Ezra menerima telepon tepat ketika Gauri selesai mengucapkan permintaannya. Pria itu mengangkat tangan, meminta Gauri diam sejenak.
Dengan wajah serius, Ezra berbalik dan berjalan keluar dari ruang tunggu untuk menerima panggilan tersebut.Gauri hanya menghela napas dan menatap punggung Ezra dengan ekspresi dingin. Wanita itu tidak berharap banyak dari pria itu, tetapi setidaknya Ezra harus memberikan jawaban.Beberapa menit kemudian, ponsel Gauri berbunyi. Sebuah pesan dari Ezra muncul di layar.[Saya harus pergi ke penginapan. Ada urusan bisnis yang mendesak yang harus saya selesaikan. Tunggu di sana dan beri tahu saya hasilnya. Jangan sekali-kali kamu mencoba untuk memanipulasinya, Gauri.]Gauri mendengkus pelan, lalu mengetik balasan dengan cepat. “Saya pasti akan memanipulasi hasilnya.”Tiba-tiba wanita itu menggeleng dan menghapus pesan itu. Gauri tidak boleh bermain-main jika ingin melakukan transaksi.Gauri menge“Mas Adam,” panggil Gauri, suaranya rendah, tetapi penuh penekanan. “Bisa tolong tunggu di luar sebentar?”Adam menatap Gauri, matanya mencari alasan di balik permintaan wanita itu. Sementara Gauri tidak menunjukkan ekspresi dan emosi apa pun selain mimik letih.Setelah beberapa detik, Adam akhirnya mengangguk dan melangkah keluar kamar tanpa mengucapkan sepatah kata pun.Begitu pintu tertutup, Gauri menarik napas dalam. Wanita itu mengarahkan pandangannya ke Thomas yang masih duduk di ranjang dengan wajah penuh amarah.“Kakek, ayo tidur,” pinta Gauri dengan lembut dan sedikit bergetar. “Sudah malam, Kakek butuh istirahat.”Thomas mendengkus pelan, tetapi tidak membantah. Dengan susah payah, pria tua itu berbaring di ranjangnya. Tangan Thomas gemetar ketika mencoba menarik selimut, Gauri dengan sigap membantunya.“Tidak perlu repot-repot, Gauri,” sergah Thomas dengan suara yang mulai melemah.Thomas pasti lelah karena ba
Keesokan paginya di kamar inap Thomas Uno.Gauri sedang duduk di kursi sebelah ranjang Thomas sambil menyiapkan sarapan untuk kakeknya yang baru saja selesai dimandikan oleh seorang perawat pria. Thomas tampak lebih tenang pagi ini, walaupun wajahnya masih pucat.Tok! Tok! Tok!Ketukan pintu membuat keduanya menoleh. Ezra melangkah masuk dengan langkah lebar. Pria itu mengenakan setelan kasual, tetapi tetap terlihat rapi seperti biasanya.“Selamat pagi, Kakek,” sapa Ezra sambil tersenyum lebar hingga kedua matanya menyipit.Tatapan Ezra melirik sekilas ke arah Gauri yang hanya menunduk. Wanita itu tengah sibuk menuangkan bubur ke mangkuk kecil.“Pagi, Ezra.” Thomas mengangguk lemah. “Apa kamu sudah menyiapkan semuanya?”Gauri sudah memberi tahu Thomas perihal pengacara Uno Rekayasa Industri yang akan datang.“Tentu saja, Kakek. Pengacara kita sudah berada di perjalanan menuju Singapura. Kemungkinan mereka akan s
Pukul satu siang, kamar inap Thomas yang biasanya tenang menjadi lebih ramai. Sejumlah pengacara dari Uno Rekayasa Industri telah tiba. Mereka membawa berkas-berkas penting yang akan menentukan kedudukan Thomas, Gauri, Ezra, dan juga masa depan perusahaan.Kamar inap jenis VVIP ini cukup luas, dengan sofa besar di sudut ruangan yang kini menjadi tempat berkumpul mereka.Gauri duduk di salah satu sofa sambil meremas ujung gaun dan menegakkan punggung. Sedangkan Ezra duduk di sebelah wanita itu dengan ekspresi yang sulit dibaca.Sementara itu, Thomas duduk di ranjang dengan bantal yang menopang punggungnya. Walaupun tubuhnya tampak lemah, aura wibawa sebagai konglomerat nomor satu tidak memudar sedikit pun."Tuan Thomas, Nona Gauri, dan Tuan Ezra, kami membawa kabar yang cukup genting dari dewan direksi di Indonesia. Mereka sangat cemas jika Tuan Thomas tutup usia sebelum menyerahkan kekuasaan kepada Nona Gauri secara resmi. Hal ini menjadi topik utama dalam beberapa hari terakhir." Pen
