"Ayo masuk!"Deo menarik kuat lengan Laura yang berhasil ia raih, hingga mengakibatkan Laura terhuyung dengan langkah maju.Meski memiliki rasa kesal yang tak dapat disembunyikan, mau tak mau Laura harus tetap menurut jika ingin menuntaskan niatan awalnya."Kita duduk bersantai di sofa itu!" ucap Deo memberi perintah. Mengarahkan telunjuknya ke arah sofa panjang yang terletak tak jauh dari meja kerja Ela.'Seorang CEO perusahaan besar duduk santai di perusahaan orang lain? Yang benar saja! Apakah Deo tidak memiliki kesibukan lain selain mengawasi Ela sepanjang waktu? Sungguh menjengkelkan!'Kekesalan Laura nyatanya hanya mampu terjabar dalam hati. Tak memiliki keberanian besar untuk memaki pria yang harus ia dapatkan kembali hatinya itu.Lama Deo dan Laura terjebak dalam keheningan di ruangan Ela. Mengamati setiap gerakan tubuh sang CEO wanita yang tengah sibuk dengan berkas-berkasnya. Tetap diam dan tenang, seolah tak menganggap kehadiran kedua orang di ruangannya itu.Hingga satu ja
"Benarkah? Bukankah harusnya kamu yang perlu belajar tata krama? Tidak perlu melakukan kekerasan jika kamu memiliki sopan santun, cukup tegur Laura baik-baik," jawab Deo membantah. Tatapan kesalnya seketika berubah mengejek.Ela menyeringai sinis seraya melipat kedua tangannya di depan dada."Saya akan bicara baik-baik jika yang sedang berbuat salah adalah manusia. Tapi apakah saya harus melakukan hal yang sama pada seekor anjing? Bahkan dia tidak sedikit pun mengerti bahasa manusia. Apa menurutmu aku harus berbicara dengan isyarat tubuh?" cibir Ela dengan tertawa kecil. Mengangkat satu alisnya tinggi.Memanggil Laura anjing secara tidak langsung membuat wanita itu mulai kembali mendapatkan emosi yang tak mampu tertahan."Tutup mulutmu! Dasar Jalang ...!" teriak Laura setelah berusaha menahan amarahnya, namun usahanya gagal.Laura melangkah cepat mendekati Ela. Mengayunkan telapak tangannya ke arah wajah. Sayangnya Ela dengan begitu mudahnya menangkap lengan itu. Mencengkeramnya kuat,
Seketika itu Ela dibuat kembali terdiam. Meletakkan kembali berkas yang baru saja ia ambil dari atas meja."Kamu adalah seorang Asisten. Cukup fokus mendampingi saya dalam perusahaan, tak perlu terlalu ikut campur dalam masalah pribadi saya. Sebab kamu hanya diberikan amanat, bukan pengganti Papa saya," tegas Ela memundurkan kursinya sebelum bangkit dari sana. Kembali berjalan keluar menghindari sang asisten yang masih menatapnya bingung.Ela lantas memasuki kamar mandi dan menuju wastafel. Menyalakan keran air dan mulai membasuh wajahnya yang terlihat mulai terbasahi oleh air mata."Papa ... aku belum siap dengan semua ini. Bolehkah aku menyerah?"Dalam ruangan senyap itu tangis Ela mulai pecah. Suasana sunyi dan suara isak tangisnya sendiri menjadi penghibur lara pada hatinya yang terluka bertubi-tubi. Ingin rasanya memutar waktu. Namun mustahil.Setelah beberapa menit meluapkan isi hatinya pada pantulan diri dari cermin besar didepannya, Ela sedikit terperanjat, kala mendengar suar
