Di ruang tengah kediaman Wijaya.
BRAK!
"Beraninya mereka melakukan hal seperti itu!"
Setelah mendengar cerita Rara, tampak sosok Satria menggebrak meja karena terlewat marah perihal perilaku Nizam dan ibunya.
"Memilih wanita lain hanya karena dia sendiri tidak becus menafkahi istri, suami macam apa itu!?" maki Satria dengan tatapan nyalang. “Selain itu, ibunya itu … sebagai seorang wanita, bisa-bisanya dia dengan tega malah mendorong putranya menikahi wanita lain!?”
Rara menautkan jari-jarinya, hanya bisa tertunduk diam mendengarkan kemarahan kakaknya.
Memikirkan kebusukan Nizam, Satria berakhir melotot ke arah sang adik dan menuding wanita itu.
“Bukankah aku sudah bilang dari dulu kalau dia itu bajingan?! Pria manja dengan gaya sok elit tanpa kemampuan yang berarti!"
Dada Satria naik-turun karena emosi.
"Dulu kamu membanggakan sifat lembutnya dan bagaimana dia begitu mapan karena sudah bisa berada di posisi yang cukup tinggi di usia muda, sekarang mana?! Membuang istri demi mendapatkan jabatan dan pekerjaan lebih baik?! Konyol!”
Rara menggigit bibir, merasa sangat malu karena teguran sang kakak.
Dulu, sebenarnya kalau bukan karena mendiang ayah Nizam yang memiliki banyak koneksi bagus, mungkin dari awal mantan suami Rara itu tidak bisa mendapatkan posisi manajer di perusahaannya yang sekarang.
Akan tetapi, Rara yang dulu dibutakan oleh cinta. Suatu hal yang bodoh, tapi tak mampu Rara hindari!
"Dia itu bukan pekerja keras, melainkan seorang lintah darat yang terbiasa dimanja! Sama seperti ibunya yang hanya tahu menyedot habis harta mendiang suaminya sampai terkena serangan jantung!"
Dari cara bicara Satria, Rara tahu bahwa sang kakak sudah memantaunya sejak lama. Demikian, kakaknya itu paham bagaimana kehidupan pernikahannya bersama Nizam selama ini! Bagaimana Rara diperlakukan seperti pembantu oleh pasangan ibu dan anak tersebut!
Rara memejamkan matanya erat. ‘Memang aku sungguh bodoh dan memalukan!’
Melihat Rara tampak bersalah dan malu, Satria menghela napas kasar. Sebagai satu-satunya sanak saudara yang tersisa, hatinya juga sakit melihat penderitaan sang adik. Kemarahannya itu juga muncul karena rasa tidak terima terhadap apa yang telah Rara rasakan.
Merasa tidak ada gunanya marah-marah kepada Rara, Satria pun mengeluarkan ponsel dan menghubungi seseorang. Saat panggilan terhubung, pria itu berkata, "Putuskan kerja sama dengan Keluarga Sanjaya.”
Terkejut, Rara langsung mengangkat kepala. Keluarga Sanjaya adalah keluarga ayah Jeny, calon istri baru Nizam.
"Apa yang Kakak lakukan?" tanya Rara dengan mata mengerjap.
Manik Satria melirik Rara. "Wanita baru bajingan itu sama rendahannya dengan mantan suamimu. Menginginkan apa yang sudah menjadi milik wanita lain, aku harus memberinya pelajaran!”
Rara masih tampak bingung. Keluarga Jeny bekerja sama dengan Jaya Corp, bukan Wijaya Group, lalu kerja sama apa yang kakaknya itu bicarakan?
Tahu kebingungan sang adik, Satria pun menyunggingkan sebuah senyuman miring. "Ah, kamu belum tahu?” Pria itu menjabarkan, “Jaya Corp adalah anak perusahaan Wijaya Group.”
“Apa?!” Rara sangat kaget mendengar hal ini.
Rara tahu bahwa perusahaan keluarganya yang dipegang sang kakak memiliki aset besar, tapi menjadi induk perusahaan dengan aset miliaran seperti Jaya Corp? Bukankah itu berarti Wijaya Group bisa mencapai triliunan?!
