Tristan tiba di Jakarta pukul 10 malam lewat. Ia tak sempat istirahat karena langsung mendatangi alamat rumah yang diberikan informannya.
Kini, ia sudah berdiri di depan rumah sederhana berpagar kayu. Beberapa kali dia mengecek kembali alamat yang tertera dalam pesan yang ia terima, dan alamatnya sudah benar.
"Apa yang aku lakukan sih? Kenapa jadi aku menutupi fakta yang sebenarnya?" Malam yang dingin membuatnya mengeratkan jaketnya. Entah kenapa, dia juga tengah kesal pada dirinya sendiri. Beberapa kali Tristan kedapatan menghela nafas kasar.
Kenapa dia harus mengikuti arahan Adrian yang merupakan bosnya di kantor hingga mengurus urusan pribadinya? Kenapa juga dia harus menjadi pembela pihak yang salah? Demi tidak ingin Naomi tahu dan berakhir meninggalkan Bos Adrian? Apa untung baginys?
Walau bagaimanapun, Tristan memiliki si
"Kalian beneran akan pulang hari ini?"Naomi dan Adrian sudah bersiap di kamar mereka, ketika Mama Nawang tiba-tiba muncul dari balik pintu. Beliau terlihat sedih dan kecewa sekaligus. Baru semalam mereka bertemu, sekarang harus berpisah?"Iya, Ma. Adrian juga punya pekerjaan yang harus diselesaikan."Melihat mama mertuanya sedih, Naomi berusaha menenangkan, diraihnya jemari wanita itu dan menggenggamnya erat."Mama tenang aja ya, Naomi dan Mas Adrian akan sering ke mari kok saat ada waktu luang," ujarnya dengan tersenyum."Kamu serius, Dear?"Naomi mengangguk mantap. Dia juga senang kok kalau selalu bertemu Mama Nawang. Atau sesekali, biar mama mertuanya yang ke Jakarta. Itu kedengarannya lebih bagus, karena bisa berhari-hari. Mama Nawang, kan, tidak b
"Jadi kamu berhasil atau tidak membujuk saksi itu? Jawab aku, Tristan!" Rahang Adrian mengeras.Sungguh, Tristan menguji kesabarannya. Sudah tahu bosnya adalah tipikal keras, masih saja asistennya itu seolah mengulur-ulur waktu memberikan jawaban."Beliau belum memberi keputusan, tapi saya sudah melakukan yang terbaik, Bos."Tristan tak ingin Adrian berpuas hati dahulu, biarlah bosnya itu ketar ketir karena hal yang telah dia lakukan. Menurut Tristan, Adrian patut merasa gelisah. Dia sudah membunuh orang, apapun alasannya, mau dia bilang sempat ingin bertanggung jawab sampai mencari ke rumah sakit, tetap saja Adrian bersalah telah menghilangkan nyawa seseorang. Sengaja atau tidak.Melakukan yang terbaik? Apa itu artinya saksi mata itu akan diam saja? Tidak akan melapor? Ah, Adrian tidak bisa tenang.&
Beberapa hari berlalu, tidak ada berita di media atau laporan ke kantor polisi soal tabrak lari yang menyebabkan seseorang meninggal 5 tahun lalu. Adrian menarik nafas lega. Apakah ini artinya Tristan berhasil membujuk saksi mata itu? Ah, memang asistennya itu bisa diandalkan.Soal Leo datang ke rumahnya, Adrian tidak tahu-menahu. Leo sudah pulang saat Adrian pulang dari kantor. Sama dengan Adrian, Naomi juga lega."Mas, kamu sibuk nggak? Apa kita bisa ke dokter kandungan hari ini?" pujuk Naomi pada suaminya yang masih bergelung di balik selimut.Adrian menggeliat ketika suara Naomi mengenai gendang telinganya. Namun anehnya, tidak hanya telinganya yang merasakan geli-geli sedap itu, melainkan miliknya di bawah juga terbangun sempurna. Di dalam celana yang ketat, rasanya begitu sesak."Eughhh!" Lenguh Adrian karena sesak
