Lydia pulang ke rumah untuk mengemasi barang sekaligus memberitahu ayah dan kakak-kakaknya perihal masalah ini. Di sisi lain, Dylan meminta Tony untuk mengurus prosedur kepulangannya agar dia bisa memulihkan diri di sana. Sekarang Dylan merasa sangat antusias dengan lukanya ini. Tony buru-buru mengurus prosedur pemulangan Dylan. Kemudian dia juga menyuruh orang untuk membersihkan Clear Villa dengan cepat. Dylan berjalan dengan menggunakan kursi roda ke sana kemari untuk memeriksa keadaan rumah sesampainya dia di sana. Dia tidak membiarkan ada debu sedikit pun yang tertinggal di sana. Bahkan sampai sudut-sudut ruangan juga tidak luput dari pemeriksaannya. Bi Ratna sudah bekerja di rumah ini sejak Lydia dan Dylan belum bercerai. Dylan berpikir kalau Lydia sudah terbiasa dengan kehadiran Bi Ratna di sini. Oleh karena itu, Dylan tidak pernah mengganti Bi Ratna. Bi Ratna hanya bisa berdiri dengan tubuh gemetaran sambil memperhatikan majikannya memeriksa setiap sudut rumah. “Barang-bar
Bi Ratna tercengang dengan keganasan Ruben. “Siapa … siapa kamu?” tanya Bi Ratna gugup sambil melangkah mundur satu langkah.Namun, Ruben sama sekali tidak ingin memperkenalkan dirinya. Dia langsung saja membuka pintu dan mempersilakan Lydia untuk melangkah masuk ke dalam rumah seraya berkata, “Silakan, Bu Lydia.”Lydia bergegas masuk dengan raut wajah datar tanpa berniat untuk mengungkapkan kerinduannya kepada Bi Ratna. Lagi pula, bagaimanapun juga Bi Ratna adalah mata-mata dari keluarga Tansen. Jadi, dia sama sekali tidak peduli dengan tatapan Bi Ratna yang dipenuhi dengan rasa kaget dan cemas. Lydia memilih untuk masuk ke dalam rumah tanpa banyak basa-basi lagi.Suara langkah sepatu hak tinggi Lydia yang bertumbukan dengan lantai terdengar sangat manis di telinga Dylan. Lydia melihat Dylan berada di ruang keluarga dengan mengenakan pakaian rumah berwarna abu-abu. Wajahnya masih terlihat pucat, tapi garis wajahnya masih tetap terlihat tegas dan penuh wibawa. Kaki kanan Dylan masih
Clear Villa adalah rumah pernikahan bagi Lydia dan Dylan. Rumah ini terdiri dari 2 lantai yang sangat luas dan dipenuhi dengan cahaya. Selain itu, terdapat lift yang menghubungkan dua lantai di rumah ini, jadi Dylan juga tidak terlalu kesusahan dalam beraktivitas dengan kursi rodanya di rumah ini. Lydia tiba di lantai atas dan langsung masuk ke kamarnya. Kamar ini masih sama seperti sebelumnya. Dia merasa semua kenangan itu baru saja terjadi kemarin. Semua ingatan akan kehidupannya di rumah inilah yang membuat Lydia tertekan, kesal dan sesak napas di saat yang bersamaan. Dia merasa seperti ada batu besar yang menindih dadanya dan merobek hatinya yang terdalam.Lydia masih ingat dengan jelas, hal yang paling disukainya adalah duduk di balkon kamarnya sambil melihat ke luar untuk menunggu mobil Dylan muncul dari pintu gerbang. Selama mereka menikah, Dylan tidak pernah muncul ataupun masuk ke dalam kamar Lydia. Namun, entah mengapa Lydia selalu saja mengingat Dylan. Hanya ada Dylan seo
Ada rasa canggung yang menyebar di udara saat ini. Dylan sadar kalau dia baru saja bermain api dengan mengatakan hal itu pada Lydia. Namun, Dylan harus mencobanya agar tahu jawaban dari rasa penasarannya ini.Lydia tertegun selama beberapa saat. Kemudian dia menopang dagunya dengan tangan lalu berkata sambil tersenyum tidak tulus, “Apa tanganmu patah juga?”Walaupun senyuman itu tidak terlihat tulus, Dylan tetap saja menyukainya. Dylan bisa melihat kalau senyuman itu bukanlah suatu bentuk kemarahan dari Lydia. Namun, tatapan matanya menunjukkan ada sesuatu yang diabaikan di dalam hatinya. “Kenapa sih kamu bersikap dingin terus sama aku? Apa kamu nggak bisa mengabulkan permintaanku ini?” tanya Dylan dengan nada suara kecewa. Lydia langsung mengerutkan keningnya. Ada apa dengan Dylan saat ini?Mungkin Lydia sudah meninggalkan Dylan sejak tadi kalau saja bukan karena Dylan terluka. Kenapa juga Lydia harus menyaksikan Dylan yang sedang bermain drama ini? Lagi pula akting laki-laki ini ju
