Hening beberapa saat. "Mbak duluan, sebentar lagi bel masuk." Saat beberapa langkah, perempuan itu kembali membalikkan badannya ke arahku. "Oh, ya, Mbak lupa. Mas kamu bilang, Ibu ngundang kita buat makan malam di rumah. Kamu jangan lupa datang, ya," ujar Mbak Yuni setelahnya langsung pergi. Aku terduduk lesu di kantin. Memori dalam ingatan seolah menyadarkanku. Bayangan aku memulai hidup bersama Mas Samuel dan mengabaikan janji di masa lalu dengan Bayu, hal itu membuat kepalaku pening. Bayu memang cinta pertamaku, tapi cinta pertama bukan berarti harus selalu saling memiliki. Perpisahan justru menjadi ending paling kuat di hubungan kami. Kini, Bayu hanyalah masa lalu yang kenangannya tersimpan rapi di dalam sana. Menjadi lembar kisah yang usang dimakan waktu. Apakah yang aku lakukan selama ini salah? Apakah selama ini aku terlalu egois? Tuhan, jika benar pernikahan ini bisa diperbaiki. Kumohon segera beri petunjuk. Aku hanya ingin bahagia. Mas Samuel lah orang yang aku pilih
—POV SamuelSiang ini, aku mengadakan meeting dadakan selama 30 menit sebelum jam istirahat. Kepalaku rasanya ikut sakit mengingat Hendra terus mengeluh mengenai proyek yang sedang berjalan di Singapore tiba-tiba harus mangkrak karena pihak di sana—klien kami menghentikan proyek tersebut secara paksa. Reno juga melaporkan bahwa Baskara telah memberikan benefit yang tinggi sehingga klien setuju pindah kepada perusahaan pria itu. Baskara juga ikut andil dalam pembayaran denda sekitar 5% dari denda aslinya. Pria itu, benar-benar memakai kekuasaannya untuk mengancamku. Bianca pun datang kembali ke ruang meeting dengan satu berkas di tangannya. Ia tak langsung duduk di kursinya, tapi malah menghampiriku dan berbisik sesuatu. "Maaf, Pak. Di ruangan ada istri Bapak menunggu di sana," bisiknya pelan. Bianca langsung menegakkan tubuhnya dan duduk di kursi miliknya. Aku menatap Reno dengan tatapan penuh arti. Seolah mengerti, Reno langsung mengecek ponselnya dan menunjukkan sesuatu padaku.
—POV SerenaKini waktu sudah menunjukkan pukul 5 sore, di mana aku dan Anin sudah siap-siap pergi ke rumah neneknya Anin sebelum ke rumah orang tuaku. Sesuai yang aku minta, Mas Samuel pulang lebih cepat dari biasanya. Kami bertiga masih berada di apartemen, menunggu Mas Samuel yang sedang mengganti pakaiannya di dalam kamar. Pakaian yang aku pakai pun cukup simpel, hanya menggunakan celana panjang berwarna hitam dengan baju lengan setengah siku. Pria itu keluar dari kamar dengan baju yang hampir senada denganku. Sedangkan Anin memakai celana pendek di atas paha, dipadukan baju lengan pendek serta rambut dikepang dua. "Ayo, Mas? Nanti takut kemalaman ke rumah ibunya," ujarku menghampiri Mas Samuel. Pria itu mengangguk. Kami pun pergi menuju parkiran bawah tanah dan meninggalkan kawasan apartemen dengan perasaan berbunga-bunga. "Mampir dulu ke toko kue, Mas. Aku mau beli brownis dulu," ujarku setelah berada di jalan raya. Mas Samuel melirik sekilas ke arahku dan kembali fokus men
