“Apa kamu terlalu banyak minum, Gauri?!” bentak Adam setelah mereka sampai di luar rumah Keluarga Lenson.Wajah Adam memerah dan rahangnya mengeras. Pria itu menatap tajam Gauri.Gauri melepaskan tangannya dari cengkeraman Adam. Namun, secepat kilat Adam kembali mencengkeramnya kembali.“Apa yang kamu bicarakan tadi?!” tanya Adam lagi dengan nada tinggi. “Hanya karena kamu kuliah di luar negeri dan mencapai gelar S2 melalui program akselerasi, lantas kamu sudah merasa hebat, Gauri?!”Gauri meringis kesakitan. Dia balas menatap tajam Adam.“Sakit, Mas!” protes Gauri, tetapi Adam semakin kuat mencengkeram.“Kamu tidak akan bisa mengatasi krisis yang terjadi di Harraz Mall!” cibir Adam sambil menghempaskan tangan Gauri dengan kasar.Lalu, pria itu berbalik badan dan memunggungi Gauri. Adam menyugar rambutnya frustasi sambil melihat langit malam yang sangat gelap.Sementara Gauri mengelus lengannya yang memerah. Dia memandangi punggung tegap Adam dengan tatapan dingin.Gauri menarik napas
Danau di samping rumah Keluarga Lenson, memiliki sebuah pendopo kecil. Selain itu, ada juga area bersantai di ruang terbuka yang dibangun di atas danau. Lily mengajak Gauri untuk pergi ke area bersantai itu. Sepatu Gauri yang bertemu dengan jembatan kayu jati menimbulkan suara nyaring setiap wanita itu melangkah. “Papa saya sengaja membuat area bersantai ini untuk acara keluarga,” ucap Lily setelah mereka sampai. Wanita itu memunggungi Gauri untuk melihat danau yang gelap di depannya. Gauri menyapu pandangan ke sekeliling area. Ada sekitar tiga meja dan sembilan pasang kursi. Juga, lampu-lampu cantik yang menghiasi sekeliling area. “Terakhir digunakan empat bulan lalu, saat kakak sepupu saya membuat pesta pengumuman jenis kelamin bayi yang sedang dia kandung,” lanjut Lily sambil memutar tubuhnya menghadap Gauri. “Seberapa dalam danau buatan ini?” tanya Gauri berdiri di sebelah Lily. Dia tidak melihat apa-apa di danau, selain air yang tenang. “Sudah berapa mayat yang disimpa
Wanita itu melangkah perlahan ke dalam rumahnya. Para penjaga tidak terlihat berkelian di sekitarnya, tengah beristirahat sejenak karena jam sudah menunjukan pukul delapan malam lewat. Air mengalir dari kain pakaiannya yang sangat basah saat dia berjalan. Sementara rambut panjangnya sudah tidak beraturan. “Astaga!” jerit Patricia yang sedang berada di ruang tamu bersama Adam. Patricia spontan bangkit dan melebarkan kedua matanya. Melihat reaksi Patricia, Adam menoleh mengikuti arah wanita itu memandang. Tamu-tamunya yang lain sedang menikmati teh hangat di teras belakang rumah. Mereka biasa melakukan itu setelah mengadakan makan bersama. “Apa yang terjadi padamu, Lily?!” tanya Patricia sambil mendekat dan mencengkeram kedua lengan putrinya yang pucat dan basah kuyup. Lily perlahan mengangkat wajah untuk melihat wajah ibunya. Lalu, wanita itu juga menatap Adam. Pergerakannya sangat lambat karena tidak banyak tenaga yang tersisa di tubuh Lily. “Mama, aku lemas,” sahut Lily
