Apa mungkin si Raja saingan Arjuna?
Setelah keluar dari ruang presdir Jaya Corp itu, Raja duduk termangu dalam mobilnya. Hati pria itu dipenuhi dengan perasaan yang campur aduk. Walau ada rasa kecewa karena belum bisa membantu Jeny, tapi ada perasaan menarik dalam hatinya yang sedikit berbunga-bunga setelah bertemu dengan sosok adik Satria Wijaya yang menawan, wanita yang entah kenapa bisa menggugah hatinya.Sampai detik ini, Raja tidak pernah menjalin cinta dengan wanita mana pun. Itu semua berkat sang ayah yang meminta Raja untuk selalu fokus dengan kedudukannya sebagai calon pewaris dan juga adiknya yang selalu mengkhawatirkan dirinya. Selain itu, penampilannya di mata semua orang terkesan galak dan menyeramkan, dan hal itu membuat para wanita tidak berani mendekatinya. Kalaupun ada, mereka hanya menarget kekayaan dan kedudukan Raja saja. Jauh berbeda dengan adik Satria Wijaya yang hari ini dia temui. Wanita itu dengan berani menatap lurus dirinya, bahkan menegurnya atas sikapnya yang patut Raja akui cenderung kelew
Arjuna baru saja selesai mandi sore itu. Dengan mengenakan handuk sebatas pinggang yang mempertontonkan dada bidang dan otot perut berlekuk miliknya, pria itu tampak sedang mengeringkan rambutnya yang basah.Mendadak, ponsel yang Arjuna letakkan di nakas berdering, membuat dia langsung mengambilnya tanpa memakai baju terlebih dahulu. "Raja?" Dahi Arjuna mengernyit ketika membaca nama yang terpampang di layar ponsel itu. Sedikit terkejut karena temannya itu sangat jarang menghubungi di waktu selarut itu. Namun, daripada menduga-duga tujuan Raja, Arjuna pun langsung menerima panggilan itu."Ada apa?" Suara Arjuna terdengar datar seperti biasanya."Arjuna … kita perlu bicara.”Suara serius milik Raja membuat Arjuna cukup kaget. Temannya yang cenderung bersuara besar dan ceria itu terdengar berbeda.“Katakan saja."Raja sebenarnya merasa tak enak pada Arjuna, tapi dia tidak bisa menahan emosi ketika membayangkan bahwa temannya itu telah membohonginya siang tadi dan berujung bertemu den
"Bagaimana menurut Kakak? Apa keputusan yang aku ambil sudah benar?" Rara yang saat ini sudah di rumah dan berada di ruang kerja Satria, sedang memperbincangkan soal beberapa keputusan bisnis yang Rara ambil hari ini.Satria mengangguk dan nampak tersenyum tipis. "Bagus. Kamu telah melakukannya dengan baik." Dia merasa puas dengan kinerja Rara, meski adiknya itu masih pemula.Rara menghela nafas dan nampak begitu lega juga. "Syukurlah." Wanita itu tadi sempat bimbang dan takut jika keputusan yang dia ambil tak disetujui oleh Satria."Selama menurut kamu itu benar, lakukan." Kepercayaan penuh itu diberikan pada Rara, agar sang adik bisa merasa nyaman.Saat melihat Rara mulai merapikan dokumen, Satria pun bertanya, "Apa ada kejadian menarik di kantor?"Rara menaikkan satu alisnya, penasaran bagaimana sang kakak begitu up to date dengan segala yang terjadi di sekelilingnya. Apakah Satria dan Linda berinteraksi sesering itu? Menepiskan pertanyaan tersebut, Rara pun menjawab, “Raja Sanjaya
