Aku lupa apa yang kumasak untuk Arya dan Dorin di siang hari. Setelah memikirkannya beberapa saat, aku teringat kalau sepertinya aku masak iga asam manis, ayam goreng pedas, daging sapi tumis lada dan dua sawi serta sop merah.Aku bergegas membeli bahan-bahannya dan butuh waktu hampir setengah jam untuk kembali.Setibanya di depan pintu dengan semua bahan makanan, aku sudah kelelahan dan kehabisan napas.Aku menunggu beberapa saat sebelum mengeluarkan kunci dan membuka pintu.Saat pintu terbuka, sekilas aku melihat Zayn keluar dari kamar mandi.Pria itu mengenakan handuk mandi yang dililitkan di pinggangnya dan tubuh bagian atasnya meneteskan air yang terlihat sangat seksi.Dia sedang menyeka rambutnya dengan handuk. Saat melihatku kembali, dia hanya menatapku sekilas sebelum masuk ke dalam kamar tidur.Aku benar-benar tercengang.Melihat penampilannya ini, jangan-jangan malam ini dia akan tidur di sini?Aku segera melempar bahan-bahan ke samping, menyusulnya dan bertanya, "Ma ... mala
Dia berkata, "Saat itu perhiasan yang kuberikan padamu tidak lebih buruk dari kalung yang diberikan Roy padamu, tapi kamu tetap membuangnya dengan jijik dan bahkan menyebutku norak.""Sejak saat itu kukira benar-benar tidak menyukai barang-barang norak ini.""Tapi sekarang lihatlah betapa sayangnya kamu dengan kalung yang diberikan Roy padamu itu."Saat berbicara, senyumannya menjadi lebih dingin dan sinis.Aku menjilat bibirku yang kering, mencoba menjelaskan.Dia menambahkan, "Audrey, kamu benar-benar genit, bisa begitu mesra dan menggoda semua pria kecuali aku."Tidak!Ke mana arah pembicaraan ini?Bukankah kita membicarakan masalah perhiasan? Mengapa malah sampai ke masalah pria?Aku membuka mulut, masih ingin membantahnya.Dia tiba-tiba berkata dengan dingin, "Pergi masak!"Aku, "..."Benar-benar orang gila yang tidak jelas!Aku mengatakan itu di dalam hati, lalu berbalik dan pergi ke dapur untuk memasak.Lebih nyaman untuk tinggal di dapur dan memasak daripada tinggal bersamanya.
Setelah mengatakan itu, dia menepis tanganku.Seluruh tubuhku menggigil dan aku memelototinya dengan marah, "Apa kamu begitu gila? Kapan aku menyerahkan diri untuk melayani orang lain demi cinta?""Bukankah ini gara-gara kamu yang bersikeras ingin makan masakanku dan memaksaku memasak untukmu?""Tanganku sudah melepuh. Tidak masalah kalau kamu menghiburku, ngapain begitu sinis?""Heh!"Dia mencibir, "Jadi, kamu memasak untuk Arya dengan sukarela, tapi memasak untukku karena terpaksa?"Aku hanya bisa memelototinya.Pria ini sangat pandai mengubah konsep.Karena tidak bisa bicara dengannya, aku juga tidak mau memedulikannya lagi.Aku berkata dengan suara rendah, "Cepat makan."Setelah itu, aku pergi ke kamar mandi.Daripada bertengkar dengannya yang tidak membawa manfaat apa pun, lebih baik tidur saja.Menyalakan pancuran dan air hangat mengguyur, akhirnya rasa lelah di sekujur tubuh mereda.Sebenarnya aku sangat bebas di lokasi syuting, pada dasarnya aku hanya bersandar di kursi malas u
