—POV Samuel"Papa! Lempar lagi bolanya, Pa!" teriak Anin memberikan semangat padaku.Sekarang posisi kami sedang berada di salah satu Mall di Jakarta. Main Timezone merupakan permintaan Anin yang baru bisa aku kabulkan sekarang. Kesibukan memang selalu mengalahkan segalanya bukan? "Papa lempar lagi!" teriak Anin begitu antusias. Saat ini kami sedang bermain mandi bola. Permainan yang membuat Anin bahagia di setiap part-nya, padahal hanya bermain dengan bola saja. "Bunda, ayo lempar juga!" kata Anin terus meneriaki aku dan Kinan. Satu lemparan bola sengaja ku arahkan kepada Kinan karena ia terus berdiam bak penonton, untung perempuan itu cepat menghindar sehingga bola tersebut tidak terkena wajahnya. "Haha! Bunda kena!" tawa Anin begitu lepas. "Papa ayo lempar lagi! Kita serang Bunda!" kata Anin terus mengompori. Setelah merasa puas main mandi bola. Kini kami berpindah ke permainan lain, yaitu bola basket. "Papa tanding lawan Bunda, ya!" ujar Anin seolah menjadi wasit. Aku men
—POV Serena Aku bingung kala Bella menghentikan langkahnya. Kupikir perempuan itu kenapa, ternyata kini di depanku ada Mas Samuel juga Kinan. Aku sampai terpaku di tempat. "Mas Samuel?" lirihku. Mereka berdua sama terkejutnya dengan kami. Aku memandang diam. Tidak ada pembicaraan. Hening pun terjadi. Tadi, saat di toko bunga milik Mbak Yuni setelah kepergian Baskara tiba-tiba Bella menghubungiku. Perempuan itu meminta di antar ke Mall karena ingin membeli komik di Gramedia. Katanya si buat pengalihan isu supaya bisa sedikit melupakan Hendra, mantan kekasih yang masih dicintainya. Tersadar, aku langsung menarik tangan Bella. "Kita ke rak yang lain aja, Bel." Bella menurut dan kami pun pergi ke rak buku di belakang sana. Sedangkan Mas Samuel dan Kinan hanya diam menatap kepergian kami. "Nggak ekspek ketemu mantan lo di sini," ujar Bella seraya mengintip. "Eh, mereka ngapain di sini, ya? Masa iya Kinan baca komik sama kaya gue? Atau mantan lo?""Mas Samuel nggak suka baca komik, k
"Serena, l-lo mau ke mana?" cegah Bella saat aku mulai menjauh dari meja yang tadi aku tempati bersama Mas Samuel, Kinan dan Anin. Aku menatap Bella sebentar. Lalu kembali melanjutkan niat. Ya, aku memilih pergi dibanding terus bersama mereka. Aku marah. Entah kenapa. "Serena!" teriak Bella. Mungkin Bella melihat kebersamaan Mas Samuel di belakang sana bersama Kinan dan anaknya. Sehingga aku mendengar derap langkah mulai mendekati. Yang tidak lain dan tidak bukan adalah Bella orangnya. Karena tidak mungkin Mas Samuel mengejarku, pertanyaannya untuk apa? "Serena, astaga!" ujar Bella setelah berhasil berdiri dan mensejajarkan langkahnya denganku. "Kok lo malah pergi gitu aja si?" kesal Bella. Aku tidak menjawab. Terus melanjutkan perjalanan. "Serena!" Sentakan dari tangan Bella membuat langkahku ikut berhenti. Aku mencoba agar amarah itu tidak meledak di depan Bella. Bahkan matanya saat ini rasanya panas sekali, seperti ingin menangis. Oh, tidak. Ini buruk. Mengapa hal sepele se