*Beberapa saat yang lalu*'Kebetulan sekali Kak Raja sudah sampai di rumah.' Jeny yang baru saja pulang melihat lampu ruang kerja Raja menyala. Dia pun tersenyum senang dan langsung menuju ke ruangan kakaknya itu. Nampak saat itu Raja tengah bergelut dengan beberapa dokumen pentingnya, wajahnya nampak serius. Tetapi ketika melihat Jeny masuk, pria itu lalu menutup salah satu dokumen yang sedang dia periksa."Sudah lama sampai rumah, Kak?" Jeny terlebih dulu basa-basi, dan langsung menjatuhkan bobot tubuhnya di kursi yang ada di depan meja kerja Raja."Lumayan," jawab Raja singkat. Wajah lelaki itu yang biasa nampak ramah pada sang adik, saat ini terlihat sedikit mengeras. Tetapi hal itu tak menjadi pikiran Jeny, dia tetap saja mengatakan tujuan utamanya pada Raja."Kak, bisa nggak minta rekomendasi agar Nizam bisa masuk ke salah satu perusahaan ternama seperti Wijaya Group atau Pramana Group?"Apa pun yang dilakukan oleh Jeny saat ini adalah demi dan tentang Nizam saja. Karena pria
"Sial! Kenapa sih si Raja itu mau ketemu sama aku?!" Nizam mengumpat dan sangat kesal setelah mengakhiri panggilan dengan Jeny. Sebenarnya, ketika pertama kali berkenalan dengan Jeny, Nizam sudah ingin bertemu keluarga wanita itu. Hanya saja, Jeny malah tak memperbolehkan dengan dalih ‘belum waktunya’.Nizam paham jelas apa maksud Jeny, yakni bahwa dirinya sebagai pria belum pantas untuk bertemu dengan orang tua Jeny karena kedudukannya sama sekali tidak menonjol. Demikian, Jeny mengusulkan ide untuk menaikkan derajat Nizam terlebih dahulu sebelum mempertemukan pria tersebut dengan keluarganya.Disiram kenyataan seperti itu membuat Nizam selalu menghindari acara-acara yang bisa mempertemukannya dengan keluarga Jeny. Dia pun memiliki ketakutan kalau dia bertemu dengan keluarga wanita itu sebelum mendapatkan kedudukan yang lebih baik, bisa-bisa gagal sudah rencananya selama ini untuk menikahi Jeny.Akan tetapi, sekarang malah kakak wanita itu secara khusus meminta untuk bertemu! Nizam
Nizam meringis mendengar ucapan kakaknya. “Terserah Kakak saja,” balas Nizam lantaran terlalu malas meladeni Sarah.Tepat di saat itu, Endang datang dengan wajah kusutnya dan penampilan yang amburadul dari arah dapur. Wanita paruh baya itu langsung mengomel sembari menunjuk-nunjuk Sarah. "Bagus! Pulang malam aja terus!” seru Endang. “Bukannya bantu-bantu di rumah, malah kelayapan di luar!” Tangan wanita itu menuding jam di dinding. “Sudah jam delapan malam, tapi ibu baru selesai mengerjakan pekerjaan rumah! Capek, tahu nggak?!"Sarah menghela napas kasar. Baru juga pulang dengan hati senang, malah balik-balik kena omelan sang ibu.“Ya, gimana ya, Bu? Bukannya bersih-bersih rumah tugasnya ibu rumah tangga?” balas Sarah dengan kurang ajarnya, sukses membuat mata Endang melotot. “Kalau capek, harusnya dari awal jangan suruh Nizam ceraikan Rara. Kalau nggak, sewa pembantu kek.” Selalu jawaban yang sama untuk keluhan yang sama.“Kamu–!”Baru saja mau memulai perdebatan, mendadak Endang t
"Menjatuhkan Rara sekarang bukanlah hal mudah, Bu. Jangan lupa, dia ada hubungan dengan presdir perusahaan besar seperti Jaya Corp.” Endang mengerutkan dahinya, merasa tidak senang saat ingat kenyataan itu.Nizam menghembuskan nafas panjang selagi mengingat pertemuannya kembali dengan Rara yang selalu saja sukses membuatnya malu dan mati kutu."Bukan cuma itu, dia juga mendapatkan dukungan dari si Arjuna," ucap Nizam lagi. “Di level kita sekarang, sulit menyentuh dia.”"Kenapa bisa begitu sih?" Endang nampak penasaran lagi. “Kayaknya dulu dia nggak punya koneksi deh!”Nizam menaikkan kedua pundaknya. "Aku juga nggak tahu, Bu.”Endang terdiam. Menantunya yang penurut dan mudah ditindas itu sekarang begitu kuat dan ada koneksi dengan sejumlah orang kaya. Jika mengingat latar belakang Rara dulu, wanita itu hanya anak yatim piatu dengan satu kakak laki-laki yang lebih tua sebelas tahun di atasnya, jadi bagaimana mungkin mereka ada hubungan dengan kalangan atas?Keluarga Endang saja yang s