—Rumah orang tuaku (Serena) Seusai berkunjung ke rumah neneknya Anin, kami kembali berada di mobil bergegas pergi menuju rumah orang tuaku. Sekarang sudah hampir jam 7 malam. Anin rupanya tertidur di pangkuanku. Aku mengusap lembut rambutnya. Tersenyum tipis, bahkan sangat tipis. Tiba-tiba tangan kiri Mas Samuel menggenggam erat tanganku. Aku yang merasa aneh pun menoleh padanya dan menatap bingung pria di sebelahku. "Makasih Serena," ucapnya. Ia menoleh sebentar dan kembali fokus menyetir. "Makasih udah mau nerima Anin dan sayang sama Anin." Aku tersenyum hangat dengan sorot mata bahagia. Aku senang karena Mas Samuel akhirnya menyadari apa yang sedang aku usahakan saat ini. Sesampai di rumah Ibu. Kami mengetuk pintu lebih dulu, saat pintu itu terbuka, kami pun dipersilakan masuk dan aku menenteng bingkisan sampai kamar lalu menaruhnya di meja ruang tamu. "Aku bawa brownis, jangan lupa dimakan, ya. Oh, ya, Ibu ke mana Mbak?" tanyaku celingukan sendiri. "Ada, Ibu lagi di dapur
Aku melepas pelukan itu. Menatap Mas Samuel, lalu tersenyum hangat sebelum mengecup kilas bibirnya. "Terima kasih. Mas sayang kamu Serena," ujar Mas Samuel. Keningku mengerut. "Mas?""Mas manggil diri sendiri dengan sebutan 'Mas'? Aku nggak salah denger kan?" Senyumku langsung mengembang. "Kamu nggak suka?" Aku menatapnya. "Suka, kok. Suka banget malah.""Mas sayang banget sama kamu, Serena."Sontak aku terkekeh geli. "Tiba-tiba?""Eh?" ucapku kaget kala Mas Samuel menarik pinggangku hingga tubuhku menabrak dada bidangnya. Pria itu menatapku sebentar lalu mendaratkan berbagai kecup sebanyak sepuluh kali di seluruh wajahku. Aku yang menerima itu merasa geli sendiri. Namun, baru saja aku menjauh dari wajahnya, pria itu langsung mengecup wajahku lagi tapi kali ini dengan gerakan cepat hingga membuatku ingin berteriak. Kami pun terkekeh bersama dengan tangan Mas Samuel yang masih berada di pinggangku. Aku tak bisa menahan gejolak di dalam sana. Menepuk-nepuk pelan dada bidang suami
"Lo inget yang gue cerita lagi nge-date sama dia dan gue nelpon lo? Itu pulangnya gue diajak ke rumah dia. Dan, orang tua Mas Hendra... kayanya nggak suka sama gue," ujar Bella terdengar lirih. —Flashback Bella (Author POV) Waktu itu, pada malam di mana Bella mengiyakan ajakan Hendra untuk pergi ke rumahnya, di situ lah Bella merasakan bahwa kehadirannya tak pernah diinginkan oleh keluarga Pramudya. Perasaannya lantas bercampur aduk kala untuk pertama kalinya kaki ia injakan ke kediaman Pramudya, yang tak lain adalah keluarga Hendra, kekasihnya sendiri. Itu adalah pertemuan pertama Bella dan orang tua kekasihnya setelah hubungan mereka sudah terjalin dua tahun. Bella beberapa kali mengatur napasnya. Dibarengi dengan itu, Hendra terus menyakinkan bahwa keluarganya pasti akan menerima Bella dengan baik. Pria itu juga menggandeng tangan Bella sampai ke dalam rumah. "Tenang, Mama sama Papa aku nggak gigit, Sayang," ujar Hendra. Bella hanya mampu tersenyum. Ia bahkan tak bisa mengat
—Siang HariUsai percakapanku dengan Bella di cafe, kami memutuskan berpisah. Bella dengan pikiran kacaunya pergi ke rumah, sedangkan aku kini sudah berada di sekolah Anin menunggu anak itu pulang. Di taman kanak-kanak, aku hanya bisa melamun. Memikirkan bagaimana nasib hubungan Bella dan Hendra setelahnya. Jika Bella berakhir tak bersama Hendra, apa yang harus aku lakukan? Aku bahkan tak sanggup melihat hati sahabatku sendiri hancur lebur. Beberapa kali aku menarik napas gusar. Berharap ada