"DARA mana?" Agus langsung bertanya begitu masuk dan tak menemukan Dara berada di kursinya. Padahal Dara tadi kembali bersama Dira, tapi sekarang hanya Dira saja yang terlihat di matanya.Dira menunjuk pintu ruangan bos mereka. "Dipanggil sama Pak Bos."Farhan sontak mengernyitkan dahi. Dia mendekati Dira kemudian bicara dengan nada cukup pelan. "Ada masalah?""Kayaknya sih." Dira meringis.Dia melihat meja Dara yang sudah tertata rapi, tidak banyak pekerjaan yang tertinggal dan itu seperti bukan Dara sekali, karena Dara biasa pulang terlambat untuk menyelesaikan pekerjaannya.Kemudian tatapannya terhenti pada kalender yang dilingkari oleh tinta warna merah. Dira mengerjapkan kedua matanya. "Bener juga. Biasanya Dara ambil cuti setiap tanggal itu, kan?"Dira tidak tahu apa alasan pastinya, tapi Dara selalu ambil cuti di tanggal yang sama setiap tahunnya. Mereka sudah bekerja di sana selama tiga tahun dan Dara selalu mengambil cuti di tanggal serupa setiap tahunnya.Mereka tentu saja p
APA yang sebenarnya sedang terjadi sekarang?Beberapa saat lalu, Galih mengintimidasinya, lalu entah kenapa tiba-tiba saja dia menciumnya. Sebuah ciuman yang sanggup membuat Dara syok hingga jatuh pingsan, karena hal seperti itu tak seharusnya mereka lakukan.Lalu saat Dara membuka mata, Galih yang sebelumnya tampak sibuk di meja kerjanya tiba-tiba saja bangkit dan menghampirinya. Pria itu bertanya dengan nada lembut dipenuhi perhatian yang sanggup membuat Dara nostalgia.Dara berpikir dia sedang bermimpi. Dia bahkan hampir saja terbuai. Namun ketika pintu ruangan diketuk dari luar, lalu sosok Farhan yang memasuki ruangan, Dara sadar jika semua itu bukanlah ilusi.Pipinya sontak saja memerah. Terlebih saat Farhan menatapnya dengan tatapan menggoda yang membuat Dara ingin mengubur dirinya jauh di dalam tanah. Dara memalingkan wajah, menyimak dalam diam percakapan Farhan dengan Galih sebelum suara pintu tertangkap oleh indra pendengarannya.Galih memegang tangannya, kemudian menarik tan
UNTUK orang-orang kantor, terutama mereka yang menjadi atasan Dara, nomor ponselnya bukan sebuah rahasia. Hanya perlu alasan biasa dan pihak kantor pasti memberikan nomor ponsel tanpa perlu izinnya.Namun alih-alih meminta langsung pada pihak kantor, Galih malah meminta langsung darinya. Apa yang pria itu mau sebenarnya?"Bakal lembur nih kayaknya, Ra?" Dira bertanya saat Dara masih berkutat dengan layar komputernya.Dara tersenyum masam. "Iya, terpaksa."Dara sebenarnya juga tidak mau lembur, tapi pekerjaan di mejanya terlalu banyak untuk ditinggalkan dan dilanjutkan besok. Terlebih minggu depan dia akan cuti, meninggalkan pekerjaannya begitu saja jelas akan mempersulit izin yang bakal dia perlukan nanti.Izin ya ... apa Galih mau memberinya izin itu?"Omong-omong, lo udah dapat izin dari Pak Bos belum?" Dira bertanya dengan raut wajah penasaran.Jelas saja, Dara berada di ruangan Galih terlalu lama tadi. Itu berarti mereka berdebat cukup lama di sana. Kalau Dara belum juga mendapat
DARA yakin pesan ini memang berasal dari bosnya, karena hanya Galih yang masih memiliki urusan dengannya. Pembahasan mereka siang tadi masih belum mendapat hasil yang jelas. Dara harus bicara sekali lagi dengannya, tapi tidak harus sekarang juga. Mereka masih bisa melakukannya besok.Dara melirik jam kantor yang sudah menunjuk angka enam. Galih harusnya sudah mau meninggalkan kantor sebentar lagi, karena pria itu terbiasa pulang paling akhir untuk memeriksa sisa-sisa pekerjaan bawahannya yang mungkin saja terlupa. Sedangkan pekerjaan Dara sendiri sebentar lagi selesai, mungkin masih satu jam lagi.Dara meringis pelan. Bagaimana dia bisa pulang duluan, kalau pekerjaannya saja masih banyak. Bukankah pesan Galih ini seperti sedang mengejeknya saja?Dara : Memangnya Bapak tidak mau pulang?Dara tidak berharap akan mendapat balasan cepat dari seorang Galih yang selalu terlihat super sibuk itu. Namun, nyatanya balasan itu datang lebih cepat dari dugaannya.Galih : Kenapa kesannya kamu seper