Gauri berjalan menuju restoran yang terletak di lobi rumah sakit. Langkah wanita itu cukup pelan, seiring dengan pikiran yang masih penuh dengan kekacauan setelah pertemuan besar tadi.Perut Gauri terasa kosong, tetapi dia tidak merasa lapar. Namun, Gauri tahu bahwa dia harus tetap makan untuk menjaga kesehatan karena merawat orang sakit membutuhkan banyak energi.Begitu memasuki restoran, aroma makanan hangat langsung menyambut Gauri. Mata wanita itu menyapu ruangan, mencari meja kosong. Namun, pandangan Gauri terhenti ketika dia melihat Ezra di area merokok, duduk dengan santai sambil mengepulkan asap dari rokok yang terselip di jarinya.‘Ezra benar-benar merokok?’ pikir Gauri sambil mengangkat kedua alisnya. Wanita itu teringat saat dirinya masuk ke kamar Ezra di griya tawang yang sangat kental dengan bau nikotin.Tanpa berpikir panjang, Gauri mendekati meja Ezra. Ketika wanita itu menarik kursi dan duduk di depannya, Ezra mendongak dengan alis terangkat.“Sejak kapan kamu mulai me
Gauri membuka pintu kamar inap Thomas dengan pelan, berharap kakeknya sudah istirahat setelah pagi yang berat. Namun, ternyata pria tua itu masih terjaga dan sedang bersandar di ranjang dengan pandangan kosong ke arah jendela.“Kakek,” panggil Gauri sambil melangkah masuk.Wanita itu juga menyunggingkan senyum tipis, ditengah napasnya yang masih memburu karena berjalan cepat menuju kamar Thomas.Thomas menoleh perlahan dengan ekspresi yang tetap datar. “Ada apa? Kamu terlihat tergesa-gesa.”Gauri menarik napas panjang. Dia berjalan mendekat dan duduk di kursi sebelah ranjang, lalu menatap kakeknya dengan serius.“Saya ingin membicarakan sesuatu yang penting, Kakek,” ucap Gauri dengan hati-hati. Dia memperhatikan perubahan ekspresi sang kakek.Thomas mengangkat kedua alisnya, tetapi tidak berkata apa-apa. Pria tua itu hanya menunggu Gauri melanjutkan ucapannya.“Saya ingin membatalkan pe
Gauri melangkah masuk ke dalam Bee Hotel yang berarsitektur modern. Gedung dengan 20 lantai ini didesain dengan dominan warna kuning cerah dan beberapa aksesoris menyerupai lebah.Walaupun Gauri baru pertama kali ke Singapura, wanita itu merasa tidak asing dengan nama hotel ini.“Selamat malam, Nona. Ada yang bisa saya bantu?” Petugas resepsionis menyambut Gauri dengan senyuman ramah. “Saya membutuhkan kamar untuk malam ini. Apakah masih ada yang tersedia?” tanya Gauri sambil membuka tas, bersiap mengeluarkan kartu identitas untuk keperluan check-in.“Maaf, Nona. Saat ini semua kamar kami sudah penuh. Ada beberapa rombongan tamu yang memesan sejak tadi pagi.” Resepsionis itu tampak menyesal.Gauri menghela napas. Wanita itu menatap resepsionis, sementara isi kepalanya sibuk mencari solusi.“Apakah ada hotel lain di sekitar sini?” tanya Gauri. “Saya tidak begitu kenal daerah sini karena saya berasal dari Indonesia dan saya butuh
