Ezra melangkah masuk ke ruang rawat Thomas dengan penuh percaya diri. Pria itu mengenakan setelan jas biru tua yang rapi, rambut tersisir sempurna, dan senyumnya merekah begitu melihat Thomas yang sedang bersandar di tempat tidur.
Gauri, yang duduk di kursi di samping ranjang kakeknya, hanya menoleh sekilas sebelum kembali fokus memotong buah untuk Thomas.“Kakek,” sapa Ezra dengan suara hangat. “Saya senang melihat Kakek sudah membaik. Saya sangat khawatir saat mendengar kabar tentang kondisi Kakek yang menurun dari … Gauri.”Gauri dan Ezra bertemu tatap selama beberapa detik. Pria itu berbohong. Bukan Gauri yang memberi kabar.Thomas membuka mata dan tersenyum kecil. “Ezra … terima kasih sudah datang. Saya sudah merasa jauh lebih baik. Bagaimana perjalananmu? Pasti melelahkan.”Ezra menarik kursi ke sisi ranjang yang berlawanan dari tempat Gauri duduk, lalu duduk dengan santai.“Perjalanan saya lancar, Kakek. Sebenarnya, jadwalAdam berdiri tegak di depan Ezra sambil menatap pria itu dengan tajam.Napas Ezra memburu dan rahangnya mengeras, tetapi pria ktu tetap menahan diri.Gauri, yang masih berada di belakang Adam, merasakan atmosfer panas di antara kedua pria itu.“Aku ingin bertemu Pak Thomas, Gauri,” ulang Adam, kali ini dengan nada yang lebih tegas.Tatapan Adam beralih ke Gauri, mencari persetujuan dari wanita itu.Ezra langsung menoleh ke Gauri dengan wajahnya yang semakin gelap. “Tidak mungkin! Dia tidak boleh bertemu dengan Kakek!”Lalu, Ezra kembali menoleh pada Adam. “Siapa kamu berani meminta bertemu, bahkan menyebut nama kakek saya?!”“Ezra, mungkin kamu adalah cucu kesayangan Kakek. Tapi, jangan lupa bahwa saya adalah wali sah Kakek. Hanya saya yang memiliki hak untuk menentukan siapa yang bisa mengunjunginya.” Gauri mengangkat dagu dan memandang manik Ezra dengan berani.“Wali sah? Kamu pikir status itu cukup untuk memb
Ezra melangkah dengan cepat menuju meja resepsionis rumah sakit, sementara Gauri terpaksa mengikuti ritme langkah pria itu dengan ekspresi datar. Rasa lelah yang mendera Gauri, membuat wanita itu memilih untuk tidak berbicara apa pun.“Permisi.” Ezra memanggil petugas di balik meja administrasi dengan tegas. “Saya ingin tunangan saya menjalani tes kehamilan sekarang juga. Pengambilan darah untuk pemeriksaan kadar hormon HCG, malam ini.”Petugas administrasi, seorang wanita paruh baya dengan senyum ramah, memandang Ezra dengan sedikit heran.“Maaf, Tuan, tetapi prosedur seperti itu harus dijadwalkan terlebih dahulu. Kami tidak memiliki jadwal tes kehamilan malam ini,” sahut petugas itu.Ezra mendengkus, lalu memasukkan tangan ke dalam saku jasnya, mengeluarkan dompet, dan meletakkan beberapa lembar uang tunai di meja.“Saya tidak suka menunggu. Tolong atur tes itu sekarang!” tukas Ezra menatap tajam petugas di depannya.Gauri memu
Ezra menerima telepon tepat ketika Gauri selesai mengucapkan permintaannya. Pria itu mengangkat tangan, meminta Gauri diam sejenak.Dengan wajah serius, Ezra berbalik dan berjalan keluar dari ruang tunggu untuk menerima panggilan tersebut.Gauri hanya menghela napas dan menatap punggung Ezra dengan ekspresi dingin. Wanita itu tidak berharap banyak dari pria itu, tetapi setidaknya Ezra harus memberikan jawaban.Beberapa menit kemudian, ponsel Gauri berbunyi. Sebuah pesan dari Ezra muncul di layar.[Saya harus pergi ke penginapan. Ada urusan bisnis yang mendesak yang harus saya selesaikan. Tunggu di sana dan beri tahu saya hasilnya. Jangan sekali-kali kamu mencoba untuk memanipulasinya, Gauri.]Gauri mendengkus pelan, lalu mengetik balasan dengan cepat. “Saya pasti akan memanipulasi hasilnya.”Tiba-tiba wanita itu menggeleng dan menghapus pesan itu. Gauri tidak boleh bermain-main jika ingin melakukan transaksi.Gauri menge
