"Tentu saja. Meskipun Cindy cuma seorang sekretaris kecil, Pak Zayn memberinya hak istimewa yang lebih besar daripada ketua tim sekretaris.""Saat Cindy memasuki kantor CEO, dia tidak perlu lapor atau mengetuk pintu.""Yang paling membuat orang iri adalah Pak Zayn sangat baik padanya. Pernah ada saat dia sedang beristirahat di kantor CEO, tiba-tiba saja dia bilang ingin makan kue di toko tertentu. Pak Zayn sendiri langsung pergi mengantri lebih dari sejam untuk membelinya.""Kok kamu tahu dia mengantri di luar selama lebih dari sejam?" tanyaku tanpa ekspresi, tidak menyangka Zayn bisa begitu sabar.Tentu saja, mungkin semuanya akan berbeda kalau dia benar-benar mencintai Cindy.Amel tertegun sejenak dan berkata, "Mereka yang menyebarnya dan mengatakan hal yang sama. Mereka masih menebak akan ada hal baik yang terjadi pada Pak Zayn dan Cindy.""Jadi lihatlah, mereka semua menyanjung Cindy seperti ini karena mereka percaya kelak yang akan menjadi istri CEO perusahaan ini adalah Cindy."A
Entah sejak kapan Cindy sudah tiba dan sedang duduk di kursi Zayn.Entah ke mana Zayn pergi, tetapi ada suara air terdengar di ruang tunggu.Orang yang membukakan pintu untukku adalah Lily si ketua tim sekretaris.Dia mengerutkan kening dan melirik ke arahku dengan jijik sebelum memuji Cindy, "Cindy, kamu benar-benar wanita keberuntungan Pak Zayn. Kamu menyembuhkan sakit perut Pak Zayn begitu datang. Tidak seperti seseorang yang cuma menambah masalah Pak Zayn."Yang dia maksud dengan 'seseorang' itu jelas adalah aku.Aku tidak berkata apa-apa, tetapi tanganku tanpa sadar mencengkeram obat sakit perut dengan lebih erat.Cindy tersenyum malu-malu dan berkata, "Aku tahu betul kondisi Kak Zayn dan dia tidak minum obat perut biasa, cuma obat yang kubelikan untuknya.""Makanya aku selalu membawa obat sakit perut ini.""Kamu begitu perhatian, Cindy. Siapa lagi yang Pak Zayn sukai kalau bukan kamu?"Saat ini Zayn keluar dari ruang tunggu.Sepertinya dia baru saja mencuci muka, ada tetesan air
Aku sampai bergegas membelikan obat untuknya dan pergi mengantarkannya dengan cemas.Heh, Audrey oh Audrey, apa kamu sudah gila?Aku tidak ingin memedulikan Zayn lagi.Meskipun dia sakit sampai sekarat, aku juga tidak akan mengkhawatirkannya lagi.Aku membuang obat itu ke tempat sampah, lalu menarik kursiku dan terus bekerja.Saat jam pulang kerja pada siang hari, Zayn dan Cindy berjalan keluar dari kantor CEO secara berdampingan.Cindy melirik ke arahku, lalu bertanya kepada Zayn, "Kak Zayn, hari ini kita akan makan di mana? Lihatlah Nona Audrey semakin kurus belakangan ini, bagaimana kalau kita mengajaknya untuk bergabung dengan kita?"Ayolah, si wanita licik mencari masalah lagi.Aku mendongak dan berkata pada Amel yang sedang mengemasi tasnya, "Tunggu aku, aku akan pergi ke kantin bersamamu."Amel tertegun sejenak, lalu melirik ke arah Zayn dan berkata sambil tersenyum padaku, "Ka ... kamu juga mau makan di kantin?""Iya, ayo langsung pergi ke kantin untuk makan. Setelah makan, kit
