"Digory Valley?" tanya Helena cenderung meragukan apa yang ia dengar. Kota metropolitan yang lebih dari lima tahun lalu ia tinggalkan. Terlalu banyak kenangan yang Helena ingin lupakan dari kota besar itu. "Bolehkan Ma?" tanya Primrose penuh harap. Ia mengerjapkan mata cantiknya berkali-kali, berusaha agar Helena menyanggupi permintaannya. "Tapi untuk apa? Dan kenapa mesti ke Digory Valley, apa yang mau kau cari di sana Pim?" Untuk sesaat Primrose ingin berkata; "mencari Shane" Tapi ia tahu hal itu sudah pasti tak disetujui oleh mamanya, karena itu gadis kecil itu malah berkata, "Pim mau melihat pameran penyihir merah muda bulan. Teman-teman Pim banyak yang cerita lihat pamerannya di Digrory Valley." Helena termangu sejenak, ia seakan bingung memutuskan antara mengabulkan atau menolak keinginan Primrose. Primrose tak pernah meminta apa pun pada Helena, karena tahu keadaan mereka bagaimana, tampaknya putri kecilnya itu jauh lebih dewasa daripada umurnya. Namun, sekarang saat Primros
Helena sedang sibuk mencari dan memanggil-manggil Primrose saat Evelyn menepuk pundaknya lagi. “Helena apa perlu kita berfoto? Aku ingin menunjukkan kepada teman-teman di grup angkatan kalau kau-.” Evelyn langsung melingkarkan tangannya di pundak Helena dan tangan satunya yang menggenggam ponsel ia angkat tinggi-tinggi. “kalau kau masih hidup,” ujar Evelyn sambil memencet tombol kamera dan bersamaan dengan itu wanita yang selalu membully Helena semasa sekolah itu memasukkan sebuah arloji wanita di tas sling milik Helena.Helena langsung mengurai rangkulan yang sangat membuatnya tak nyaman itu. Evelyn dulu merangkulnya hanya untuk menggiring Helena ke gudang belakang sekolah dan membullynya bersama anak-anak lain. “Ck,” decak Helena dengan raut muka tak suka.“Okay, sampai jumpa,” ujar Evelyn pamit dan menepuk lengan bajunya seakan jijik telah berdekatan dengan Helena. Tapi wanita berambut hitam panjang itu seakan tak peduli ia mulai panik untuk mencari anaknya yang tak kunjung kelihat
"Shane," gumam Helena lemah. "Dia adalah pengutilnya, Tuan," ucap manajer dengan bangga menginfokan pada Shane Digory, seakan Helena adalah binatang buruan langka. "Bukan aku yang mengambilnya Shane," lirih Helena, suaranya serak saat mengatakan itu. 'Apakah akan mengasihaniku? Menyedihkan sekali Helena, bahkan sekarang kau berharap rasa kasihan darinya.' Jasper tak kalah terkejutnya dengan Shane ketika melihat mantan istri bosnya yang sudah lebih dari lima tahun lalu tak pernah ia temui. ‘Nyonya yang membuang harta Digory kukira akan hidup nyaman bahagia. Apa yang terjadi pada Nyonya baik hati selama ini?’ Shane mendekati wanita cantik yang dibekuk hingga terbaring di lantai oleh salah satu satpam wanita yang bobot badannya berukuran tiga kali tubuh Helena. "Kami akan segera membawa wanita ini ke kantor polisi, Tuan Shane," jelas satpam wanita itu dengan raut wajah tegas. Helena melihat hampa mantan suaminya yang sedang mengalamatkan tatapan rumit padanya. "Bukan aku yang menga
Shane Digory nyaris terjatuh dari sofanya saat mendengar teriakan keras Helena. Ini untuk pertama kalinya ia melihat mantan istrinya begitu marah. Selama Shane kenal dengan Helena, ia tak pernah menyangka kalau wanita berambut hitam itu bisa marah. Tidak bukan hanya marah, Helena murka.Primrose tahu ia melakukan kesalahan besar, sangat besar tepatnya, dan melihat ekspresi ibunya yang datang dengan langkah- langkah panjang menghampirinya membuat gadis mungil itu membatin, 'mama pasti akan habis-habisan memarahiku.'Shane buru- buru berada di tengah-tengah Primrose dan Helena. Wanita cantik yang selalu terlihat tanpa ekspresi itu tampak ingin memukul gadis kecil kesayangannya -setidaknya begitu menurut Shane-."Kamu kemana saja, hah! Membuat mama khawatir saja! Bukannya mama sudah bilang jangan jauh-jauh dari mama!" teriak Helena mengomeli Primrose."Mama, Pim minta maaf," lirih Primrose sambil bersembunyi di balik kaki jenjang Shane. Ia takut ibunya meledak."Helena, tenanglah sejenak,
Helena terlihat kembali bingung menjawab pertanyaan Shane. 'Pasti dia mendengarku saat memanggil nama lengkap Primrose tadi. Apa yang harus aku katakan?' Pertanyaan Shane tak kunjung mendapat jawaban dari mantan istrinya, hingga pria berambut abu gelap itu melirik ke arah wanita di sebelahnya. "Apa pertanyaan itu terlalu personil untukmu?" "Ah tidak!" jawab Helena spontan dan ia langsung menyesal menjawab seperti itu. 'Kenapa tidak bilang iya saja sih! Sekarang aku akan menjawab apa?' Helena menoleh ke jendela mobil melihat pemandangan luar yang memukau, mencoba menyingkirkan rasa 'kering' di tenggorokannya sambil mencari inspirasi nama ayah Primrose. "Nama pria itu- maksudku Papa Pim terdengar sangat konyol, yah karena itu-." Helena seperti ingin melanjutkan ucapannya tapi ia kehabisan kata untuk kebohongannya. "yah karena itu saja aku tak memakai namanya," tandas wanita bersurai hitam itu. Shane tertawa kecil mendengar jawaban Helena. 'Apa menurutnya itu alasan yang konyol?