Mata Ezra menatap Gauri dengan kebencian yang bercampur dengan nafsu gelap. Pria itu berada di atas tubuh Gauri, tengah mengunci tubuh wanita di bawahnya.Gauri meringis, tubuhnya bergetar, tetapi tekadnya untuk melawan membuat mata wanita itu tetap menatap Ezra dengan tajam.“Lepaskan saya, Ezra! Kamu sudah sangat keterlaluan!” teriak Gauri sambil memukuli dada Ezra dengan sekuat tenaga supaya pria itu menjauh.Namun, bukannya berhenti, Ezra justru merobek gaun bagian atas Gauri dengan sekali hentakan. “Aaargh!” jerit Gauri dengan jantung yang berdegup kencang. “Sialan, Ezra!”Gauri melayangkan tangannya untuk memukul kepala Ezra, tetapi pria itu dengan cekatan berhasil menangkap tangannya. Mata Ezra sangat membara.“Kamu harus tahu tempatmu, Gauri!” bentak Ezra dengan wajah yang sangat merah.Ini pertama kalinya Gauri merasa sangat ketakutan karena seorang pria. Memorinya kembali melayang ke malam saat Gauri hampir di
Suara tembakan menggema keras di dalam kamar hotel.Ezra tersentak, tubuh pria itu membeku di tempat. Mata Ezra melebar ketika melihat kaca jendela kamar hotel retak, pecah berantakan, sebelum akhirnya menyisakan lubang besar dengan pecahan yang berserakan di lantai.Udara dingin malam Singapura menerobos masuk ke kamar dan membuat tirai berkibar pelan.Gauri tetap berdiri dengan pistol yang kembali terarah ke Ezra, tetapi kali ini, jemarinya tidak lagi gemetar.“Pergi dari sini, Ezra,” bisik Gauri dingin dan tegas. “Jangan pernah kembali!”Ezra menelan ludah, tetapi senyumnya perlahan muncul kembali. “Kamu pikir tembakan itu membuat saya takut, Gauri?”Namun, ketika Gauri dengan cepat menarik pelatuk lagi, Ezra segera melangkah mundur, tangannya setengah terangkat.“Baiklah, baiklah. Kamu menang untuk malam ini,” ucap Ezra pada akhirnya.“Keluar!” desak Gauri sambil menatap Ezra dengan tajam.Ezra mend
[Bagaimana bisa kamu lebih memilih untuk menghabiskan waktu dengan Mama daripada aku, Gauri?]Gauri membaca pesan itu dengan senyum tipis. Matanya memancarkan kehangatan yang bercampur geli. Adam selalu memiliki cara sendiri untuk mengungkapkan rasa cemburunya.Tanpa berpikir panjang, Gauri mengetik balasan. “Kamu sudah sampai di Australia?”Gauri menekan tombol kirim dan kembali menyandarkan tubuh di jok mobil. Amelia yang duduk di sampingnya sibuk dengan laptop, sementara sopir yang memegang kemudi sesekali melirik ke arah mereka melalui kaca spion.“Pesan dari Tuan Adam?” tanya Amelia dengan senyum menggoda tanpa mengalihkan pandangan dari layar laptop.“Hmm,” gumam Gauri singkat sambil menyimpan ponsel ke dalam tas. “Mas Adam hanya ingin memastikan saya tidak lupa bahwa dia ingin menjadi prioritas saya.”Amelia terkekeh pelan, menggelengkan kepala. “Saya senang melihat hubungan Nona dan Tuan sudah membaik.”Mobil perlahan memasuki gerbang besar dengan lampu-lampu taman yang menyor
“Jadi, apa semuanya sudah selesai?” tanya Gauri sambil merapikan pakaiannya ke dalam koper kecil. Tangannya sibuk melipat gaun sederhana yang Amelia serahkan padanya.Amelia, yang berdiri di dekat lemari, mengangguk sambil membawa beberapa dokumen yang baru saja dia serahkan.“Ya, evaluasi mingguan Uno Rekayasa Industri berjalan dengan baik. Proyek-proyek besar berjalan lancar, meski ada beberapa kendala teknis kecil yang bisa diatasi dalam waktu dekat.” Amelia menjawab.“Bagus,” sahut Gauri, tersenyum tipis. “Amelia, kamu benar-benar sudah banyak membantu selama saya di sini. Terima kasih.”“Tapi, Nona Gauri … kalau saya lebih berhati-hati saat menyetir, kecelakaan itu tidak akan terjadi. Saya benar-benar minta maaf.” Amelia mendesah pelan, menatap Gauri dengan sorot mata penuh rasa bersalah.Gauri mengangkat wajah, menatap Amelia tajam, tetapi penuh kehangatan.“Saya sudah bilang berkali-kali, Amelia, saya tidak ingin mendengar permintaan maaf itu lagi,” desah Gauri sebal.“Baik, No
