“Aku bisa saja melakukan itu, Gauri, tapi paling tidak bukan tempat ini yang akan menjadi persembunyian kita,” ujar Adam sambil menyendok suapan pertamanya.
Gauri memperhatikan Adam yang mulai menikmati menu sarapan. Aroma nasi uduk yang ada di depannya memang sangat merangsang sinyal lapar.“Lalu, di mana?” tanya Gauri. “Rusia? Swiss?”Wanita cantik itu mulai menyuap sarapannya. Ini bukan sarapan favoritnya, tetapi Gauri patut mengacungi jempol pada chef yang membuat menu ini.“Jika ingin sembunyi, lebih baik pilih tempat yang tidak akan orang lain pikirkan,” jawab Adam.Gauri mengangguk mengerti. Mereka terdiam beberapa lama, sampai Adam bicara lagi.“Antara daerah pegunungan atau kepulauan di Eropa. Kamu pilih yang mana?” tanya Adam dengan serius, seolah mereka akan benar-benar menyembunyikan diri selama satu tahun.Gauri melebarkan matanya dan menggeleng. Wanita cantik itu menyelesaikan makanan dalam mulutnya terlebiGauri mendesah dan memalingkan wajahnya. Dia menyelipkan rambutnya ke belakang telinga.“Mengapa kamu sangat menginginkan rekaman CCTV itu, Mas?” tanya Gauri tanpa menatap Adam.“Amora harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Selama dia masih berkeliaran bebas di luar sana, bukan tidak mungkin dia akan kembali datang untuk melukai kamu,” jawab Adam tegas.“Aku dengar dari Mama, dia datang ke pesta pertunanganmu. Rasanya tidak mungkin jika kamu yang mengundangnya.” Adam menambahkan.Gauri kembali menatap Adam yang tidak berhenti memandanginya sejak tadi.“Amora punya seorang putri yang masih kecil. Aku tidak akan tega memisahkan mereka.” Gauri bersuara. “Aku sehat dan bisa melanjutkan hidup, itu saja sudah cukup untukku.”“Dia memang datang ke pesta pertunanganku. Ezra yang memancingnya untuk memprovokasi traumaku,” lanjut Gauri tersenyum tipis.Adam mendengkus. Dia menyugar rambutnya ke belakang.“Digunakan da
“Padahal aku sudah membuatnya sesuai tutorial!” seru Adam kesal. “Aku akan membangunkan chef saja.Tunggu sebentar.” Adam sangat ahli dalam menaklukan klien, investor, bahkan wanita. Namun, di depan berbagai bahan masakan, pria itu merasa usahanya dikhianati. Udang asam manis yang seharusnya tersaji cantik kini justru didominasi dengan warna hitam pekat dan bentuk yang tidak bisa dikenali. Gauri tersenyum, menahan tawa. Dia segera menggenggam tangan Adam yang hampir pergi dari sisinya. “Biar aku saja,” tawar Gauri dengan tulus. Wanita itu perlahan bangkit dari duduknya dan melangkah ke dapur. Adam mengikutinya dari belakang. “Kamu serius? Tidak lelah?” “Aku sudah istirahat dengan cukup,” jawab Gauri sambil membuka lemari pendingin untuk melihat bahan masakan yang tersedia di sana. Sementara Adam hanya memperhati
Adam menghela napas. Alih-alih langsung menjawab pertanyaan Gauri, pria itu memilih untuk menyelesaikan mengobati luka Gauri terlebih dahulu.Gauri dengan sabar menunggu.“Tidak. Aku bahkan tidak tahu kamu sampai terkilir,” jawab Adam pada akhirnya. Dia sengaja menutup kebenaran karena tidak ingin Gauri berpikir macam-macam.Anehnya, Gauri merasa kecewa. Dia sudah terlanjur berharap, tetapi kenyataan tidak sesuai dengan pikirannya.Lagipula, apa yang Gauri harapkan dari sikap Adam dahulu saat masih menjadi suaminya? Selimut kesalahpahaman mereka masih sangat tebal.Gauri memperhatikan Adam yang sedang merapikan obat-obatan, perban, plester, dan sebagainya. Pria itu masih belum balas menatapnya.“Ingin menonton film?” tanya Adam kembali mendekati Gauri.“Boleh,” jawab Gauri singkat. Tampak tidak tertarik karena masih bergumul dengan perasaan kecewa yang dia ciptakan sendiri.“Ayo!” ajak Adam sambil melangkah mend
