Gauri berdiri mematung, masih berusaha mencerna informasi yang baru saja Adam ungkapkan.‘Ezra, pembunuh? Bagaimana bisa?’ batin Gauri.Pikiran wanita itu dipenuhi berbagai pertanyaan yang berputar tanpa henti.“Mas Adam,” ucap Gauri beberapa saat kemudian. “Apa kamu punya bukti atas tuduhanmu itu?”Adam mengangguk, manik cokelat pria itu menatap dalam mata Gauri seolah ingin memastikan bahwa dia berkata berdasarkan bukti dan tidak asal menuduh.Namun, sebelum Adam menjawab, pria itu melihat sekilas ke luar ruangan melalui kaca kecil di pintu.Dua pengawal Ezra terlihat sedang berbicara dengan pelayan Eterna Bliss. Adam tahu waktunya terbatas. Walaupun membawa pengawal pribadi, pria itu tidak ingin ada keributan di tempat yang tidak seharusnya.“Ikut aku, Gauri!” ajak Adam tanpa menunggu jawaban.Adam segera meraih pergelangan tangan Gauri dengan lembut dan juga kuat. Dia menarik wanita itu masuk ke ruang ganti VIP.Ruangan itu kedap suara, dirancang untuk memberikan kenyamanan penuh
Gauri memasuki mobil yang sudah menunggu di depan Eterna Bliss. Langkah wanita itu tampak tenang, tetapi pikirannya dipenuhi berbagai kekhawatiran.Gauri mendaratkan tubuhnya di kursi belakang dengan anggun, dua pengawal Ezra duduk di depan, sementara satu lagi duduk di kursi belakang bersamanya.Mobil Adam melintasi mobil mereka lebih dulu. Gauri tahu ke arah mana pria itu pergi, kantor Uno Rekayasa Industri.Suasana di dalam mobil terasa sunyi, hanya terdengar deru mesin dan sesekali suara klakson kendaraan lain di luar. Namun, di dalam hati Gauri, ada keributan yang tidak bisa wanita itu kendalikan.‘Mas Adam akan menemui Kakek,’ pikir Gauri cemas. ‘Bagaimana jika itu benar-benar membuat kesehatan Kakek semakin memburuk?’Wanita itu meremas-remas jemarinya di atas pangkuan, kebiasaan yang selalu dia lakukan ketika sedang dilanda kecemasan.Setelah beberapa menit berlalu, Gauri mengangkat wajah dan menatap ke depan, ke arah pengawal yang duduk di kursi penumpang depan.“Bisakah kita
Adam memasuki lobi kantor Uno Rekayasa Industri sambil melangkah lebar, walaupun di dalam hatinya ada rasa tegang yang tidak biasa.Resepsionis, seorang wanita muda yang terlihat sangat profesional, segera menahan langkah pria itu dengan tatapannya.“Maaf, Tuan. Boleh saya tahu, Anda ada janji dengan siapa?” tanya resepsionis dengan sopan dan tersenyum lebar. Namun, matanya terlihat waspada.Adam menatap resepsionis itu sambil mengernyitkan dahi. Pria itu sadar bahwa dia sedang diawasi.“Saya ingin bertemu dengan Pak Thomas Uno. Katakan pada beliau bahwa Adam Harraz ingin berbicara mengenai sesuatu yang sangat penting,” jawab Adam. “Sekarang juga.”Resepsionis tampak ragu, tetapi wanita itu tetap mencoba menghubungi ruangan Thomas melalui telepon. Beberapa saat kemudian, dia menutup telepon sambil menghela napas dan mimik sedih.“Maaf, Tuan Adam. Tuan Thomas sedang sibuk dan tidak bisa menerima tamu tanpa janji sebelumnya,” ujarnya.Adam mendekatkan tubuhnya sedikit ke arah meja resep