Mas Samuel mengantarkan aku sampai rumah. Di sepanjang perjalanan, pria itu tidak mengajakku berbicara. Aku pun memilih membisu. Kini, setelah sampai rumah aku dan Mas Samuel langsung disambut oleh Bi Siti. "Ya ampun Bu Serena kenapa pucat begini, Pak?" tanya Bi Siti langsung menghampiri kami. "Tolong siapkan air hangat."Diberi perintah seperti itu, Bi Siti langsung mengangguk dan melesat pergi ke dalam kamar mandi. "Saya ambil handuk dulu. Kamu tunggu di sini jangan ke mana-mana," ujar Mas Samuel. Aku tidak mengangguk hanya melihat kepergian pria itu. Awalnya ingin menolak, tapi rasanya tidak bertenaga untuk sekedar berbicara. Pikiranku terus tertuju di mana pria itu mengabaikan pelukanku. Entah kenapa hatiku terluka karenanya. Mas Samuel kembali dengan handuk di tangannya. Aku menerima handuk tersebut dan Bi Siti pun muncul dengan langkah tergesa-gesa. "Air hangatnya sudah Bibi siapkan, Pak," ujar Bi Siti. Mas Samuel lalu menatap ke arahku. "Ayo saya antar ke kamar mandi."A
Pagi pun tiba. Aku mengeluh dalam tidurku. Membuka mata karena merasakan ada tangan yang melilit tubuhku. Awalnya aku kaget karena posisi wajah Mas Samuel sangat dekat denganku. Dengan nakalnya tanganku memegang setiap inci di wajahnya. Mulai dari alis, mata, hidung hingga yang terakhir adalah bibir. Aku tersenyum hangat. Ketampanan Mas Samuel tidak dapat diragukan lagi. Pantas aku sulit sekali melupakan pria ini. Tiba-tiba pria itu bergerak dalam tidurnya. Aku panik sendiri langsung memejamkan mata takut ketahuan. Namun, yang kurasa adalah tangan itu makin memperdalam pelukan di pinggangku. Hingga aku merasakan ksatria pria itu menyentuh bagianku di bawah sana. Lantas aku tersenyum simpul. Membalas pelukan itu dan kembali melanjutkan tidur entah sampai jam berapa. Melupakan status di antara kami yang sudah tidak lagi bersama. Saat mataku terpejam. Aku merasakan sebuah kecupan hangat di kening, juga usapan lembut di bagian sudut bibir. Dengan perlahan, mataku kembali terbuka. Ma
"Kamu nggak mungkin hamil kan Serena?" tanyanya Mas Samuel tiba-tiba. Deg!Kenapa pertanyaan mustahil itu bisa terlontar dari mulut Mas Samuel? Melihat tatapannya yang penuh curiga membuatku was-was sendiri. Betulkah yang aku dengar barusan? Pria itu mendekatiku. Mengikis jarak di antara kami. Aku yang tadinya sempat berdiri langsung terduduk kembali di bangku meja makan karena dorongan Mas Samuel yang makin maju ke arahku. Pria yang amat kucintai itu menatapku tajam seolah diriku adalah buronan. Bagaimana jika pria itu mengetahui keadaanku dan tetap tidak memilihku? Aku yakin, aku tidak akan baik-baik saja setelah ini. "Tempo lalu, kamu dan Bella datang ke rumah sakit. Di sana kalian konsultasi dengan Dokter kandungan," telak Mas Samuel. Napasku makin tercekat. Dari mana pria itu tahu? Ah, jangan bilang mata-matanya masih mengikuti diriku? "Siapa di antara kalian yang hamil. Jawab saya Serena!" sentak Mas Samuel. Aku menutup mata dan mengigit bibir bagian dalam saking takutnya
Dan kini, meski aku sudah memutuskan urat malu di depan Mas Samuel dengan cara menciumnya lebih dulu, tetap saja hal itu tidak berpengaruh apa pun. Mas Samuel tetap kekeh membawaku ke dalam rumah sakit. Ya, ini lah akhirnya. Aku sudah berada di depan dokter kandungan yang tempo lalu sempat memeriksa keadaanku. Entah apa yang terjadi. Aku berharap ini bukan akhir dari awal yang aku semoga kan. "Silakan Ibu berbaring terlebih dahulu," perintah Dokter. Dengan ragu, aku pun merebahkan tubuhku di atas