“Mas Adam,” panggil Gauri, suaranya rendah, tetapi penuh penekanan. “Bisa tolong tunggu di luar sebentar?”Adam menatap Gauri, matanya mencari alasan di balik permintaan wanita itu. Sementara Gauri tidak menunjukkan ekspresi dan emosi apa pun selain mimik letih.Setelah beberapa detik, Adam akhirnya mengangguk dan melangkah keluar kamar tanpa mengucapkan sepatah kata pun.Begitu pintu tertutup, Gauri menarik napas dalam. Wanita itu mengarahkan pandangannya ke Thomas yang masih duduk di ranjang dengan wajah penuh amarah.“Kakek, ayo tidur,” pinta Gauri dengan lembut dan sedikit bergetar. “Sudah malam, Kakek butuh istirahat.”Thomas mendengkus pelan, tetapi tidak membantah. Dengan susah payah, pria tua itu berbaring di ranjangnya. Tangan Thomas gemetar ketika mencoba menarik selimut, Gauri dengan sigap membantunya.“Tidak perlu repot-repot, Gauri,” sergah Thomas dengan suara yang mulai melemah.Thomas pasti lelah karena ba
Keesokan paginya di kamar inap Thomas Uno.Gauri sedang duduk di kursi sebelah ranjang Thomas sambil menyiapkan sarapan untuk kakeknya yang baru saja selesai dimandikan oleh seorang perawat pria. Thomas tampak lebih tenang pagi ini, walaupun wajahnya masih pucat.Tok! Tok! Tok!Ketukan pintu membuat keduanya menoleh. Ezra melangkah masuk dengan langkah lebar. Pria itu mengenakan setelan kasual, tetapi tetap terlihat rapi seperti biasanya.“Selamat pagi, Kakek,” sapa Ezra sambil tersenyum lebar hingga kedua matanya menyipit.Tatapan Ezra melirik sekilas ke arah Gauri yang hanya menunduk. Wanita itu tengah sibuk menuangkan bubur ke mangkuk kecil.“Pagi, Ezra.” Thomas mengangguk lemah. “Apa kamu sudah menyiapkan semuanya?”Gauri sudah memberi tahu Thomas perihal pengacara Uno Rekayasa Industri yang akan datang.“Tentu saja, Kakek. Pengacara kita sudah berada di perjalanan menuju Singapura. Kemungkinan mereka akan s
Pukul satu siang, kamar inap Thomas yang biasanya tenang menjadi lebih ramai. Sejumlah pengacara dari Uno Rekayasa Industri telah tiba. Mereka membawa berkas-berkas penting yang akan menentukan kedudukan Thomas, Gauri, Ezra, dan juga masa depan perusahaan.Kamar inap jenis VVIP ini cukup luas, dengan sofa besar di sudut ruangan yang kini menjadi tempat berkumpul mereka.Gauri duduk di salah satu sofa sambil meremas ujung gaun dan menegakkan punggung. Sedangkan Ezra duduk di sebelah wanita itu dengan ekspresi yang sulit dibaca.Sementara itu, Thomas duduk di ranjang dengan bantal yang menopang punggungnya. Walaupun tubuhnya tampak lemah, aura wibawa sebagai konglomerat nomor satu tidak memudar sedikit pun."Tuan Thomas, Nona Gauri, dan Tuan Ezra, kami membawa kabar yang cukup genting dari dewan direksi di Indonesia. Mereka sangat cemas jika Tuan Thomas tutup usia sebelum menyerahkan kekuasaan kepada Nona Gauri secara resmi. Hal ini menjadi topik utama dalam beberapa hari terakhir." Pen