Air mata Gauri semakin deras mengalir di pipinya. Walaupun sudah bisa menghirup banyak oksigen, dadanya masih terasa sesak dan sakit. Jantung Gauri masih berdetak sangat cepat. Dia meremas kemeja Adam yang juga basah dan dingin. “Apa yang terjadi?!” tanya Adam sambil memeluk Gauri semakin erat. Pertanyaan Adam membuat memori tidak menyenangkan itu kembali berputar di kepalanya. Gigi wanita itu bergemeletuk. Saat Lily memeluk Gauri sambil mengucapkan terima kasih. Lalu, tanpa Gauri duga, Lily membawa mereka terjun ke danau begitu saja. Hal yang paling membuat Gauri sakit adalah ketika dia melihat Lily berenang mendekatinya. Harapan Gauri untuk diselamatkan meninggi, tetapi Lily justru mendorong kepalanya ke dalam air cukup lama. “Gauri?” panggil Adam lagi karena melihat mata Gauri kosong. Dahi pria itu mengernyit saat memindai wajah mantan istrinya. Gauri mengerjapkan mata beberapa kali untuk menyadarkan dirinya dan menunduk sesaat. Wanita itu menarik napas panjang sambil
“Pelan-pelan, Ezra!” jerit Gauri dengan sisa-sisa tenaganya.Ezra menginjak pedal gas hingga barometer kecepatan menunjukan angka 220. Mata pria itu menatap tajam jalanan di depannya, tidak memedulikan peringatan Gauri.Beberapa kali suara klakson dari kendaraan lain terdengar saat Ezra melewati mereka dengan ugal-ugalan.Tidak ingin mengalah, Ezra membalas dengan suara klakson yang lebih kencang dan panjang.Selain harus berpegangan kencang pada gantungan tangan di sisinya, Gauri juga harus melindungi indra pendengarannya dari suara nyaring klakson kendaraan yang menyakiti telinga.“Sadar, Ezra!” seru Gauri mencoba bicara lagi. “Mati saja sendiri! Jangan mengajak saya!”Ezra membalas ucapan Gauri dengan menginjak pedal gas semakin dalam. Kini barometer kecepatan mobil sedan mewah Ezra menunjukan angka 240.Mata dan wajah pria itu memerah. Dia terus membelah jalanan dengan sangat cepat, seolah tidak memiliki pedal rem.Napas Gauri memburu dan wajahnya semakin pucat. Dia memekik pelan s
“Menunggumu,” jawab Ezra memamerkan seringainya.Gauri mengatur napasnya supaya normal kembali. Lalu, dia melangkah ke meja rias untuk mengeringkan rambut.Diam-diam Gauri mengawasi Ezra dari cermin di depannya. Wanita itu berniat akan memukul Ezra dengan pengering rambut jika pria itu berani mendekat.“Saya harus istirahat lebih awal. Keluarlah selagi saya masih baik,” sahut Gauri.Setelah mengeringkan rambut, Gauri menyisirnya. Ezra masih di sana saat Gauri baru saja selesai melakukan ritual sebelum tidur.“Ikut saya keluar sebelum kamu tidur!” perintah Ezra perlahan bangkit dari duduknya.Gauri mengernyit dan berkata, “Tidak.”Tatapan mata Ezra menajam. “Saya membuat sesuatu untuk menghangatkan perut kamu.”Gauri mengangkat kedua alisnya. Dia terpaku menatap Ezra.Beberapa waktu lalu, Ezra hampir saja mengajaknya mati bersama dengan ugal-ugalan di jalan raya. Tidak terhitung sudah berapa kendaraan yang hampir pria itu tabrak.Ezra juga melarang Gauri untuk menaikkan suhu pendingin
Amelia menunduk. “B-baik, Tuan.” Suara Amelia terdengar terluka dan itu membuat Gauri geram. Wanita cantik itu mengangkat wajah dan menatap tajam Amelia. “Mengapa kamu mendengarkan perintah orang lain selain atasanmu, Amelia?” tanya Gauri mengangkat kedua alisnya. “Atau kamu tidak menganggap saya sebagai atasan kamu? Yang punya hak untuk memberhentikan kamu, hanya saya,” tukas Gauri melanjutkan sambil menunjuk dadanya. “T-tapi Tuan Ezra sudah–” “Ezra tidak punya wewenang untuk mengambil keputusan seperti itu!” Gauri memotong ucapan Amelia. Ezra tersenyum masam saat melihat reaksi Gauri dan Amelia. “Kakek akan melakukan hal yang sama dengan saya jika mengetahui apa yang terjadi pada pewaris tunggal Keluarga Uno malam ini, Gauri,” sergah Ezra menatap tajam Gauri. Gauri menoleh. “Memangnya apa yang terjadi pada saya? Saya baik-baik saja, sedang menikmati sup kaldu han