ranjang rumah sakit dengan monitor di sampingnya. Dokter mulai membuka setengah baju yang aku pakai, tentu saja itu atas dasar persetujuanku. Dilanjut dengan ia mengoleskan gel di area perutku. Napasku tercekat. Aku benar-benar takut. Mas Samuel ada di sini sebagai saksi. Aku memejamkan mata kala alat itu hendak menyentuh area perutku. Suara dering ponsel. Sontak aku membuka mata dengan lebar. Dokter pun menghentikan pergerakannya karena terkejut dengan reaksiku. Aku mengambil ponsel di
Setelah kepergian Mas Samuel. Aku berdiri di luar ruang rawat Ibu. Beberapa kali memikirkan bagaimana caranya agar Mas Samuel berhenti mencurigai diriku. Aku bingung sekaligus takut. Bukan bermaksud jahat, hanya saja aku tidak ingin terlibat lagi masalah dengan keluarga Wijaya (keluarga Mas Samuel). Aku terus mondar-mandir tidak jelas. Memegang ponsel seraya berpikir jalan keluarnya. Tiba-tiba aku teringat Reno. Iya, Reno sekretarisnya Mas Samuel. Untung aku masih menyimpan nomornya, dengan ragu ku tekan nama Reno dan memanggilnya. Panggilan berhasil tersambung. Aku bernapas lega. Meski di waktu kerja, ternyata Reno tidak menolak panggilan telepon dariku. "Selamat siang, Bu Serena. Apakah ada yang bisa saya bantu?" ujar Reno dari seberang sana. "Reno kamu lagi sama Pak Samuel?" tanyaku buru-buru. "Kami habis selesai meeting. Pak Samuel ada di ruangannya, Bu."Lagi, lagi aku bernapas lega. "Siang ini kamu sibuk? Ada yang mau saya bicarakan sama kamu.""Tidak, Bu. Siang ini kami f
Sudah beberapa hari ini, Mas Samuel rutin bertamu ke rumah Ibu. Entah apa tujuannya, tapi pria itu selalu saja menyempatkan waktu datang ke sini sekalipun baru pulang kerja. Ia juga membelikan banyak main untuk Sakti. Ah, perihal itu, aku sudah memberitahu Sakti. Semuanya, tanpa ada yang terlewat. Anak itu kesenangan sendiri, ia memang sempat tidak mau bicara padaku, tapi akhirnya dibujuk Mas Samuel hingga kini kami seperti keluarga. "Tumben Samuel belum datang? Biasanya dia jam 6 sudah ada di sini," ujar Ibu mengompori. Ya, biasanya Mas Samuel datang setiap jam 6 pagi ke sini. Ikut sarapan bersama kami dan setelahnya mengantar Sakti berangkat sekolah. Namun, sudah setengah 7 tapi batang hidung pria itu belum juga kelihatan. Aku sedikit, khawatir takut ia kenapa-kenapa. "Udah, dihabiskan dulu sarapannya. Kalau Samuel beneran nggak jemput Sakti, kamu bisa antar Sakti dulu. Ke butik bisa belakangan," ujar Ibu. Aku memang memutuskan kerja di butik Ibu. Aku dibimbing Ibu menjadi desai
1 Minggu kemudian. Di 1 Minggu ini, aku tidak banyak berjumpa dengan orang-orang sekitar. Semenjak pindah ke rumah ibu, waktuku dihabiskan bersama ibu dan Sakti. Aku juga telah mengurus beberapa surat kepindahan dan akhirnya saat ini aku bisa mendaftarkan Sakti ke TK. Soal panggilan dari Sky Group, aku memilih menolaknya. Waktu itu sempat tahap interview, tapi tidak jadi karena diriku memilih pergi. Aku—mungkin tidak akan bisa bekerja di bawah naungan Mas Samuel. "Kamu udah apply lamaran ke perusahaan, Mas?" tanya Mas Rifki yang pagi-pagi sudah ada di rumah Ibu. Pertanyaan itu langsung dapat anggukan dariku. Kami saat ini sedang sarapan bersama, Mas Rifki datang bersama istri dan anaknya hanya karena aku mendaftarkan Sakti ke TK di mana tempatnya sama dengan Sekolah Dasar Kenzo. Mbak Yuni menyahut, "Kamu jadi kerja di tempat Mas Rifki, Ser? Ngelamar posisi apa?" "Iya, bagian admin Mbak. Jalur referensi Mas Rifki. Katanya lagi ngebutuhin admin di sana," balasku apa adanya. Tiba