Gauri tertidur di bahu Adam. Entah berapa lama, tetapi ketika Gauri bangun keesokan paginya, Adam sudah tidak ada di sampingnya. Nyeri perut yang menyerang Gauri semalam juga sudah lebih baik. Wanita itu perlahan duduk dan memindai seluruh area kamar. Pemandangan pantai di sisinya begitu mengundang perhatian. Itu membuat energi Gauri cepat pulih. “Mas Adam?” panggil Gauri sambil melangkah ke kamar mandi. Gauri mendorong pintu kamar mandi. Kosong. Adam tidak ada di kamarnya. Melihat cuaca pagi yang sangat hangat, Gauri berpikir mungkin saja Adam sedang olahraga pagi. Atau bahkan, pria itu kembali mencoba masak untuk sarapan. Senyum tipis terulas dari bibir Gauri, mengingat wajah kesal Adam semalam karena masakannya gosong. Gauri tidak sabar melihat wajah pria itu lagi, jadi dia segera mandi dan membersihkan diri. Setelah itu Gauri melangkah keluar kamar. Dapur adalah tujuan utaman
“Cepat!” seru Ezra sambil mendorong Gauri dari belakang.Gauri hampir saja terjatuh karena tersandung batu hias yang ada di halaman depan vila jika dia tidak berkonsentrasi.Pria itu mencengkeram tangannya dengan sangat kuat dan Gauri merasa perih di pergelangan tangan.Wanita itu menggigit kuat bibirnya supaya tidak berteriak. Hal itu hanya akan membuat Ezra berada di atas angin.“Masuk!” seru Ezra lagi ketika mereka sampai di sisi pintu mobil bagian penumpang.Gauri bergeming. Itu membuat Ezra mengernyitkan dahi marah.“Saya tidak ingin satu mobil denganmu lagi,” sahut Gauri dengan datar walaupun suaranya sedikit gemetar.Momen terakhir mereka saat berada di satu mobil yang sama masih terekam jelas di kepala Gauri. Saat itu Ezra tidak lebih emosi dari sekarang dan sudah hampir membunuh mereka berdua.Gauri tidak ingin menjadi tumbal kemarahan Ezra yang meledak lagi. Yang kali ini, pria itu bisa saja langsung m
Gauri perlahan menarik napas, memastikan bahwa peluru itu bukan berasal dari pistol Adam. Dia masih hidup. ‘Jika aku masih hidup, apakah peluru itu berasal dari pistol Ezra yang mengarah pada Mas Adam?’ batin Gauri panik. Wanita cantik itu membuka mata. Sosok pertama yang Gauri lihat adalah Ezra. Pria itu masih berdiri tegak dengan napas terengah-engah dan tatapan tajam. “Apa yang kamu lakukan, Adam?” tanya Ezra. Gauri menoleh pada Adam. Dia mengembuskan napas lega ketika melihat Adam juga masih berdiri tegak. Arah pistol Adam tidak lagi mengarah padanya. Adam menodong pistolnya agak miring ke kanan bawah. Ketika Gauri mengikuti arah pistol Adam, ternyata pria itu menargetkan ban mobil Ezra. Kini salah satu ban mobil Ezra pecah. Gauri tidak yakin Ezra bisa menggunakan mobil itu dalam waktu singkat. Dor! Adam menembak lagi ban
“Tidak ada luka serius atau pendarahan internal yang terjadi padaku, Gauri. Sudah aku bilang sejak awal kalau kamu hanya khawatir berlebihan,” tukas Adam saat mereka berada di dalam mobil menuju Jakarta. Setelah menunggu beberapa lama di rumah sakit, hasil kesehatan keseluruhan Adam keluar. Tidak ada yang serius kecuali luka-luka luar yang ada di wajah dan area punggung tangannya. Kini mereka sudah kembali melakukan perjalanan bersama. Jalanan cukup lancar, mengingat tempat ini jauh dari area perkantoran. “Ezra tidak semahir itu dalam memukul. Aku hanya … belum fokus sepenuhnya dan baru bangun dari tidur.” Adam menambahkan. Gauri hanya mengangguk dan tersenyum tipis. Wanita cantik itu kembali memandangi jalanan di sampingnya. Kalimat yang Adam ucapkan di rumah sakit sangat membuat Gauri khawatir. Mendadak Gauri tidak ingin cepat sampai di Jakarta, tetapi dia sadar bahwa menghindar buk