Begitu aku selesai berbicara, suara dingin tiba-tiba terdengar dari belakang.Aku dan Amel langsung membelalakkan mata.Amel menatapku dengan ngeri dan berkata tanpa suara, "Masa Pak Zayn ada di belakang kita?"Aku juga merasa tidak mungkin. Lagi pula, bukankah Zayn pergi makan bersama Cindy?Dia juga seorang CEO yang bermartabat, mustahil bisa datang ke kantin karyawan ini, 'kan?Akan tetapi, suara dingin barusan jelas-jelas suara Zayn.Seluruh tubuh Amel kaku dan tangan yang memegang lenganku agak menggigil."Ba ... bagaimana ini?"Amel berbisik padaku.Aku mengatupkan bibirku dan berkata, "Abaikan dia, ayo makan.""T ... tidak boleh begitu, 'kan? Sepertinya barusan dia bertanya padamu.""Tidak apa, cukup pura-pura tidak dengar."Saat aku buru-buru menarik Amel ke kantin.Sesosok tubuh tinggi tiba-tiba menghadang di depanku yang tidak lain adalah Zayn.Wajah pria itu muram dan ada tubuhnya memancarkan aura permusuhan.Amel sangat ketakutan sampai buru-buru melepaskan diri dari tangan
Akan tetapi begitu melihat Zayn, Amel buru-buru menarik tangannya.Aku bergegas berjalan ke arah Amel.Amel adalah wanita yang kuat dan dia menerobos kerumunan dalam beberapa detik, mengambil dua piring makan dan menarikku untuk berbaris di konter.Dia melihat ke arah Zayn dan berbisik kepadaku, "Kok Pak Zayn benar-benar datang ke kantin karyawan untuk makan?""Siapa tahu? Mungkin bosan makan di luar."Amel mengusap wajahnya dengan panik dan berkata, "Dia pasti mendengar apa yang baru saja kubicarakan denganmu. Bagaimana ini? Apa dia akan memecatku?""Tidak. Kalau ingin memecatmu, dia pasti akan mengusirmu saat itu juga.""Oh ...." Amel menghela napas lega, lalu mengangguk dan berkata, "Baguslah kalau begitu, tadi benar-benar membuatku takut setengah mati."Saat berbicara, Amel melihat ke arah Zayn lagi dan tiba-tiba berkata kepadaku dengan wajah iri, "Aih, aku sangat iri pada Cindy. Lihat, dia cukup duduk cantik di sana dan ada orang yang melayani mereka. Tidak seperti kita yang harus
Aku mengerutkan kening.Apakah wanita jahat ini benar-benar akan mati kalau tidak menggangguku sehari saja?Aku menyampingkan tubuh, setengah memunggungi mereka dan berkata kepada Amel, "Panci besar ini benar-benar enak, jauh lebih enak daripada panci kecil milik seseorang. Hm, aku suka makan ini."Amel tersenyum takut-takut padaku, tidak berani mengucapkan sepatah kata pun.Tidak lama, dengusan dingin Zayn terdengar dari samping, "Ada orang yang tidak tahu diuntung. Kalaupun tidur di jalan dan mati kelaparan, dia tidak pantas dikasihani."Heh!Aku diam-diam mencibir, siapa yang ingin dikasihani oleh mereka? Benar-benar kepala besar.Aku mengabaikan mereka dan tetap fokus pada makanan dengan kepala tertunduk.Aku malah merasa kasihan pada Amel. Dia tidak berani makan dengan Zayn di sana. Dia hanya makan dengan gigitan kecil, sangat sopan dan perlahan.Paha ayam rebus itu saja dia hancurkan, lalu mengambil dagingnya sebelum dimasukkan ke dalam mulutnya sedikit demi sedikit yang membuatk
"Sekarang aku merasa ingin muntah, jadi kamu bisa ambil kembali makanan ini dan makan sendiri. Jangan sampai nafsu makan kalian terpengaruh karena aku muntah di sini."Amel menatapku dengan wajah tercengang, kagum dan takut.Wajah Cindy pucat pasi dan dia berkata dengan sedih, "Aku juga merasa kasihan padamu, jadi ....""Siapa yang mau dikasihani olehmu? Jangan bersikap seolah-olah kamu mengasihani segalanya sepanjang hari, oke? Tidak merasa jijik?""Audrey!"Begitu aku selesai berbicara, Zayn tiba-tiba memberiku peringatan dingin.Aku diam-diam tertawa mencela diri sendiri.Lihatlah, aku tidak boleh membicarakan wanita licik ini. Zayn akan cemas kalau aku membicarakannya.Aku harus diintimidasi oleh wanita licik ini, 'kan?Aku sangat kesal sampai tidak mau memperhatikan mereka, jadi aku menarik Amel pergi.Suara sedih dan tercekat Cindy terdengar dari belakang, "Kak Zayn, aku punya niat baik. Kenapa Nona Audrey selalu bersikap seperti ini?"Aku tidak mendengar jawaban Zayn, tetapi aku
