"Sambil nunggu hujan reda, bagaimana kalau kita nonton?" tawar Billy setelah keduanya duduk di sofa ruangan santai."Boleh, biar aku aja yang pilih filmnya." Dengan gerakan cepat Nindy meraih remote, kemudian menyalakan televisi berukuran sangat besar yang ada di hadapan mereka."Tapi, jangan nonton horor atau thriller lagi kayak waktu itu. Nanti kamu jadi penakut."Wajah Nindy tiba-tiba memerah diingatkan kejadian waktu di hotel Billy. "Ya, udah. Nonton yang lain aja."Sambil menunggu Nindy memilih film yang akan mereka nonton, Billy pergi ke dapur mengambil minuman kemasan, buah, snack dan camilan yang ada di kulkas untuk menemani mereka menonton nanti."Udah ketemu filmnya?"Billy kembali ke ruangan santai dengan membawa banyak makanan."Udah." Nindy segera bangkit dan membantu Billy meletakkan makanan dan minuman di atas meja."Kamu di sini aja, aku ambil makanan yang lain dulu."Selesai mengambil minuman dan makanan yang masih tersisa di dapur, Billy duduk di sebelah Nindy. "Jadi
Billy tidak langsung menjawab, melainkan terdiam selama beberapa detik dengan pandangan lurus ke depan. "Dia ..."Billy menunduk sesaat, kemudian menoleh pada Nindy. "Temanku."Jika memang itu hanya teman, kenapa Billy butuh waktu lama untuk menjawabnya. Pasti ada sesuatu di antara mereka berdua."Teman kuliah kamu waktu kuliah di Singapore?" tanya Nindy lagi."Bukan. Waktu kuliah di Jakarta."Melihat Nindy mengernyit, Billy seolah tahu apa yang sedang di pikirkan kekasihnya. "Dia mahasiswa pindahan. Tidak lama setelah kamu pergi, dia masuk ke kampus kita.""Jadi, kalian kenal sejak saat itu?""Ya. Ternyata, orang tuanya kenal dengan mama. Mereka berteman baik. Dia sempat tinggal selama satu bulan di rumah aku waktu baru pindah Jakarta."Ketika mengetahui itu, ada perasaan tidak jelas yang mengusik hatinya. "Jadi, kalian mulai dekat setelah itu?""Ya. Dia yang ..." Tiba-tiba saja ucapan Billy terhenti dan itu membuat Nindy semakin merasa kalau ada yang disembunyikan oleh kekasihnya. "
Dengan wajah panik, Nindy menoleh pada Billy yang masih duduk di atas motor. Dia ingin meminta Billy segera pergi, tapi Ibunya sudah lebih dulu melihatnya. "Mama, baru pulang?" Nindy segera menghampiri Ibunya sebelum mencapai dirinya. Dia harus bergegas mengajak Ibunya masuk sebelum dia bertanya mengenai Billy. Beruntung, Billy sedang mengenakan helm yang hampir menutupi seluruh wajahnya. Jadi, Ibunya tidak tahu siapa pria yang sedang berada di atas motor. "Iya, kamu ngapain di sini?" "Nindy baru pulang, ini mau masuk ke dalam," jawanya seraya mengapit lengan Ibunya. "Ayo, kita masuk Ma. Uda malem." Ketika Nindy akan menarik Ibunya masuk ke dalam, tiba-tiba saja Gauri menahan tangan putrinya, kemudian menoleh pada Billy yang sejak tadi masih berada di atas motor. "Itu siapa? Temen kamu?" Wajah Nindy seketika menegang, dia menoleh pada Billy dengan jantung yang berdebar kencang. "Itu ... sebenarnya dia ..." Belum selesai Nindy berbicara, tiba-tiba saja Billy turun dari motor sp
"Bill, kamu udah datang?"Amara menyambut putranya dengan senyuman ketika melihatnya memasuki ruangan keluarga."Shela udah nunggu kamu dari tadi," tambahnya lagi.Bukannya menanggapi ucapan ibunya, Billy justru menatap Shela yang sedang duduk di sofa yang bersebelahan dengan ibunya."Ngapain kamu ke sini? Bukannya aku udah bilang jangan pernah ganggu aku lagi."Saat dia akan pulang ke apartemennya tadi, Shela tiba-tiba menelponnya dan mengajaknya bertemu, Billly langsung menolanya. Namun, Shela mengatakan kalau dia sudah berada di rumahnya dan akan menunggu Billy sampai datang."Bill, kamu kok ngomongnya kasar banget sama Shela? Walaupun, kalian nggak jadi menikah, kamu nggak boleh berkata seperti itu. Kan bisa bicara baik-baik."Billy menoleh sejenak pada ibunya, kemudian berkata, "Ma, bisa tinggalin kami berdua? Aku mau bicara hal penting sama Shela."Sengaja dia meminta ibunya untuk pergi sebentar karena dia tidak mau ibunya mendengarkan permbicaraan mereka."Ya, udah. Tapi, ngomo