Helena terpengarah mendengar ucapan Shane. Bibir tipisnya bahkan sampai terbuka lebar sebagai tanggapan atas perkataan Shane. Sebenarnya Helena ingin mengucapkan ‘tidak mungkin’ tapi suaranya tertahan di tenggorokan. Shane tersenyum tipis melihat reaksi tak percaya Helena. Pria itu kemudian menaikkan jendela mobilnya dan dengan perlahan kembali memutar setir mobilnya ke arah jalan raya. “Kau tak percaya?” Shane bertanya sambil tertawa pelan, tapi Helena tak menjawab. Manik hijau zamrud wanita itu masih menatap lurus pada mantan suaminya.Shane tersenyum tipis, ia menjulurkan tangan kanannya dan menyentuh dagu Helena agar menutup mulut. Shane melakukan itu sambil kembali tertawa kecil, seakan menyadarkan wanita berambut panjang itu kalau dirinya tak mengubah ekspresi sedari tadi. “Apa hal itu terlalu mengejutkan untukmu? Anggap saja itu balasan Tuhan untukku karena terlalu arogan selama ini, Helena.”Helena masih menggeleng, ia bahkan menggenggam tangan Shane yang sedang berada di seti
Karena pemikirannya itu, dalam perjalanan menuju Digory Valley, Shane menelpon Jasper. "Ya Tuan?" "Jasper carikan aku sebuah tempat yang bisa dijadikan cafe atau restoran di sekitar sekolah dasar Salt Lake yang pernah kita beri sumbangan." Dahi Jasper membentuk dua garis lurus. 'Salt Lake lagi,' batinnya. "Ketiga sekolah itu, Tuan?” “Tidak hanya satu sekolah saja, tepat di sebelah toko es krim kalau bisa. Kukira ada beberapa toko di deretan depan sekolah itu. Ah tidak, beli saja satu daerah itu dari pemilik gedungnya, dan kosongkan satu untuk cafe, tak perlu terlalu besar, aku ingin cafe itu buka hanya sampai sore saja. Cafe dengan konsep minimalis.” Jasper mencatat semuanya dengan teliti di buku notesnya. Sekretaris Shane itu adalah pria yang kuno, ia masih menggunakan catatan ketimbang menyimpan suara bosnya di voice note. Alat tulis Jasper langsung terjatuh dari genggamannya saat bosnya itu memerintahkan hal selanjutnya. “Buka besok ya.” “Hah?” gumam Jasper terkejut. “Tapi Tu
Helena mengerjapkan matanya saat melihat antrian orang-orang yang berderet di depan toko baru tepat di samping toko es krim. Ia baru saja mengantar Primrose sekolah saat tulisan lowongan pekerjaan begitu besar menghiasi pintu toko itu dan lusinan orang mulai mengantri. "Apa syaratnya harus memiliki ijazah atau minimal sertifikat?" tanya Helena pada salah satu pelamar yang tampak jauh lebih tua darinya. Antrian itu banyak dipenuhi orang lanjut usia. Tampaknya mereka mendapat info ketika mengantar cucu-cucu ke sekolah, sepagi ini hanya para kakek dan nenek saja yang mengantar cucunya ke sekolah. Sedangkan orang tua murid lainnya tampak sudah banyak memiliki pekerjaan tetap yang lebih baik jadi tak tertarik dengan lowongan itu. Sisanya -yang seumuran dengan Helena- lebih banyak bekerja di malam hari. Jadi untuk melihat lowongan pekerjaan yang tiba-tiba muncul di pagi hari ini tampaknya sangat kecil kemungkinannya. "Tidak ada, karena tidak membutuhkan hal itu jadi sangat menarik untukku