'Astaga ... apa yang sebenarnya Tuan Deo pikirkan saat ini?' batin paman Louise seraya menepuk jidat di kursi kemudi."Tolong jangan bercanda pada situasi seperti ini, Tuan Deo. Itu sungguh tidak lucu!" tegas Ela memicingkan mata."Apa wajahku terlihat sedang bergurau di matamu? Aku serius."Sesaat Ela nampak membuang muka, sebelum menghela nafas kasar dan kembali menatap Deo dingin."Setelah kita menikah kamu tidak akan kesepian lagi. Aku akan selalu menemanimu dalam situasi apa pun. Aku ....""Dengar, Tuan Deo Kendrick yang terhormat! Saya, Gabriela Larasati, mulai detik ini memutuskan hubungan perjodohan kita. Sekarang Anda bebas berkencan dengan wanita mana pun termasuk Mantan Pacar Anda. Dan mulai saat ini, saya dan Anda hanya sebatas rekan kerja, tidak lebih!" tegas Ela menyela kalimat Deo yang belum tertuntaskan.Sontak Deo dan paman Louise yang menyaksikan kejadian itu hanya mampu terperangah tak percaya. Mungkin kekalutan yang saat ini Ela rasakan membuat wanita itu tak dapat
Keesokan harinya. Kediaman Ela. Pukul tujuh pagi."Nona? Anda mau pergi ke mana rapi seperti ini?"Bibi Gwen yang tengah menyiapkan sarapan dikejutkan dengan sang majikan yang tengah menuangkan air minum dari teko bening di meja makan."Bekerja," jawab Ela singkat sebelum meminum air dalam gelas."Tidakkah Anda ingin mengambil cuti beberapa hari? Biarkan Tuan Chandra yang mengambil alih tugas Anda sementara," ucap bibi Gwen mengikuti ke mana pun Ela melangkah."Apa bedanya? Meski mengambil cuti pun, setelahnya aku harus kembali bekerja, lantas apa salahnya mempercepat proses itu?"Bibi Gwen seketika terdiam. Meski kecemasan mulai menghantam dada. Mengingat sang majikan sejak kembali dari pemakaman tak menyentuh makanan sedikit pun. Bahkan semalaman Ela terdengar menangis tersedu di dalam kamarnya. Namun tak ada yang bisa bibi Gwen lakukan selain menghormati keputusan Ela yang sudah dewasa.Helaan nafas panjang Ela hembuskan, tatkala menatap berbagai hidangan yang tersaji di atas meja.
Ela berjalan cepat menghampiri Darren yang bersembunyi di balik selimut. Menyibakkan selimut itu kasar seiring amarahnya yang kian memuncak."Apa maumu?!"Darren bertanya seraya berteriak. Menatap nanar pada sosok wanita yang kini menatapnya dingin. Mata sembabnya seolah menjelaskan bagaimana keadaan dokter muda itu saat ini.Ela terdiam. Kedua tangannya mencengkram kuat ujung selimut guna melepaskan emosi yang meluap-luap kala itu."Apa kamu mengetahui jenis obat apa ini? Di tasku masih banyak lagi jenis yang lain."Ela mengambil satu butir obat dari dalam tasnya setelah menghela nafas panjang.Sayangnya, dokter muda itu nampaknya tak tertarik. Kedua tangannya mendorong tangan Ela yang tengah menunjukkan butiran obat berwarna kuning."Jauhkan itu dariku. Aku sudah tidak tertarik lagi. Mulai sekarang aku akan berhenti menjadi Dokter." Tolak Darren lirih. Memalingkan wajahnya ke arah lain."Jangan main-main, tolong lihatlah ini dulu!""Tidak!" tegas Darren menjauhkan kembali tangan Ela