“Menjual kata manis dan menurut pada Jeny seperti anjing peliharaan demi bisa mendapatkan keuntungan. Itu ‘kan yang kamu lakukan?”Nizam mendengus kasar sembari mengerucutkan bibirnya ke depan, sangat kesal dengan makian Sarah. "Jaga mulut kamu, Mbak!" Matanya menatap tajam ke arah Sarah. "Bukankah kamu juga nggak kalah buruk? Kamu malah menjual tubuh untuk mendapatkan si Daniel itu kan?" Nizam seperti tak mau kalah dengan si kakak.Namun, reaksi yang ditunjukan oleh Sarah malah tampak tenang dan biasa saja. Wanita itu tak terganggu sama sekali dengan perkataan adiknya itu."Nggak masalah sih, aku nyaman aja kok melakukannya. Karena dengan begitu aku bisa dengan mudah mengendalikan Daniel seperti mainan." Sarah berkata sambil tersenyum licik."Ingat ya, aku yang mengendalikan Daniel. Jauh beda sama kamu yang dijadikan mainan sama si Jeny!" Sarah masih merasa paling pintar dibanding dengan adik lelakinya itu.Sebenarnya kakak beradik itu sama saja, melakukan apa saja demi uang, meski
"Selamat menempuh hidup baru ya, Raja, Stella. Doa kami semua yang terbaik untuk kamu. Semoga segera memiliki momongan."Rara kembali memberikan selamat pada sahabatnya ini, kali ini saat Raja dan Stella baru saja tadi mengungkapkan janji suci pernikahan. Setelah dua bulan yang lalu mereka juga menggelar acara pertunangan yang mewah."Terima kasih banyak ya. Tanpa kalian,mungkin kali ini kami pun belum bisa bersatu." Stella terus mengenggam tangan Rara. Sahabat yang memang menjadi support utama hubungannya dengan Raja. "Sepetinya para baby gemoy ini nunggu Tante dan Om nya resmi dulu, baru mau launching nih."Stella mengelus perut Rara yang begitu buncit. Rara dan Arjuna yang berada di sampingnya pun terkekeh. "Bisa jadi seperti itu. Karena harusnya HPL kemarin."Ya, memang meski telah terlewat HPL sehari, tetapi Rara belum merasakan tanda tanda kehamilan yang datang. Itu Lah kenapa hari ini dia kekeh untuk datang ke pesta pernikahan itu. "Ah iya, kak Satria juga akan segera melamar
"Bu, Mas Ardi tumben banget sih jam segini belum keluar kamar ya?" Dita yang baru duduk di meja makan, bertanya pada sang ibu sambil menoleh pada kamar sang kakak, yang sejak kemarin sore tak terbuka sama sekali."Iya, dari pulang kerja sudah nggak keluar. Nggak makan malam juga kan?"Ketika Bu Mira masih terdiam, Dewi malah menimpali ucapan adiknya itu. "Halah ... Paling dia itu masih meratapi si Sarah itu," ucap Bu Mira ketus. "Dasar Cemen!"Bu Mira sebenarnya juga sedikit merasa khawatir dengan Ardi. Karena memang setelah Sarah pergi dari rumah ini, putranya itu bahkan tak pernah mau makan. Ardi yang biasanya begitu hangat dengan keluarga, berubah menjadi Ardi yang tertutup dan begitu muram.Padahal ini bukanlah untuk pertama kalinya Ardi menalak istrinya, Sarah adalah yang ketiga, tetapi sungguh saat ini berbeda.Biasanya Ardi biasa saja dan seperti tak lagi memikirkan tentang mantan mantan istrinya itu."Aku kok khawatir ya Bu sama Ardi. Dia itu kayaknya patah hati banget deh keh