keajaiban di hubungan mereka. Walau aku masih tak habis pikir dengan apa yang terjadi. Ya, bagaimana Hendra menerima tunangannya itu saat ia sudah memiliki kekasih? Dering ponsel membuat lamunanku buyar. Aku menatap layar itu dan membaca siapa yang menelepon di siang hari seperti ini. Reno. Nama itu yang tertera di layar ponselku. Tanpa banyak pikir, aku menekan tombol hijau pertanda panggilan diterima. "Selamat siang, Bu," sapa Reno terlebih dahulu. "Siang, Ren. Kenapa?""Pak Samuel sedang
—Kedai Mie Ayam"Mang Asep, mie ayam bakso satu, sama mie ayam pangsit satu, ya." "Siap, Mbak Serena. Ditunggu, ya. Mangga duduk dulu di sana," ujar si penjual mie ayam legendaris yang kukenali bernama Asep. Aku pun mengajak Anin duduk di meja kosong. Menaruh tas gendong anak itu di sebelah dekat tembok, di mana meja kami mepet dengan dinding. "Ma, Papa lagi apa, ya?" tanya Anin tiba-tiba. "Lagi kerja, Sayang. Kenapa, kok, Anin tiba-tiba nanyain Papa?" "Anin pengen makan mie ayam bareng sama Papa juga."Permintaan anak kecil memang tak sepenuhnya salah. Apalagi perihal makan bersama sang ayah tercinta. Namun, entah kenapa aku merasa Anin salah satu anak yang memang tak bisa lepas dari sosok ayah. Aku menyadari satu hal bahwa setiap kami bersama, Mas Samuel selalu menjadi topik pembicaraan. Anin selalu menanyakan keberadaan sang ayah, selalu ingin berada di sisinya. Apa pun dan dalam kondisi kami sedang berdua sekalipun, yang ditanya selalu Mas Samuel, ayahnya sendiri. Dan kini
Sudah beberapa hari ini, Mas Samuel rutin bertamu ke rumah Ibu. Entah apa tujuannya, tapi pria itu selalu saja menyempatkan waktu datang ke sini sekalipun baru pulang kerja. Ia juga membelikan banyak main untuk Sakti. Ah, perihal itu, aku sudah memberitahu Sakti. Semuanya, tanpa ada yang terlewat. Anak itu kesenangan sendiri, ia memang sempat tidak mau bicara padaku, tapi akhirnya dibujuk Mas Samuel hingga kini kami seperti keluarga. "Tumben Samuel belum datang? Biasanya dia jam 6 sudah ada di sini," ujar Ibu mengompori. Ya, biasanya Mas Samuel datang setiap jam 6 pagi ke sini. Ikut sarapan bersama kami dan setelahnya mengantar Sakti berangkat sekolah. Namun, sudah setengah 7 tapi batang hidung pria itu belum juga kelihatan. Aku sedikit, khawatir takut ia kenapa-kenapa. "Udah, dihabiskan dulu sarapannya. Kalau Samuel beneran nggak jemput Sakti, kamu bisa antar Sakti dulu. Ke butik bisa belakangan," ujar Ibu. Aku memang memutuskan kerja di butik Ibu. Aku dibimbing Ibu menjadi desai
1 Minggu kemudian. Di 1 Minggu ini, aku tidak banyak berjumpa dengan orang-orang sekitar. Semenjak pindah ke rumah ibu, waktuku dihabiskan bersama ibu dan Sakti. Aku juga telah mengurus beberapa surat kepindahan dan akhirnya saat ini aku bisa mendaftarkan Sakti ke TK. Soal panggilan dari Sky Group, aku memilih menolaknya. Waktu itu sempat tahap interview, tapi tidak jadi karena diriku memilih pergi. Aku—mungkin tidak akan bisa bekerja di bawah naungan Mas Samuel. "Kamu udah apply lamaran ke perusahaan, Mas?" tanya Mas Rifki yang pagi-pagi sudah ada di rumah Ibu. Pertanyaan itu langsung dapat anggukan dariku. Kami saat ini sedang sarapan bersama, Mas Rifki datang bersama istri dan anaknya hanya karena aku mendaftarkan Sakti ke TK di mana tempatnya sama dengan Sekolah Dasar Kenzo. Mbak Yuni menyahut, "Kamu jadi kerja di tempat Mas Rifki, Ser? Ngelamar posisi apa?" "Iya, bagian admin Mbak. Jalur referensi Mas Rifki. Katanya lagi ngebutuhin admin di sana," balasku apa adanya. Tiba