Drrttt ... Drrttt ....Getaran ponsel dalam saku celana paman Louise, membuat pria paruh baya itu meminta izin pada sang majikan untuk menerima panggilan telepon pribadi. "Maaf, Tuan. Saya izin permisi menerima panggilan telepon sebentar."Lantas Deo mengibaskan tangannya tanda menyetujui.Paman Louise membungkukkan sedikit tubuhnya sebelum beranjak meninggalkan ruangan.'Dokter Ibrahim' adalah nama yang tertera pada layar ponselnya. Sontak paman Louise menerima panggilan telepon tanpa banyak berpikir. Hatinya berharap-harap cemas, semoga tak mendapati kabar buruk dari dokter yang tengah menangani sang ibu di rumah sakit."Halo," sapa paman Louise."Selamat pagi, Pak. Ada hal penting yang harus saya sampaikan langsung pada Anda mengenai kondisi Ibu Fatimah, bisakah Anda pergi ke rumah sakit sekarang?"Tubuh rapuh pria tua itu seketika terguncang hebat. Perasaan cemas dan gelisah seketika menyertai langkah kakinya yang kini berjalan cepat kembali memasuki ruangan.Sedangkan telepon itu
"Jangan ganggu mereka. Ayo cepat kita pergi!" bisik Ela menarik lengan Darren menjauh pergi.'Ada apa ini? Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Ela malah menjauh? Dan membiarkan Laura dan Deo bersama?'Kepala Darren seketika dipenuhi tanda tanya besar. Sebab jika itu Ela yang dulu, mungkin saat ini Ela akan menarik Deo untuk menjauhi Laura, bukannya menariknya seperti ini dan membiarkan mereka berdua begitu saja.'Mungkinkah ... perasaan itu hilang bersama dengan ingatannya?'"Tunggu!"Darren menghentikan langkah kakinya sesaat setelah mereka sampai di halaman rumah. Sontak Ela yang sedari tadi menarik tangan Darren ikut berhenti."Itu Laura, Ela! Kamu yakin akan pergi begitu saja?" tanya Darren memastikan seiring kebingungannya yang kian menjadi. Meyakinkan Ela akan keputusan yang ia ambil seraya menunjuk ke arah rumah."Aku tahu, lantas apa masalahnya?" jawab Ela datar."Kamu tahu sikap Laura seperti apa kan?! Biar ku perjelas ingatanmu yang hilang. Laura adalah wanita yang penuh tip
"Tidak bisa begini! Aku harus memastikannya dengan mata kepalaku sendiri!" tegas Laura lirih penuh keyakinan.Sontak wanita itu mulai berbalik badan. Menghadap pintu dan mulai menghela nafas panjang, sebelum meraih gagang pintu dan hendak memutarnya perlahan. Mungkin sedikit celah bisa membuatnya melihat ke dalam dengan jelas.Namun ternyata, sekeras apa pun Laura berusaha memutar gagang pintu. Pintu tak kunjung terbuka. Nampaknya Deo sudah mengantisipasi keadaan dan mengunci pintu dari dalam."Tck! Sialan!" gerutu Laura seraya berdecak kesal.Selang beberapa detik, daun pintu mulai bergerak. Menampakkan kesan wibawa dari pria yang kini telah menjadi CEO perusahaan properti ternama. Setelan jas hitam membuat Deo terlihat begitu mempesona meski sebagian wajahnya tertutupi oleh topeng hitam.Penampilan itu seketika membuat Laura terperanjat. Ditambah aroma maskulin yang semerbak menusuk hidung membuat bulu kuduk Laura seketika meremang."Kenapa bengong? Ayo dorong aku!" titah Deo.Laura
"Ayo masuk!"Deo menarik kuat lengan Laura yang berhasil ia raih, hingga mengakibatkan Laura terhuyung dengan langkah maju.Meski memiliki rasa kesal yang tak dapat disembunyikan, mau tak mau Laura harus tetap menurut jika ingin menuntaskan niatan awalnya."Kita duduk bersantai di sofa itu!" ucap Deo memberi perintah. Mengarahkan telunjuknya ke arah sofa panjang yang terletak tak jauh dari meja kerja Ela.'Seorang CEO perusahaan besar duduk santai di perusahaan orang lain? Yang benar saja! Apakah Deo tidak memiliki kesibukan lain selain mengawasi Ela sepanjang waktu? Sungguh menjengkelkan!'Kekesalan Laura nyatanya hanya mampu terjabar dalam hati. Tak memiliki keberanian besar untuk memaki pria yang harus ia dapatkan kembali hatinya itu.Lama Deo dan Laura terjebak dalam keheningan di ruangan Ela. Mengamati setiap gerakan tubuh sang CEO wanita yang tengah sibuk dengan berkas-berkasnya. Tetap diam dan tenang, seolah tak menganggap kehadiran kedua orang di ruangannya itu.Hingga satu ja
