Sudah lama sejak dirinya menikah, Evita tidak pernah bertemu lagi dengan dua temannya—Ranti dan Dewi. Untuk itu, wanita tersebut menyempatkan diri berkunjung ke tempat kos kedua temannya. Hanya mengandalkan ingatan tentang jam pulang kerja kedua wanita itu, Evita datang ke sana. Tidak dapat memberi kabar terlebih dahulu, sehingga Evita memutuskan untuk menunggu hingga kedua temannya pulang.Menunggu di depan kamar kos, Evita duduk di pembatas teras. Meski sudah berhasil keluar dari rumah keluarga Ferdinata, namun pikiran Evita masih tertaut di sana.“Dia pasti sangat marah waktu tahu aku nggak ada di rumah. Gimana sama Papa? Pasti Papa kena amuk Grady,” gumam Evita dengan raut cemas.Dia bisa membayangkan bagaimana Grady mengamuk, membanting barang-barang, bahkan yang lebih buruk lagi bisa saja suaminya itu melakukan sesuatu yang kurang ajar pada Arman. Sungguh, Evita merasa begitu cemas terhadap keselamatan ayah mertuanya.“Evita!” seru sebuah suara bersamaan dengan deru mesin sepeda
Grady paham betul dengan kondisi dirinya. Dalam keadaan hangover semacam itu, dia tidak akan bisa mengemudi sendiri tanpa risiko yang membahayakan diri. Oleh sebab itu, dia meminta sopir keluarga untuk mengantarnya ke kantor. Dengan begini, setidaknya dia tidak akan mati konyol akibat efek alkohol.Rasanya sudah cukup lama Grady tidak pergi ke Neo Creative, dan hari ini dia berencana untuk datang ke sana. Jika tidak ada hal yang mendesak, Grady akan lebih memilih untuk meringkuk di bawah selimut sampai pengar yang dia rasakan reda dengan sendirinya. Pergi bekerja dengan kondisi semacam ini memang terkesan terlalu memaksakan diri. Namun, Grady tidak punya pilihan lain, karena sudah terlalu banyak yang dia korbankan hanya demi menuruti ego sendiri.“Kenapa nggak jalan, Pak?” tanya Grady sambil memijit pelipis.“Macet, Den,” jawab si sopir.Grady berdecak kesal. Kepalanya yang terasa seperti habis dihantam balok itu kini begitu sakit. Ditambah lagi dengan mobil yang sama sekali tidak ber
Terlepas dari Grady, tidak lantas membuat Evita bersorak sorai. Wanita itu masih harus melewati proses persidangan untuk mendapatkan status baru sebagai seorang janda.Ya, janda.Status yang seringkali dipandang sebelah mata oleh masyarakat. Entah apa yang salah dengan status janda, namun image buruk mengenai wanita-wanita berstatus janda ini sudah sangat mendarah daging. Banyak masyarakat yang buta dengan menganggap semua wanita penyandang status ungu tersebut adalah wanita yang tidak baik. Namun, Evita tidak peduli. Dia hanya ingin segera mendapatkan kebebasannya dan menjalani hidup baru jauh dari Grady.Kini, wanita itu sedang mematut diri di depan cermin. Selama proses perceraiannya berlangsung, Evita tidak pernah sekalipun menampakkan diri di Pengadilan. Alasan “demi keselamatan” selalu digaungkan. Seakan-akan Grady adalah ancaman besar yang dapat membahayakan nyawa. Tidak berlebihan, karena memang Grady mampu melakukan sesuatu yang memicu trauma mendalam bagi Evita.Sebuah pangg