"Kamu pasti sangat lelah setelah sibuk seharian. Tidurlah lebih awal dan besok pagi aku akan membuatkan sarapan untukmu."Aku berusaha menyanjungnya dengan mengatakan ini.Lagi pula, hanya untuk malam ini.Besok setelah berangkat, takutnya kami berdua tidak akan pernah bertemu lagi dalam hidup ini.Tidak ada tanggapan dari belakang.Aku menggulung selimut. Mengira seharusnya dia sudah tidur, jadi aku pun diam agar tidak memperburuk keadaan.Aku memejamkan mata dan hendak tertidur.Sentuhan dada yang membara tiba-tiba menekan tubuhku.Seluruh tubuhku menegang dan bertanya kepadanya dengan tidak nyaman, "Ng ... ngapain kamu? Pergilah ke sana, panas sekali."Entah mengapa tubuh pria ini selalu panas sekali.Dalam cuaca seperti ini, biasanya aku tidur sendirian dan selimutnya selalu terasa dingin.Begitu dia memelukku, aku menjadi sangat panik sampai merasa pelukannya seperti berada di dalam kuali.Sentuhan lembut terasa di belakang leherku.Seluruh tubuhku menggigil dan berkata dengan sua
Dokter tidak keceplosan, 'kan?Aku gugup ketika mendengar dia berkata, "Direktur bilang masalahmu tidak akan pernah bisa disembuhkan atau bahkan ...."Aku merasa agak lega dan bertanya kepadanya, "Bahkan apa?""Bahkan dengan kondisi fisikmu, kamu tidak bisa membuat bayi tabung."Aku menatapnya dengan tatapan kosong, merasa terkejut sekaligus bingung.Mengapa dia bersikeras agar aku memberinya anak, sampai memikirkan bayi tabung?"Audrey ...."Dia tiba-tiba tersenyum dan memanggil namaku.Senyuman itu terlihat dingin dan pedih.Dia berkata, "Kita tidak akan punya anak sendiri dalam hidup ini, sudah puas?"Apakah aku salah lihat?Saat mengatakan ini, sorot matanya penuh dengan kesedihan, keputusasaan dan kebencian. Sama seperti hari itu saat berada di depan pintu rumah sakit.Aku menatapnya dengan terkejut tanpa tahu harus berkata apa.Dia tiba-tiba melepas piyamaku dan menindih tubuhku.Seluruh tubuhku menggigil, "Zayn ....""Tidak masalah ...." Dia tersenyum aneh padaku, "Kalau kamu ti
Zayn menatapku dan tersenyum, "Cuma perut tambah besar, ngapain begitu gelisah?"Aku menatapnya dengan alis berkerut.Dia benar-benar tidak terlihat curiga.Sepertinya reaksiku barusan memang terlalu berlebihan dan mudah menimbulkan kecurigaan.Aku langsung mengangkat tanganku dan sengaja mengusap dada Zayn untuk mengalihkan perhatiannya.Sorot matanya langsung menjadi gelap lagi dan nafsu membara.Dia memegang pergelangan tanganku dan menekannya di atas kepalaku, menundukkan kepala untuk menciumku sebelum berkata sambil tersenyum, "Kenapa, kalian para wanita tidak suka orang lain bilang kalian gemuk?""Terus apa kamu suka orang menyebutmu jelek?"Aku menahan godaan jahatnya dan berkata dengan suara rendah, "Semua orang suka kecantikan. Kalau kamu menyebutku gemuk, tentu saja aku akan marah."Zayn tersenyum dan tidak memikirkan masalah itu lagi, melainkan terus fokus pada gerakannya.Hari itu setelah Zayn pergi dengan marah dari gerbang rumah sakit, dia mengabaikanku dan tidak pernah m
Ruangan terang itu sunyi, menunjukkan pria itu telah pergi.Aku sangat senang dan buru-buru turun dari kasur.Tadi malam Zayn menyiksaku begitu kuat sampai kakiku lemas saat mendarat di lantai dan seluruh tubuh terasa seperti hancur.Aku berpegangan pada dinding kaca beberapa saat, lalu perlahan berjalan ke arah ruang tamu.Koper yang sudah tertata rapi diletakkan di sudut ruangan.Aku cukup mandi sebentar dan pergi.Semalam aku samar-samar ingat sepertinya Zayn bertanya mengapa aku mengemasi barangku.Aku lupa bagaimana aku menjawabnya.Untunglah Zayn tidak curiga lagi.Aku mengusap pahaku yang sakit dan berjalan ke arah kamar mandi.Tiba-tiba, pintu dapur terbuka dan seorang pria keluar membawa sarapan yang baru saja dibuat.Aku menatapnya dengan linglung, benar-benar tercengang.Dia ... belum pergi!?Zayn melirik ke arahku dan berkata dengan tenang, "Cepat mandi, lalu datang untuk sarapan."Seluruh tubuhku terasa tidak nyaman.Pesawatku akan terbang pukul 11 dan dia belum berangkat,