Ezra langsung tersentak dari euforia mabuknya ketika melihat Gauri berdiri di hadapannya. Cahaya dari senter yang diarahkan ke wajah pria itu membuat mata Ezra menyipit, tetapi dia tahu dengan pasti siapa pemilik suara dingin itu.“Gauri …?” tanya Ezra memastikan. Pria itu masih terdengar serak, nadanya ada di antara keterkejutan dan ketakutan.Seketika, kesadaran Ezra yang terkubur di bawah lapisan alkohol dan hedonisme kembali dengan paksa. Ezra melompat berdiri dari sofa, pria itu sedikit oleng, tetapi pandangannya tetap fokus pada wanita yang berdiri di depannya.Wanita-wanita yang menemani Ezra berpesta langsung terdiam, bingung dengan suasana yang tiba-tiba berubah tegang. Mereka berbisik, tidak berani bertanya apa yang sedang terjadi.“Keluar!” teriak Ezra dengan nada penuh perintah kepada para wanita itu. “Semua keluar sekarang juga!”Wanita-wanita itu segera berdiri dan berpencar untuk memungut pakaian mereka yang berserakan di segala penjuru ruangan.Gauri menatap kejadian i
Adam meletakkan kotak kecil di meja di depan Gauri, yang sedang duduk di sofa rumah peristirahatannya. Hari sudah sore saat pria itu sampai. Mata pria itu tajam, tetapi penuh perhatian. “Ini,” kata Adam sambil mendorong kotak itu sedikit lebih dekat ke Gauri. “Aku pikir kamu membutuhkan ini.” Gauri membuka kotak itu dengan alis terangkat. Di dalamnya terdapat sebuah ponsel baru berwarna hitam, dengan desain ramping yang terlihat mahal. “Mas Adam,” ujar Gauri pelan. “Aku tidak meminta ini.” “Dan aku tidak akan menunggu kamu memintanya,” balas Adam sambil menatap lurus ke arah Gauri. “Kita perlu berkomunikasi. Aku mungkin tidak bisa sering ke sini setelah ini.” Gauri terdiam sesaat, lalu mengangguk. Wanita itu tahu Adam benar. “Terima kasih,” ucap Gauri singkat sambil mengambil dan mulai mempelajari ponsel itu. Adam tidak membalas. Pria itu meraih saku jasnya dan mengeluarkan sebuah benda lain, pistol kecil berwarna hitam. Dia meletakkan benda berbahaya itu di atas kotak po
Ezra melangkah masuk ke griya tawang dengan langkah terburu-buru, rambut pria itu masih sedikit basah akibat tergesa-gesa membersihkan diri di perjalanan. Malam sudah larut, tetapi suasana tempat tinggal mewah itu masih terjaga dalam keheningan yang dingin.Namun, langkah Ezra terhenti saat dia melihat sosok Thomas duduk di ruang tamu, mengenakan setelan santai dengan beberapa lembar kertas di tangannya. Wajah Thomas terlihat serius, tetapi tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa pria tua itu tahu sesuatu yang mencurigakan.“Ezra?” panggil Thomas tanpa mengangkat wajah dari lembar laporan itu. “Kamu baru pulang?”Ezra menelan ludah, tetapi segera memasang senyum kecil. “Ya, Kakek. Saya … ada urusan penting di luar kota.”Tentu saja Ezra berbohong.Thomas akhirnya mendongak, menatap Ezra dengan mata yang sulit ditebak. “Kamu terlihat gelisah. Ada masalah?”Ezra menggeleng cepat, berusaha menguasai dirinya. “Tidak, Kakek. Saya hanya lelah. Kalau tidak ada apa-apa, saya permisi ke kamar dulu
“Pasien dengan syal putih! Kondisinya kritis! Siapkan ruang operasi sekarang juga!”Suara seorang perawat perempuan memenuhi lorong gawat darurat rumah sakit. Dua brankar berisi tubuh tidak sadarkan diri didorong dengan kecepatan tinggi oleh para petugas medis.Salah satunya adalah Gauri, tubuhnya tertutup selimut, kecuali bagian kepala yang berlumuran darah dan terbalut syal putih. Di belakangnya, Amelia, yang kondisinya lebih stabil, dibawa ke ruang perawatan lain.“Dokter, tekanan darah pasien menurun drastis! Dia kehilangan banyak darah!” ujar seorang perawat sambil membaca monitor.Dokter yang berjaga, seorang pria paruh baya bernama Hasan, segera memeriksa kondisi Gauri. Matanya menyipit, serius, sementara tangannya bergerak cepat membuka perban darurat di kepala pasien.“Luka ini dalam. Kemungkinan ada pendarahan internal di kepala. Siapkan CT scan kepala segera. Panggil tim bedah!” perintah Hasan dengan tegas. “Kita tidak punya banyak waktu!”Para perawat dan petugas lainnya b