"Ma, sebenarnya ..."Nindy meneliti ekspresi ibunya sejenak sebelum kembali melanjutkan ucapannya."Sebenarnya, Nindy udah punya pacar."Ketika mendengar itu, Ibu Nindy tampak tercengang. Bagaimana tidak terkejut, berapa hari yang lalu anaknya itu menangis dan mengurung diri karena mantan kekasihnya mau menikah dan sekarang dia mengatakan sudah memiliki kekasih. Padahal, Dimas mengatakan kalau putrinya itu tidak dekat dengan siapa pun belakang ini, selain dengan Denis."Siapa? Denis?""Bukan, Ma. Tapi, mantan Nindy yang dulu."Usai mendengar itu, raut wajah Ibu Nindy seketika berubah. "Nindy, apa kamu udah gila??" hardiknya dengan suara tinggi. "Kenapa kamu menjalin hubungan sama suami orang? Apa kamu mau menjadi pelakor?""Ma, denger dulu." Nindy menjadi panik ketika melihat ibunya marah. "Dia belum—""Putuskan hubungan kalian sekarang juga," potong Gauri dengan cepat. "Mama nggak mau kamu menjadi orang ketiga dan perusak rumah tangga orang lain.""Ma, tapi dia nggak jadi nikah. Semu
"Kamu jadi mau menginap di hotel ini aja?" tanya Nindy pada Billy setelah keduanya turun dari taksi di hotel yang lokasinya berada di pusat kota. "Iya. Di sini aja. Nggak terlalu jauh juga dari tempat kamu." Hanya butuh waktu sekitar 15 menit dari rumah sewa Nindy ke hotel itu. Hotel itu merupakan salah satu hotel mewah di Surabaya. Sengaja Billy memilih hotel itu karena hotel itu terkenal dengan pelayanannya yang bagus. Kamar yang dipesan dia adalah kamar presidential suite. "Ayo, masuk." Dengan langkah pelan, Nindy mengikuti Billy dari belakang. Kamar hotel yang dipesan Billy kali ini lebih besar dan mewah dari sebelumnya. Tipe kamarnya pun setingkat lebih bagus dari sebelumnya. "Tunggu di sini." Billy berjalan menuju kamar dan meletakkan barang miliknya, baru setelah itu dia kembali keluar dan menghampiri Nindy yang sedang duduk di sofa. "Udah siang, mau makan di bawah atau kita pesan layanan kamar aja?" tanya Billy usai duduk di sebelah Nindy. "Di kamar aja. Aku lagi males
"Siapa ini?"Billy terdiam selama beberapa detik sebelum menjawab pertanyaan Ibu Nindy. "Billy, Tante.""Oh, Billy. Kenapa HP Nindy bisa sama kamu?"Saat Billy akan menjawab, Nindy datang dari arah kamar Billy. Melihat ponselnya sedang dipegang oleh Billy, reflek dia bertanya siapa yang menelponnya melalui gerakan bibir."Mama kamu," jawab Billy dengan gerakan bibirnya juga.Nindy langsung berlari ke arah Billy dan meraih ponselnya dengan wajah panik."Halo, Ma."Disebrang sana, Gauri langsung menanyakan perihal ponsel putrinya yang berada di tangan Billy."Ini, Ma. Kebetulan Pak Billy juga ada urusan di kantor cabang. Jadi, Nindy datang ke sini sama Pak Billy. Nindy lagi di toilet tadi waktu Mama nelpon, jadi Pak Billy yang angkat, takut ada yang penting."Billy melirik dengan wajah tidak senang mendengar itu. Meskipun begitu, dia tidak memberikan komentar apa pun."Oh, jadi gitu. Ya udah.""Mama kenapa nelpon?""Nggak apa-apa. Mama cuma mau ingetin kamu, jangan lupa titipan mama kas
Billy mengangguk, kemudian berbalik dan berjalan menuju taksi yang sejak tadi menunggu. Namun, langkahnya tiba-tiba berhenti ketika melihat sebuah mobil putih memasuki halaman depan rumah sewa Nindy.Saat melihat Denis turun dari mobil, Billy mengernyit, kemudian menoleh pada Nindy dan bertanya padanya, "Kamu janjian sama Denis?"Nindy segera menggeleng dan menghampiri Billy ketika melihat tatapan curiga darinya. "Aku juga nggak tahu kalau dia mau ke sini."Dia tidak memberitahu Denis mengenai kepulangannya. Selain Dimas dan Dewi, tidak ada yang tahu kalau dirinya akan kembali hari ini ke Surabaya. Itu berarti salah satu dari mereka pasti yang memberi tahu Denis.Setelah jarak antara mereka bertiga tidak terlalu jauh, Denis segera menyapa Billy dan Nindy. Billy hanya diam, sementara Nindy menjawab sambil tersenyum kaku."Aku dengar dari Dimas, kamu balik ke sini pagi tadi," ucap Denis basa-basi."Iya. Aku cuma izin sehari sama Pak Edwin.""Nin, bisa kita bicara berdua?" tanya Denis se