Napas itu bagaikan seekor ular, merayapi leherku hingga menggoda seluruh jiwaku.Aku menggaruk tepi wastafel dan bertanya padanya dengan tegang, "Kenapa?"Zayn memelukku erat dari belakang, ciuman hangatnya pun mendarat di leherku.Aku merasa gelisah, berputar-putar sepanjang malam hingga merasa lemas di sekujur tubuhku.Setelah Zayn menciumku seperti itu lagi, aku tidak bisa berdiri lagi dan hanya dapat berpegangan pada pinggiran wastafel dengan sekuat tenaga."Zayn ... jangan lakukan ini ...."Aku berbisik, takut Zayn ingin melakukannya lagi besok pagi.Lagi pula, aku tidak punya waktu.Meski hanya butuh waktu lebih dari setengah jam untuk sampai ke bandara, tetap saja butuh waktu untuk check in bagasi, melewati pemeriksaan keamanan dan sebagainya.Aku menepis tangannya yang memeluk pinggangku.Zayn tiba-tiba membalikkan tubuhku lalu mencium bibirku dengan ganas.Tidak ada kelembutan dalam ciuman ini. Sebaliknya, ciuman ini begitu agresif, seolah-olah berusaha merebut napasku.Aku ta
Herman tersenyum, "Aku cuma mau memperkenalkanmu, dia adalah Audrey yang merupakan adik Irvin.""Ah! Kamu Audrey?"Perawat itu menatapku, lalu berkata dengan cemas dan penuh semangat, "Irvin sering mengungkitmu di depanku, aku juga sangat ingin bertemu denganmu dan Bibi.""Tapi akhir-akhir ini pekerjaanku sangat sibuk, sibuk bersaing untuk mendapatkan posisi, serta sibuk mencari sumber ginjal untuk Bibi. Jadi aku sama sekali nggak punya waktu untuk menemui kalian.""Maafkan aku, aku benar-benar minta maaf karena sudah beberapa kali mengingkari janji. Aku juga selalu ingin minta maaf secara pribadi padamu."Perawat di depanku berkata dengan tulus, yang tidak terdengar seperti sedang berpura-pura.Aku tidak bisa menahan diri untuk berpikir apakah pikiranku terlalu berlebihan?Sebenarnya Sella sama sekali tidak bermasalah, dia memang sangat sibuk sampai mengingkari janji denganku?"Audrey, kamu nggak marah padaku, 'kan?"Saat aku sedang berpikir, perawat di depanku tiba-tiba bertanya deng
Setelah tiba di Rumah Sakit Harmoni, aku langsung mendatangi meja resepsionis di bagian rawat inap."Permisi, apakah ada perawat yang bernama Sella di sini?"Perawat itu menatapku, lalu mengangguk, "Benar, ada perawat bernama Sella di sini. Ada apa kamu mencarinya?""Ada masalah pribadi yang mau kukatakan padanya, bolehkah tolong panggil dia untuk bertemu denganku?""Maaf, Nona. Saat ini waktu Sella bekerja, dia sepertinya sedang sibuk.""Kalau begitu aku akan menunggu di sana, tolong kasih tahu aku kalau dia sudah nggak sibuk, terima kasih."Setelah berkata pada perawat, aku duduk di kursi untuk menunggu.Tidak lama kemudian, seseorang memanggil namaku, "Nona Audrey?"Aku tertegun sejenak, aku melihat Herman sedang menghampiriku begitu menoleh.Herman masih mengenakan jas putih, temperamennya terlihat elegan dan lembut. Sepasang kacamata berbingkai emas membuat Herman terlihat seperti orang yang mengetahui sopan santun."Nona Audrey, kenapa kamu datang ke rumah sakit? Apakah kamu data