"Benarkah? Bukankah harusnya kamu yang perlu belajar tata krama? Tidak perlu melakukan kekerasan jika kamu memiliki sopan santun, cukup tegur Laura baik-baik," jawab Deo membantah. Tatapan kesalnya seketika berubah mengejek.Ela menyeringai sinis seraya melipat kedua tangannya di depan dada."Saya akan bicara baik-baik jika yang sedang berbuat salah adalah manusia. Tapi apakah saya harus melakukan hal yang sama pada seekor anjing? Bahkan dia tidak sedikit pun mengerti bahasa manusia. Apa menurutmu aku harus berbicara dengan isyarat tubuh?" cibir Ela dengan tertawa kecil. Mengangkat satu alisnya tinggi.Memanggil Laura anjing secara tidak langsung membuat wanita itu mulai kembali mendapatkan emosi yang tak mampu tertahan."Tutup mulutmu! Dasar Jalang ...!" teriak Laura setelah berusaha menahan amarahnya, namun usahanya gagal.Laura melangkah cepat mendekati Ela. Mengayunkan telapak tangannya ke arah wajah. Sayangnya Ela dengan begitu mudahnya menangkap lengan itu. Mencengkeramnya kuat,
"Tidak perlu. Berdebat dengan orang bodoh hanya akan menambah orang bodohnya jadi dua," cibir Ela seraya melengos pergi."Setelah operasinya selesai, Laura akan dipindahkan ke ruang rawat inap selama satu minggu. Seluruh administrasi rumah sakit sudah saya tanggung. Setelah ini jangan cari saya dengan alasan apa pun. Saya sudah tak memiliki hubungan dengan kalian," pungkas Deo sebelum menyusul langkah sang istri meninggalkan rumah sakit. Tak ia hiraukan tatapan tak berdaya dari ayah Laura.****Lima bulan kemudian.Setelah putusan sidang mengenai kasus penculikan dan pembunuhan berencana Pram dan Arsenio, yang kini dihukum penjara seumur hidup, Ela dan Deo pada akhirnya bisa hidup dengan tenang.Bahkan Laura pun tak lagi terdengar kabarnya setelah kejadian hari itu."Kenapa sekarang kita tinggal di sini? Apa Darren tidak kesepian tinggal sendiri?" tanya Ela sesaat setelah memasuki kediamannya."Dari pada dia, aku lebih memikirkan kamu. Kalau ada apa-apa pas aku tidak ada di rumah baga
"Tidak! Tunggu, Tuan Deo! Tolong jangan hiraukan ucapan Istri saya. Dia memang terbiasa berkata tanpa berpikir terlebih dahulu. Tolong, jangan tinggalkan Laura dalam keadaan seperti ini." Ayah Laura berlari ke arah Deo dan bersimpuh di kakinya.Belum sempat Deo menimpali, suara derit pintu ruang rawat yang terbuka membuat seluruh pasang mata menatap ke arahnya.Seorang dokter wanita terlihat muncul dari balik pintu yang kembali ditutup rapat. "Apakah ada keluarga Pasien di sini?""Saya Mamanya, Dok!" Ibu Laura gegas berlari menghampiri dokter."Begini, Bu. Dengan berat hati saya sampaikan bahwa, janin yang dikandung Putri Ibu tak dapat diselamatkan. Saya meminta persetujuan keluarga untuk segera melakukan tindakan operasi pengangkatan janin. Karena jika itu sampai telat dilakukan, nyawa Ibunya pun akan terancam," jelas dokter."Lakukan segera, Dok. Lakukan apa pun agar nyawa Putri saya selamat.""Baik, Bu. Silakan tanda tangani berkas ini setelah Anda melunasi administrasinya." Dokter