Walaupun dadanya sakit dan sesak, Gauri kembali menegakkan punggung dan tersenyum sinis pada Thomas. Air mata menggenang di pelupuk matanya. “Kamu keterlaluan!” teriak Thomas pada Gauri sambil menunjuk wajahnya. “Adam!” Thomas beralih pada Adam. “Bagaimana kamu ingin menyelesaikan masalah ini? Kamu baru saja membawa pergi tunangan pria lain sekaligus CEO perusahaan besar?!” “Hanya itu yang Kakek pedulikan?” tanya Gauri mengernyitkan dahi dan mengepalkan kedua telapak tangannya. “Gauri ….” Adam menggeleng, mengingatkan supaya Gauri tidak balas berteriak pada Thomas. Dia tidak ingin terjadi sesuatu pada hubungan kakek dan cucu itu. “Apakah kalian berdua sadar dengan apa yang kalian lakukan?!” Thomas berteriak lagi. “Terutama kamu, Gauri, kamu pergi di waktu krusial perusahaan! Cepat pergi dari sini dan lihat apa yang terjadi di kantormu!” Suara Thomas menggelegar bag
“Sudah selesai?” tanya Adam, berdiri di tepi kebun mawar yang membentang indah di belakang kediaman Thomas. Matahari mulai tenggelam, memberikan semburat jingga yang memukau.Gauri melangkah mendekat, gaun berwarna krem lembut yang memeluk tubuhnya berkibar tertiup angin sore. Di tangannya ada buket bunga mawar putih kecil yang baru saja wanita itu atur bersama Amelia.“Sudah,” jawab Gauri tersenyum tipis. “Kebun ini terlalu cantik jika tidak dipakai sebagai latar pesta kita.”Adam memandangnya dengan intens, mata gelap pria itu mengamati setiap detail wajah Gauri yang diterangi cahaya lampu sekitar. “Kamu lebih cantik.”“Mas Adam, jangan mulai lagi atau kamu ingin melihat pipiku semerah tomat.” Gauri mendesah kecil sambil menggeleng. “Orang-orang sudah berdatangan, kita harus segera bergabung.”Adam mengulurkan tangan, menarik Gauri mendekat hingga wanita itu berdiri hanya beberapa sentimeter darinya.“Kalau aku bilang kamu cantik, kamu terima saja,” tukas Adam.Gauri tertawa kecil,
“Mama ingin sesuatu dari laci itu?” tanya Gauri lagi, memastikan bahwa dia tidak salah mengerti.Arum mengangguk pelan, matanya tidak lepas dari laci kecil di samping ranjang. Gauri mengerutkan kening sejenak, merasa sedikit ragu, tetapi akhirnya dia mendekat ke laci itu.Gauri membuka laci kecil tersebut dengan perlahan. Di dalamnya, terdapat sebuah kotak perhiasan kecil berwarna merah marun dengan ukiran emas di bagian atasnya. Gauri mengangkat kotak itu, lalu menoleh ke arah Arum.“Ini, Ma?” tanya Gauri sambil mengangkat kotak itu.Arum mengangguk lagi, kali ini lebih mantap. Gauri membawa kotak itu ke hadapan Arum, tetapi wanita paruh baya itu membuat gerakan tangan seolah meminta Gauri membuka kotak tersebut.Dengan hati-hati, Gauri membuka kotak kecil itu. Di dalamnya, terdapat sebuah cincin mewah dengan desain yang klasik dan elegan. Kilauan berlian di tengah cincin itu tampak memikat di bawah cahaya lampu kamar.Gauri memandang cincin itu dengan kagum.“Cincinnya sangat indah,