Kelopak mata Evita memejam rapat. Wanita itu menundukkan kepala lalu menarik napas dalam-dalam. Lalu, perlahan-lahan dia buka mata seraya mengangkat wajah. Dia pandangi pantulan diri di dalam cermin, dan entah sejak kapan air mata itu sudah membasahi pipi.“Jangan lemah, Evita. Ingat apa yang pernah dilakukannya padamu,” bisik Evita pada bayangan diri.Sebenarnya, Evita tidak ingin mendengar apa pun lagi tentang Grady. Dia tidak mau tahu apa-apa lagi tentang semua hal yang berhubungan dengan lelaki tersebut, selain putusan bahwa mereka sudah resmi bercerai. Namun, cerita yang disampaikan Gracy terasa begitu mendistraksi.“Dia hampir gila, Ev. Setiap malam Bagas mengantarnya pulang dalam keadaan mabuk berat. Aku sampai bingung gimana mau nasihatin dia,” kata Gracy waktu itu.Evita menyentuh dada di mana sudut hatinya terasa begitu nyeri.“Itu bukan urusanku. Lagipula, dia marah bukan karena apa-apa. Dia marah karena aku kabur dari rumah dan dia tidak bisa lagi menyiksaku,” sanggah Evit
Menjelang sidang putusan, Grady semakin tidak bisa mengendalikan emosinya. Masalah ini membuat lelaki itu seperti kehilangan arah. Pekerjaannya menjadi kacau, bahkan Bagas sekalipun kesulitan mengatasinya.“Perusahaan membutuhkan Pak Grady,” ujar Bagas saat berkunjung ke kediaman keluarga Ferdinata.Sudah berhari-hari Grady tidak datang ke perusahaan dan beberapa pekerjaan pun menjadi terbengkalai. Lebih parahnya lagi, perusahaan harus menanggung kerugian yang cukup besar karena pembatalan kesepakatan oleh beberapa klien yang bekerja sama dengan mereka. Masalah ini akan semakin besar dan melebar ke mana-mana, jika Grady tidak segera kembali beraktivitas di perusahaan.“Gimana, ya, Gas? Grady sama sekali nggak mau keluar dari kamar. Cuma aku suruh makan aja dia bisa ngamuk-ngamuk,” ujar Gracy.“Tapi, masalah ini sangat mendesak. Saya khawatir perusahaan akan pailit jika sampai Pak Grady tidak segera mengambil tindakan,” kata Bagas.Gracy membasahi bibir sambil mengarahkan pandangan ke
Setelah mengantongi akta cerai, Evita tidak menunggu lama lagi. Wanita itu sudah merencanakan ini sejak jauh hari. Dia pun segera membeli tiket kereta menuju Surabaya. Namun, sebelum berangkat, Evita menyempatkan diri untuk berpamitan pada orang-orang yang telah banyak membantunya.Evita pergi ke tempat kos Ranti dan Dewi. Suasana haru dan sedih seketika meliputi. Tangis dan doa, adalah dua hal yang tak pernah tertinggal dalam momen seperti ini.“Jangan lupain kita, ya, Ev. Baik-baik kamu di sana,” pesan Dewi sambil menyeka air mata.“Mana mungkin aku melupakan kalian yang sudah kayak saudara ini,” balas Evita.“Semoga nanti di sana kamu ketemu jodoh yang baik. Laki-laki yang bisa bikin kamu bahagia,” timpal Ranti.Evita tersenyum kecut.“Aku nggak mau mikirin soal itu dulu, Ran,” tuturnya.Masih tersisa trauma di dalam benak Evita untuk menjalin hubungan dengan lelaki lain. Untuk saat ini, Evita hanya ingin hidup damai sambil memulihkan hati. Kegagalan pernikahannya dengan Grady tela
Perjalanan yang tidak sebentar untuk sampai di Surabaya itu sebagian besar Evita habsikan dengan melamun. Evita sudah berusaha untuk mengenyahkan Grady dari pikiran, namun ternyata ucapan Arman membuatnya semakin kepikiran. Dia ingin abai dan tidak peduli, tetapi hati tetap tidak dapat dibohongi. Evita masih memiliki empati terhadap si lelaki.Sudah lama sekali sejak terakhir kali Evita menginjakkan kaki di Surabaya. Jika tidak salah mengingat, terakhir Evita ke sana saat sang ibu masih hidup. Waktu itu, Evita masih duduk di bangku kelas 5 SD. Dan dalam kurun waktu selama itu, Surabaya telah bertransformasi banyak sekali. Membuat Evita hampir tidak mengenali kota ini.“Semoga saja mereka bisa menerimaku,” gumam Evita saat sedang berada di dalam taksi menuju kampung tempat dirinya dilahirkan.Komunikasi di antara Evita dan kerabatnya di Surabaya memang seolah sudah terputus, beberapa tahun sejak ibunya meninggal. Sang ayah yang sibuk bekerja dan dia yang seolah dipaksa dewasa sebelum w