Satria mendengus melihat reaksi adiknya, merasa wanita itu konyol. “Memiliki keluarga kaya, tapi bersedia jadi pembantu demi mempertahankan rumah tangga. Dasar budak cinta,” maki pria itu dengan ketus.
Menepiskan ejekan saudaranya, Rara memutar otak. Kalau Satria memutus kerja sama dengan keluarga Sanjaya, pria itu pasti harus membayar penalti ratusan juta atau bahkan miliaran. Hal ini akan berefek merusak reputasi Satria.
‘Bahkan dengan risiko tersebut, Kakak masih lebih memilih membelaku ….’ Wajah Rara perlahan diselimuti ekspresi terharu. “Terima kasih, Kakak ….”
Empat tahun mereka tidak saling menyapa maupun bicara, tapi ternyata Satria masih begitu menyayanginya. Sebagai adik, Rara sangat bersyukur mengenai hal itu.
Akan tetapi ….
“Tapi, Kakak tidak perlu melakukan hal itu …,” ucap Rara membuat Satria yang tengah tersenyum kehilangan sinarnya.
“Apa maksudmu?” tanya Satria.
“Apa yang Jeny lakukan adalah keputusannya dan tidak berhubungan dengan Keluarga Sanjaya, tidak adil bagi orang lain yang tidak terlibat kalau kita merusak kerja sama begitu saja.”
“Gagal mendidik putri yang baik adalah kesalahan orang tuanya,” ucap Satria dengan alis tertaut, terlihat tidak ingin mengubah keputusannya. “Jadi, mereka harus bertanggung jawab.”
“Kalau Kakak bicara seperti itu, bukankah Kakak berkata bahwa orang tua kita juga gagal membesarkanku dengan baik?” Ucapan Rara membuat Satria kaget. “Aku juga sempat memilih memutus hubungan keluarga hanya untuk seorang bajingan ….”
Satria menggertakkan giginya. “Itu berbeda!”
Ayah dan ibu mereka meninggal ketika Rara masih berusia enam tahun, jadi kalau ingin menyalahkan seseorang, maka Satria yang harus disalahkan!
Kepala Rara menggeleng. “Intinya, membalas Nizam dan Jeny adalah urusanku. Kakak tidak perlu repot-repot melakukan apa pun.” Pancaran mata wanita itu tampak diselimuti keyakinan. “Lagi pula, hatiku hanya akan puas jika mereka jatuh dengan tanganku sendiri."
Sesaat Satria hanya diam sembari menatap wajah Rara. Akan tetapi, tekad sang adik membuatnya menutup mata dan berujung mengangguk.“Lakukan apa yang kamu mau,” ucap pria tersebut seraya berdiri dari kursinya. “Sudah malam, istirahatlah. Besok kita bahas kembali masalah ini.”Sepeninggal Satria, Rara langsung membersihkan diri dan menidurkan Bella. Namun, dirinya tidak kian bisa tertidur karena terus memikirkan masalah yang menimpanya hari itu.Alhasil, Rara pun memutuskan untuk keluar kediaman dan berjalan-jalan di taman perumahan tersebut.“Sudah banyak yang berubah …,” gumam Rara seraya memerhatikan sekeliling. Ditemani remang lampu taman dan sejumlah orang yang masih berjalan-jalan santai, Rara menjejakkan kaki di taman perumahan. Hal itu membuat wanita itu teringat akan masa kecilnya. Setiap sore Rara akan menghabiskan waktu bersama orang tua dan kedua kakaknya di taman. Berbincang, bermain, dan berbagi kebahagiaan yang terasa begitu sederhana.Namun, semua itu berubah ketika su
“Rara?” panggil pria tampan itu dengan alis tertaut, seakan tak menyangka akan melihat sosok Rara di sana.Dengan wajah kebingungan, Rara memiringkan kepala. “Anda mengenal saya?” tanyanya dengan bahasa yang sangat sopan.Raut wajah yang tadi dingin dan serius itu sedikit melembut. “Kamu tidak ingat?” balasnya, membuat Rara menggelengkan kepala. “Aku Arjuna.”Sontak, Rara terbelalak. “Arjuna?!” ulangnya sembari memeriksa penampilan pria itu dari atas ke bawah, mencoba meyakinkan diri sendiri. “Kak Arjuna temannya Kak Satria?!”Arjuna mengangguk, wajahnya datar. "Ya. Lama tidak bertemu."Kedua sudut bibir Rara tertarik membentuk sebuah senyuman. "Lama tidak bertemu, Kak Juna."Arjuna Maheswara, itu adalah nama lengkap pria di hadapan. Pria dingin yang merupakan sahabat Satria sejak SMA … sekaligus cinta pertama Rara yang tak pernah terungkapkan. Kalau bukan karena dulu pria itu bertunangan lebih dulu dengan wanita lain sebelum Rara berani mengutarakan perasaannya, mungkin Rara tidak a