"Selamat ya Stella, aku benar benar ikut bahagia. Kalian memang pasangan yang sangat serasi loh." Rara mencium pipi kanan kiri sahabatnya yang malam ini terlihat begitu cantik dalam balutan dres warna putih itu. "Ini semua nggak akan pernah terjadi tanpa bantuan kamu Ra. Pokoknya terima kasih banget loh." Stella memeluk Rara. "Kamu memang sahabat terbaikku."Air mata telah menumpuk di pelupuk mata, tetapi tangis bahagia itu memang sengaja ditekan oleh Stella, karena takut merusak riasan. Malam ini adalah malam pertunangan Stella dengan Raja Sanjaya. Hanya satu hari berselang dari acara jumpa pers yang berakhir menyenangkan itu, keluarga Sanjaya menggelar pesta pertunangan keduanya dengan begitu mewah."Nggak juga. Lebih tepatnya aku hanya perantara sih, yang berperan penting tentu masih tetap Tuhan. Gimana, enak rasanya lebih wow kan, jika cinta di dapat setelah begitu banyak rintangan?" Rara kembali berucap.Kali ini tidak hanya Stella yang tertawa, tetapi Raja juga. Raja pun ter
"Raja?!" Stella langsung memekik, saat melihat sosok yang saat ini paling ingin dia hindari berjalan masuk dari pintu keluar. Raja tidak sendiri, tetapi saat ini pria tampan itu bersama dengan Sinta dan juga Jeni."Hei mau apa dia ke sini? Apa kamu bilang juga sama si Raja jika saat ini kamu mengadakan konversi press?" Romi pun langsung bertanya sembari berbisik. Pria kemayu itu benar-benar tak menyangka sama sekali, jika Raja datang. Bukan apa-apa, tetapi setelah tadi Stella mengambil keputusan bahwa akan menjauhi Raja, dan sekarang Raja datang kembali, itu berarti Romi harus kembali menghadapi Stella yang banyak masalah dan banyak pikiran. Dan, itu berarti juga Stella pun akan menunda beberapa jadwal shooting, karena tak bisa fokus untuk melakonkan perannya. Semua itu tentu saja berimbas pada Romi yang merupakan manajernya."Entahlah, Rom. Aku tak tahu." Stella menjawab sembari menggelengkan kepalanya.Stella yang memang menghindari Raja, ingin segera pergi dari ruangan itu. Teta
"Duh kenapa aku jadi grogi banget gini sih ROM?" tanya Stella, yang sebentar lagi akan melakukan jumpa pers, pada manajernya yang kemayu itu. Romi menepuk-nepuk pundak sang artis. "Ih kamu ini kayak apa aja sih Stella? Kamu ini kan artis besar, masa sih gini aja Kamu demam panggung? Nggak level banget sih."Apa yang dikatakan oleh Romi itu tadi, sebenarnya bukanlah sebuah ejekan. Tetapi Romi melakukan hal itu untuk memantik semangat Stella yang sepertinya memang telah mulai mengendur."Romi, ini kan bukan sandiwara atau film-film yang sering aku bintangi. Ini nyata Romi, ini hal yang benar-benar terjadi dalam hidupku. Jadi rasanya wajar dong jika aku grogi banget seperti ini." Stella mengelak. Romi memutar bola matanya dengan malas. Dia tahu jika memang konferensi pers yang akan diadakan oleh Stella ini, seperti suatu hal yang tidak diinginkan oleh hatinya Stella. Tetapi artis cantik itu memaksakan kehendak."Makanya dong Stella, Aku kan udah bilang sama kamu, jangan bohongin hati
Brak brak brak"Dewi bangun!" Pagi buta itu, Bu Mira sudah menggedor pintu kamar Dewi. Setelahnya, wanita itu ganti menggedor kamar Dita, yang terletak tepat di samping kamar Dewi.Brak BrakBrak"Dita bangun kamu. Ini sudah siang! Kamu itu anak gadis, jadi jangan bangun siang-siang!" eriak bu Mira dengan penuh emosi.Merasa tak mendapatkan respon sama sekali dari kedua putrinya, bu Mira pun kembali menggedor dengan keras pintu kamar itu, dengan teriakan yang sangat melengking di pagi hari."Duh ternyata repot banget kalau nggak ada Sarah. Ngapain sih Ardi kemarin itu sampai menalak Sarah? Coba saja ada Sarah, pasti aku sekarang masih tidur dan mainan hp di kamar." Bu Mira begitu emosi dengan dirinya sendiri saat ini.Sejak kemarin malam setelah kepergian Sarah, wanita paruh baya itu tak dapat memejamkan matanya sama sekali. sSepertinya dia merasakan apa yang sedang dirasakan oleh Ardi saat ini. Rasa penyesalan karena telah mengusir Sarah dari rumah ini."Seharusnya Ardi juga menge