“Operasi masih berlangsung?” Adam bertanya, dengan tajam dan dingin.Pria itu berdiri tegak di depan ruang operasi Rumah Sakit PMC Cibitung sambil menatap Bergas yang sedang menunggu di depan ruang operasi.“Ya, Tuan Adam,” jawab Bergas tanpa ekspresi. “Belum ada kabar dari dokter.”Adam melirik monitor di dinding yang menunjukkan waktu operasi. Tiga jam lebih. Terlalu lama.Pria yang langsung menuju ke tempat ini begitu mendapat kabar itu mengepalkan tangan, matanya memerah karena menahan amarah.“Mengapa Gauri bisa berada di daerah ini?” tanya Adam sambil mengernyitkan dahi.“Nona Gauri sedang dalam perjalanan untuk bertemu dengan Tuan Thomas. Beliau sedang berada di Karawang untuk meninjau proyek,” jawab Bergas dengan lugas.Adam menyipitkan mata. “Dan Pak Thomas? Di mana beliau sekarang?”Bergas menghela napas. Walaupun Adam bukanlah majikan langsungnya, pria paruh baya itu tetap merasa harus menghormatinya.Bagaimana pun, Bergas bisa mempercayakan Gauri pada Adam.“Sekretaris yan
“Sudah selesai?” tanya Adam, berdiri di tepi kebun mawar yang membentang indah di belakang kediaman Thomas. Matahari mulai tenggelam, memberikan semburat jingga yang memukau.Gauri melangkah mendekat, gaun berwarna krem lembut yang memeluk tubuhnya berkibar tertiup angin sore. Di tangannya ada buket bunga mawar putih kecil yang baru saja wanita itu atur bersama Amelia.“Sudah,” jawab Gauri tersenyum tipis. “Kebun ini terlalu cantik jika tidak dipakai sebagai latar pesta kita.”Adam memandangnya dengan intens, mata gelap pria itu mengamati setiap detail wajah Gauri yang diterangi cahaya lampu sekitar. “Kamu lebih cantik.”“Mas Adam, jangan mulai lagi atau kamu ingin melihat pipiku semerah tomat.” Gauri mendesah kecil sambil menggeleng. “Orang-orang sudah berdatangan, kita harus segera bergabung.”Adam mengulurkan tangan, menarik Gauri mendekat hingga wanita itu berdiri hanya beberapa sentimeter darinya.“Kalau aku bilang kamu cantik, kamu terima saja,” tukas Adam.Gauri tertawa kecil,
“Mama ingin sesuatu dari laci itu?” tanya Gauri lagi, memastikan bahwa dia tidak salah mengerti.Arum mengangguk pelan, matanya tidak lepas dari laci kecil di samping ranjang. Gauri mengerutkan kening sejenak, merasa sedikit ragu, tetapi akhirnya dia mendekat ke laci itu.Gauri membuka laci kecil tersebut dengan perlahan. Di dalamnya, terdapat sebuah kotak perhiasan kecil berwarna merah marun dengan ukiran emas di bagian atasnya. Gauri mengangkat kotak itu, lalu menoleh ke arah Arum.“Ini, Ma?” tanya Gauri sambil mengangkat kotak itu.Arum mengangguk lagi, kali ini lebih mantap. Gauri membawa kotak itu ke hadapan Arum, tetapi wanita paruh baya itu membuat gerakan tangan seolah meminta Gauri membuka kotak tersebut.Dengan hati-hati, Gauri membuka kotak kecil itu. Di dalamnya, terdapat sebuah cincin mewah dengan desain yang klasik dan elegan. Kilauan berlian di tengah cincin itu tampak memikat di bawah cahaya lampu kamar.Gauri memandang cincin itu dengan kagum.“Cincinnya sangat indah,
