“Aaaww!” “Sakit?” Billy menatap Nindy dengan wajah bersalah ketika melihatnya meringis. “Sedikit," jawab Nindy, "pelan-pelan. Jangan dipaksa.” “Maaf, Sayang. Aku tambahin sabun dulu.” Setelah mengatakan itu, Billy meraih sabun cuci tangan, kemudian menuangkan ke jemari kiri Nindy, lalu mencoba melepaskan cincin yang melingkar di jari manis Nindy untuk ketiga kalinya secara perlahan. “Akhirnya bisa lepas juga.” Billy tersenyum, kemudian menghidupkan air keran dan membilas tangan Nindy dengan gerakan pelan. Setelah selesai, Billy mengajak Nindy untuk keluar dari kamar mandi dan kembali ke ruangan santai. Apartemen Billy terdiri dari ruangan tamu, ruangan keluarga, ruangan santai dekat balkon samping, dapur yang menyatu dengan ruang makan, 1 kamar utama, dan 1 kamar tamu yang dilengkapi dengan kamar mandi dalam. “Ini kamu simpan aja,” ucap Billy sambil menyerahkan cincin yang tadi tersemat di jari manis Nindy setelah keduanya duduk di sofa ruangan keluarga. “Kenapa nggak d
"Sambil nunggu hujan reda, bagaimana kalau kita nonton?" tawar Billy setelah keduanya duduk di sofa ruangan santai."Boleh, biar aku aja yang pilih filmnya." Dengan gerakan cepat Nindy meraih remote, kemudian menyalakan televisi berukuran sangat besar yang ada di hadapan mereka."Tapi, jangan nonton horor atau thriller lagi kayak waktu itu. Nanti kamu jadi penakut."Wajah Nindy tiba-tiba memerah diingatkan kejadian waktu di hotel Billy. "Ya, udah. Nonton yang lain aja."Sambil menunggu Nindy memilih film yang akan mereka nonton, Billy pergi ke dapur mengambil minuman kemasan, buah, snack dan camilan yang ada di kulkas untuk menemani mereka menonton nanti."Udah ketemu filmnya?"Billy kembali ke ruangan santai dengan membawa banyak makanan."Udah." Nindy segera bangkit dan membantu Billy meletakkan makanan dan minuman di atas meja."Kamu di sini aja, aku ambil makanan yang lain dulu."Selesai mengambil minuman dan makanan yang masih tersisa di dapur, Billy duduk di sebelah Nindy. "Jadi
Billy tidak langsung menjawab, melainkan terdiam selama beberapa detik dengan pandangan lurus ke depan. "Dia ..."Billy menunduk sesaat, kemudian menoleh pada Nindy. "Temanku."Jika memang itu hanya teman, kenapa Billy butuh waktu lama untuk menjawabnya. Pasti ada sesuatu di antara mereka berdua."Teman kuliah kamu waktu kuliah di Singapore?" tanya Nindy lagi."Bukan. Waktu kuliah di Jakarta."Melihat Nindy mengernyit, Billy seolah tahu apa yang sedang di pikirkan kekasihnya. "Dia mahasiswa pindahan. Tidak lama setelah kamu pergi, dia masuk ke kampus kita.""Jadi, kalian kenal sejak saat itu?""Ya. Ternyata, orang tuanya kenal dengan mama. Mereka berteman baik. Dia sempat tinggal selama satu bulan di rumah aku waktu baru pindah Jakarta."Ketika mengetahui itu, ada perasaan tidak jelas yang mengusik hatinya. "Jadi, kalian mulai dekat setelah itu?""Ya. Dia yang ..." Tiba-tiba saja ucapan Billy terhenti dan itu membuat Nindy semakin merasa kalau ada yang disembunyikan oleh kekasihnya. "