“Jadi, Nona benar-benar akan meninggalkan griya tawang?” tanya Amelia, matanya menatap koper kecil yang ada di sisi Gauri.Gauri mendongak dan memandang griya tawangnya sekali lagi dari tempat parkir JCrown Tower, tempat tinggal yang penuh kenangan, baik manis maupun pahit.“Ya,” jawab Gauri dengan mantap. “Tempat ini terlalu penuh dengan bayangan masa lalu. Kakek benar, saya butuh tempat tinggal baru yang lebih baik.”Amelia tersenyum kecil. “Rona Village memang lebih cocok untuk Nona sekarang. Walaupun kita sudah dewasa, terkadang kembali ke rumah orang tua akan terasa menenangkan.”Gauri hanya tersenyum. Wanita itu mengangguk pelan, mengiakan pendapat Amelia.Beberapa saat kemudian, Gauri melangkah menjauh dari JCrown Tower sambil membawa barang-barang penting dan meninggalkan semua yang tidak lagi ingin wanita itu ingat di griya tawang.Hari-hari berlalu, dan selama Adam berada di Australia, Gauri mengisi waktunya dengan bekerja dan merawat Arum. Setiap malam, setelah menyelesaika
[Bagaimana bisa kamu lebih memilih untuk menghabiskan waktu dengan Mama daripada aku, Gauri?]Gauri membaca pesan itu dengan senyum tipis. Matanya memancarkan kehangatan yang bercampur geli. Adam selalu memiliki cara sendiri untuk mengungkapkan rasa cemburunya.Tanpa berpikir panjang, Gauri mengetik balasan. “Kamu sudah sampai di Australia?”Gauri menekan tombol kirim dan kembali menyandarkan tubuh di jok mobil. Amelia yang duduk di sampingnya sibuk dengan laptop, sementara sopir yang memegang kemudi sesekali melirik ke arah mereka melalui kaca spion.“Pesan dari Tuan Adam?” tanya Amelia dengan senyum menggoda tanpa mengalihkan pandangan dari layar laptop.“Hmm,” gumam Gauri singkat sambil menyimpan ponsel ke dalam tas. “Mas Adam hanya ingin memastikan saya tidak lupa bahwa dia ingin menjadi prioritas saya.”Amelia terkekeh pelan, menggelengkan kepala. “Saya senang melihat hubungan Nona dan Tuan sudah membaik.”Mobil perlahan memasuki gerbang besar dengan lampu-lampu taman yang menyor
“Jadi, apa semuanya sudah selesai?” tanya Gauri sambil merapikan pakaiannya ke dalam koper kecil. Tangannya sibuk melipat gaun sederhana yang Amelia serahkan padanya.Amelia, yang berdiri di dekat lemari, mengangguk sambil membawa beberapa dokumen yang baru saja dia serahkan.“Ya, evaluasi mingguan Uno Rekayasa Industri berjalan dengan baik. Proyek-proyek besar berjalan lancar, meski ada beberapa kendala teknis kecil yang bisa diatasi dalam waktu dekat.” Amelia menjawab.“Bagus,” sahut Gauri, tersenyum tipis. “Amelia, kamu benar-benar sudah banyak membantu selama saya di sini. Terima kasih.”“Tapi, Nona Gauri … kalau saya lebih berhati-hati saat menyetir, kecelakaan itu tidak akan terjadi. Saya benar-benar minta maaf.” Amelia mendesah pelan, menatap Gauri dengan sorot mata penuh rasa bersalah.Gauri mengangkat wajah, menatap Amelia tajam, tetapi penuh kehangatan.“Saya sudah bilang berkali-kali, Amelia, saya tidak ingin mendengar permintaan maaf itu lagi,” desah Gauri sebal.“Baik, No
"Bagaimana dengan Mama Arum?" tanya Gauri pelan, matanya menatap Adam yang baru saja duduk di kursi di samping ranjangnya.Pagi tadi, Gauri mendengar bahwa Arum dilarikan ke rumah sakit. Dan baru sore ini, dia bisa mengonfirmasi hal itu ke Adam.Adam menghela napas panjang, menatap Gauri dengan tatapan lembut. “Hipertensinya kambuh semalam, dan sekarang Mama dinyatakan mengalami stroke.”Gauri terkejut, matanya membulat. “Stroke?”Adam mengangguk, rahangnya sedikit mengeras. “Semalam setelah aku bilang ingin membatalkan perceraian dan ingin kembali denganmu, Mama sangat marah. Mama belum bisa menerima itu.”“Mas Adam ….” Gauri menggigit bibir, matanya terlihat berkaca-kaca. “Aku ingin menjenguk Mama Arum.”Adam menatap Gauri cukup lama sebelum akhirnya menghela napas dan mengangguk pelan.“Kamu boleh menjenguknya. Tapi ada syarat!” tukas Adam.“Syarat?” Gauri menaikkan alis. “Apa?”“Kamu hanya boleh menjenguk Mama saat kamu sudah sembuh dan mengenakan gaun cantik yang biasa kamu pakai