Gauri berjalan menuju restoran yang terletak di lobi rumah sakit. Langkah wanita itu cukup pelan, seiring dengan pikiran yang masih penuh dengan kekacauan setelah pertemuan besar tadi.Perut Gauri terasa kosong, tetapi dia tidak merasa lapar. Namun, Gauri tahu bahwa dia harus tetap makan untuk menjaga kesehatan karena merawat orang sakit membutuhkan banyak energi.Begitu memasuki restoran, aroma makanan hangat langsung menyambut Gauri. Mata wanita itu menyapu ruangan, mencari meja kosong. Namun, pandangan Gauri terhenti ketika dia melihat Ezra di area merokok, duduk dengan santai sambil mengepulkan asap dari rokok yang terselip di jarinya.‘Ezra benar-benar merokok?’ pikir Gauri sambil mengangkat kedua alisnya. Wanita itu teringat saat dirinya masuk ke kamar Ezra di griya tawang yang sangat kental dengan bau nikotin.Tanpa berpikir panjang, Gauri mendekati meja Ezra. Ketika wanita itu menarik kursi dan duduk di depannya, Ezra mendongak dengan alis terangkat.“Sejak kapan kamu mulai me
Gauri membuka pintu kamar inap Thomas dengan pelan, berharap kakeknya sudah istirahat setelah pagi yang berat. Namun, ternyata pria tua itu masih terjaga dan sedang bersandar di ranjang dengan pandangan kosong ke arah jendela.“Kakek,” panggil Gauri sambil melangkah masuk.Wanita itu juga menyunggingkan senyum tipis, ditengah napasnya yang masih memburu karena berjalan cepat menuju kamar Thomas.Thomas menoleh perlahan dengan ekspresi yang tetap datar. “Ada apa? Kamu terlihat tergesa-gesa.”Gauri menarik napas panjang. Dia berjalan mendekat dan duduk di kursi sebelah ranjang, lalu menatap kakeknya dengan serius.“Saya ingin membicarakan sesuatu yang penting, Kakek,” ucap Gauri dengan hati-hati. Dia memperhatikan perubahan ekspresi sang kakek.Thomas mengangkat kedua alisnya, tetapi tidak berkata apa-apa. Pria tua itu hanya menunggu Gauri melanjutkan ucapannya.“Saya ingin membatalkan pe
“Sudah selesai?” tanya Adam, berdiri di tepi kebun mawar yang membentang indah di belakang kediaman Thomas. Matahari mulai tenggelam, memberikan semburat jingga yang memukau.Gauri melangkah mendekat, gaun berwarna krem lembut yang memeluk tubuhnya berkibar tertiup angin sore. Di tangannya ada buket bunga mawar putih kecil yang baru saja wanita itu atur bersama Amelia.“Sudah,” jawab Gauri tersenyum tipis. “Kebun ini terlalu cantik jika tidak dipakai sebagai latar pesta kita.”Adam memandangnya dengan intens, mata gelap pria itu mengamati setiap detail wajah Gauri yang diterangi cahaya lampu sekitar. “Kamu lebih cantik.”“Mas Adam, jangan mulai lagi atau kamu ingin melihat pipiku semerah tomat.” Gauri mendesah kecil sambil menggeleng. “Orang-orang sudah berdatangan, kita harus segera bergabung.”Adam mengulurkan tangan, menarik Gauri mendekat hingga wanita itu berdiri hanya beberapa sentimeter darinya.“Kalau aku bilang kamu cantik, kamu terima saja,” tukas Adam.Gauri tertawa kecil,
“Mama ingin sesuatu dari laci itu?” tanya Gauri lagi, memastikan bahwa dia tidak salah mengerti.Arum mengangguk pelan, matanya tidak lepas dari laci kecil di samping ranjang. Gauri mengerutkan kening sejenak, merasa sedikit ragu, tetapi akhirnya dia mendekat ke laci itu.Gauri membuka laci kecil tersebut dengan perlahan. Di dalamnya, terdapat sebuah kotak perhiasan kecil berwarna merah marun dengan ukiran emas di bagian atasnya. Gauri mengangkat kotak itu, lalu menoleh ke arah Arum.“Ini, Ma?” tanya Gauri sambil mengangkat kotak itu.Arum mengangguk lagi, kali ini lebih mantap. Gauri membawa kotak itu ke hadapan Arum, tetapi wanita paruh baya itu membuat gerakan tangan seolah meminta Gauri membuka kotak tersebut.Dengan hati-hati, Gauri membuka kotak kecil itu. Di dalamnya, terdapat sebuah cincin mewah dengan desain yang klasik dan elegan. Kilauan berlian di tengah cincin itu tampak memikat di bawah cahaya lampu kamar.Gauri memandang cincin itu dengan kagum.“Cincinnya sangat indah,