Tok! Tok! Tok!“Nona Gauri?” panggil Amelia sambil membuka pintu kamar Gauri.Hari sudah pagi, bahkan Ezra sudah berangkat sejak beberapa menit lalu. Namun, Gauri belum juga keluar dari kamarnya.Gauri mengerang pelan. Matanya terpejam. Dia masih mengenakan piyama dan terkulai lemas di tempat tidurnya.Seluruh tubuh Gauri basah oleh keringat dingin. Wajahnya pun pucat, lengkap dengan bibir yang mengering.“Nona?” Amelia memanggil lagi sambil menempelkan punggung tangannya dengan dahi Gauri.Kedua bola mata Amelia melebar. Dia segera menarik tangannya.Suhu tubuh Gauri sangat panas. Jantung Amelia spontan berdetak cepat.“Tunggu sebentar, Nona. Nona demam. Saya akan kompres Nona dan memanggil dokter,” ujar Amelia berinisiatif.Namun, saat Amelia ingin pergi, tangan panas Gauri menahannya.“Suruh yang lain saja. Kamu harus tetap berangkat ke kantor. Tolong jangan bantah saya, saya tidak punya ban
Adam mematung sejenak mendengar jawaban Gauri.Pernikahan itu adalah kehendak Gauri sendiri. Kata-kata itu bergema di kepala Adam, memukul hatinya sangat keras hingga terasa sesak.Namun, pria itu dengan cepat menyembunyikan rasa cemburu dan kecewa yang menggerogoti dadanya. Tatapan Adam tetap dingin, walaupun matanya menyiratkan luka yang sulit pria itu sembunyikan.Sebelum Adam sempat menanggapi, langkah kaki seseorang terdengar mendekat. Seorang panitia acara muncul di lorong, mengenakan seragam formal hitam, dengan wajah cemas yang menyiratkan bahwa dia membutuhkan sesuatu.“Maaf mengganggu, Tuan Adam,” ujar panitia itu dengan sopan. “Kami mohon Anda segera kembali ke aula. Sebentar lagi nominasi pemenang yang paling ditunggu akan diumumkan.”Adam menoleh, menatap panitia itu dengan wajah datar.“Saya akan kembali jika saya merasa sudah waktunya untuk kembali,” balas Adam dingin, membuat panitia itu terlihat semakin gugup.“Mohon maaf, Tuan, tetapi kami harus memastikan semua tamu
Gauri menggenggam tangan Adam dengan erat, menarik pria itu keluar dari aula yang penuh dengan berbagai macam tatapan para tamu undangan. Gaun biru tua wanita itu menyapu lantai, menciptakan desiran halus setiap kali Gauri melangkah cepat.Adam mengikuti tanpa perlawanan, senyuman kecil masih tersungging di wajahnya yang tampan.Tatapan penuh rasa ingin tahu dari para tamu yang mereka lewati tidak membuat pria itu merasa terintimidasi. Sebaliknya, Adam justru tampak menikmati setiap detik pertunjukan yang dia ciptakan.Sampai akhirnya, mereka berhenti di sebuah lorong sepi yang dipenuhi dengan pintu-pintu menuju ruangan kecil untuk panitia dan staf acara.Lampu temaram menciptakan bayangan panjang di dinding, mempertegas aura intens di antara keduanya.Gauri melepas genggaman tangannya, lalu berbalik menghadapi Adam. Tatapan wanita itu tajam, walaupun wajahnya masih sedikit memerah akibat insiden di meja tadi.“Apa yang kamu lakukan tadi di depan banyak orang, Mas Adam?!” seru Gauri s