Tiga hari setelah tinggal bersama Satria, Rara telah didorong kakaknya itu untuk membenahi berbagai macam hal dalam hidupnya. Dimulai dari penampilannya, pola makannya, juga waktu istirahatnya. Bahkan pendidikan Bella pun diwajibkan oleh Satria untuk diurus dengan lebih hati-hati.Walau kelelahan dan penderitaan selama empat tahun ke belakang masih sedikit terlihat dari kantung matanya, tapi pancaran mata Rara yang sebelumnya kuyu itu sudah berubah menjadi jauh lebih cerah. Sekarang, berbalut kemeja putih dan rok pensil hitam, terlihat wanita itu sedang dalam perjalanan ke suatu tempat.Sambil menatap ke luar jendela mobil, Rara mengingat perkataan Satria tiga hari yang lalu."Kamu harus melatih kemampuan bisnismu lagi," titah Satria. “Temui aku di Jaya Corp besok jam sembilan.”Dengan tekad bulat untuk membenarkan hidupnya dan juga memastikan hidup Bella tercukupi, Rara pun hanya bisa menuruti perintah sang kakak. Walau sejujurnya, dia ragu apakah kemampuannya masih bisa digunakan.
Permintaan Arjuna membuat suasana di lobi menjadi menegang. Semua orang langsung memusatkan perhatian kepada sosok Rara, bertanya-tanya apa sebenarnya identitas wanita itu beserta apa hubungannya dengan Arjuna.“Mungkinkah … wanita itu calon Tuan Arjuna yang baru?”“Cantik sih memang … jadi iri ….”Komentar-komentar itu membuat Rara merasa tidak nyaman. Dia pun menarik lengan pakaian Arjuna lagi.“Kak … sudah, jangan diperpanjang ….”Arjuna menautkan alis. “Tidak bisa,” tegasnya. “Yang bersalah harus minta maaf.”Mendengar balasan Arjuna, Rara merasa hatinya tergelitik. Sungguh … sudah berapa lama dirinya dibela seseorang seperti ini?Jujur, Rara jadi terharu.Sementara itu, di sisi Jeny dan Nizam, keduanya tampak marah dan tidak rela. Tangan Nizam bergetar, dia jelas tidak akan sudi minta maaf kepada mantan istrinya itu! Apa lagi saat melihat jelas Rara dan Arjuna saling menggoda di depan matanya!‘Dasar jalang!’ maki Nizam.Akan tetapi, di luar dugaan Nizam, Jeny akhirnya menyatakan
Mendengar ucapan Satria, kedua mata Rara membola. "Kakak, pikirkanlah dengan baik!” sergah Rara. “Posisi presdir bukanlah sesuatu yang bisa dilakukan sembarang orang, terlebih aku yang tak pernah memiliki pengalaman bekerja."Selain membantu Satria perihal laporan keuangan dulu saat kuliah, Rara tidak sempat bekerja karena dirinya langsung menikah dengan Nizam. Oleh karena itu, wanita itu tidak yakin bisa menjabat dengan baik posisi presiden direktur perusahaan!“Bagaimana kalau perusahaan merugi di bawah pimpinanku?” tanya Rara.Satria menaikkan alis kanannya. "Bukan masalah,” jawabnya santai. “Yang penting dirimu belajar sesuatu.”Rara merasa keputusan Satria terlalu gegabah. Dia pun kemudian menoleh pada Arjuna, mencoba mendapatkan dukungan.Perusahaan Arjuna juga bekerja sama dengan Jaya Corp. Kalau Jaya Corp merugi, maka hal itu akan berdampak pada usaha pria tersebut juga."Kak Arjuna, tolong katakan sesuatu ….”“Aku tidak lihat ada masalah,” sahut Arjuna cepat tanpa keraguan.