Suara dering ponsel mampu membangunkan tidur nyenyak 'ku. Panggilan itu berasal dari Reno. "Kenapa, Reno?" tanyaku bersandar di kepala ranjang. Kepalaku terasa berat. Mungkin efek mabuk semalam. "Di kantor ada Pak Rifki, Pak. Beliau menunggu di ruangan Bapak," jelas Reno. Aku mengerutkan kening. Untuk apa Rifki datang ke kantorku? "Saya segera ke sana," ucapku langsung memutus sambungan. Aku beranjak dari ranjang dengan kepala yang masih terasa pening. Namun, pandanganku tertuju kepada meja yang di atasnya terdapat lampu tidur. Di sana terdapat satu gelas air dengan sepucuk surat di bawahnya. > [Ini jamu yang bisa buat badan kamu lebih enakan. Jangan lupa diminum kalau sudah bangun. /from Serena]Aku tersenyum hangat membaca pesan tersebut. Kupikir perempuan itu marah karena semalam tanpa sadar aku telah membuatnya tidak berdaya di ranjang. Tanganku menggapai gelas tersebut dan meminumnya hingga tandas. Bentuk perhatiannya yang seperti membuatku makin yakin bahwa Serena hanya cu
Cekalan itu langsung terlepas ketika kami sampai di luar, tepatnya di depan mobil pria itu. Aku jadi tidak enak dengan Elmar yang masih di dalam. Pria itu pasti kecewa karena diriku pergi begitu saja tanpa mengucap sepatah kata. Saat kulihat, tatapan elang penuh amarah seketika tertuju padaku. Aku masih syok dengan kedatangannya yang di luar kendali. Apalagi melihat sorot matanya yang begitu menakutkan. Sehingga siapa pun yang melihatnya tidak berani menyapa, bahkan melirik saja mungkin tidak sampai. Setiap pergerakannya tidak lepas dari bola mataku. Meski aku takut sendiri, tapi pandanganku tidak bisa lepas darinya. Ia membuka jas yang menempel ditubuhnya, menyisakan kemeja putih sebagai pakaian yang kenakan. Tanpa diduga, jas hitam yang sempat ia copot tersebut beralih posisi sehingga kini aku yang memakai jas kebesaran itu. Tatapan kami bertemu. Tentu saja aku terkejut. Perhatiannya barusan membuat jantungku berdebar kencang. "Masuk," tegasnya berjalan lebih dulu ke arah mobil.
Saat ini, aku sedang mengobati luka Mas Samuel. Meski lukanya tidak cukup serius, tapi jika dibiarkan bisa jadi infeksi. Apalagi pukulan yang diberikan cukup keras sehingga sudut bibir pria itu sobek sedikit. Ah, soal Mas Rifki, ia sudah ditenangkan oleh Mbak Yuni. Aku menuangkan alkohol ke atas kapas, memegang dagu Mas Samuel tidak asa-asa. Pria itu meringis kala lukanya tidak sengaja ku tekan. Ini kedua kalinya aku melihat Mas Samuel terluka oleh kakakku, tapi soal rumah sakit. Apakah aku harus menanyakannya pada pria ini? "Tanya aja. Nggak usah ngeliatin saya kaya gitu," ucap Mas Samuel. Aku salah tingkah sendiri. Menurunkan tangan dari dagunya, lalu menatapnya lamat-lamat. "Yang dibilang Mas Rifki itu... benar?" tanyaku hati-hati. "Soal saya yang masuk rumah sakit karena kakak kamu?" Langsung kuberi anggukkan. "Soal itu, memang benar. Kejadiannya udah lama. Lagipula, saya masih hidup sampai sekarang. Jadi, pukulan Mas kamu nggak seberapa buat saya."Nggak seberapa bagaimana?