Untungnya, saat ini alarm kelebihan beban lift berbunyi.Aku tanpa sadar berkata, "Siapa pun yang masuk terakhir keluar."Zayn tidak bergeming, hanya menatapku dengan jenaka dengan tatapan dingin.Saat ini semua orang yang di dalam mulai berbondong-bondong keluar satu per satu.Bahkan Amel bergegas keluar bersama kerumunan.Aku tertegun sejenak dan saat sadar, semua orang di lift telah pergi dan hanya aku yang berdiri dengan bodohnya di sana.Aku langsung menundukkan kepala dan bergegas keluar.Akan tetapi, tidak kusangka ada lengan panjang yang terulur di depanku, lalu jarinya langsung menekan tombol pintu."Kak Zayn ...."Saat Cindy bergegas mendekat, pintu lift sudah tertutup.Jadi raut wajah menyedihkannya yang hampir menangis langsung dihalangi pintu lift.Semuanya terjadi begitu cepat. Sebelum aku sadar, pria di depan menekan bahuku dan mendorongku ke dinding lift.Saat lift sedang naik, aku merasa pusing dan menatapnya dengan alis berkerut, "Mau apa kamu?""Tidak ada."Zayn mena
Malam ini, aku susah tidur.Saat bangun keesokan harinya, aku merasa tidak enak badan.Arya pertama-tama mengajakku ke tempat terdekat untuk sarapan lalu mengantarku kembali ke Kota Jenara.Saat mobil memasuki kawasan perkotaan Kota Jenara, Arya bertanya padaku, "Mau ke mana?"Aku menundukkan mataku sambil melihat ke arah ponselku.Aku mengirim pesan kepada Zayn di pagi hari, tapi Zayn tidak membalas. Zayn juga tidak menjawab teleponku.Tidak ada pesan atau tanda panggilan di telepon, senyap seakan-akan tidak ada internet.Aku memandang ke luar jendela dengan sedih, tidak tahu harus ke mana.Zayn jelas tidak ingin memperhatikanku. Jika aku menemuinya sekarang, mungkin Zayn tidak mau bertemu denganku.Arya melirikku sambil menghela napas. "Kamu tidak tahu harus pulang ke mana, jadi sebaiknya kamu temani aku menemui Yosef lebih dulu."Aku tercengang. "Kamu ... akan menemui Yosef?"Arya tidak mengatakan apa-apa, hanya memutar balik mobilnya dan melaju menuju penjara.Aku memandangi wajahn
Namun ketika aku mengejarnya, Zayn sudah masuk ke dalam mobil.Aku bergegas menghampiri, tapi Zayn langsung menyalakan mobilnya dan mobil itu melaju dengan sangat cepat."Zayn!"Aku meneriakkan namanya keras-keras dari belakang mobil, sambil merasakan keluh kesah yang amat dalam di hatiku.Zayn tidak mendengarkan penjelasanku.Zayn sama sekali tidak mau mempercayai apa yang aku katakan.Entah seberapa keras aku meyakinkannya bahwa dialah satu-satunya orang yang kucintai, dia tetap saja tidak percaya.Tiba-tiba aku tidak tahu harus berbuat apa?Aku tidak yakin sejauh mana kurangnya kepercayaan padaku ini berlanjut.Aku melihat bagian belakang mobil menghilang di balik kegelapan malam, air mata langsung mengaburkan pandanganku.Bukankah Zayn bilang dirinya menyukaiku?Kenapa tidak percaya padaku?"Audrey?"Arya akhirnya kembali. Arya keluar dari mobil dengan tergesa-gesa dan dengan cemas membalikkan badanku. "Kenapa kamu keluar dengan pakaian yang tipis? Apa yang terjadi?""Zayn barusan