“Jadi, Nona benar-benar akan meninggalkan griya tawang?” tanya Amelia, matanya menatap koper kecil yang ada di sisi Gauri.Gauri mendongak dan memandang griya tawangnya sekali lagi dari tempat parkir JCrown Tower, tempat tinggal yang penuh kenangan, baik manis maupun pahit.“Ya,” jawab Gauri dengan mantap. “Tempat ini terlalu penuh dengan bayangan masa lalu. Kakek benar, saya butuh tempat tinggal baru yang lebih baik.”Amelia tersenyum kecil. “Rona Village memang lebih cocok untuk Nona sekarang. Walaupun kita sudah dewasa, terkadang kembali ke rumah orang tua akan terasa menenangkan.”Gauri hanya tersenyum. Wanita itu mengangguk pelan, mengiakan pendapat Amelia.Beberapa saat kemudian, Gauri melangkah menjauh dari JCrown Tower sambil membawa barang-barang penting dan meninggalkan semua yang tidak lagi ingin wanita itu ingat di griya tawang.Hari-hari berlalu, dan selama Adam berada di Australia, Gauri mengisi waktunya dengan bekerja dan merawat Arum. Setiap malam, setelah menyelesaika
[Bagaimana bisa kamu lebih memilih untuk menghabiskan waktu dengan Mama daripada aku, Gauri?]Gauri membaca pesan itu dengan senyum tipis. Matanya memancarkan kehangatan yang bercampur geli. Adam selalu memiliki cara sendiri untuk mengungkapkan rasa cemburunya.Tanpa berpikir panjang, Gauri mengetik balasan. “Kamu sudah sampai di Australia?”Gauri menekan tombol kirim dan kembali menyandarkan tubuh di jok mobil. Amelia yang duduk di sampingnya sibuk dengan laptop, sementara sopir yang memegang kemudi sesekali melirik ke arah mereka melalui kaca spion.“Pesan dari Tuan Adam?” tanya Amelia dengan senyum menggoda tanpa mengalihkan pandangan dari layar laptop.“Hmm,” gumam Gauri singkat sambil menyimpan ponsel ke dalam tas. “Mas Adam hanya ingin memastikan saya tidak lupa bahwa dia ingin menjadi prioritas saya.”Amelia terkekeh pelan, menggelengkan kepala. “Saya senang melihat hubungan Nona dan Tuan sudah membaik.”Mobil perlahan memasuki gerbang besar dengan lampu-lampu taman yang menyor
“Jadi, apa semuanya sudah selesai?” tanya Gauri sambil merapikan pakaiannya ke dalam koper kecil. Tangannya sibuk melipat gaun sederhana yang Amelia serahkan padanya.Amelia, yang berdiri di dekat lemari, mengangguk sambil membawa beberapa dokumen yang baru saja dia serahkan.“Ya, evaluasi mingguan Uno Rekayasa Industri berjalan dengan baik. Proyek-proyek besar berjalan lancar, meski ada beberapa kendala teknis kecil yang bisa diatasi dalam waktu dekat.” Amelia menjawab.“Bagus,” sahut Gauri, tersenyum tipis. “Amelia, kamu benar-benar sudah banyak membantu selama saya di sini. Terima kasih.”“Tapi, Nona Gauri … kalau saya lebih berhati-hati saat menyetir, kecelakaan itu tidak akan terjadi. Saya benar-benar minta maaf.” Amelia mendesah pelan, menatap Gauri dengan sorot mata penuh rasa bersalah.Gauri mengangkat wajah, menatap Amelia tajam, tetapi penuh kehangatan.“Saya sudah bilang berkali-kali, Amelia, saya tidak ingin mendengar permintaan maaf itu lagi,” desah Gauri sebal.“Baik, No
"Bagaimana dengan Mama Arum?" tanya Gauri pelan, matanya menatap Adam yang baru saja duduk di kursi di samping ranjangnya.Pagi tadi, Gauri mendengar bahwa Arum dilarikan ke rumah sakit. Dan baru sore ini, dia bisa mengonfirmasi hal itu ke Adam.Adam menghela napas panjang, menatap Gauri dengan tatapan lembut. “Hipertensinya kambuh semalam, dan sekarang Mama dinyatakan mengalami stroke.”Gauri terkejut, matanya membulat. “Stroke?”Adam mengangguk, rahangnya sedikit mengeras. “Semalam setelah aku bilang ingin membatalkan perceraian dan ingin kembali denganmu, Mama sangat marah. Mama belum bisa menerima itu.”“Mas Adam ….” Gauri menggigit bibir, matanya terlihat berkaca-kaca. “Aku ingin menjenguk Mama Arum.”Adam menatap Gauri cukup lama sebelum akhirnya menghela napas dan mengangguk pelan.“Kamu boleh menjenguknya. Tapi ada syarat!” tukas Adam.“Syarat?” Gauri menaikkan alis. “Apa?”“Kamu hanya boleh menjenguk Mama saat kamu sudah sembuh dan mengenakan gaun cantik yang biasa kamu pakai