"Dasar perempuan jalang! Cepat pergi kamu dari rumah ini!" Bu Mira kembali berteriak, saat itu Ardi pun sedikit kaget. "Cepat pergi atau kuse-ret kamu!!"Bu Mira sudah akan maju untuk menyeret Stella, sedangkan Dewi dan Dita mengikuti di belakangnya."Hentikan Bu!" Yang berteriak ternyata bukan Sarah, tetapi Ardi. "Jangan lagi menghina Sarah."Raut wajah para anggota keluarga itu nampak terkejut dengan ucapan pria itu. Kemudian Ardi menoleh pada Sarah. "Pergilah Sarah. Semoga kamu bisa mendapatkan ganti yang lebih baik dariku. Maafkan aku ya."Sarah sedikit kaget juga dengan perubahan sikap Ardi yang begitu drastis setelah mengucapkan kata talak tadi. Dia sempat berpikir jika mungkin mantan suaminya itu menyesal karena telah mengakhiri hubungan itu. Tetapi sejurus kemudian seperti ada yang kembali mengingatkan pada Sarah. Seperti apa sikap Ardi, yang selama mereka menikah malah sama sekali tak pernah memperlakukan dia seperti layaknya seorang istri."Tentu Mas. Tuhan tak pernah tidur.
"Terima kasih telah terus bersama dengan Sarah, Bu. Jika tak ada ibu, mungkin Sarah sudah semakin hilang arah." Sarah kemudian memeluk ibunya .Tak terkira rasa terima kasih Sarah pada sang ibu. Karena memang tak ada lagi tempat kita kembali selain pada ibu. Wanita yang benar benar menyayangi kita apa adanya tanpa balas jasa.Terhitung sudah dua hari Sarah kembali pulang ke rumah kontrakan Bu Endang. Setelah kemarin ditalak Ardi dan diusir dari rumah mantan suaminya itu. Untung saja pernikahan mereka hanya pernikahan siri alias secara agama, jadi tak perlu repot repot menuju ke pengadilan agama. Tak butuh proses lama untuk menjadikan Sarah berstatus menjadi janda.Kadang memang banyak hal rasanya seperti membuat kita kecewa, seakan Tuhan tak menuruti segala keinginan kita. Padahal sebenarnya semua itu adalah berkah, karena Tuhan nyatanya tidak memberikan apa yang kita inginkan, tetapi apa yang kita butuhkan."Maaf ya, dulu ibu sempat melarang karena kamu hanya akan dinikahi di balik t
"Kamu nggak kerja, Sarah?" Bu Endang bertanya pada Sarah setelah mereka berdua baru saja selesai melaksanakan salat subuh.Sarah mencium punggung tangan ibunya dengan takdzim. "Belum untuk sekarang Bu. Mungkin besok." Sarah berkata sambil tersenyum manis."Jika memang kamu sudah tak nyaman kerja disana, lebih baik kamu cari kerja di tempat lain saja, Sarah." Raut wajah wanita paruh baya itu nampak khawatir.Tak salah jika akhirnya Bu Endang jadi mengkhawatirkan tentang tempat kerja Sarah. Setelah kini Sarah tak lagi menjadi istri Ardi, Bu Endang merasa takut jika Sarah tak akan nyaman bekerja satu kantor dengan sang mantan suami. Apa lagi mengingat jika hubungan yang pernah terjalin dulu begitu tidak baik.Sarah tersenyum penuh artis, ditepuknya telapak tangan Bu Endang yang sejak tadi masih digenggamnya. "Sarah belum memikirkan hal itu Bu. Nanti malam saja." Ada hal yang tentu saja disembunyikan oleh Sarah. Apa lagi jika bukan rasa sakit hati. Hanya saja tentu wanita itu tak ingin me