Suara dering ponsel mampu membangunkan tidur nyenyak 'ku. Panggilan itu berasal dari Reno. "Kenapa, Reno?" tanyaku bersandar di kepala ranjang. Kepalaku terasa berat. Mungkin efek mabuk semalam. "Di kantor ada Pak Rifki, Pak. Beliau menunggu di ruangan Bapak," jelas Reno. Aku mengerutkan kening. Untuk apa Rifki datang ke kantorku? "Saya segera ke sana," ucapku langsung memutus sambungan. Aku beranjak dari ranjang dengan kepala yang masih terasa pening. Namun, pandanganku tertuju kepada meja yang di atasnya terdapat lampu tidur. Di sana terdapat satu gelas air dengan sepucuk surat di bawahnya. > [Ini jamu yang bisa buat badan kamu lebih enakan. Jangan lupa diminum kalau sudah bangun. /from Serena]Aku tersenyum hangat membaca pesan tersebut. Kupikir perempuan itu marah karena semalam tanpa sadar aku telah membuatnya tidak berdaya di ranjang. Tanganku menggapai gelas tersebut dan meminumnya hingga tandas. Bentuk perhatiannya yang seperti membuatku makin yakin bahwa Serena hanya cu
Cekalan itu langsung terlepas ketika kami sampai di luar, tepatnya di depan mobil pria itu. Aku jadi tidak enak dengan Elmar yang masih di dalam. Pria itu pasti kecewa karena diriku pergi begitu saja tanpa mengucap sepatah kata. Saat kulihat, tatapan elang penuh amarah seketika tertuju padaku. Aku masih syok dengan kedatangannya yang di luar kendali. Apalagi melihat sorot matanya yang begitu menakutkan. Sehingga siapa pun yang melihatnya tidak berani menyapa, bahkan melirik saja mungkin tidak sampai. Setiap pergerakannya tidak lepas dari bola mataku. Meski aku takut sendiri, tapi pandanganku tidak bisa lepas darinya. Ia membuka jas yang menempel ditubuhnya, menyisakan kemeja putih sebagai pakaian yang kenakan. Tanpa diduga, jas hitam yang sempat ia copot tersebut beralih posisi sehingga kini aku yang memakai jas kebesaran itu. Tatapan kami bertemu. Tentu saja aku terkejut. Perhatiannya barusan membuat jantungku berdebar kencang. "Masuk," tegasnya berjalan lebih dulu ke arah mobil.
Saat ini, aku sedang mengobati luka Mas Samuel. Meski lukanya tidak cukup serius, tapi jika dibiarkan bisa jadi infeksi. Apalagi pukulan yang diberikan cukup keras sehingga sudut bibir pria itu sobek sedikit. Ah, soal Mas Rifki, ia sudah ditenangkan oleh Mbak Yuni. Aku menuangkan alkohol ke atas kapas, memegang dagu Mas Samuel tidak asa-asa. Pria itu meringis kala lukanya tidak sengaja ku tekan. Ini kedua kalinya aku melihat Mas Samuel terluka oleh kakakku, tapi soal rumah sakit. Apakah aku harus menanyakannya pada pria ini? "Tanya aja. Nggak usah ngeliatin saya kaya gitu," ucap Mas Samuel. Aku salah tingkah sendiri. Menurunkan tangan dari dagunya, lalu menatapnya lamat-lamat. "Yang dibilang Mas Rifki itu... benar?" tanyaku hati-hati. "Soal saya yang masuk rumah sakit karena kakak kamu?" Langsung kuberi anggukkan. "Soal itu, memang benar. Kejadiannya udah lama. Lagipula, saya masih hidup sampai sekarang. Jadi, pukulan Mas kamu nggak seberapa buat saya."Nggak seberapa bagaimana?
