"Kamu juga ngusir aku pulang? Setelah apa yang aku lakukan untuk kamu?"
Alih-alih menampilkan raut kekesalan karena Naomi juga menyuruhnya segera pulang yang sama saja artinya dengan pengusiran, Leo malah terlihat kecewa. Tapi, tentu saja wajah itu hanya bersandiwara.
"Kenapa? Memangnya apa yang kamu lakukan untukku?" Naomi tau, Leo menahan tangan wanita itu agar tak sampai mengenai wajahnya, tapi itu tak cukup untuk membuatnya memaafkan kekacauan hari ini.
Pulang sekarang, atau menanti kemarahan Mas Adrian?
Sekali lagi, wajah tampan Leo mendesah kecewa. Mengerucut bibirnya seperti seorang wanita yang sedang merajuk. Sesekali dia melirik ke arah Naomi, ingin tahu saja reaksi wanita itu atas sikapnya sekarang ini. Tapi apa yang ia dapat? Wanita itu membuang muka darinya.
Ah, jadi di
"Mas, kamu kok tumben pulang cepat?"Naomi menyambut kepulangan Adrian di depan pintu utama dengan kedua tangan merentang bersiap menerima pelukan. Wajahnya juga sudah tersenyum semanis mungkin, demi menutupi rasa gelisahnya akan kejadian tadi.Alih-alih mendapat pelukan, sang suami melewatinya begitu saja, masuk dengan langkah cepat dan mengedarkan pandangan ke penjuru rumah, seperti mencari seseorang. Dibelakangnya, Naomi membuntuti Adrian dengan bibir mencebik."Mana Leo?" Puas mencari tapi tak kunjung menemukan, Adrian kini menatap lurus Naomi mencari jawaban dari wanitanya itu. Semoga Naomi tidak berbohong padaku, batinnya.Jadi benar Mas Adrian sudah tahu? Jadi mantan mama mertuanya benar-benar mengadu?"Leo tidak di sini, Mas.""Tapi, tadi
"Kamu mau dimasakin apa hari ini, Mas?"Naomi bertanya seraya tangannya terampil memasangkan dasi ke kerah kemeja sang suami. Wajahnya sedikit mendongak, karena Adrian lumayan tinggi dibanding dirinya yang mungil. Tapi, pasangan dengan tinggi seperti ini terbilang ideal, karena sang wanita yang menjinjit demi mencium prianya adalah hal yang manis dan romantis.Memasangkan dasi dan memastikan penampilan Adrian rapi sebelum berangkat ke kantor adalah rutinitas Naomi setiap pagi."Apa aja yang kamu masak, asal enak, pasti aku makan."Menggeleng sembari mengetap bibir. Naomi tidak suka jawaban seperti ini, dia ingin jawaban yang jelas. Bagaimana nanti setelah dia capek-capek masak, rupanya Adrian tidak suka makanannya?"Aku mau masak apa yang mau kamu makan, Mas. Katakan saja!"
"Jawab aku, Regina! Sudah berapa lama kamu bermain serong di belakangku? HA?" Ingatan tentang kejadian waktu itu berputar di kepala Adrian tanpa diminta.Hari itu, Minggu, harusnya mereka menghabiskan waktu bersama setelah sibuk bekerja setiap hari. Namun, Regina beralasan tidak bisa pergi karena ingin bertemu dengan teman lama. Adrian percaya, tapi apa yang ia dapat? Sebuah foto dari wartawan swasta yang menampilkan Regina dengan seorang pria sedang check in di hotel, siang hari bolong.Setelah menutup mulut wartawan tersebut dengan segepok uang merah, Adrian menggerebek Regina bersama selingkuhannya di kamar hotel."Berapa lama itu nggak penting, Ad. Yang lebih penting itu alasannya kenapa. Kamu nggak nanya alasan aku berselingkuh dari kamu, setelah beberapa tahun yang kita lalui bersama?"Regina tak bisa mengontrol nafasnya
Naomi mendesah berat, memandang makanannya yang sudah dia buat susah payah, namun ditinggal pergi begitu saja oleh Adrian. Bahkan baru dicicip sedikit."Aku mendadak tak selera makan." Begitu kata Adrian tadi sebelum beranjak meninggalkan meja makan.Apa-apaan dia? Minta dimasakin makanan ala restoran mewah, giliran sudah dibuatkan malah nggak dimakan? Cicip dikit doang, itupun nggak bilang rasanya gimana. Argghhh!Bi Inah yang berada di sekitar meja makan juga keheranan dengan sikap tuannya yang tidak biasa. Dia memandangi Naomi yang terlihat kesal dan bingung sekaligus."Nyonya temui Tuan saja, mungkin dia lagi capek atau banyak kerjaan di kantor, makanya tidak nafsu makan."Dengan menghentakkan kakinya kuat ke lantai, Naomi menerima saran Bi Inah. Dia juga ingin tahu, kenapa Adrian begitu p