Zayn akhirnya berbicara, suaranya tegang, tapi mengatakan kata-kata yang tidak dapat aku mengerti.Aku mengerutkan kening sambil menatapnya. "Ingat apa?""Masa lalumu dengan Arya saat kamu masih muda."Aku segera menggelengkan kepalaku. "Tidak, aku baru sadar setelah aku datang ke sini bahwa aku bertemu denganmu di kota ini, rumahmu juga sangat dekat dengan rumah nenekku."Zayn menatapku tanpa berkedip, matanya yang gelap membuatku merasa sedikit gelisah.Aku memeluk lengannya, suaraku pun menjadi lembut. "Zayn, ada apa denganmu? Apa kamu tidak suka aku keluar sendirian dengan Arya?"Kalau begitu aku tidak akan pergi keluar dengannya lagi, tolong jangan marah ya?""Bagaimana dengan lukamu? Bagaimana bisa kamu kabur begitu saja dari rumah sakit?"Sambil berkata demikian, aku membuka pakaiannya lalu memandangi lukanya dengan cemas.Untungnya lukanya tidak terbuka kali ini, kain kasa terbalut dengan rapat.Namun, Arya terluka parah, kenapa tidak tinggal di rumah sakit saja dan untuk datan
Zayn tidak mungkin bisa tidur seharian tanpa mengecek ponselnya.Aku mendesah lalu mengiriminya pesan.[ Kamu sedang apa?]Lumayan lama tidak ada jawaban dari Zayn.Aku menatap ponsel, berencana menunggu beberapa menit lagi. Zayn tidak menjawab, tapi aku tertidur.Aku merasa pusing, kepalaku terasa akan meledak.Aku meringkuk dalam selimut, memejamkan mata dan tak lama kemudian tertidur.Mungkin karena aku berada di tempat baru yang asing jadi tidak merasa cukup aman, jadi aku tidur dengan sangat tidak nyaman.Selalu ada berbagai suara yang terngiang di telingaku.Suara-suara itu aneh serta begitu mendesak."Lari, Audrey, cepat lari ....""Bagaimana denganmu? Ayo lari bersama ke kota.""Hehe, kedua anak ini tampan sekali, mereka pasti akan laku keras, cepat tangkap mereka! Jangan biarkan mereka kabur."Entah aku sedang bermimpi atau apa, tapi rasanya seperti ada film yang diputar di kepalaku, dengan gambar-gambar yang tak terhitung jumlahnya melintas.Gambarnya buram serta berantakan.
Aku tidak mengatakan apa pun.Arya cemberut, melangkah mundur dan mendorong pintu kamar Zayn.Di musim hujan, hari dengan cepat menjadi gelap, di luar pun sudah gelap.Saat pintu terbuka, ruangan menjadi gelap.Arya menyalakan lampu.Aku melihat ruangannya sederhana dan rapi.Meja di dekat jendela dipenuhi tumpukan buku, ada lampu meja kecil di atas meja, menciptakan suasana semangat belajar yang kuat.Zayn seharusnya sudah kembali ke Keluarga Hale sejak lama dan tidak kembali ke sini selama bertahun-tahun.Namun, ruangan itu masih sangat bersih, tidak ada debu sama sekali.Aku berjalan ke meja untuk membolak-baliknya.Pekerjaan rumah dan catatan Zayn sebelumnya langsung terlintas di mataku.Tulisan tangan Zayn indah sejak saat itu, terlihat tegak, bersih serta rapi.Aku menatap kursi di depan meja, tanpa sadar dalam pikiranku muncul gambaran seorang pemuda yang tengah membungkuk di atas meja sambil memeriksa pekerjaan rumahnya. Aku akhirnya tersenyum.Suara Arya tiba-tiba menyadarkank
Aku mengambil bingkai foto itu, menatap orang di dalam foto itu dengan rasa tidak percaya.Dilihat dari foto ini saja, sepertinya aku sangat menyukai Arya dan tidak menyukai Zayn saat itu.Zayn tampaknya juga tidak menyukaiku."Ayo kita ke atas," kata Arya sambil membungkuk membersihkan koridor.Aku menyimpan semua potret itu dan mengikutinya ke atas.Meskipun aku tidak tinggal lama di rumah nenekku, rumah bobrok ini menyimpan banyak kenangan indah tentangku.Sebelum kembali ke sini, aku tidak punya perasaan apa pun.Begitu kembali ke sini, semua kenangan itu kembali membanjiri pikiranku. Kehangatan serta keindahan yang tak akan pernah bisa kembali akhirnya berubah menjadi kesedihan, membekas di rumah bobrok ini.Tanaman pot di balkon sudah lama mati. Aku masih ingat saat itu aku meminta Nenek membelikannya untukku.Aku membuka jendela balkon, debu pun beterbangan.Arya datang untuk membantuku mengipasi debu.Arya berdiri di sampingku, menatap ke kejauhan sambil bergumam, "Kota ini ban