Sorotan lampu dari panggung utama mengikuti langkah anggun Gauri saat wanita itu melangkah menuju podium. Gaun biru tuanya berkilauan di bawah cahaya lampu, menonjolkan aura berkelas dan memukau yang membuat ruangan seketika terdiam.“Selamat, Nona Gauri!” ucap pembawa acara dengan senyum lebar sambil memberikan piagam penghargaan pada Gauri.Setelah Gauri menerima piagam itu, pembawa acara segera mempersilakannya menuju podium untuk berpidato.Dengan kepala terangkat, Gauri berdiri tegap di belakang mikrofon. Senyuman kecil tersungging di wajahnya, bukan senyum hangat, melainkan senyum formalitas yang hanya wanita itu gunakan di depan rekan bisnis.“Terima kasih kepada panitia dan para dewan juri atas penghargaan ini,” ucap Gauri, suaranya mengalir lembut, memenuhi ruangan yang dipenuhi sosok penting dunia bisnis. “Penghargaan ini adalah bukti nyata kerja keras dan dedikasi seluruh tim di Uno Rekayasa Industri. Tanpa mereka, visi saya tidak akan pernah terwujud.”Saat Gauri melanjutk
Gauri turun dari mobil hitam yang berhenti di depan venue acara Penghargaan Bisnis.Gaun biru tua berpotongan klasik dengan potongan punggung rendah menghiasi tubuhnya dengan sempurna. Kilauan berlian di bahunya memantulkan cahaya lampu sorot, membuat wanita itu tampak seperti ratu.Ezra melangkah keluar terlebih dahulu, lalu dengan sigap mengulurkan tangan untuk membantu Gauri. Senyum lebar menghiasi wajahnya, tetapi mata pria itu sebenarnya sedang mengawasi setiap gerak-gerik tunangannya.“Senyum, Gauri. Kamera sedang menonton kita,” bisik Ezra sambil memegang pinggang wanita itu.Gauri mengangkat dagu sedikit, memamerkan senyum anggun yang dingin. Kamera dari para wartawan berkerlap-kerlip tanpa henti, menangkap setiap langkah mereka di karpet merah.Ezra melingkarkan lengannya di pinggang Gauri, menciptakan citra pasangan sempurna. Pria itu tersenyum penuh kebanggaan.Setelah berhenti di depan kumpulan wartawan, Ezra dan Gauri mulai berpose mesra. Ezra mendekatkan bibirnya ke teli
Ezra berdiri di depan cermin besar di kamar mewahnya. Mata pria itu menatap pantulan dirinya sendiri dengan senyum licik yang menghiasi bibirnya.Jas hitam eksklusif yang dikenakan Ezra membuat penampilannya terlihat sempurna, tetapi ketegangan samar di garis rahangnya tetap terlihat.Ponsel Ezra yang tergeletak di atas meja kecil di samping cermin bergetar. Pria itu segera meraihnya dan menjawab panggilan itu tanpa basa-basi.“Sudah selesai?” tanya Ezra sedikit berbisik.Suara seorang pria terdengar di seberang telepon. “Ya, sudah selesai. Amora meninggal di tempat. Anak kecil itu … dia masih hidup, tapi kehilangan banyak darah. Saya tidak yakin dia bisa bertahan.”Ezra terdiam. Suasana di sekitarnya tiba-tiba menjadi hening. Jantung Ezra berdetak lebih cepat, bukan karena panik, tetapi karena dia sedang memikirkan apa dampak yang mungkin terjadi setelahnya.“Chava ada di sana?” tanya Ezra akhirnya, dengan dingin dan tajam.“Ya, dia bersama Amora saat kecelakaan terjadi. Tidak ada ya
Adam menatap layar laptop dengan tatapan kosong. Berita yang terpampang di sana menghantam pria itu, seperti pukulan keras yang mengenai wajahnya.Pernikahan Gauri Bentlee Uno dan Ezra Damon Akan Digelar Minggu Depan.Kalimat itu terpampang jelas di headline sebuah situs berita ternama. Tidak hanya di situs berita, setiap Adam membuka media sosial, informasi yang sama pun muncul.Walaupun Gauri bukan seorang selebriti, tetapi wanita yang tiba-tiba menjadi konglomerat dan menjabat sebagai CEO Uno Rekayasa Industri adalah hal yang sangat menarik.Adam mengatupkan rahang erat, dan napasnya terasa berat. Pria itu mengepalkan tangan. Sudah dua hari sejak kontak terakhirnya dengan Gauri terputus, dan sekarang berita tidak masuk akal ini justru naik ke permukaan.Brak!Adam memukul meja kerjanya hingga gelas kopi yang berada di sudut meja terguncang. Wajah Adam memerah. Amarah, kebingungan, dan rasa kecewa menyelimuti pikiran Adam.“Bagaimana mungkin? Apa ini keputusan Gauri? Apa Gauri mener