“Jadi, Nona benar-benar akan meninggalkan griya tawang?” tanya Amelia, matanya menatap koper kecil yang ada di sisi Gauri.Gauri mendongak dan memandang griya tawangnya sekali lagi dari tempat parkir JCrown Tower, tempat tinggal yang penuh kenangan, baik manis maupun pahit.“Ya,” jawab Gauri dengan mantap. “Tempat ini terlalu penuh dengan bayangan masa lalu. Kakek benar, saya butuh tempat tinggal baru yang lebih baik.”Amelia tersenyum kecil. “Rona Village memang lebih cocok untuk Nona sekarang. Walaupun kita sudah dewasa, terkadang kembali ke rumah orang tua akan terasa menenangkan.”Gauri hanya tersenyum. Wanita itu mengangguk pelan, mengiakan pendapat Amelia.Beberapa saat kemudian, Gauri melangkah menjauh dari JCrown Tower sambil membawa barang-barang penting dan meninggalkan semua yang tidak lagi ingin wanita itu ingat di griya tawang.Hari-hari berlalu, dan selama Adam berada di Australia, Gauri mengisi waktunya dengan bekerja dan merawat Arum. Setiap malam, setelah menyelesaika
[Bagaimana bisa kamu lebih memilih untuk menghabiskan waktu dengan Mama daripada aku, Gauri?]Gauri membaca pesan itu dengan senyum tipis. Matanya memancarkan kehangatan yang bercampur geli. Adam selalu memiliki cara sendiri untuk mengungkapkan rasa cemburunya.Tanpa berpikir panjang, Gauri mengetik balasan. “Kamu sudah sampai di Australia?”Gauri menekan tombol kirim dan kembali menyandarkan tubuh di jok mobil. Amelia yang duduk di sampingnya sibuk dengan laptop, sementara sopir yang memegang kemudi sesekali melirik ke arah mereka melalui kaca spion.“Pesan dari Tuan Adam?” tanya Amelia dengan senyum menggoda tanpa mengalihkan pandangan dari layar laptop.“Hmm,” gumam Gauri singkat sambil menyimpan ponsel ke dalam tas. “Mas Adam hanya ingin memastikan saya tidak lupa bahwa dia ingin menjadi prioritas saya.”Amelia terkekeh pelan, menggelengkan kepala. “Saya senang melihat hubungan Nona dan Tuan sudah membaik.”Mobil perlahan memasuki gerbang besar dengan lampu-lampu taman yang menyor
“Jadi, apa semuanya sudah selesai?” tanya Gauri sambil merapikan pakaiannya ke dalam koper kecil. Tangannya sibuk melipat gaun sederhana yang Amelia serahkan padanya.Amelia, yang berdiri di dekat lemari, mengangguk sambil membawa beberapa dokumen yang baru saja dia serahkan.“Ya, evaluasi mingguan Uno Rekayasa Industri berjalan dengan baik. Proyek-proyek besar berjalan lancar, meski ada beberapa kendala teknis kecil yang bisa diatasi dalam waktu dekat.” Amelia menjawab.“Bagus,” sahut Gauri, tersenyum tipis. “Amelia, kamu benar-benar sudah banyak membantu selama saya di sini. Terima kasih.”“Tapi, Nona Gauri … kalau saya lebih berhati-hati saat menyetir, kecelakaan itu tidak akan terjadi. Saya benar-benar minta maaf.” Amelia mendesah pelan, menatap Gauri dengan sorot mata penuh rasa bersalah.Gauri mengangkat wajah, menatap Amelia tajam, tetapi penuh kehangatan.“Saya sudah bilang berkali-kali, Amelia, saya tidak ingin mendengar permintaan maaf itu lagi,” desah Gauri sebal.“Baik, No