“Ini pasti hari spesial, bukan?” tebak Arum sambil memindai ruangan.Suara alunan piano yang lembut mengisi suasana restoran mewah itu. Lampu-lampu kristal menggantung tinggi, memancarkan cahaya hangat yang menciptakan atmosfer elegan.Adam duduk di sebuah meja dekat jendela besar, mengenakan setelan jas hitam sempurna. Di depannya, Arum, terlihat sangat antusias dengan wajah merona yang sulit disembunyikan.“Ini pilihan restoran yang bagus, Adam,” lanjut Arum sambil tersenyum. “Akhirnya, kamu mulai mengerti bahwa wanita-wanita pilihan Mama punya kualitas yang sepadan denganmu.”Adam hanya mengangkat alis sedikit, lalu menyesap air putih dari gelas kristalnya. Senyum kecil muncul di wajah pria itu, meskipun matanya tetap dingin.“Mama sangat yakin malam ini akan menjadi momen besar, ya?” tanya Adam.“Tentu saja!” Arum tertawa kecil sambil merapikan gaunnya yang berkilauan. “Mama tahu kamu keras kepala, Adam, tapi setidaknya sekarang kamu mulai membuka hati untuk pilihan yang tepat. Ja
“Jangan bergerak terlalu banyak, Gauri” pinta Adam sambil mendorong kursi roda Gauri perlahan, membawa wanita itu ke taman rumah sakit. “Dokter bilang kamu masih perlu banyak istirahat. Aku tidak akan mengampuni diriku jika setelah ini terjadi sesuatu pada dirimu lagi.”Gauri tersenyum tipis dengan pipi memerah. Wajah wanita itu jauh lebih cerah dibanding hari-hari sebelumnya.“Aku tidak bergerak sama sekali, Mas Adam. Kamu yang menaruh aku untuk duduk di sini, di kursi roda, bukan?” Gauri tidak ingin kalah.Adam menoleh sejenak ke arah Gauri dengan tatapan yang tenang dan menghangatkan. Ada senyum tipis yang menghiasi bibirnya.“Kalau kamu tidak ingin duduk di sini, aku bisa mengembalikanmu ke ranjang perawatan,” tukas Adam berpura-pura marah, padahal sedang menahan tawa.Gauri tertawa kecil, menyentuh tangan Adam yang berada di pegangan kursi roda. “Tidak usah. Di sini jauh lebih menyenangkan. Terima kasih sudah membawaku keluar.”Angin sore yang sejuk menyapu wajah mereka saat Adam
“Apa yang mereka inginkan dari kerja sama ini?” tanya Adam pada seseorang di seberang telepon sambil memandang cahaya matahari lembut yang masuk melalui jendela, menerangi ruangan perawatan VIP di salah satu rumah sakit terbaik di kota Jakarta.Adam duduk di sofa dengan postur tegap, satu tangan memegang ponsel, sementara tangan lainnya menelusuri dokumen yang tersebar di meja kecil di depannya. Di sekitar sofa, ada laptop terbuka, beberapa map tebal, dan secangkir kopi yang sudah hampir dingin.“Saya paham bahwa Harraz Mall harus menarik perhatian publik dengan langkah ini,” ujar Adam serius. “Tapi brand sebesar itu memerlukan penawaran yang lebih kuat. Saya akan mengatur ulang kontraknya besok.”Sebuah keheningan singkat mengisi ruangan sebelum suara kecil terdengar dari ranjang di belakangnya.“Mas Adam?”Adam langsung tersentak, jantungnya berdebar keras. Suara itu begitu lembut, tetapi cukup untuk menghentikan dunianya sejenak. Dengan gerakan cepat, Adam menoleh, matanya membelal