"BAGAIMANA kabarmu selama sembilan tahun terakhir?" Galih terpaksa harus mulai membuka obrolan karena suasana menjadi canggung saat keduanya sedang makan."Bisa dibilang cukup baik." Dara menjawabnya dengan jujur.Tidak ada hidup yang terus berjalan dengan terlalu baik. Pasti ada masalah-masalah kecil yang mengganggu siapa pun setiap harinya. Terlebih sudah sembilan tahun berlalu, tentu saja Dara pernah mengalami asam dan pahitnya kehidupan yang dia jalani hingga dia nyaris menyerah pada hidupnya."Bagaimana denganmu?" Dara balik bertanya. Selain tidak sopan jika tidak bertanya balik juga karena dia sadar, Galih sedang berusaha memecah canggung di antara mereka.Setelah sekian lama. Setelah perpisahan yang cukup menyakiti hati keduanya. Mereka kembali dipertemukan dan akhirnya bisa bicara dengan suasana hati yang lebih tenang."Awalnya memang buruk, tapi aku mencoba menjalani hidup dengan sebaik mungkin." Galih tersenyum tipis. Dia teringat hidupnya selama sembilan tahun terakhir dan
PONSEL Dara tiba-tiba saja berbunyi. Nama adiknya yang tertera di layar tanpa sadar membuatnya menoleh ke arah Galih.Galih mengernyitkan dahi. "Siapa?" tanyanya, raut wajahnya terlihat kusut layaknya dia tidak menyukai panggilan dari siapa pun itu.Dalam hatinya Galih membatin, andai pelakunya Gilang, sepupunya sendiri. Galih akan merampas ponsel itu dan memakinya habis-habisan saat itu juga. Dia tidak peduli lagi pada hubungan saudara mereka, yang jelas dia harus memaki Gilang si bajingan itu sekarang.Dara yang melihat ekspresi Galih pun memilih memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas seraya menjawab, "Adikku."Galih mengerjap. Dia tidak tahu itu, karena Dara tidak pernah mengatakannya dulu. "Kamu punya adik?"Kalau dipikir-pikir lagi, selama tiga tahun pacaran, mereka hanya menghabiskan waktu berduaan di perpustakaan untuk belajar mati-matian. Tentu saja itu berlaku hanya untuk Dara, karena Galih sudah terlalu pintar di usia remajanya.Dara menganggukkan kepala. "Aku punya satu.
GALIH memang bilang dia akan mengikuti dari belakang, tapi niatnya sebenarnya adalah untuk mencari tahu di mana tempat tinggal Dara selama ini. Dengan mengikutinya, dia pasti bakal sampai ke rumah perempuan itu.Sayangnya semua niatnya itu hanya tinggal wacana saat motor Dara berbelok memasuki sebuah gang kecil yang tidak bisa dilewati mobil. Dia terpaksa berhenti, turun dari mobil dan mulai berjalan memasuki gang kecil itu. Tentu saja dia sudah kehilangan jejak motor Dara yang sudah berbelok lagi entah ke arah mana.Galih berdecak. "Sial!"Padahal dia sangat yakin dirinya bakal mengetahui alamat rumah Dara secara langsung. Lalu esoknya dia bisa menjemput Dara dan menawarinya untuk berangkat dan pulang bersama. Sayangnya, semua rencananya itu benar-benar hanya bisa menjadi wacana saja.Galih pun kembali masuk ke dalam mobil dan mulai jalan pulang ke apartemennya. Semenjak kembali, dia memutuskan untuk tinggal sendiri. Rumah orang tuanya serta apartemennya memang tidak terlalu jauh, ta
DARA bangun dari tidur dan ia langsung mengecek ponselnya. Beberapa pesan masuk dia dapatkan dari orang yang sama. Galih, si mantan pacarnya.Semalam, dengan sengaja Dara membawa Galih memutar ke arah jalan yang tidak bisa dilalui mobil agar pria itu menyerah mengantarnya pulang. Dia bahkan sengaja melajukan motornya lebih cepat agar dia bisa lari dari pengawasannya. Karena jujur saja, Dara merasa tidak nyaman melihat kelakuannya.Walaupun dulu mereka memiliki sebuah hubungan, tapi sekarang hubungan mereka tidak lebih dari sekadar seorang atasan dan bawahan.Dulu dia menerima pernyataan cinta Galih, karena dia merasa mereka berasal dari kalangan yang sama dan tidak akan menimbulkan masalah apa pun untuknya. Namun saat dia mengetahui kenyataannya, Dara cukup tahu diri untuk tidak terlalu berharap banyak padanya.Lalu sekarang, sekali pun dia masih memiliki rasa yang sama seperti dulu. Bahkan jika Galih masih memiliki perasaan serupa dan menginginkan Dara untuk kembali ke pelukannya, Da