"Stttt!"Arsenio mendesis seraya meletakkan jari telunjuknya di depan bibir.Sontak hal tersebut membuat Laura semakin menatapnya bingung."Ini! Masukkan ini ke dalam minuman Deo!" bisik Arsenio meletakkan sebuah plastik klip kecil di telapak tangan Laura."Apa ini, Om?""Ini adalah obat bius. Hanya akan menghilangkan kesadarannya saja. Setelah obat itu bekerja, kita bawa Deo ke hotel dan kamu berpura-pura telah ditiduri olehnya. Dengan begitu, Deo akan segera menikahimu," jelas Arsenio.Lantas Laura membulatkan mata. Nampak tak percaya dengan rencana licik yang bahkan tak pernah terpikirkan sedikit pun olehnya."Tidak! Saya takut akan ketahuan oleh Deo."Laura menggeleng kuat."Tidak akan! Jika kamu tidak ingin melakukan ini, artinya harapanmu untuk menguasai harta milik Deo hanya akan terkubur sia-sia. Sebab Deo tak pernah memiliki niat untuk mencarimu selama ini. Mustahil jika dia akan menikahimu meski kamu telah kembali!" tegas Arsenio meyakinkan.Laura terdiam. Rasa gelisah berca
"Anda baik-baik saja?" tanya Deo memastikan seraya mengerinyitkan dahi."I-iya, Pak. Saya baik-baik saja," jawab waiters panik sebelum berlalu pergi.Laura lantas memalingkan wajah. Menyembunyikan raut kepanikan dari sorot matanya.Sedang Deo melirik sekilas penuh selidik ke arah Laura sebelum mengulurkan tangan meraih segelas minuman di hadapannya.Rasa dahaga membuat Deo menepis rasa curiga. Meneguk minuman rasa jeruk guna membasahi tenggorokannya yang terasa kering. Di tengah teriknya panas matahari di siang hari. Minuman dingin terasa menyegarkan sekali.Di sela-sela mengaduk minumannya dengan sedotan, Laura sesekali melirik diam-diam ke arah minuman Deo yang hanya tinggal separuh.Wanita itu mengulum senyum puas. Dengan sabar menunggu sang mantan kekasih kehilangan kesadaran.Hingga beberapa saat kemudian."Tck! Kenapa mataku terasa sangat berat?" gumam Deo memegangi kepalanya.Guna mengusir rasa kantuknya, Deo kembali meminum minuman dinginnya yang masih tersisa. Namun alih-alih
"Dan apa yang sedang kamu lakukan di sini?!"Rentetan pertanyaan itu hanya membuat Deo semakin kebingungan. Namun tak kunjung mendapati respon dari Laura yang tengah sibuk mengeluarkan kesedihannya melalui air mata."Laura! Jawab aku! Apa yang sebenarnya terjadi?!"Kesabaran Deo telah habis sudah. Pria itu mengguncang kuat kedua lengan Laura yang masih menangis tersedu. Raut kepanikan nampak jelas terlihat dari wajah tampan penuh bekas lukanya."Kita ... sudah melakukannya ...." jelas Laura bersusah payah. Namun tak terdengar jelas di pendengaran Deo."Melakukan? Melakukan apa maksudmu?!"Deo meninggikan suaranya kala tak mampu lagi menahan amarah."Kamu memaksaku melakukan hubungan suami istri denganmu!" Laura berkilah. "Dan ini adalah kali pertama aku melakukannya. Kamu harus mempertanggung jawabkan perbuatanmu!" tegas Laura menatap sengit ke arah Deo yang tengah terperangah tak percaya."Tidak! Tidak mungkin. Ini pasti hanya kesalah pahaman saja."Deo menggeleng cepat. Menepis sega
"Saya datang untuk membesuk Mama saya. Ibu Clarissa," ucap Ela datar."Maafkan saya sebelumnya, Nona. Namun pasien atas nama Ibu Clarissa hari ini tak dapat dijenguk. Kondisinya semakin hari semakin buruk semenjak Ibu Clarissa dibawa kembali ke rumah sakit jiwa ini," jelas resepsionis. Sontak Ela dibuat tercengang."Lepaskan ...! Aku tidak mau tinggal di sini!"Sayup-sayup terdengar suara teriakan lantang dari arah dalam. Seketika itu Ela yang terkejut langsung memutar kepala menghadap arah sumber suara. Namun tak begitu dengan resepsionis wanita yang seringkali mendapati hal serupa hampir di sepanjang harinya."Mama!"Seketika itu Ela berlari menelusuri lorong panjang yang tak memiliki ujung."Nona! Tunggu!"Resepsionis wanita mencoba menghentikan, namun Ela menghiraukan teriakannya.Ela terus mengikuti arah suara berasal. Terdengar semakin jelas saat kakinya mulai melangkah maju. Hingga tiba di depan sebuah ruangan, pintu terdengar digedor kuat dari arah dalam. Seketika itu Ela meng