Bab 9“Ini pasti ada kesalahan! Mana mungkin saya ditawarkan jadi cleaning service?!” sahut Nizam dengan setengah panik.Jeny yang ada di seberangnya juga tampak bingung."Ini sudah menjadi keputusan direktur Jaya Corp, tidak bisa diganggu gugat." Dari sisi telepon yang lain, terdengar perwakilan HRD Jaya Corp dengan suara yang tegas. "Jika Anda menolak, maka tawaran ini akan diberikan pada orang lain."Mulut Nizam menganga, tentu dia ingin protes dengan keputusan yang menurutnya sangat tidak benar itu. "Tapi, ini pasti ada kesalah–" "Saya menunggu jawaban Anda, satu kali dua puluh empat jam. Terima kasih."Belum sempat membalas, panggilan tersebut telah terlebih dahulu diakhiri, membuat Nizam melongo di tempat.Jeny yang sejak tadi terus mengamati Nizam pun ikut mengerutkan keningnya. "Kenapa, Zam? Kok kamu sebut-sebut cleaning service?" tanyanya.Nizam langsung mengalihkan pandangan pada Jeny. "Kamu yakin ‘kan ketika kita bicara dengan Pak James tadi kita sudah jelas bilang aku mau
“Pak Nizam, Bu Jeny, kita bertemu lagi.”Saat melihat mantan istri yang telah dibuangnya itu tiba-tiba kini berdiri tepat di hadapannya, di ruang presdir Jaya Corp, Nizam spontan mundur satu langkah dengan mulut terbuka. “Rara?!” seru Nizam dengan suara keras, membuat Linda mengerutkan keningnya dengan tidak nyaman, tidak suka nama sang atasan dipanggil langsung oleh pria itu.Tak jauh beda dengan ekspresi yang ditunjukan oleh Nizam, Jeny pun teramat kaget dan sampai membelalakkan matanya. 'Rara lagi?!' batinnya.Hanya saja, berbeda dari Nizam, wanita licik itu lebih mampu mengontrol perasaannya. Dengan agak ragu dia pun bertanya, "Kamu … presiden direktur Jaya Corp?"Otak dua orang itu–Nizam dan Jeny–berputar. Kalau jawaban pertanyaan itu adalah ‘ya’, maka lupakan saja bekerja di perusahaan ini, menginjakkan kaki lagi saja mungkin tidak akan bisa!Akan tetapi, bagaimana mungkin wanita seperti itu bisa menjadi presdir Jaya Corp? Memangnya dia itu putri hilang keluarga kaya!? Nggak m
Suara teh yang dituangkan ke dalam gelas terdengar dalam ruang kantor presdir Jaya Corp yang hening.Jeny dan Nizam tengah duduk berseberangan dengan Rara. Di dekat mereka, sosok Linda tengah menyuguhkan minuman untuk tiga orang tersebut.“Terima kasih, Linda,” ucap Rara setelah minumannya selesai dituang.Di seberang Rara, tampak wajah Jeny dan Nizam agak gelap. Berhadapan dengan Rara dalam posisi seperti ini, membuat Nizam ingin berkata kasar dan mengejek Rara seperti tadi pagi. Hanya saja lelaki itu terfokus pada inti masalah.“Jangan banyak mengulur waktu, Rara. Aku tidak punya waktu untuk dibuang karena harus kembali ke kantor!” celetuk Nizam dengan tidak sabar. “Apa pesan presiden direktur?!”Rara tersenyum tipis, lalu dia pun berkata, "Pesan sang presdir adalah … jika Pak Nizam ingin menjadi manager, maka harus menunjukkan kemampuan terlebih dulu." Dia sudah tidak sudi memanggil mantan suaminya itu dengan panggilan ‘mas’."Main curang dengan rekomendasi buta dan kolusi orang d