Dengan wajah panik, Nindy menoleh pada Billy yang masih duduk di atas motor. Dia ingin meminta Billy segera pergi, tapi Ibunya sudah lebih dulu melihatnya. "Mama, baru pulang?" Nindy segera menghampiri Ibunya sebelum mencapai dirinya. Dia harus bergegas mengajak Ibunya masuk sebelum dia bertanya mengenai Billy. Beruntung, Billy sedang mengenakan helm yang hampir menutupi seluruh wajahnya. Jadi, Ibunya tidak tahu siapa pria yang sedang berada di atas motor. "Iya, kamu ngapain di sini?" "Nindy baru pulang, ini mau masuk ke dalam," jawanya seraya mengapit lengan Ibunya. "Ayo, kita masuk Ma. Uda malem." Ketika Nindy akan menarik Ibunya masuk ke dalam, tiba-tiba saja Gauri menahan tangan putrinya, kemudian menoleh pada Billy yang sejak tadi masih berada di atas motor. "Itu siapa? Temen kamu?" Wajah Nindy seketika menegang, dia menoleh pada Billy dengan jantung yang berdebar kencang. "Itu ... sebenarnya dia ..." Belum selesai Nindy berbicara, tiba-tiba saja Billy turun dari motor sp
"Bill, kamu udah datang?"Amara menyambut putranya dengan senyuman ketika melihatnya memasuki ruangan keluarga."Shela udah nunggu kamu dari tadi," tambahnya lagi.Bukannya menanggapi ucapan ibunya, Billy justru menatap Shela yang sedang duduk di sofa yang bersebelahan dengan ibunya."Ngapain kamu ke sini? Bukannya aku udah bilang jangan pernah ganggu aku lagi."Saat dia akan pulang ke apartemennya tadi, Shela tiba-tiba menelponnya dan mengajaknya bertemu, Billly langsung menolanya. Namun, Shela mengatakan kalau dia sudah berada di rumahnya dan akan menunggu Billy sampai datang."Bill, kamu kok ngomongnya kasar banget sama Shela? Walaupun, kalian nggak jadi menikah, kamu nggak boleh berkata seperti itu. Kan bisa bicara baik-baik."Billy menoleh sejenak pada ibunya, kemudian berkata, "Ma, bisa tinggalin kami berdua? Aku mau bicara hal penting sama Shela."Sengaja dia meminta ibunya untuk pergi sebentar karena dia tidak mau ibunya mendengarkan permbicaraan mereka."Ya, udah. Tapi, ngomo
"Ma, sebenarnya ..."Nindy meneliti ekspresi ibunya sejenak sebelum kembali melanjutkan ucapannya."Sebenarnya, Nindy udah punya pacar."Ketika mendengar itu, Ibu Nindy tampak tercengang. Bagaimana tidak terkejut, berapa hari yang lalu anaknya itu menangis dan mengurung diri karena mantan kekasihnya mau menikah dan sekarang dia mengatakan sudah memiliki kekasih. Padahal, Dimas mengatakan kalau putrinya itu tidak dekat dengan siapa pun belakang ini, selain dengan Denis."Siapa? Denis?""Bukan, Ma. Tapi, mantan Nindy yang dulu."Usai mendengar itu, raut wajah Ibu Nindy seketika berubah. "Nindy, apa kamu udah gila??" hardiknya dengan suara tinggi. "Kenapa kamu menjalin hubungan sama suami orang? Apa kamu mau menjadi pelakor?""Ma, denger dulu." Nindy menjadi panik ketika melihat ibunya marah. "Dia belum—""Putuskan hubungan kalian sekarang juga," potong Gauri dengan cepat. "Mama nggak mau kamu menjadi orang ketiga dan perusak rumah tangga orang lain.""Ma, tapi dia nggak jadi nikah. Semu
"Kamu jadi mau menginap di hotel ini aja?" tanya Nindy pada Billy setelah keduanya turun dari taksi di hotel yang lokasinya berada di pusat kota. "Iya. Di sini aja. Nggak terlalu jauh juga dari tempat kamu." Hanya butuh waktu sekitar 15 menit dari rumah sewa Nindy ke hotel itu. Hotel itu merupakan salah satu hotel mewah di Surabaya. Sengaja Billy memilih hotel itu karena hotel itu terkenal dengan pelayanannya yang bagus. Kamar yang dipesan dia adalah kamar presidential suite. "Ayo, masuk." Dengan langkah pelan, Nindy mengikuti Billy dari belakang. Kamar hotel yang dipesan Billy kali ini lebih besar dan mewah dari sebelumnya. Tipe kamarnya pun setingkat lebih bagus dari sebelumnya. "Tunggu di sini." Billy berjalan menuju kamar dan meletakkan barang miliknya, baru setelah itu dia kembali keluar dan menghampiri Nindy yang sedang duduk di sofa. "Udah siang, mau makan di bawah atau kita pesan layanan kamar aja?" tanya Billy usai duduk di sebelah Nindy. "Di kamar aja. Aku lagi males