Hingga beberapa puluh menit berlalu. Suara tangis Ela mulai melemah."Sudah puas?" tanya Darren memecah keheningan.Sontak Ela mengangguk lemah sebelum pelukan keduanya terlepas sempurna.Darren merundukan tubuhnya. Mensejajarkan diri dengan Ela yang tak setinggi dirinya. Menggenggam erat kedua lengannya, dan mempertemukan tatapan mereka."Dengar aku baik-baik, Ela! Meski tak ada Papa dan Mamamu yang sedang menunggu di rumah, namun ingatlah pada Bibi Gwen. Dia adalah satu-satunya orang yang paling mengkhawatirkanmu saat ini selain aku," ucap Darren meyakinkan.Ela terdiam membisu, sebelum memejamkan matanya rapat-rapat seraya tertunduk menahan tangis.Ya, ucapan Darren tak sepenuhnya salah. Bibi Gwen selama ini benar-benar berperan sebagai seorang ibu kedua untuk anak asuhnya--Ela. Namun terlalu larut dalam kesedihan membuat Ela hampir tak menghargai perhatian yang selalu diberikan wanita paruh baya tersebut. Bahkan setiap waktu hampir mengabaikan kehadirannya."Jadi sekarang lebih ba
"Tidak perlu. Berdebat dengan orang bodoh hanya akan menambah orang bodohnya jadi dua," cibir Ela seraya melengos pergi."Setelah operasinya selesai, Laura akan dipindahkan ke ruang rawat inap selama satu minggu. Seluruh administrasi rumah sakit sudah saya tanggung. Setelah ini jangan cari saya dengan alasan apa pun. Saya sudah tak memiliki hubungan dengan kalian," pungkas Deo sebelum menyusul langkah sang istri meninggalkan rumah sakit. Tak ia hiraukan tatapan tak berdaya dari ayah Laura.****Lima bulan kemudian.Setelah putusan sidang mengenai kasus penculikan dan pembunuhan berencana Pram dan Arsenio, yang kini dihukum penjara seumur hidup, Ela dan Deo pada akhirnya bisa hidup dengan tenang.Bahkan Laura pun tak lagi terdengar kabarnya setelah kejadian hari itu."Kenapa sekarang kita tinggal di sini? Apa Darren tidak kesepian tinggal sendiri?" tanya Ela sesaat setelah memasuki kediamannya."Dari pada dia, aku lebih memikirkan kamu. Kalau ada apa-apa pas aku tidak ada di rumah baga
"Tidak! Tunggu, Tuan Deo! Tolong jangan hiraukan ucapan Istri saya. Dia memang terbiasa berkata tanpa berpikir terlebih dahulu. Tolong, jangan tinggalkan Laura dalam keadaan seperti ini." Ayah Laura berlari ke arah Deo dan bersimpuh di kakinya.Belum sempat Deo menimpali, suara derit pintu ruang rawat yang terbuka membuat seluruh pasang mata menatap ke arahnya.Seorang dokter wanita terlihat muncul dari balik pintu yang kembali ditutup rapat. "Apakah ada keluarga Pasien di sini?""Saya Mamanya, Dok!" Ibu Laura gegas berlari menghampiri dokter."Begini, Bu. Dengan berat hati saya sampaikan bahwa, janin yang dikandung Putri Ibu tak dapat diselamatkan. Saya meminta persetujuan keluarga untuk segera melakukan tindakan operasi pengangkatan janin. Karena jika itu sampai telat dilakukan, nyawa Ibunya pun akan terancam," jelas dokter."Lakukan segera, Dok. Lakukan apa pun agar nyawa Putri saya selamat.""Baik, Bu. Silakan tanda tangani berkas ini setelah Anda melunasi administrasinya." Dokter