—Di dapurAku masih memikirkan ucapan Mbak Yuni. Entah kenapa hal itu malah menganggu konsentrasi. Mas Samuel dan Kinan tidak kembali. Dalam artian mereka tidak rujak atau menikah kembali. Apakah menutup telinga selama ini kesalahan terbesarku? "Serena?" Pikiranku saat ini penuh. Berbagai macam pertanyaan muncul di kepala. Tidak mungkin aku menyesal atas apa yang telah kupilih lima tahun yang lalu. Ya, tidak mungkin. Perasaan ini mungkin hanya sesaat saja. Perasaan memilukan karena tidak tahu bahwa nasib Mas Samuel justru lebih sulit dari dugaanku. "Astaga, Serena!" Aku tersentak. Buru-buru mematikan kompor. Menatap nanar ikan gosong di penggorengan. Miris. Bahkan ikan tersebut tidak ada yang bisa dimakan. Semuanya menghitam. "Kamu lagi mikirin apa coba? Masak kok malah ngelamun. Ikannya jadi gosong, kan," omel Ibu. Tatapku masih tertuju pada penggorengan di sana. Kecerobohanku lagi-lagi merugikan. Ibu terlihat marah juga khawatir. Aku tidak mengucapkan apa-apa, sebab masih syok
—HOTELAku sudah kembali ke hotel dengan perasaan campur aduk. Suaminya tidak sesuai yang aku harapkan. Harusnya aku lebih berhati-hati karena ketika hal buruk menimpa hidupku dengan Sakti, aku punya cara untuk menghindarinya. Kalau sudah seperti ini, apa yang harus aku lakukan, Tuhan? "Terima kasih, Mas. Aku sama Sakti ke dalam dulu," ujarku tersenyum tipis kepada Elmar. Elmar memegang tanganku kala pintu hotel hendak ditutup. Pria itu memberi kode kepada Sakti agar anak itu pergi lebih dulu ke dalam. Ia menarik tanganku sehingga kini aku berada di luar pintu. "Ada yang mau saya tanyakan sama kamu," ujar Elmar melepas cekalan tadi. Aku menekuk kedua alis. Apakah pria itu akan bertanya soal Mas Samuel? "Sejak kapan kamu dekat lagi dengan Samuel?" tanyanya. Dugaanku benar. Elmar menanyakan soal Mas Samuel. Namun, kenapa tiba-tiba begini? Ini bahkan terasa seperti interogasi, bukan tanya bertanya."Aku rasa kita nggak perlu bahas itu, Mas. Lagipula, dekat lagi atau nggak, itu hak
"Papa senang, akhirnya kita bertemu, Sakti."Bella langsung memegang pundakku. Perempuan itu juga membawa Sakti pergi menjauh dari kami. Kini, tinggal aku dan Mas Samuel yang saling berhadapan satu sama lain. Aku tidak tahu kenapa keadaan saat ini cukup mencekam. Mas Samuel terus menatapku seolah tidak ada objek lain di sekitarnya. Aku benar-benar tidak bisa berkata apa pun. Ini membuatku mati kutu. "Saya sudah melakukan tes DNA," ucap Mas Samuel makin mengejutkanku. "Ibu bilang bahwa Sakti begitu mirip dengan saya sewaktu kecil. Awalnya saya nggak berpikir demikian. Tapi, saat saya mencoba mendekat pada Sakti, saya merasa memang benar ada kemiripan antara saya dan Sakti. Itu sebabnya saya melakukan tes DNA," jelas pria itu. Mas Samuel menatapku sangat dalam. "Serena, jika Sakti memang anak kita berdua, kenapa kamu menyembunyikan hal ini dari saya?" Aku membuang wajah ke arah lain. Menarik napas di sana. Lalu menatap Mas Samuel dengan napas sedikit tercekat. "Sakti bukan anak ka
"Sakti?" panggilku langsung menghampirinya. "Kamu habis ngobrol sama siapa?" "Tadi ada uncle Samuel, Mom."Aku menatap arah pandangan Sakti. Yang terlihat hanya bagian belakangnya saja. Pria itu sudah menjauh. Ia berada di seberang jalan, lalu membuka pintu mobil dan pergi dari sana. "Mobilnya uncle Sakti bagus, ya, Mom." Aku mengangguk mengiyakan ucapan Sakti. "Lihat, uncle Samuel juga kasih mainan buat Sakti. Katanya ini mobil Tamia keluaran terbaru. Kalau besar nanti, Sakti mau jadi pembalap mobil, ya, Mom. Bolehkan?" Aku tersenyum dan mengangguk setuju. Apa pun untuk Sakti aku pasti akan perjuangkan. Cita-cita juga keinginannya sebisa mungkin akan kuberikan yang terbaik untuknya. Aku tidak ingin Sakti kekurangan apa pun. Untuk itu, aku harus berjuang lebih keras lagi. Tin! Tin! Tin! Tiba-tiba sebuah mobil berhenti di depan kami. Kaca mobil tersebut pun terbuka menampilkan sosok teman yang masih setia bersamaku hingga detik ini. "Aunty Bella!" pekik Sakti. Bella pun turun d