Ya, biasanya Mas Samuel datang setiap jam 6 pagi ke sini. Ikut sarapan bersama kami dan setelahnya mengantar Sakti berangkat sekolah. Namun, sudah setengah 7 tapi batang hidung pria itu belum juga kelihatan. Aku sedikit, khawatir takut ia kenapa-kenapa. "Udah, dihabiskan dulu sarapannya. Kalau Samuel beneran nggak jemput Sakti, kamu bisa antar Sakti dulu. Ke butik bisa belakangan," ujar Ibu. Aku memang memutuskan kerja di butik Ibu. Aku dibimbing Ibu menjadi desai
1 Minggu kemudian. Di 1 Minggu ini, aku tidak banyak berjumpa dengan orang-orang sekitar. Semenjak pindah ke rumah ibu, waktuku dihabiskan bersama ibu dan Sakti. Aku juga telah mengurus beberapa surat kepindahan dan akhirnya saat ini aku bisa mendaftarkan Sakti ke TK. Soal panggilan dari Sky Group, aku memilih menolaknya. Waktu itu sempat tahap interview, tapi tidak jadi karena diriku memilih pergi. Aku—mungkin tidak akan bisa bekerja di bawah naungan Mas Samuel. "Kamu udah apply lamaran ke perusahaan, Mas?" tanya Mas Rifki yang pagi-pagi sudah ada di rumah Ibu. Pertanyaan itu langsung dapat anggukan dariku. Kami saat ini sedang sarapan bersama, Mas Rifki datang bersama istri dan anaknya hanya karena aku mendaftarkan Sakti ke TK di mana tempatnya sama dengan Sekolah Dasar Kenzo. Mbak Yuni menyahut, "Kamu jadi kerja di tempat Mas Rifki, Ser? Ngelamar posisi apa?" "Iya, bagian admin Mbak. Jalur referensi Mas Rifki. Katanya lagi ngebutuhin admin di sana," balasku apa adanya. Tiba
Suara dering ponsel mampu membangunkan tidur nyenyak 'ku. Panggilan itu berasal dari Reno. "Kenapa, Reno?" tanyaku bersandar di kepala ranjang. Kepalaku terasa berat. Mungkin efek mabuk semalam. "Di kantor ada Pak Rifki, Pak. Beliau menunggu di ruangan Bapak," jelas Reno. Aku mengerutkan kening. Untuk apa Rifki datang ke kantorku? "Saya segera ke sana," ucapku langsung memutus sambungan. Aku beranjak dari ranjang dengan kepala yang masih terasa pening. Namun, pandanganku tertuju kepada meja yang di atasnya terdapat lampu tidur. Di sana terdapat satu gelas air dengan sepucuk surat di bawahnya. > [Ini jamu yang bisa buat badan kamu lebih enakan. Jangan lupa diminum kalau sudah bangun. /from Serena]Aku tersenyum hangat membaca pesan tersebut. Kupikir perempuan itu marah karena semalam tanpa sadar aku telah membuatnya tidak berdaya di ranjang. Tanganku menggapai gelas tersebut dan meminumnya hingga tandas. Bentuk perhatiannya yang seperti membuatku makin yakin bahwa Serena hanya cu
Cekalan itu langsung terlepas ketika kami sampai di luar, tepatnya di depan mobil pria itu. Aku jadi tidak enak dengan Elmar yang masih di dalam. Pria itu pasti kecewa karena diriku pergi begitu saja tanpa mengucap sepatah kata. Saat kulihat, tatapan elang penuh amarah seketika tertuju padaku. Aku masih syok dengan kedatangannya yang di luar kendali. Apalagi melihat sorot matanya yang begitu menakutkan. Sehingga siapa pun yang melihatnya tidak berani menyapa, bahkan melirik saja mungkin tidak sampai. Setiap pergerakannya tidak lepas dari bola mataku. Meski aku takut sendiri, tapi pandanganku tidak bisa lepas darinya. Ia membuka jas yang menempel ditubuhnya, menyisakan kemeja putih sebagai pakaian yang kenakan. Tanpa diduga, jas hitam yang sempat ia copot tersebut beralih posisi sehingga kini aku yang memakai jas kebesaran itu. Tatapan kami bertemu. Tentu saja aku terkejut. Perhatiannya barusan membuat jantungku berdebar kencang. "Masuk," tegasnya berjalan lebih dulu ke arah mobil.
Saat ini, aku sedang mengobati luka Mas Samuel. Meski lukanya tidak cukup serius, tapi jika dibiarkan bisa jadi infeksi. Apalagi pukulan yang diberikan cukup keras sehingga sudut bibir pria itu sobek sedikit. Ah, soal Mas Rifki, ia sudah ditenangkan oleh Mbak Yuni. Aku menuangkan alkohol ke atas kapas, memegang dagu Mas Samuel tidak asa-asa. Pria itu meringis kala lukanya tidak sengaja ku tekan. Ini kedua kalinya aku melihat Mas Samuel terluka oleh kakakku, tapi soal rumah sakit. Apakah aku harus menanyakannya pada pria ini? "Tanya aja. Nggak usah ngeliatin saya kaya gitu," ucap Mas Samuel. Aku salah tingkah sendiri. Menurunkan tangan dari dagunya, lalu menatapnya lamat-lamat. "Yang dibilang Mas Rifki itu... benar?" tanyaku hati-hati. "Soal saya yang masuk rumah sakit karena kakak kamu?" Langsung kuberi anggukkan. "Soal itu, memang benar. Kejadiannya udah lama. Lagipula, saya masih hidup sampai sekarang. Jadi, pukulan Mas kamu nggak seberapa buat saya."Nggak seberapa bagaimana?