****Empat bulan kemudian."Bagaimana perkembangan kasusnya, Sayang?" tanya Ela pada Deo yang baru memasuki kamar, setelah selesai menghadiri sidang kasus kematian Clarissa."Ternyata pelaku adalah teman masa kecil Mama. Dia menyukai Mama sejak lama, tapi Mama tak pernah membalas perasaannya. Hal itu yang memicu pelaku melakukan penganiayaan, saat tak sengaja menjadi Dokter di rumah sakit jiwa tempat Mama dirawat. Dengan bukti-bukti yang telah terkumpul, pada akhirnya Hakim telah memvonis hukuman yang setimpal setelah beberapa kali persidangan," jawab Deo panjang lebar. Pria itu melonggarkan dasi yang melingkar di lehernya sebelum merebahkan diri di atas tempat tidur."Apa hukumannya?" tanya Ela penasaran seraya berjalan mendekat."Penjara seumur hidup dan denda.""Itu tidak setimpal! Seharusnya orang itu mendapatkan hukuman mati! Kenapa kamu tidak membiarkan aku ikut ke persidangan hari ini?" geram Ela tak terima."Kamu hamil. Lihat perutmu sudah sebesar apa? Aku tidak ingin kesehata
"Rasanya aku sudah tidak ada tenaga untuk berjalan. Tubuhku rasanya lemas sekali."Deo gegas berjalan mendekati sang istri. Tanpa pikir panjang, Deo segera membopong Ela di depan tubuhnya dan membawanya ke luar. "Aku akan menggendongmu, jangan khawatirkan yang lain, yang paling penting kamu harus segera sembuh."Namun sesaat setelah Deo baru sampai di ujung tangga, Laura dengan cepat menghadangnya dengan merentangkan kedua tangan. "Mau ke mana?" ketusnya dengan tatapan mengintimidasi. Namun Deo bersikap acuh. Setelah menatap sengit wajah Laura untuk sekilas, Deo segera melangkah menerobos pertahanan Laura. Namun lagi-lagi Laura menghentikan langkah Deo kembali. "Mau ke mana?" ucapnya mengulangi pertanyaan awal."Minggir, ini tidak ada urusannya denganmu," jawab Deo datar tanpa ekspresi."Tentu ada. Aku adalah Istrimu."Deo yang pada akhirnya kehabisan kesabaran menampakkan kilat amarah dalam tatapannya. "Aku bilang, minggir!" bentak Deo lantang.Laura seketika itu membeku dengan wajah
Dalam balutan pakaian tidur transparan, seluruh bekas merah yang Deo ciptakan terekspos sepenuhnya.Hal tersebut tentunya membuat Laura diam mematung dengan tatapan tak percaya. "I-itu ... kalian benar-benar melakukannya di belakangku?" geram Laura tak terima.Ela lantas mengerinyitkan dahi sejenak. Hingga wanita itu sepenuhnya mengerti jika yang tengah dimaksud Laura adalah bekas cupang di leher dan dadanya. "Maksudmu ini? Mau aku melakukannya di hadapanmu sekarang? Boleh," sindir Ela seraya menunjuk bercak merah di lehernya.Setelah lama bersabar pada akhirnya stok kesabaran Laura pun habis. Wanita itu mendorong tubuh Ela keras hingga membuat Ela berdiri terhuyung dan hampir terjungkal ke belakang. "Minggir! Aku mau bicara dengan Deo!"Namun sayangnya aksi Laura gagal setelah Ela gegas menarik gagang pintu hingga membuat Laura tak bisa memasuki celah yang sempit. "Heh! Kamu yang harusnya minggir! Untuk apa memasuki kamar orang?! Sana, pergi ke kamarmu sendiri!" bentak Ela dengan lan
Ela mengerinyitkan dahi. Merasa geli mendengar kalimat yang baru saja memasuki gendang telinganya."Astaga ... tidakkah kamu merasa sadar diri? Deo menikahimu hanya karena terpaksa. Papamu terus berlutut di bawah kakinya, berharap kamu mendapatkan pengobatan tanpa sedikit pun mengeluarkan uangnya. Dia juga memohon agar Deo tidak langsung menceraikanmu saat itu, bernegosiasi agar kalian bercerai setelah anak yang kamu kandung lahir, agar tak membuat aib di keluarga," jelas Ela panjang lebar.Sontak Laura kembali dibuat mematung. Tak menyangka akan mendapatkan suguhan dari kebusukan ayahnya dari mulut Ela."Itu tidak mungkin! Ini adalah Anak Deo! Tanggung jawabnya.""Cih! Semua orang sudah tahu kebusukanmu dan Arsenio, termasuk aku. Jadi tidak perlu mengungkit aibmu jika kamu masih memiliki rasa malu. Tanpa persetujuan dariku pun, Deo sudah membuangmu dari jauh-jauh hari," pungkas Ela sebelum kembali memasuki ruangan dan menutup pintu kamar dengan keras. Merasa tak ada lagi yang perlu d