"Bagaimana dengan Mama Arum?" tanya Gauri pelan, matanya menatap Adam yang baru saja duduk di kursi di samping ranjangnya.Pagi tadi, Gauri mendengar bahwa Arum dilarikan ke rumah sakit. Dan baru sore ini, dia bisa mengonfirmasi hal itu ke Adam.Adam menghela napas panjang, menatap Gauri dengan tatapan lembut. “Hipertensinya kambuh semalam, dan sekarang Mama dinyatakan mengalami stroke.”Gauri terkejut, matanya membulat. “Stroke?”Adam mengangguk, rahangnya sedikit mengeras. “Semalam setelah aku bilang ingin membatalkan perceraian dan ingin kembali denganmu, Mama sangat marah. Mama belum bisa menerima itu.”“Mas Adam ….” Gauri menggigit bibir, matanya terlihat berkaca-kaca. “Aku ingin menjenguk Mama Arum.”Adam menatap Gauri cukup lama sebelum akhirnya menghela napas dan mengangguk pelan.“Kamu boleh menjenguknya. Tapi ada syarat!” tukas Adam.“Syarat?” Gauri menaikkan alis. “Apa?”“Kamu hanya boleh menjenguk Mama saat kamu sudah sembuh dan mengenakan gaun cantik yang biasa kamu pakai
“Ini pasti hari spesial, bukan?” tebak Arum sambil memindai ruangan.Suara alunan piano yang lembut mengisi suasana restoran mewah itu. Lampu-lampu kristal menggantung tinggi, memancarkan cahaya hangat yang menciptakan atmosfer elegan.Adam duduk di sebuah meja dekat jendela besar, mengenakan setelan jas hitam sempurna. Di depannya, Arum, terlihat sangat antusias dengan wajah merona yang sulit disembunyikan.“Ini pilihan restoran yang bagus, Adam,” lanjut Arum sambil tersenyum. “Akhirnya, kamu mulai mengerti bahwa wanita-wanita pilihan Mama punya kualitas yang sepadan denganmu.”Adam hanya mengangkat alis sedikit, lalu menyesap air putih dari gelas kristalnya. Senyum kecil muncul di wajah pria itu, meskipun matanya tetap dingin.“Mama sangat yakin malam ini akan menjadi momen besar, ya?” tanya Adam.“Tentu saja!” Arum tertawa kecil sambil merapikan gaunnya yang berkilauan. “Mama tahu kamu keras kepala, Adam, tapi setidaknya sekarang kamu mulai membuka hati untuk pilihan yang tepat. Ja
“Jangan bergerak terlalu banyak, Gauri” pinta Adam sambil mendorong kursi roda Gauri perlahan, membawa wanita itu ke taman rumah sakit. “Dokter bilang kamu masih perlu banyak istirahat. Aku tidak akan mengampuni diriku jika setelah ini terjadi sesuatu pada dirimu lagi.”Gauri tersenyum tipis dengan pipi memerah. Wajah wanita itu jauh lebih cerah dibanding hari-hari sebelumnya.“Aku tidak bergerak sama sekali, Mas Adam. Kamu yang menaruh aku untuk duduk di sini, di kursi roda, bukan?” Gauri tidak ingin kalah.Adam menoleh sejenak ke arah Gauri dengan tatapan yang tenang dan menghangatkan. Ada senyum tipis yang menghiasi bibirnya.“Kalau kamu tidak ingin duduk di sini, aku bisa mengembalikanmu ke ranjang perawatan,” tukas Adam berpura-pura marah, padahal sedang menahan tawa.Gauri tertawa kecil, menyentuh tangan Adam yang berada di pegangan kursi roda. “Tidak usah. Di sini jauh lebih menyenangkan. Terima kasih sudah membawaku keluar.”Angin sore yang sejuk menyapu wajah mereka saat Adam
“Apa yang mereka inginkan dari kerja sama ini?” tanya Adam pada seseorang di seberang telepon sambil memandang cahaya matahari lembut yang masuk melalui jendela, menerangi ruangan perawatan VIP di salah satu rumah sakit terbaik di kota Jakarta.Adam duduk di sofa dengan postur tegap, satu tangan memegang ponsel, sementara tangan lainnya menelusuri dokumen yang tersebar di meja kecil di depannya. Di sekitar sofa, ada laptop terbuka, beberapa map tebal, dan secangkir kopi yang sudah hampir dingin.“Saya paham bahwa Harraz Mall harus menarik perhatian publik dengan langkah ini,” ujar Adam serius. “Tapi brand sebesar itu memerlukan penawaran yang lebih kuat. Saya akan mengatur ulang kontraknya besok.”Sebuah keheningan singkat mengisi ruangan sebelum suara kecil terdengar dari ranjang di belakangnya.“Mas Adam?”Adam langsung tersentak, jantungnya berdebar keras. Suara itu begitu lembut, tetapi cukup untuk menghentikan dunianya sejenak. Dengan gerakan cepat, Adam menoleh, matanya membelal