****Empat bulan kemudian."Bagaimana perkembangan kasusnya, Sayang?" tanya Ela pada Deo yang baru memasuki kamar, setelah selesai menghadiri sidang kasus kematian Clarissa."Ternyata pelaku adalah teman masa kecil Mama. Dia menyukai Mama sejak lama, tapi Mama tak pernah membalas perasaannya. Hal itu yang memicu pelaku melakukan penganiayaan, saat tak sengaja menjadi Dokter di rumah sakit jiwa tempat Mama dirawat. Dengan bukti-bukti yang telah terkumpul, pada akhirnya Hakim telah memvonis hukuman yang setimpal setelah beberapa kali persidangan," jawab Deo panjang lebar. Pria itu melonggarkan dasi yang melingkar di lehernya sebelum merebahkan diri di atas tempat tidur."Apa hukumannya?" tanya Ela penasaran seraya berjalan mendekat."Penjara seumur hidup dan denda.""Itu tidak setimpal! Seharusnya orang itu mendapatkan hukuman mati! Kenapa kamu tidak membiarkan aku ikut ke persidangan hari ini?" geram Ela tak terima."Kamu hamil. Lihat perutmu sudah sebesar apa? Aku tidak ingin kesehata
"Rasanya aku sudah tidak ada tenaga untuk berjalan. Tubuhku rasanya lemas sekali."Deo gegas berjalan mendekati sang istri. Tanpa pikir panjang, Deo segera membopong Ela di depan tubuhnya dan membawanya ke luar. "Aku akan menggendongmu, jangan khawatirkan yang lain, yang paling penting kamu harus segera sembuh."Namun sesaat setelah Deo baru sampai di ujung tangga, Laura dengan cepat menghadangnya dengan merentangkan kedua tangan. "Mau ke mana?" ketusnya dengan tatapan mengintimidasi. Namun Deo bersikap acuh. Setelah menatap sengit wajah Laura untuk sekilas, Deo segera melangkah menerobos pertahanan Laura. Namun lagi-lagi Laura menghentikan langkah Deo kembali. "Mau ke mana?" ucapnya mengulangi pertanyaan awal."Minggir, ini tidak ada urusannya denganmu," jawab Deo datar tanpa ekspresi."Tentu ada. Aku adalah Istrimu."Deo yang pada akhirnya kehabisan kesabaran menampakkan kilat amarah dalam tatapannya. "Aku bilang, minggir!" bentak Deo lantang.Laura seketika itu membeku dengan wajah
Dalam balutan pakaian tidur transparan, seluruh bekas merah yang Deo ciptakan terekspos sepenuhnya.Hal tersebut tentunya membuat Laura diam mematung dengan tatapan tak percaya. "I-itu ... kalian benar-benar melakukannya di belakangku?" geram Laura tak terima.Ela lantas mengerinyitkan dahi sejenak. Hingga wanita itu sepenuhnya mengerti jika yang tengah dimaksud Laura adalah bekas cupang di leher dan dadanya. "Maksudmu ini? Mau aku melakukannya di hadapanmu sekarang? Boleh," sindir Ela seraya menunjuk bercak merah di lehernya.Setelah lama bersabar pada akhirnya stok kesabaran Laura pun habis. Wanita itu mendorong tubuh Ela keras hingga membuat Ela berdiri terhuyung dan hampir terjungkal ke belakang. "Minggir! Aku mau bicara dengan Deo!"Namun sayangnya aksi Laura gagal setelah Ela gegas menarik gagang pintu hingga membuat Laura tak bisa memasuki celah yang sempit. "Heh! Kamu yang harusnya minggir! Untuk apa memasuki kamar orang?! Sana, pergi ke kamarmu sendiri!" bentak Ela dengan lan
Ela mengerinyitkan dahi. Merasa geli mendengar kalimat yang baru saja memasuki gendang telinganya."Astaga ... tidakkah kamu merasa sadar diri? Deo menikahimu hanya karena terpaksa. Papamu terus berlutut di bawah kakinya, berharap kamu mendapatkan pengobatan tanpa sedikit pun mengeluarkan uangnya. Dia juga memohon agar Deo tidak langsung menceraikanmu saat itu, bernegosiasi agar kalian bercerai setelah anak yang kamu kandung lahir, agar tak membuat aib di keluarga," jelas Ela panjang lebar.Sontak Laura kembali dibuat mematung. Tak menyangka akan mendapatkan suguhan dari kebusukan ayahnya dari mulut Ela."Itu tidak mungkin! Ini adalah Anak Deo! Tanggung jawabnya.""Cih! Semua orang sudah tahu kebusukanmu dan Arsenio, termasuk aku. Jadi tidak perlu mengungkit aibmu jika kamu masih memiliki rasa malu. Tanpa persetujuan dariku pun, Deo sudah membuangmu dari jauh-jauh hari," pungkas Ela sebelum kembali memasuki ruangan dan menutup pintu kamar dengan keras. Merasa tak ada lagi yang perlu d