"Aku masih ingin hidup," imbuh Deo semakin menjauhkan piring.Laura membeku. Rasa sesaknya dada semakin terasa, hingga ia hampir tak dapat menahannya."Akhirnya ...." ucap syukur Darren sesaat setelah menyadari kehadiran Ela yang tengah berjalan mendekat. Membawa sebakul nasi di tangannya.Ela meletakkan masakannya di atas meja. Aroma sedap khas masakan rumah menguar memenuhi penjuru ruangan."Nah ... ini baru makanan. Dari jauh saja sudah tercium aroma sedapnya." Darren gegas membalik piring dan mengambil centong nasi. Namun niatnya urung kala Deo menepuk kasar lengannya. "Aku dulu! Di mana sopan santunmu sebagai adik?""Astaga ...." keluh Darren."Sudah-sudah! Masih banyak kok nasinya, jangan berebut!" Ela lantas duduk di samping Deo dan mulai mengisi piring suaminya.Tatapan matanya sekilas tertuju pada Laura yang berdiri mematung di hadapannya. Menatap tak suka dengan kehadiran Ela."Eh? Kenapa masakan Laura utuh? Kamu tidak cicipi? Dia buatnya penuh cinta, loh," ledek Ela pada su
Deo dan Ela yang baru hendak memadu kasih dikejutkan dengan teriakkan gaduh dari luar ruangan."Kak! Istrimu gila! Cepat selamatkan aku!" Suara Darren kembali terdengar untuk yang kedua kalinya.Deo yang hendak memeluk pinggang ramping sang istri pun langsung mengurungkan niatnya.Pria itu memejamkan mata erat menahan kedongkolan dalam hati. Disertai helaan nafas berat yang sekali berhembus begitu kasar. "Astaga Anak ini! Padahal dari brojol sampai sekarang tidak pernah memanggilku Kakak. Ayo lihat! Kemasukan jin apa dia sampai bisa berubah seperti itu." Deo beranjak bangkit dari atas ranjang.Raut wajah sedikit kecewa Ela tunjukkan. Padahal awalnya ia sempat merasa ragu. Namun setelah baru memulai, rasanya ia tak ingin menghentikan aktivitas itu.Keduanya pun kini keluar dari dalam ruangan. Menghampiri sumber suara yang diduga kuat berasal dari ruangan paling pojok di lantai dua."Astaga ...." timpal Deo kala mendapati Laura yang masih memegangi kedua kaki Darren erat.Wanita dengan
Deo dan Ela seketika saling bertukar pandang, sebelum pandangan mata Deo beralih menelisik gerak-gerik istri keduanya. "Apa yang sedang kamu lakukan di sini?"Laura membeku. Wajahnya menoleh, menatap datar ke arah Deo. "Apa matamu sedang rabun jauh? Tidak lihat aku sedang membereskan barang-barangku?"Lantas Deo mengangga. "A-apa?!" Deo beranjak turun dari atas ranjang mendekati Laura yang tengah menyeret koper di depan pintu."Keluar!" bentak Deo melempar kembali beberapa koper dan tas ke luar ruangan.Kilat amarah yang terpancar dari wajah Deo membuat Laura membeku di tempat."Aku bilang keluar!" Deo mengulangi kalimatnya dengan suara yang semakin meninggi. Sedang telunjuknya mengarah ke arah pintu kamar yang masih terbuka lebar.Bentakan keras yang tak pernah Laura dapatkan dari sosok pria yang sama di masa lalu membuat tubuhnya berkali-kali berlonjak kaget."Tapi kenapa? Kenapa dia bisa di sini, sedangkan aku tidak?" tanya Laura kala stok kesabarannya mulai menipis. Menunjuk ke ar