—Di dapurAku masih memikirkan ucapan Mbak Yuni. Entah kenapa hal itu malah menganggu konsentrasi. Mas Samuel dan Kinan tidak kembali. Dalam artian mereka tidak rujak atau menikah kembali. Apakah menutup telinga selama ini kesalahan terbesarku? "Serena?" Pikiranku saat ini penuh. Berbagai macam pertanyaan muncul di kepala. Tidak mungkin aku menyesal atas apa yang telah kupilih lima tahun yang lalu. Ya, tidak mungkin. Perasaan ini mungkin hanya sesaat saja. Perasaan memilukan karena tidak tahu bahwa nasib Mas Samuel justru lebih sulit dari dugaanku. "Astaga, Serena!" Aku tersentak. Buru-buru mematikan kompor. Menatap nanar ikan gosong di penggorengan. Miris. Bahkan ikan tersebut tidak ada yang bisa dimakan. Semuanya menghitam. "Kamu lagi mikirin apa coba? Masak kok malah ngelamun. Ikannya jadi gosong, kan," omel Ibu. Tatapku masih tertuju pada penggorengan di sana. Kecerobohanku lagi-lagi merugikan. Ibu terlihat marah juga khawatir. Aku tidak mengucapkan apa-apa, sebab masih syok
—HOTELAku sudah kembali ke hotel dengan perasaan campur aduk. Suaminya tidak sesuai yang aku harapkan. Harusnya aku lebih berhati-hati karena ketika hal buruk menimpa hidupku dengan Sakti, aku punya cara untuk menghindarinya. Kalau sudah seperti ini, apa yang harus aku lakukan, Tuhan? "Terima kasih, Mas. Aku sama Sakti ke dalam dulu," ujarku tersenyum tipis kepada Elmar. Elmar memegang tanganku kala pintu hotel hendak ditutup. Pria itu memberi kode kepada Sakti agar anak itu pergi lebih dulu ke dalam. Ia menarik tanganku sehingga kini aku berada di luar pintu. "Ada yang mau saya tanyakan sama kamu," ujar Elmar melepas cekalan tadi. Aku menekuk kedua alis. Apakah pria itu akan bertanya soal Mas Samuel? "Sejak kapan kamu dekat lagi dengan Samuel?" tanyanya. Dugaanku benar. Elmar menanyakan soal Mas Samuel. Namun, kenapa tiba-tiba begini? Ini bahkan terasa seperti interogasi, bukan tanya bertanya."Aku rasa kita nggak perlu bahas itu, Mas. Lagipula, dekat lagi atau nggak, itu hak
"Papa senang, akhirnya kita bertemu, Sakti."Bella langsung memegang pundakku. Perempuan itu juga membawa Sakti pergi menjauh dari kami. Kini, tinggal aku dan Mas Samuel yang saling berhadapan satu sama lain. Aku tidak tahu kenapa keadaan saat ini cukup mencekam. Mas Samuel terus menatapku seolah tidak ada objek lain di sekitarnya. Aku benar-benar tidak bisa berkata apa pun. Ini membuatku mati kutu. "Saya sudah melakukan tes DNA," ucap Mas Samuel makin mengejutkanku. "Ibu bilang bahwa Sakti begitu mirip dengan saya sewaktu kecil. Awalnya saya nggak berpikir demikian. Tapi, saat saya mencoba mendekat pada Sakti, saya merasa memang benar ada kemiripan antara saya dan Sakti. Itu sebabnya saya melakukan tes DNA," jelas pria itu. Mas Samuel menatapku sangat dalam. "Serena, jika Sakti memang anak kita berdua, kenapa kamu menyembunyikan hal ini dari saya?" Aku membuang wajah ke arah lain. Menarik napas di sana. Lalu menatap Mas Samuel dengan napas sedikit tercekat. "Sakti bukan anak ka
"Sakti?" panggilku langsung menghampirinya. "Kamu habis ngobrol sama siapa?" "Tadi ada uncle Samuel, Mom."Aku menatap arah pandangan Sakti. Yang terlihat hanya bagian belakangnya saja. Pria itu sudah menjauh. Ia berada di seberang jalan, lalu membuka pintu mobil dan pergi dari sana. "Mobilnya uncle Sakti bagus, ya, Mom." Aku mengangguk mengiyakan ucapan Sakti. "Lihat, uncle Samuel juga kasih mainan buat Sakti. Katanya ini mobil Tamia keluaran terbaru. Kalau besar nanti, Sakti mau jadi pembalap mobil, ya, Mom. Bolehkan?" Aku tersenyum dan mengangguk setuju. Apa pun untuk Sakti aku pasti akan perjuangkan. Cita-cita juga keinginannya sebisa mungkin akan kuberikan yang terbaik untuknya. Aku tidak ingin Sakti kekurangan apa pun. Untuk itu, aku harus berjuang lebih keras lagi. Tin! Tin! Tin! Tiba-tiba sebuah mobil berhenti di depan kami. Kaca mobil tersebut pun terbuka menampilkan sosok teman yang masih setia bersamaku hingga detik ini. "Aunty Bella!" pekik Sakti. Bella pun turun d