Pintu kayu itu sudah bengkok dan jatuh setelah didorong. Debu beterbangan di mana-mana hingga menghalangi pandangan.Arya berdiri di hadapanku, terlebih dahulu menyingkirkan rumput liar di halaman.Arya membawaku ke dalam, pemandangan yang familier itu membawa kembali banyak kenangan.Keindahan dalam pikiranku sangat kontras dengan pemandangan menyedihkan di hadapanku, hatiku pun mulai merasa sedih.Nenek sudah tiada, tidak akan pernah bisa mendapatkan kehangatan serta keindahan itu lagi.Ada pohon jeruk di halaman. Pohon itu sudah tumbuh sangat besar, ada jejak buah jeruk yang jatuh hingga busuk di tanah.Arya berdiri di samping pohon jeruk dan berkata dengan heran, "Pohon ini masih ada."Aku menatapnya dengan bingung. "Kenapa kamu bilang begitu?""Karena aku yang menanamnya." Arya tersenyum padaku lalu menambahkan, "Kamu dan aku yang menanamnya bersama."Aku terkejut dan bertanya, "Kita menanamnya?"Arya mengangguk, alisnya tampak mengenang seakan-akan sedang mengingat sesuatu.Seper
Setelah melihat hal ini, Rani tidak memaksa lagi dan segera berkata padaku serta Arya, "Kalian semua sudah melihatnya, dia memang bersujud di kuburan ini. Saat kalian kembali nanti, kalian harus meminta Zayn untuk mencabut gugatannya.""Benarkah?"Tatapan dingin Arya tertuju pada Anto.Arya mengembuskan asap rokok dan tertawa, "Kenapa Pak Anto tampak sangat enggan? Apa begitu sulit minta maaf pada ayahku?"Ayahnya melotot dingin ke arah Arya. "Aku sudah bersujud, apa lagi yang kamu inginkan?""Ya, kamu memang sudah berlutut, tapi aku rasa ayahku tidak akan menerima permintaan maaf yang terpaksa ini.""Sepertinya aku harus bicara dengan Zayn agar jangan begitu mudah mencabut gugatannya ...."Setelah mendengar ini, Rani menjadi cemas dan dengan cepat menarik lengan Anto lalu berteriak, "Cepatlah berlutut, akui kesalahanmu! Aku sudah lama bilang padamu bahwa kamu harus tulus! Cepatlah!"Ah!" Ayahnya mendorong Rani dengan kesal dan melotot ke arah Arya.Arya tersenyum acuh tak acuh. "Kami
Kedua sosok itu adalah Anto dan Rani.Ayahnya menatap makam di depannya dengan ekspresi kaku.Rani mendorongnya dengan keras, seolah mendesaknya untuk segera berlutut.Ayahnya memasang ekspresi muram, seolah sudah bertahan sekian lama, sebelum akhirnya berlutut perlahan.Rani segera mengeluarkan ponsel untuk mengambil foto, seolah-olah ingin menyimpannya sebagai bukti untuk ditunjukkan pada Zayn.Arya melihat pemandangan di depannya dan tiba-tiba tertawa, nada bicaranya penuh dengan ejekan."Lihat, pria tua ini sangat mencintai putra bungsunya.""Orang egois seperti dia bahkan rela berlutut di makam ayahku demi putra bungsunya.""Haha, sejujurnya, aku merasa sedikit simpatik terhadap Zayn. Keberadaannya sungguh menyedihkan."Aku merasa sangat tidak nyaman saat mendengar ini.Aku segera berkata, "Keberadaannya sama sekali tidak menyedihkan. Aku mencintainya, itu sudah cukup."Tangan Arya yang memegang kemudi tiba-tiba mengencang.Tiba-tiba Arya menatapku dengan serius, matanya dipenuhi