"Siapa ini?"Billy terdiam selama beberapa detik sebelum menjawab pertanyaan Ibu Nindy. "Billy, Tante.""Oh, Billy. Kenapa HP Nindy bisa sama kamu?"Saat Billy akan menjawab, Nindy datang dari arah kamar Billy. Melihat ponselnya sedang dipegang oleh Billy, reflek dia bertanya siapa yang menelponnya melalui gerakan bibir."Mama kamu," jawab Billy dengan gerakan bibirnya juga.Nindy langsung berlari ke arah Billy dan meraih ponselnya dengan wajah panik."Halo, Ma."Disebrang sana, Gauri langsung menanyakan perihal ponsel putrinya yang berada di tangan Billy."Ini, Ma. Kebetulan Pak Billy juga ada urusan di kantor cabang. Jadi, Nindy datang ke sini sama Pak Billy. Nindy lagi di toilet tadi waktu Mama nelpon, jadi Pak Billy yang angkat, takut ada yang penting."Billy melirik dengan wajah tidak senang mendengar itu. Meskipun begitu, dia tidak memberikan komentar apa pun."Oh, jadi gitu. Ya udah.""Mama kenapa nelpon?""Nggak apa-apa. Mama cuma mau ingetin kamu, jangan lupa titipan mama kas
"Menantu Anda tidak sakit, tapi dia sedang hamil," jawab Dokter wanita itu dengan senyuman tipis. "Hamil?" ulang Amara dengan wajah tercengang. "Maksud Dokter, ada calon cucu saya di perut menantu saya?" Meski dia sudah menduga kalau menantunya hamil, tapi Amara tetap terkejut ketika mendengar langsung berita baik itu dari mulut sang dokter. "Benar sekali." Nindy yang sejak tadi mendengar itu, tampak mengusap perutnya dengan lembut sambil tersenyum bahagia. Bagaimana tidak bahagia, dirinya bisa langsung hamil setelah pulang dari berbulan madu, sementara kakak iparnya belum hamil sampai sekarang. Padahal, dia sangat berharap bisa segera hamil setelah menikah. "Untuk memastikannya, silahkan langsung melakukan pemeriksaan USG dengan Dokter Obgyn." Setelah tiba di rumah sakit, Amara langsung membawa Nindy ke IGD. Sebenarnya, dia sudah curiga sejak awal kalau menantunya sedang hamil setelah putranya bercerita kalau sudah beberapa hari Nindy tidak napsu makan dan pagi tadi mengal
"Sayang, berhenti. Jangan main-main." Billy mencoba memperingatkan Nindy sejak tadi terus memainkan jemari lentiknya di dada bidangnya. Saat ini keduanya sedang berbaring di ranjang dengan posisi Billy bertelanjang dada menghadap ke langit-langit, sementara Nindy sedang berbaring miring menghadap Billy dengan mengenakan pakaian tidur tipis dan seksi "Aku cuma mau pegang, memangnya nggak boleh?" Billy memejamkan mata sambil menarik napas panjang dan mengembuskannya secara perlahan saat merasakan tangan Nindy semakin turun ke bawah. "Boleh, tapi jangan lama-lama. Nanti kamu menyesal." Nindy mengabaikan peringatan Billy dan semakin berani meraba tubuh sang suami. "Sayang, cukup." Nindy seketika menghentikan gerakan tangannya ketika tiba di otot perut Billy. "Kamu nggak suka aku pegang badan kamu?" Sebisa mungkin Billy berkata dengan pelan agar tidak menyinggung perasaan sang istri. "Nggak, Sayang. Aku suka, tapi ini untuk kebaikan kamu. Kamu sendiri yang rugi kalau terus memancin