"Aku masih ingin hidup," imbuh Deo semakin menjauhkan piring.Laura membeku. Rasa sesaknya dada semakin terasa, hingga ia hampir tak dapat menahannya."Akhirnya ...." ucap syukur Darren sesaat setelah menyadari kehadiran Ela yang tengah berjalan mendekat. Membawa sebakul nasi di tangannya.Ela meletakkan masakannya di atas meja. Aroma sedap khas masakan rumah menguar memenuhi penjuru ruangan."Nah ... ini baru makanan. Dari jauh saja sudah tercium aroma sedapnya." Darren gegas membalik piring dan mengambil centong nasi. Namun niatnya urung kala Deo menepuk kasar lengannya. "Aku dulu! Di mana sopan santunmu sebagai adik?""Astaga ...." keluh Darren."Sudah-sudah! Masih banyak kok nasinya, jangan berebut!" Ela lantas duduk di samping Deo dan mulai mengisi piring suaminya.Tatapan matanya sekilas tertuju pada Laura yang berdiri mematung di hadapannya. Menatap tak suka dengan kehadiran Ela."Eh? Kenapa masakan Laura utuh? Kamu tidak cicipi? Dia buatnya penuh cinta, loh," ledek Ela pada su
Deo dan Ela yang baru hendak memadu kasih dikejutkan dengan teriakkan gaduh dari luar ruangan."Kak! Istrimu gila! Cepat selamatkan aku!" Suara Darren kembali terdengar untuk yang kedua kalinya.Deo yang hendak memeluk pinggang ramping sang istri pun langsung mengurungkan niatnya.Pria itu memejamkan mata erat menahan kedongkolan dalam hati. Disertai helaan nafas berat yang sekali berhembus begitu kasar. "Astaga Anak ini! Padahal dari brojol sampai sekarang tidak pernah memanggilku Kakak. Ayo lihat! Kemasukan jin apa dia sampai bisa berubah seperti itu." Deo beranjak bangkit dari atas ranjang.Raut wajah sedikit kecewa Ela tunjukkan. Padahal awalnya ia sempat merasa ragu. Namun setelah baru memulai, rasanya ia tak ingin menghentikan aktivitas itu.Keduanya pun kini keluar dari dalam ruangan. Menghampiri sumber suara yang diduga kuat berasal dari ruangan paling pojok di lantai dua."Astaga ...." timpal Deo kala mendapati Laura yang masih memegangi kedua kaki Darren erat.Wanita dengan
Deo dan Ela seketika saling bertukar pandang, sebelum pandangan mata Deo beralih menelisik gerak-gerik istri keduanya. "Apa yang sedang kamu lakukan di sini?"Laura membeku. Wajahnya menoleh, menatap datar ke arah Deo. "Apa matamu sedang rabun jauh? Tidak lihat aku sedang membereskan barang-barangku?"Lantas Deo mengangga. "A-apa?!" Deo beranjak turun dari atas ranjang mendekati Laura yang tengah menyeret koper di depan pintu."Keluar!" bentak Deo melempar kembali beberapa koper dan tas ke luar ruangan.Kilat amarah yang terpancar dari wajah Deo membuat Laura membeku di tempat."Aku bilang keluar!" Deo mengulangi kalimatnya dengan suara yang semakin meninggi. Sedang telunjuknya mengarah ke arah pintu kamar yang masih terbuka lebar.Bentakan keras yang tak pernah Laura dapatkan dari sosok pria yang sama di masa lalu membuat tubuhnya berkali-kali berlonjak kaget."Tapi kenapa? Kenapa dia bisa di sini, sedangkan aku tidak?" tanya Laura kala stok kesabarannya mulai menipis. Menunjuk ke ar