Suasana di rumah Yuliati memang tidak pernah sepi. UMKM yang dikelola Yuliati memang terbilang ramai. Di sana, Evita membantu pekerjaan apa saja yang dia bisa. Salah satunya adalah mengepak makanan ringan yang diproduksi sendiri oleh Yuliati.“Taruh di sana saja, Ev. Tolong sekalian dirapikan, ya,” kata Yuliati sambil menunjuk sudut ruangan, di mana kemasan makanan ringan yang telah di-packing tertata dengan rapi.Saat Evita sedang menata tumpukan snack, sebuah sepeda motor tampak memasuki halaman. Cahaya lampu dari sepeda motor itu menyambar netra Evita, hingga membuat wanita itu seketika memalingkan muka. Laju sepeda motor tersebut tidak berhenti di teras, tetapi langsung masuk ke bagian dalam rumah, dan berhenti di bagian belakang ruangan luas tersebut.“Yonik!” tegur Yuliati dengan suara gemas. “Sembrono! Kalau sampai dagangan Ibu hancur, tak bikin kripik kupingmu nanti!”“Yonik?” cicit Evita.Wanita itu menyelesaikan pekerjaannya menata dagangan sambil memperhatikan lelaki dengan
Lika-liku kehidupan yang dilalui Evita, membuat wanita itu merasa seperti naik roller coaster. Meski terlalu banyak kisah pahit yang dia rasakan, namun tak sedikit pula air mata haru yang tumpah oleh kebahagiaan."Sudah siap?" tanya Yuliati seraya tersenyum hangat.Evita menarik napas dalam lalu mengangguk kecil. Rasa gugup yang memenuhi benak, membuat sekujur tubuhnya terasa kaku. Dia lantas menyambut uluran tangan Yuliati dengan telapak tangannya yang sedingin es."Sudah dua kali kok masih gugup," komentar Yuliati seraya terkekeh renyah."Aku takut, Bulik," kata Evita.Yuliati memutar badan, menatap pada Evita dengan ails berkerut samar."Takut kenapa?" tanyanya peduli.Evita meneguk ludah lalu menundukkan kepala, tidak tahu harus menjawab apa.Dengan lembut, Yuliati mengusap lengan keponakannya. Dia pun tersenyum hangat sebelum kembali berujar, "Bulik ngerti, apa yang telah terjadi di masa lalu kalian itu sangat menyakitkan. Bulik juga ndak akan bisa memaksa kamu untuk menjalani se
“Kamu di sini? Ini benar kamu, kan?” Grady mengurai pelukan lalu menangkup wajah Evita. Matanya menatap tak percaya pada si wanita. Dia lantas meneliti wajah mantan istrinya dengan seksama, khawatir salah melihat dan berakhir dengan kekecewaan.Evita menganggukkan kepala. Di sela-sela tangis, terselip senyum haru untuk sang mantan suami. Dia lantas menyentuh tangan Grady yang mendarat di pipinya.“Ini aku, Grad. Aku sudah maafin kamu, tapi kamu jangan pergi. Aku nggak mau kamu pergi,” ujar wanita itu dengan suara parau.Kedua netra Grady pun tampak berkaca-kaca. Terharu, bahagia yang teramat sangat. Apa yang dia pikir akan menjadi sesuatu yang tidak mungkin untuk digapai, ternyata Tuhan menggariskan takdir yang sebaliknya.“Terima kasih, Sayang. Terima kasih,” ucap lelaki itu seraya menarik tubuh Evita dalam dekapan.Mereka berpelukan erat dengan jiwa yang melebur dalam bermacam-macam emosi positif yang memenuhi benak. Sampai-sampai mereka menjadi pusat perhatian dari orang-orang yang