Aku mengabaikannya.Irvin memapahku sambil mengerutkan bibirnya, "Sudahlah, kamu pasti punya kesempatan untuk bertemu dengannya di masa depan. Apa yang kamu takuti?""Minggir!"Aku menepis tangannya dengan marah, lalu berjalan ke depan.Alasan kenapa aku sangat ingin menemui Sella adalah untuk memastikan bahwa tidak ada masalah pada sumber ginjal ibuku.Hanya saja, kakakku sama sekali tidak mengerti.Meskipun aku mengatakan ini padanya, Irvin akan menyalahkanku karena terlalu curigaan dan berprasangka buruk pada pacarnya.Singkatnya, aku sama sekali tidak ingin berbicara dengan Irvin.Otak seseorang yang sudah dibodohi dengan cinta benar-benar sangat menakutkan.Menyebalkan sekali.Irvin mengikutiku sampai ke lantai bawah, dia berlari untuk menarikku saat melihatku terus berjalan ke depan tanpa menoleh ke belakang, "Apa yang kamu lakukan? Ayo, aku akan mengantarmu pulang."Aku menghempaskan tangannya, "Nggak perlu, kamu pulang sendiri saja!""Huh, apa lagi yang mau kamu lakukan?!"Irvi
Aku kembali menatap rumah ini.Jika dilihat dari lingkungan rumah ini, Sella sepertinya adalah perempuan yang mencintai kebersihan dan menjalani kehidupan yang elegan.Kalau bukan karena Sella selalu mengingkari janji dan bertindak dengan misterius, aku juga tidak ingin mencurigainya.Hanya saja, sebentar lagi aku akan segera bertemu dengannya!Saat berpikir seperti ini, aku menatap ke arah kamar tidur utama.Hanya saja, aku melihat Irvin berjalan keluar dari kamar dengan ekspresi kecewa pada detik berikutnya.Aku mengerutkan keningku, kurang lebih sudah mengetahui apa yang telah terjadi.Aku menghampiri Irvin, lalu mengangkat sudut mulutku, "Dia nggak ada di dalam, 'kan?"Irvin tidak mengatakan apa pun.Aku mendengus, "Terlihat jelas kalau dia melakukan kesalahan dan nggak berani menemui kita.""Jangan bicara seperti itu."Irvin masih membela wanita itu, "Sella punya urusan mendadak, jadi dia nggak bisa menunggu kita di rumah, dia bahkan meninggalkan catatan untukku.""Dia juga kirim
Irvin menyipitkan matanya, lalu menatapku dengan tatapan tidak puas, "Lihatlah, kamu mulai curigaan lagi. Kampung Sella memang di desa pegunungan, tapi itu nggak berarti keluarganya miskin, nggak berarti Sella juga nggak bekerja, 'kan?""Nenek kita juga tinggal di kota yang terpencil, tapi itu nggak berati Ibu miskin, 'kan?"Aku mengerutkan bibirku tanpa mengatakan apa pun.Ucapannya masuk akal juga.Lupakan saja, aku akan mengetahui situasinya setelah naik ke atas.Irvin membeli beberapa makanan ringan dan buah-buahan.Aku mengeluarkan hadiah dari dalam mobil, lalu memasuki apartemen bersamanya.Dekorasi apartemen ini lumayan bagus, seperti dekorasi hotel bintang lima.Kami menaiki lift hingga ke lantai 15.Irvin membawaku ke depan sebuah pintu di ujung koridor.Aku mengira Irvin ingin mengetuk pintu, tapi siapa sangka dia menoleh untuk berkata padaku, "Audrey, ingatlah untuk tersenyum. Jangan pasang ekspresi sedatar ini, kalau nggak Sella akan curiga kalau kamu nggak menyukainya."Ak
Aku menatap Irvin dengan tatapan curiga, "Akhirnya pacarmu mau bertemu dengan kita? Jangan-jangan kamu nggak bilang padanya kalau kamu membawaku?""Ck!"Raut wajah Irvin langsung memasam. "Lihatlah, kamu meragukan kebaikan orang lain dengan pikiran jahatmu. Aku sudah bilang padanya kalau aku akan bawa kamu untuk menemuinya.""Awalnya Sella bilang kondisinya masih buruk, rumahnya juga sangat berantakan, dia takut meninggalkan kesan yang buruk padamu.""Kemudian aku bilang pada Sella kalau kamu nggak keberatan, baru dia memperbolehkan kita pergi ke rumahnya.""Tapi kamu malah memikirkan hal-hal yang negatif tentangnya lagi."Aku melirik Irvin tanpa mengatakan apa pun.Berdasarkan sikap Irvin yang selalu melindungi pacarnya, semua ucapanku salah di matanya.Lupakan saja, aku hanya ingin menemui Sella untuk memastikan dia tidak bermasalah.Aku berharap Sella benar-benar tidak bermasalah dan tulus menyukai Irvin. Dengan ini, sumber ginjal yang ditemukan kemungkinan besar tidak bermasalah.A