"Bagaimana dengan Mama Arum?" tanya Gauri pelan, matanya menatap Adam yang baru saja duduk di kursi di samping ranjangnya.Pagi tadi, Gauri mendengar bahwa Arum dilarikan ke rumah sakit. Dan baru sore ini, dia bisa mengonfirmasi hal itu ke Adam.Adam menghela napas panjang, menatap Gauri dengan tatapan lembut. “Hipertensinya kambuh semalam, dan sekarang Mama dinyatakan mengalami stroke.”Gauri terkejut, matanya membulat. “Stroke?”Adam mengangguk, rahangnya sedikit mengeras. “Semalam setelah aku bilang ingin membatalkan perceraian dan ingin kembali denganmu, Mama sangat marah. Mama belum bisa menerima itu.”“Mas Adam ….” Gauri menggigit bibir, matanya terlihat berkaca-kaca. “Aku ingin menjenguk Mama Arum.”Adam menatap Gauri cukup lama sebelum akhirnya menghela napas dan mengangguk pelan.“Kamu boleh menjenguknya. Tapi ada syarat!” tukas Adam.“Syarat?” Gauri menaikkan alis. “Apa?”“Kamu hanya boleh menjenguk Mama saat kamu sudah sembuh dan mengenakan gaun cantik yang biasa kamu pakai
“Ini pasti hari spesial, bukan?” tebak Arum sambil memindai ruangan.Suara alunan piano yang lembut mengisi suasana restoran mewah itu. Lampu-lampu kristal menggantung tinggi, memancarkan cahaya hangat yang menciptakan atmosfer elegan.Adam duduk di sebuah meja dekat jendela besar, mengenakan setelan jas hitam sempurna. Di depannya, Arum, terlihat sangat antusias dengan wajah merona yang sulit disembunyikan.“Ini pilihan restoran yang bagus, Adam,” lanjut Arum sambil tersenyum. “Akhirnya, kamu mulai mengerti bahwa wanita-wanita pilihan Mama punya kualitas yang sepadan denganmu.”Adam hanya mengangkat alis sedikit, lalu menyesap air putih dari gelas kristalnya. Senyum kecil muncul di wajah pria itu, meskipun matanya tetap dingin.“Mama sangat yakin malam ini akan menjadi momen besar, ya?” tanya Adam.“Tentu saja!” Arum tertawa kecil sambil merapikan gaunnya yang berkilauan. “Mama tahu kamu keras kepala, Adam, tapi setidaknya sekarang kamu mulai membuka hati untuk pilihan yang tepat. Ja
“Jangan bergerak terlalu banyak, Gauri” pinta Adam sambil mendorong kursi roda Gauri perlahan, membawa wanita itu ke taman rumah sakit. “Dokter bilang kamu masih perlu banyak istirahat. Aku tidak akan mengampuni diriku jika setelah ini terjadi sesuatu pada dirimu lagi.”Gauri tersenyum tipis dengan pipi memerah. Wajah wanita itu jauh lebih cerah dibanding hari-hari sebelumnya.“Aku tidak bergerak sama sekali, Mas Adam. Kamu yang menaruh aku untuk duduk di sini, di kursi roda, bukan?” Gauri tidak ingin kalah.Adam menoleh sejenak ke arah Gauri dengan tatapan yang tenang dan menghangatkan. Ada senyum tipis yang menghiasi bibirnya.“Kalau kamu tidak ingin duduk di sini, aku bisa mengembalikanmu ke ranjang perawatan,” tukas Adam berpura-pura marah, padahal sedang menahan tawa.Gauri tertawa kecil, menyentuh tangan Adam yang berada di pegangan kursi roda. “Tidak usah. Di sini jauh lebih menyenangkan. Terima kasih sudah membawaku keluar.”Angin sore yang sejuk menyapu wajah mereka saat Adam
“Apa yang mereka inginkan dari kerja sama ini?” tanya Adam pada seseorang di seberang telepon sambil memandang cahaya matahari lembut yang masuk melalui jendela, menerangi ruangan perawatan VIP di salah satu rumah sakit terbaik di kota Jakarta.Adam duduk di sofa dengan postur tegap, satu tangan memegang ponsel, sementara tangan lainnya menelusuri dokumen yang tersebar di meja kecil di depannya. Di sekitar sofa, ada laptop terbuka, beberapa map tebal, dan secangkir kopi yang sudah hampir dingin.“Saya paham bahwa Harraz Mall harus menarik perhatian publik dengan langkah ini,” ujar Adam serius. “Tapi brand sebesar itu memerlukan penawaran yang lebih kuat. Saya akan mengatur ulang kontraknya besok.”Sebuah keheningan singkat mengisi ruangan sebelum suara kecil terdengar dari ranjang di belakangnya.“Mas Adam?”Adam langsung tersentak, jantungnya berdebar keras. Suara itu begitu lembut, tetapi cukup untuk menghentikan dunianya sejenak. Dengan gerakan cepat, Adam menoleh, matanya membelal