Evita tidak mengira kalau dia akan bertemu lagi dengan Arman, Gracy, bahkan Tania. Orang-orang yang berasal dari masa lalunya itu kini tengah duduk di teras rumah Yuliati.“Sini sama Mama, Sayang,” bujuk Gracy pada Tania yang tidak mau turun dari pangkuan Evita.Tania menggeleng dan malah memeluk leher Evita semakin erat.“Aku mau sama Tante saja,” kata gadis kecil itu.Evita memang tidak mengatakan apa-apa, tetapi wanita itu membalas pelukan Tania tak kalah erat. Seolah ingin menunjukkan bahwa dia juga sangat menyayangi anak itu, bahwa dia sangat merindukan gadis kecilnya yang kini sudah terlihat lebih besar.“Untuk apa kalian datang kemari?” tanya Evita dengan suara sedikit serak.Setelah Yuliati meninggalkan Evita bersama keluarga Ferdinata, hanya celotehan Tania yang menjadi penengah di antara mereka. Evita pun menjawab sekadarnya. Meski sudah berusaha terlihat ramah, namun tetap saja gurat kesedihan yang tergambar di wajah wanita itu tidak dapat ditutupi.“Maaf kalau kami datang
Sebuah mobil yang memasuki halaman rumah Yuliati mengundang perhatian. Yuliati dan beberapa pegawainya yang tengah mengemas snack pun langsung melihat ke luar rumah, ketika mereka mendengar deru halus mesin kendaraan roda empat tersebut.“Siapa yang datang?” gumam Yuliati.Wanita paruh baya itu mengelap tangan pada celemek lalu bangkit. Netranya masih mengarah pada mobil di luar yang baru saja berhenti. Tampak asing, Yuliati tidak pernah melihat mobil tersebut sebelumnya. Sempat berpikir bahwa mungkin saja itu adalah Grady, namun saat melihat seorang gadis kecil yang turun dari kendaraan tersebut, Yuliati semakin penasaran.“Anak siapa, ya? Ndak pernah lihat,” gumamnya lagi.Penasaran dengan tamunya, Yuliati pun keluar dari rumah. Kening wanita itu berkerut, menunggu sambil memperhatikan baik-baik penumpang mobil yang mulai menjejakkan kaki di halaman rumahnya satu persatu.“Ma, Tante ada di sini, ya?” Gadis kecil yang turun paling pertama dari mobil itu, terlihat bertanya pada seseor
Memang tidak salah jika ada yang bilang bahwa ikhlas adalah ilmu yang sangat tinggi. Bukan hal yang mustahil, tetapi tidak banyak orang yang mampu menakhlukkan ikhlas pada level tertinggi.Tak berbeda dengan Grady. Meski dia sudah berusaha merelakan Evita untuk mencari kebahagiannya sendiri, akan tetapi masih saja ada rasa sakit yang menyentil hati. Tidak hanya sekali dua kali, keinginan untuk mengingkari ucapan itu menggoda iman si lelaki. Namun, saat ingat bahwa hal tersebut hanya akan semakin memperkeruh hubungannya dengan Evita, lelaki itu pun berusaha keras untuk melawan keinginan hati. Apa pun yang terjadi, dia harus bisa bertahan agar Evita tidak semakin membencinya.Atensi Grady teralih pada dering ponsel yang terselip di saku celananya. Dia berhenti melangkah lalu mengambil ponsel tersebut untuk melihat siapa yang menghubungi. Setelahnya, dia angkat pandangan dan berkata pada orang yang sedang bersamanya.“Duluan saja. Nanti saya nyusul,” ujar lelaki itu.Dia lantas menepi ke
Semua mata terpusat pada arah sumber suara, pada seorang lelaki yang baru saja muncul dengan langkah yang semakin dekat dengan mereka. Wajah yang tidak asing, tampak tersenyum ramah pada keluarga tersebut.“Maaf, aku datang sepagi ini,” ucap Grady saat berhenti melangkah beberapa meter di hadapan Evita dan keluarganya. Lelaki itu berpaling sejenak pada dua pegawai toko bunga yang mengantar pesanannya, lalu berkata, “Tolong turunin bunganya.”Setelah itu, Grady kembali melihat pada Evita yang tengah mengetatkan rahang, tampak begitu murka terhadap dirinya. Wanita itu berjalan cepat dengan tangan mengepal, menghampiri Grady. Kemudian, sebuah tamparan mendarat di wajah si lelaki dengan begitu keras dan tiba-tiba.Plak!Wajah Grady turut berpaling mengikuti arah tamparan tersebut. Dia sentuh sisi wajah yang terasa panas dengan tenang. Dia tidak akan marah, meski Evita menghajar dirinya. Grady merasa itu masih belum sebanding dengan apa yang pernah dia lakukan pada wanita tersebut.“Pergi