"Sayang, kamu berdiri di sana, nanti aku foto," tunjuk Billy pada latar bangunan berwarna putih yang memiliki kubah warna biru. Saat ini keduanya sedang berada di Thira atau lebih dikenal dengan Santorini. Thira atau Santorini adalah pulau vulkanik yang berada di antara Pulau Ios dan Anafi, Yunani. Santorini terletak di Kepulauan Cyclades sekitar 200 km dari daratan Yunani. Di pulau ini, sangat terkenal dengan sejarah gunung meletus serta keindahan bangunan-bangunan putih dan gereja berkubah biru yang berada di pinggir tebing atau di bangun di atas lereng kaldera yang berada di kota Oia. "Aku nggak mau foto sendirian, maunya sama kamu." Ketika mendengar itu, Billy tidak tahan untuk menggodanya. "Sekarang, kayaknya kamu nggak bisa jauh-jauh dari aku, maunya nempel terus. Aku pergi ke mana, selalu aja mau ikut. Kamu begitu, apa karena takut suami kamu diambil orang?" "Jangan ngeledek terus. Cepetan, ke sini atau aku nanti aku foto sama orang lain." "Jangan coba-coba atau aku lempar
"Sayang, ayo kita berenang di bawah," ajak Nindy sambil menghampiri Billy yang sedang duduk bersantai di bawah payung pantai yang berada di pinggir kolam. "Kamu duluan aja, Sayang. Nanti aku nyusul." "Aku nggak mau berenang sendirian." "Aku istirahat sebentar, ya? Aku masih capek." Bagaimana tidak capek, kemarin dia habis menggempur Nindy hingga malam, lalu dia lanjutkan lagi menjelang pagi. Setelah itu, dia menemani Nindy bermain jet ski hingga pukul 9 pagi, kemudian bermain banana boat, parasailing hingga pukul 12 siang. Setelah makan siang, mereka berjalan-jalan di sekitar pulau sampai menjelang pukul 2 siang, kemudian pulang dan berendam bersama sambil menikmati pemandangan di luar. Jika dihitung-hitung, dia hanya beristirahat selama setengah jam. "Sebentar aja Sayang nanti habis berenang kamu bisa istirahat." Nindy meraih tangan Billy dan mencoba untuk menariknya, tapi sang suami tidak bergerak sedikit pun. "Nanti aku nyusul, Sayang. Aku liatin kamu dulu dari sini." "Ya, u
"Bagus banget pemandangannya." Mata Nindy tampak berbinar ketika melihat pemadangan bintang dari tempat tidurnya. Saat ini, dia dan Billy sedang berbaring di ranjang sambil menikmati pemandangan bintang di malam hari. Kebetulan sekali kamar mereka dilengkapi dengan atap kamar yang bisa dibuka tutup secara otomatis menggunakan tombol. "Rasanya aku pengen tinggal di sini terus." Billy yang sedang berbaring miring menghadap sang istri yang sedang tidur terlentang seketika tersenyum. "Nanti kita ke sini lagi kalau aku ada waktu." "Beneran?" tanya Nindy seketika memiringkan tubuhnya ke arah Billy. "Iya, Sayang." Nindy pun tersenyum. "Besok kita mau ke mana lagi?" Seharian ini, mereka sudah melakukan banyak hal. Snorkling, berjalan-jalan, bersepeda di sekitar resort, bermain air di pantai sampai sore hari, kemudian melakukan spa di resort tersebut. Malam harinya, mereka makan malam romantis di gedung utama resort. "Besok istirahat aja di kamar. Sorenya baru kita jalan-jalan
"Sayang, bangun. Ini sudah pagi."Billy sedang duduk di tepi ranjang kembali memberikan kecupan singkat di pipi sang istri yang masih terlelap sejak siang hingga 7 sore hari. Sejak tadi, dia sudah berusaha untuk membangun Nindy dengan memberikan kecupan-kecupan ringan di wajahnya, tapi sang istri tidak terpengaruh sedikit pun.Sore kemarin, mereka baru saja tiba di penginapan Soneva Jani yang terletak di pulau Medhufaru. Nindy yang kelelahan akibat perjalanan jauh langsung tertidur setelah makan malam bersama dengan Billy dan belum terbangun hingga kini. Padahal, dia bilang ingin berenang sambil melihat matahari terbit."Jam berapa ini?" tanya Nindy dengan suara serak.Akhirnya, dia membuka mata setelah dibangun selama kurang lebih 15 menit oleh Billy. Meski sudah terbangun, tapi matanya belum terbuka dengan sempurna."Jam 7 pagi, Sayang," jawab Billy lembut sambil merapihkan anak rambut sang istri yang menutupi sebagian matanya. "Kamu masih ngantuk?"Nindy menggeleng lemah. "Nggak. C