Tatami itu cukup luas dengan pencahayaan yang cukup bagus. Lydia terus mendorong Dylan tanpa melontarkan sepatah kata pun dari mulutnya. “Mau apa lagi?” tanya Lydia setelah tiba di depan tatami.“Aku nggak bisa duduk di sini terus. Aku mau duduk di sana yang lebih nyaman daripada di kursi roda,” jawab Dylan. Lydia langsung menghentikan langkahnya lalu mengerutkan kening seraya berkata, “Tapi, aku nggak bisa angkat kamu ke sana.”Mungkin Lydia bisa, tapi kemungkinan besar Dylan akan cacat permanen. Sepertinya Dylan ini memang sengaja mencari masalah. Dylan berusaha sekuat tenaga bangkit dari kursi roda dengan bertumpu di kursi roda dan kaki kirinya. Dylan ingin bergerak sedikit demi sedikit sampai dia bisa mencapai tatami yang dia tuju. Namun. Keringat sudah mengucur di dahinya sebelum dia tiba di tatami itu. Lydia mengerutkan keningnya dan memutuskan untuk membantu Dylan. Dia melangkah dengan cepat ke depan lalu menopang tubuh laki-laki itu agar tidak jatuh ke atas lantai. Selur
“Pak Dylan sudah menyuruh saya untuk tidak mengganggu mereka di lantai atas. Bu Lydia sih kelihatan sangat dingin sama Pak Dylan. Tapi, saya yakin kalau dia cuma pura-pura saja. Pasti itu salah satu caranya biar bisa mendapatkan Pak Dylan ….”Ternyata Bi Ratna yang sedang berbicara dengan berbisik.“Klik!”Tiba-tiba terdengar suara lampu dinyalakan. Bi Ratna berdiri dengan wajah terkejut sampai dia menjatuhkan ponselnya ke atas lantai. Lydia berhasil melihat nama yang tertera di ponsel Bi Ratna dengan sangat jelas. “Bu Lydia!”Ternyata Bi Ratna sedang berbicara dengan Erika melalui telepon. Bi Ratna benar-benar panik sampai dia berkata dengan tergagap, “Bu … Bu Lydia kenapa ada di sini?”Lydia menatap Bi Ratna dengan tatapannya yang dingin dan gelap. Dia langsung saja mengambil sekotak susu dan menuangkannya ke dalam cangkir lalu pergi tanpa melontarkan sepatah kata pun kepada Bi Ratna. Tubuh Bi Ratna gemetar ketakutan. Dia mengambil ponselnya dan merasa semakin panik ketika melih
Dylan sangat marah setelah kembali ke kamarnya sampai membuat dirinya tidak bisa tidur. Sebenarnya, Dylan ingin menggunakan waktu ini untuk memupuk perasaan di antara dirinya dan Lydia. Namun, dia tidak bisa melakukannya karena ada Ruben yang selalu saja ada di mana-mana. Semua ini terasa memilukan dan menyedihkan!*** Setelah malam berlalu, Lydia tidak bisa tidur dengan nyenyak malam ini. Namun, ternyata fajar sudah menyingsing ketika dia membuka matanya. Tidak lama kemudian, Lydia mendengar suara ketukan pintu di depan pintu kamarnya. Lydia segera mengeluarkan suara yang menandakan kalau dia mengerti. Lydia memutuskan untuk mengenakan kemeja berwarna putih dan rok berbentuk A berwarna hitam. Kemudian dia berjalan menuruni tangga dengan raut wajah malas yang membuatnya terlihat lebih hangat dan lembut dari biasanya. Dylan sudah duduk di meja makan ketika dia melihat kemunculan Lydia. “Selamat pagi, Lydia,” sapa Dylan dengan mata berbinar.Lydia mengangguk lalu bertanya sambil be
“Hal yang paling keterlaluan adalah perempuan itu sampai lupa untuk memberikan obat buat Pak Dylan. Bahkan dia juga memberikan obat dengan dosis 2 kali lipat kepada Pak Dylan pagi ini karena kecerobohannya tadi malam. Perempuan ini benar-benar perempuan ular. Mungkin dia mau membalaskan dendamnya sama Pak Dylan ….”“Keluarga ini pasti akan bernasib sial kalau sampai keluarga Tansen menerimanya kembali!”*** Raut wajah Dylan yang sebelumnya penuh kegembiraan dan tenang lama-kelamaan berubah menjadi dingin dan penuh amarah. Dylan sama sekali tidak melontarkan sepatah kata pun dari mulutnya. Namun, pembuluh darah di jari-jarinya sudah mulai menonjol seakan dia sedang berusaha menahan amarahnya, sedangkan Lydia justru terlihat sangat santai. Lydia terus duduk di atas tangga sambil mendengarkan percakapan itu dengan santai seakan percakapan itu tidak ada hubungannya sama sekali dengan dirinya. Bahkan dia terlihat sedikit mencibir dengan wajah biasa. Ketenangan ini justru terasa menyakitk