Evita meneguk ludah, melihat Yuliati menatap penuh emosi kepadanya.“Bulik,” cicit Evita.“Ya Tuhan, Nduk,” ujar wanita paruh baya itu.Yuliati langsung menghampiri Evita dan memeluk keponakannya itu dengan erat.“Kenapa kamu ndak pernah bilang sama Bulik, Nduk? Kenapa kamu merahasiakan ini dari Bulik?” Yuliati mengurai pelukan lalu menangkup kedua sisi wajah Evita. Kedua pipi wanita paruh baya itu sudah basah oleh air mata yang membanjir.Sepintas, Evita melirik pada Yonik yang masih berdiri di ambang pintu sambil menundukkan kepala. Dugaannya, Yonik telah menceritakan semuanya kepada Yuliati. Tadinya, Evita ingin marah. Namun, saat ingat bahwa permintaan maaf Grady ditayangkan langsung, wanita itu meredam kembali kemarahannya. Karena tidak menutup kemungkinan bahwa Yuliati melihat tayangan itu dan bertanya pada Yonik.“Maaf, Bulik,” ucap Evita lirih. Wanita itu menundukkan kepala dalam-dalam, tak berani memandang wajah buliknya.Yuliati membersit ingus lalu merangkul Evita. Berusaha
Dejavu. Grady pernah membuat acara semacam ini untuknya saat dia masih bekerja di Neo Creative. Bedanya, sekarang mereka menjadi tontonan seluruh masyarakat Surabaya dan sekitarnya. Evita malu. Alih-alih menjawab sapaan lelaki itu, Evita justru menundukkan kepala untuk menyembunyikan wajah dari sorotan kamera, meski hal itu sudah sangat terlambat. Sungguh, dia ingin lari dari sana secepat mungkin. Namun, kakinya seolah sudah menyatu dengan lantai. Sendi-sendi di tubuhnya terasa kaku. Otaknya pun serasa membeku, hingga dia tak memiliki kendali untuk menggerakkan tubuhnya sendiri.Grady menoleh ke sekitar lalu tersenyum pada orang-orang yang ada di sana sebagai ucapan terima kasih karena sudah membantu dirinya melakukan semua ini.“Terima kasih untuk bantuannya. Maaf merepotkan kalian pagi-pagi begini,” ucap Grady pada semua orang yang terlibat dalam acara tersebut.Setelah itu, Grady kembali mengarahkan pandangan pada Evita yang tampak salah tingkah dan mati gaya di hadapannya. Lelaki
Apakah Evita masih cinta pada Grady?Pertanyaan itu terdengar mudah, namun sangat sulit untuk Evita jawab. Yonik baru saja melempar pertanyaan yang sangat sensitif, hingga wanita itu lebih memilih diam tak mengatakan apa-apa.Evita bahkan tidak tahu apa yang sebenarnya dia rasakan. Lisannya bisa saja berkata tidak, tetapi mengapa jika mengingat lelaki itu batinnya masih saja terasan sesak? Kalaupun dia jawab masih cinta, keinginan untuk bersama lagi rasanya sudah sirna dari dalam dada.Tak berbeda dengan Evita yang merasakan dilema, Yonik pun mencicipi hal serupa. Pembicaraannya dengan Evita mengenai masalah tersebut berakhir ketika wanita itu enggan untuk menjawab pertanyaannya. Di samping itu, Yuliati pun keburu pulang dari belanja dan ikut nimbrung mengobrol dengan mereka.Berkali-kali Evita memberi isyarat pada Yonik, memperingatkan lelaki itu untuk tidak menceritakan apa yang baru saja dia katakan tentang Grady kepada Yuliati. Melihat Yuliati yang begitu baik terhadap dirinya, Ev