“Ini pasti hari spesial, bukan?” tebak Arum sambil memindai ruangan.Suara alunan piano yang lembut mengisi suasana restoran mewah itu. Lampu-lampu kristal menggantung tinggi, memancarkan cahaya hangat yang menciptakan atmosfer elegan.Adam duduk di sebuah meja dekat jendela besar, mengenakan setelan jas hitam sempurna. Di depannya, Arum, terlihat sangat antusias dengan wajah merona yang sulit disembunyikan.“Ini pilihan restoran yang bagus, Adam,” lanjut Arum sambil tersenyum. “Akhirnya, kamu mulai mengerti bahwa wanita-wanita pilihan Mama punya kualitas yang sepadan denganmu.”Adam hanya mengangkat alis sedikit, lalu menyesap air putih dari gelas kristalnya. Senyum kecil muncul di wajah pria itu, meskipun matanya tetap dingin.“Mama sangat yakin malam ini akan menjadi momen besar, ya?” tanya Adam.“Tentu saja!” Arum tertawa kecil sambil merapikan gaunnya yang berkilauan. “Mama tahu kamu keras kepala, Adam, tapi setidaknya sekarang kamu mulai membuka hati untuk pilihan yang tepat. Ja
“Jangan bergerak terlalu banyak, Gauri” pinta Adam sambil mendorong kursi roda Gauri perlahan, membawa wanita itu ke taman rumah sakit. “Dokter bilang kamu masih perlu banyak istirahat. Aku tidak akan mengampuni diriku jika setelah ini terjadi sesuatu pada dirimu lagi.”Gauri tersenyum tipis dengan pipi memerah. Wajah wanita itu jauh lebih cerah dibanding hari-hari sebelumnya.“Aku tidak bergerak sama sekali, Mas Adam. Kamu yang menaruh aku untuk duduk di sini, di kursi roda, bukan?” Gauri tidak ingin kalah.Adam menoleh sejenak ke arah Gauri dengan tatapan yang tenang dan menghangatkan. Ada senyum tipis yang menghiasi bibirnya.“Kalau kamu tidak ingin duduk di sini, aku bisa mengembalikanmu ke ranjang perawatan,” tukas Adam berpura-pura marah, padahal sedang menahan tawa.Gauri tertawa kecil, menyentuh tangan Adam yang berada di pegangan kursi roda. “Tidak usah. Di sini jauh lebih menyenangkan. Terima kasih sudah membawaku keluar.”Angin sore yang sejuk menyapu wajah mereka saat Adam
“Apa yang mereka inginkan dari kerja sama ini?” tanya Adam pada seseorang di seberang telepon sambil memandang cahaya matahari lembut yang masuk melalui jendela, menerangi ruangan perawatan VIP di salah satu rumah sakit terbaik di kota Jakarta.Adam duduk di sofa dengan postur tegap, satu tangan memegang ponsel, sementara tangan lainnya menelusuri dokumen yang tersebar di meja kecil di depannya. Di sekitar sofa, ada laptop terbuka, beberapa map tebal, dan secangkir kopi yang sudah hampir dingin.“Saya paham bahwa Harraz Mall harus menarik perhatian publik dengan langkah ini,” ujar Adam serius. “Tapi brand sebesar itu memerlukan penawaran yang lebih kuat. Saya akan mengatur ulang kontraknya besok.”Sebuah keheningan singkat mengisi ruangan sebelum suara kecil terdengar dari ranjang di belakangnya.“Mas Adam?”Adam langsung tersentak, jantungnya berdebar keras. Suara itu begitu lembut, tetapi cukup untuk menghentikan dunianya sejenak. Dengan gerakan cepat, Adam menoleh, matanya membelal