Baru saja Dimas memasuki lift untuk turun ke lantai bawah, tiba-tiba saja ada seorang wanita ambruk di depannya. Sebelum wanita itu sempat terjatuh di lantai, Dimas sudah lebih dulu menangkap tubuh wanita itu dan menahan tubuhnya agar tidak terjatuh. Selain Dimas dan wanita itu, ada seorang pria juga yang berada di dalam lift."Nona, ada apa denganmu?" tanya Dimas sambil menepuk wajah wanita yang sudah menyandarkan kepala di bahunya."Maaf, ini teman saya. Dia lagi sakit. Biar saya yang bawa dia."Pria yang berada satu lift dengan mereka akhir membuka suara setelah pintu lift tertutup.Saat pria itu akan menyentuh wanita itu, Dimas segera mencengkram tangannya dengan tatapan tajam. "Kau mau berbuat apa dengan wanita yang sedang pingsan?"Pria tinggi berkulit sawo matang yang mengaku sebagai teman wanita itu tampak tidak senang mendengar ucapan Dimas. "Dia temanku. Jadi, apa masalahmu?""Bagaimana aku bisa tahu kalau kau memang temannya? Bisa saja kau mengaku-ngaku. Aku tidak bisa membi
"Di mana Nindy?" tanya Angga setelah Billy duduk di kursi depannya.Siang ini Billy bertemu dengan Angga di restoran hotel tempatnya menginap. Di sana jugalah nanti dia akan bertemu dengan teman-temanya yang berasal dari Singapore."Lagi tidur."Angga seketika tersenyum mendengar itu. "Masih jam 10 pagi, tapi dia udah tidur?Sepertinya kau habis menggempurnya habis-habisan semalam sampai membuatnya kelelahan seperti itu."Bukannya marah diolok-olok oleh Angga, Billy justru menanggapi dengan santai, "Nggak ada yang salah dengan itu. Dia udah resmi menjadi istriku.""Tapi, setidaknya tahan dirimu sedikit. Dia pasti lelah setelah melewati resepsi pernikahan yang panjang. Seharusnya, biarkan dia beristirahat dulu sehari, setelah itu kau bisa melakukannya.""Aku nggak bisa menahannya.""Tapi, selama ini kau berhasil menahannya, bahkan sampai 6 tahun. Kau juga tidak pernah terpengaruh dengan Shela yang sudah berkali-kali menggodamu.""Tidak bisa jika Nindy orangnya," jawab Billy santai, "jan
"Sayang, kamu yakin mau sarapan bersama?" tanya Billy sambil menghampiri Nindy yang sedang mengeringkan rambut di depan cermin kamar mandi dengan menggunakan hairdryer."Iya, nggak enak kalau nggak ikut sarapan.""Memangnya kamu bisa jalan?" Billy melingkarkan tangan di perut istrinya sambil menatapnya dari pantulan cermin setelah Nindy mematikan pengering rambut yang ada di tangan kanannya."Bisa, tapi pelan-pelan." Setelah itu, Nindy membalik tubuhnya menghadap Billy."Kalau nggak bisa, jangan dipaksa, Sayang. Lebih baik sarapan di kamar aja. Mereka juga pasti maklum, kita, kan, pengantin baru.""Ini salah kamu. Katanya cuma sebentar, tapi ternyata keterusan."Billy terkekeh pelan melihat wajah cemberut istrinya. "Maaf, Sayang. Kamu tahu sendiri, aku udah menahannya sejak lama. Ini aja aku masih sedikit menahan diri karena kasihan sama kamu.""Menahan diri apanya, kamu jangan bercanda. Badan aku sakit semua karena ulah kamu."Billy kembali terkekeh pelan. Setelah tawanya mereda, dia