—Di dapurAku masih memikirkan ucapan Mbak Yuni. Entah kenapa hal itu malah menganggu konsentrasi. Mas Samuel dan Kinan tidak kembali. Dalam artian mereka tidak rujak atau menikah kembali. Apakah menutup telinga selama ini kesalahan terbesarku? "Serena?" Pikiranku saat ini penuh. Berbagai macam pertanyaan muncul di kepala. Tidak mungkin aku menyesal atas apa yang telah kupilih lima tahun yang lalu. Ya, tidak mungkin. Perasaan ini mungkin hanya sesaat saja. Perasaan memilukan karena tidak tahu bahwa nasib Mas Samuel justru lebih sulit dari dugaanku. "Astaga, Serena!" Aku tersentak. Buru-buru mematikan kompor. Menatap nanar ikan gosong di penggorengan. Miris. Bahkan ikan tersebut tidak ada yang bisa dimakan. Semuanya menghitam. "Kamu lagi mikirin apa coba? Masak kok malah ngelamun. Ikannya jadi gosong, kan," omel Ibu. Tatapku masih tertuju pada penggorengan di sana. Kecerobohanku lagi-lagi merugikan. Ibu terlihat marah juga khawatir. Aku tidak mengucapkan apa-apa, sebab masih syok
—HOTELAku sudah kembali ke hotel dengan perasaan campur aduk. Suaminya tidak sesuai yang aku harapkan. Harusnya aku lebih berhati-hati karena ketika hal buruk menimpa hidupku dengan Sakti, aku punya cara untuk menghindarinya. Kalau sudah seperti ini, apa yang harus aku lakukan, Tuhan? "Terima kasih, Mas. Aku sama Sakti ke dalam dulu," ujarku tersenyum tipis kepada Elmar. Elmar memegang tanganku kala pintu hotel hendak ditutup. Pria itu memberi kode kepada Sakti agar anak itu pergi lebih dulu ke dalam. Ia menarik tanganku sehingga kini aku berada di luar pintu. "Ada yang mau saya tanyakan sama kamu," ujar Elmar melepas cekalan tadi. Aku menekuk kedua alis. Apakah pria itu akan bertanya soal Mas Samuel? "Sejak kapan kamu dekat lagi dengan Samuel?" tanyanya. Dugaanku benar. Elmar menanyakan soal Mas Samuel. Namun, kenapa tiba-tiba begini? Ini bahkan terasa seperti interogasi, bukan tanya bertanya."Aku rasa kita nggak perlu bahas itu, Mas. Lagipula, dekat lagi atau nggak, itu hak
"Papa senang, akhirnya kita bertemu, Sakti."Bella langsung memegang pundakku. Perempuan itu juga membawa Sakti pergi menjauh dari kami. Kini, tinggal aku dan Mas Samuel yang saling berhadapan satu sama lain. Aku tidak tahu kenapa keadaan saat ini cukup mencekam. Mas Samuel terus menatapku seolah tidak ada objek lain di sekitarnya. Aku benar-benar tidak bisa berkata apa pun. Ini membuatku mati kutu. "Saya sudah melakukan tes DNA," ucap Mas Samuel makin mengejutkanku. "Ibu bilang bahwa Sakti begitu mirip dengan saya sewaktu kecil. Awalnya saya nggak berpikir demikian. Tapi, saat saya mencoba mendekat pada Sakti, saya merasa memang benar ada kemiripan antara saya dan Sakti. Itu sebabnya saya melakukan tes DNA," jelas pria itu. Mas Samuel menatapku sangat dalam. "Serena, jika Sakti memang anak kita berdua, kenapa kamu menyembunyikan hal ini dari saya?" Aku membuang wajah ke arah lain. Menarik napas di sana. Lalu menatap Mas Samuel dengan napas sedikit tercekat. "Sakti bukan anak ka
"Sakti?" panggilku langsung menghampirinya. "Kamu habis ngobrol sama siapa?" "Tadi ada uncle Samuel, Mom."Aku menatap arah pandangan Sakti. Yang terlihat hanya bagian belakangnya saja. Pria itu sudah menjauh. Ia berada di seberang jalan, lalu membuka pintu mobil dan pergi dari sana. "Mobilnya uncle Sakti bagus, ya, Mom." Aku mengangguk mengiyakan ucapan Sakti. "Lihat, uncle Samuel juga kasih mainan buat Sakti. Katanya ini mobil Tamia keluaran terbaru. Kalau besar nanti, Sakti mau jadi pembalap mobil, ya, Mom. Bolehkan?" Aku tersenyum dan mengangguk setuju. Apa pun untuk Sakti aku pasti akan perjuangkan. Cita-cita juga keinginannya sebisa mungkin akan kuberikan yang terbaik untuknya. Aku tidak ingin Sakti kekurangan apa pun. Untuk itu, aku harus berjuang lebih keras lagi. Tin! Tin! Tin! Tiba-tiba sebuah mobil berhenti di depan kami. Kaca mobil tersebut pun terbuka menampilkan sosok teman yang masih setia bersamaku hingga detik ini. "Aunty Bella!" pekik Sakti. Bella pun turun d