“Seharusnya kita reuni saat pernikahan Pak Ezra dengan Gauri,” tukas seorang mahasiswa yang pernah Ezra ajar dengan mata berkaca-kaca. “Bukan ke pemakaman beliau.”Langit pagi itu mendung, seolah turut berduka atas kepergian salah satu anak manusia. Angin berembus pelan, mengusik dedaunan di sekitar kompleks pemakaman Keluarga Uno.Seorang pendeta berdiri di depan peti kayu berwarna cokelat gelap yang dihiasi bunga lili putih. Di sekelilingnya, hanya ada sedikit pelayat, terbatas pada keluarga dekat, sahabat, dan beberapa orang yang pernah mengenal Ezra.“Betul,” sahut teman yang berdiri di sebelahnya. “Tapi kita cukup beruntung, karena tidak semua orang bisa masuk ke lahan pemakaman Keluarga Uno.”Thomas berdiri di barisan paling depan, mengenakan jas hitam dengan dasi yang rapi. Wajah pria tua itu pucat, garis-garis usianya terlihat lebih jelas dari biasanya.Namun, meski terpukul, pria tua itu tetap memimpin upacara pemakaman dengan penuh kewibawaan. Di sampingnya, Rusdi, berdiri d
Suara ketukan pintu terus terdengar, semakin keras dan memekakkan telinga.Tok! Tok! Tok!Ezra berdiri tegang di dekat pintu, pistol kecil di tangannya bergetar. Peluh menetes deras dari pelipisnya, sementara dadanya naik turun dengan cepat. Ketukan itu berhenti sesaat, dan justru membuat Ezra semakin gelisah.“Siapa?!” Ezra berteriak lagi, merasa panik dan marah.Masih tidak ada jawaban.Ezra menarik napas dalam-dalam, mencoba menguatkan diri. Namun, sebelum pria itu bisa berpikir lebih jauh—Brak!Pintu penginapan itu didobrak paksa dengan suara keras. Seketika, Ezra refleks menekan pelatuk pistol di tangannya.Dor!Suara tembakan menggema di ruangan sempit itu. Seorang pria berseragam polisi yang berdiri paling depan langsung terhuyung ke belakang dan jatuh ke lantai dengan darah mengalir deras dari kepalanya.“Berhenti!” teriak salah satu polisi lainnya, penuh perintah.Polisi itu melangkah maju dan menendang pistol dari tangan Ezra sebelum pria itu sempat menembak lagi. Pistol it
Adam menyandarkan tubuh di sofa, sambil menatap Thomas dengan dingin.“Saya menjaga sopir itu tetap hidup karena dia salah satu kunci untuk menjebloskan Ezra ke penjara,” ujar Adam tegas. “Saya butuh dia berbicara, dan jika dia mati, semua bukti yang saya punya akan melemah.”Thomas mengangguk kecil, walaupun tatapannya tetap tajam. Dia meletakkan gelas kosongnya di meja, lalu mengusap wajah dengan tangan bergetar. Pria tua itu tampak lelah, tetapi tekadnya tetap terlihat jelas.“Kamu masih berpikir saya berada di pihak Ezra, bukan?” tanya Thomas tiba-tiba.Adam tidak menjawab, tetapi mata pria itu berbicara. Dingin dan penuh kewaspadaan, sebagaimana sikap yang harus dia tunjukkan di depan sekutu lawan.Namun, yang mengejutkan, Thomas menundukkan kepala sejenak dan matanya berkaca-kaca ketika pria tua itu mengangkat wajahnya lagi.“Apa yang bisa saya bantu?” tanya Thomas, penuh kesungguhan. “Jika itu untuk Gauri, saya akan melakukannya.”Adam tertegun. Kata-kata itu membuatnya terdiam