Arya berpikir sejenak, lalu berkata sambil tersenyum, "Aku nggak kenal, kenapa?""Herman bilang Sella adalah adik seperguruannya, jadi aku berpikir kamu kemungkinan mengenal Sella karena kamu berteman dengan Herman.""Aku nggak kenal," ujar Arya. Kemudian dia berkata sambil tersenyum, "Herman adalah pria yang tampan, jadi ada banyak adik seperguruan yang mengejarnya, aku nggak terlalu memerhatikan hal ini. Mungkin aku pernah bertemu dengan Sella yang kamu maksud, tapi aku nggak punya kesan apa pun pada namanya."Arya tertegun sejenak, lalu bertanya, "Ada masalah apa, Audrey?"Aku menceritakan semuanya pada Arya.Arya terdiam selama beberapa saat, lalu bertanya dengan suara yang berat, "Bagaimana situasi Bibi sekarang?""Kondisi ibuku sudah stabil sekarang, tapi sebelum ini dokter bilang kalau ibuku cuma punya waktu enam bulan lagi. Kalau kami masih nggak menemukan ginjal yang cocok untuk melakukan transplantasi ginjal, ibuku mungkin akan mengalami gagal ginjal.""Jadi aku mau tanya ten
Saat aku pergi ke rumah sakit untuk melakukan pemeriksaan sebelum ini, aku tidak sengaja melihat Arya sedang berbicara dengan seorang dokter.Setelah dipikir-pikir, dokter yang berbicara dengan Arya sepertinya adalah Dokter Herman.Pantas saja aku merasa Herman sangat familier.Saat itu aku hanya menatap mereka dari kejauhan, jadi kesanku pada Herman tidak terlalu kuat. Tapi tampang dan temperamen Herman sangat menonjol, jadi kurang lebih aku memiliki sedikit kesan tentangnya.Ternyata Herman adalah teman Arya?Apakah Arya meminta bantuan Herman untuk membuat hasil pemeriksaanku yang menunjukkan bahwa aku tidak bisa mengandung?Saat sedang berpikir, Irvin tiba-tiba menarik lenganku, "Kenapa kamu malah bengong? Aku sedang bicara denganmu."Aku menarik diri dari pikiranku, lalu meliriknya, "Kenapa?""Sella jatuh sakit karena ibu kita, jadi aku mau menjenguknya. Apakah kamu mau pergi bersamaku?""Baiklah."Tentu saja aku akan pergi dengan Irvin, karena aku sangat ingin melihat wajah pacar
"Ya, kami lulus dari sekolah kedokteran yang sama, saat ini Sella bekerja sebagai perawat magang di rumah sakit kami."Aku ingin bertanya lebih banyak, tapi kakakku menarik lenganku dan berbisik kepadaku, "Apa yang kamu lakukan? Bertanya hal-hal yang lain. Tidak sopan sama sekali.""Dokter Herman sudah membantu Ibu menemukan ginjal yang cocok.""Kamu hanya perlu mengucapkan terima kasih banyak pada Dokter Herman. Kenapa tanya yang lainnya?"Aku melirik kakakku.Apa kakakku pikir mudah untuk menemukan ginjal?Herman tampaknya melihat kecurigaanku.Herman mengeluarkan kartu identitas kerjanya sambil tersenyum padaku. "Nona Audrey, ini kartu identitas kerjaku."Aku melihatnya sekilas.Herman, Dokter Penyakit Dalam, Rumah Sakit Harmoni.Aku menuliskan nama rumah sakit itu dan memuji Herman, "Profesor Herman benar-benar hebat.""Nona Audrey, terima kasih atas pujianmu." Herman menyingkirkan lencana kerjanya dan berkata padaku, "Aku baru saja memeriksakan ibumu secara menyeluruh. Kondisi fis