Gauri keluar dari kamar mandi dengan rambut yang masih basah menjuntai di punggung. Wanita itu masih mengenakan jubah mandi berwarna putih dengan bahan lembut.Wajah wanita itu terlihat lebih segar setelah air dingin membasuh kulitnya yang lelah. Namun, berapa kali pun Gauri mencuci rambut, kepala dan pikirannya tetap kacau.Tanpa membuang waktu, Gauri segera melangkah ke meja rias. Dia membuka laci paling bawah, tempat dia menyimpan ponsel pemberian Adam. Gauri tahu betapa berharganya benda itu, dan dia selalu memastikan menyimpannya sesuai dengan instruksi Adam.Tangan Gauri bergerak cepat, menggeser beberapa benda kecil yang memenuhi laci itu. Namun, wanita itu tidak bisa menemukan benda pipih yang dia cari di sana.Hati Gauri mulai berdegup kencang. Jantungnya terasa berat. Dia menarik napas panjang dan merogoh lebih dalam, berharap mungkin ponsel itu tergelincir ke sudut lain laci. Namun, dia tetap tidak menemukan apa-apa.“Di mana ya?” bisik Gauri, kepanikannya mulai merayap.Se
Gauri duduk di tepi tempat tidur sambil memandangi ponsel kecil berwarna hitam di tangannya. Benda pipih itu diam-diam diselundupkan oleh Adam saat pria itu menggenggam tangannya di belakang Thomas.Hanya ada satu kontak yang tersimpan di sana, yaitu Adam Harraz 2. Tidak ada nomor lain, tidak ada akses internet, bahkan kartu SIM di dalamnya, sepertinya khusus hanya untuk berkomunikasi dengan Adam.Wanita itu mendesah panjang, tangannya menggenggam erat ponsel itu. Ponsel itu adalah satu-satunya jembatan yang bisa menghubungkan Gauri dengan satu-satunya orang yang ada di pihaknya saat ini.Pikiran Gauri melayang pada kejadian beberapa jam lalu yang membuat hari itu semakin terasa berat dan panjang.***Gauri duduk di meja kecil di sudut kamarnya. Wanita itu sedang membaca dokumen laporan perusahaan yang sempat dia bawa beberapa hari lalu dari kantor, ketika pintu kamarnya diketuk dengan keras.Tok! Tok! Tok!Gauri menoleh
Ezra memasuki ruang kunjungan Rumah Tahanan Wanita Jakarta Timur. Wajah pria itu tampak tegang, tetapi matanya tetap tajam seperti biasa.Di balik kaca pembatas, Amora menunggunya dengan senyum tipis yang penuh ejekan. Wanita itu duduk dengan tenang, tempat yang membuat dia terisolasi dari dunia luar itu tidak mengurangi sedikit pun keangkuhannya.“Kamu akhirnya datang juga, Ezra.” Amora membuka percakapan dengan santai. Dia menyunggingkan senyum miring.Ezra mengambil tempat di kursi di depannya, tidak membalas sapaan Amora. Tatapan Ezra hanya menyoroti wanita itu dengan penuh kewaspadaan.Sudah beberapa hari pihak rumah tahanan terus menghubungi Ezra karena Amora meminta bertemu. Pria itu terpaksa menggunakan segala cara untuk kembali ke Indonesia walaupun dia sedang tersandung kasus hukum di Belanda.Untunglah, kesehatan Thomas membaik dan pria tua itu masih berpihak pada Ezra. Jadi mereka bisa kembali ke negara ini bersama.“