"Bos, ada yang harus anda lihat!" Tristan masuk ke ruangan Adrian setelah lebih dulu mengetuk pintu beberapa kali.Adrian yang sedang memeriksa berkas langsung menoleh. Tampak seperti ada sesuatu yang penting karena wajah Tristan sangat serius. Ah, bukannya wajah pria itu memang selalu serius?"Apa itu? Kau sudah ketemu orang yang mendadak jadi saksi saat kecelakaan itu?"Tristan menggeleng pelan kepalanya. "Kalau yang itu belum, Bos. Tapi, coba lihatlah ini."Adrian mengambil berkas di tangan Tristan dengan kening yang berkerut samar. "Berkas korban?"Tristan mengangguk dan Adrian pun langsung memeriksa berkas yang merupakan data identitas korban. Entah bagaimana cara Tristan menemukan data tersebut, tapi Adrian yakin asistennya itu tak pernah salah dalam pekerjaannya.&n
"Mama ngapain ke mari?" tanya Elang lagi, pada sang mama yang berdiri beberapa meter di depannya."Elang sayang, kamu udah pulang sekolah?" Air muka Regina berubah drastis begitu melihat putranya. Suaranya pun jadi melembut, layaknya seorang ibu yang senang putranya pulang dari sekolah karena ia sudah menyiapkan makan siang kesukaan.Kedua tangan Regina merentang siap menerima pelukan Elang, tapi putranya itu masih diam di tempat. Ragu menyelimutinya, apalagi Naomi ada di sana dan melihatnya. "Emangnya kamu nggak kangen sama mama? Mama kangen banget loh sama kamu. Kalau bisa mama pengen ketemu kamu setiap hari."Karena Elang tak kunjung bergerak mendekat, jadinya Regina yang menghampiri sang putra dan memeluknya erat. Bagaimanapun Regina di mata Adrian sebagai wanita selicik ular, dia tetaplah wanita dan seorang ibu bagi Elang. Dia juga memiliki rindu yang menggunung
Sebelum Adrian masuk ke kamar."Kamu ngapain sih harus nyamperin ke rumah segala? Sengaja mau buat Naomi curiga dan cemburu, iya?"Adrian mendengkus kasar mendapati ada Regina di dalam rumahnya. Padahal dia ingin cepat-cepat menemui Naomi, membenamkan kepalanya di ceruk leher sang wanita demi melepas penat dan masalah yang menumpuk di kepala, menghirup aroma stroberi dari lotion yang digunakan Naomi di tubuhnya.Sekarang, alih-alih menenangkan, kepalanya semakin mau pecah. Bagaimana bisa Regina datang saat ia tak ada di rumah? Sengaja banget, kan?"Kenapa? Kok kamu kayak takut banget aku ketemu Naomi? Takut ketahuan ya, kalau selera kamu sudah berubah drastis? Dari aku yang seorang model jadi kayak dia, wanita biasa? Iya?"Adrian yang mau mengayun langkah meninggalkan ruangan itu, terpak
Pagi keesokan harinya.Naomi telah bangun, menyandarkan tubuhnya di kepala ranjang, memperhatikan sang suami yang sedang kelimpungan mencari perlengkapan ke kantor. Begini nih, kalau mereka sedang tidak akur. Helaan nafas panjang beberapa kali keluar dari mulutnya.Cukup lama membiarkan Adrian seperti orang bodoh, Naomi memaksakan diri bangkit dari ranjang dan menghampiri lemari. Dibukanya laci dan tanpa perlu dibolak-balik dasi itu sudah kelihatan oleh kedua matanya. Bagaimana bisa Mas Adrian tak menemukannya? Dia mencari pakai mata apa pakai dengkul? Naomi merutuk dalam hati.Adrian sendiri tampak memamerkan senyum tahu istrinya akhirnya turun tangan membantunya. Itu berarti Naomi sudah tak marah lagi padanya, bukan?Saat tangan Naomi terampil memasangkan dasi ke kerah lehernya, Adrian sengaja sedikit membungkukkan bada