"Jadi, bagaimana dokter, apa saya subur? Kami sudah menikah lebih dari 3 bulan, tapi aku tak kunjung hamil."Naomi kedengaran seperti seorang yang sedang curhat, wajahnya menekuk kecewa, seraya tangannya memilin ujung dress. Dokter wanita yang mendengarnya hanya senyam-senyum. Beliau paham betul, karena beberapa kali juga mendapat pasien yang serupa."Apa yang Nyonya rasakan belakangan ini? Apa nyonya mudah merasakan lelah atau pusing-pusing disertai mual?"Naomi tak paham maksud pertanyaan dokter. Padahal dia yang bertanya, tapi dokter malah balik nanya. Gimana sih? Tambah kesal saja. Tapi, karena dokter wanita itu menatapnya serius, Naomi terpaksa mengingat-ingat. Mudah lelah, pusing disertai mual?"Kalau mudah lelah, sih, iya, dok. Naik turun tangga biasanya juga baik-baik aja, kalau sekarang agak ngos-ngosan. Padahal teman bilang
Naomi menggeliat di balik selimut yang menutupi tubuhnya hingga pundak. Ia menggeliat karena merasa ada yang kurang, tidak ada lengan kekar yang biasa melingkari di pinggangnya, tidak ada dada bidang tempatnya biasa bersandar.Masih dengan mata tertutup, dirabanya ranjang yang kosong di belakang. Ke mana Mas Adrian? Cepat Naomi membuka mata dan betapa terkejutnya dia, alih-alih mendapati suaminya itu tidur di ranjang malah berlutut di depannya, seperti tadi malam.Astaga! Jadi dia tidak main-main. Mas Adrian benar-benar berlutut di sini sampai aku mau memaafkan dia. Bagaimana ini? Aku masih marah, dan belum ingin memberitahu padanya soal kehamilanku.Naomi belum ingin bangun, dia masih ingin mengamati raut wajah kelelahan Adrian, ketika mendadak isi perutnya seperti diobok-obok. Ia merasakan mual yang teramat sangat, dan seperti ada dorongan yang dahsyat untuk m
Dia nggak mual dan muntah-muntah lagi. Apa benar kemarin itu karena masuk angin, ya?Adrian yang hendak berangkat kerja, sedikit bimbang meninggalkan Naomi di rumah. Langkah yang sudah diambang pintu itu berbalik demi melihat Naomi yang bergerak menggeliat. Hanya menggeliat, tidak ada tanda-tanda mual dan ingin muntah. Bahkan mata istrinya itu masih terpejam.Syukurlah."Bik, titip Naomi ya. Dia masih tidur, kalau sampai jam 9 belum turun juga untuk sarapan, Bibik antar aja langsung ke kamar. Khawatir dia belum bisa banyak bergerak." Perintah Adrian dengan jari telunjuk yang bergerak-gerak menunjuk ke arah kamar.Bi Inah mengangguk. "Baik, Tuan."Tanpa diminta pun, Bi Inah akan melakukannya kok. Dia kan memang menyayangi majikannya itu seperti anak juga cucu sendiri. 
Euuugh. Adrian melenguh panjang disertai geliat tubuhnya. Ia berbalik menghadap ranjang di samping lalu merabanya. Kosong? Ke mana Naomi? Sontak matanya terbuka lebar menengok ke sana ke mari. Jantungnya dalam sekejap berpacu kencang, seperti habis lari keliling lapangan. Pikiran-pikiran aneh pun muncul di benak. Apa Naomi pergi karena marah padanya?Bersamaan dengan itu, dari dalam kamar mandi terdengar suara jeritan yang memanggilnya. Naomi. Terpontang-panting Adrian bangun berlari menuju kamar mandi.ARGGHHH! MAAAS!BRAK.Bunyi pintu kamar mandi yang dibanting keras oleh Adrian, namun apa pedulinya. Yang penting, dia cepat sampai pada sang istri."Naomi, kamu kenapa, Sayang?"Naomi tampak baik-baik saja, tapi kenapa dia menjerit barusan? Dia juga tidak ter
"Kok kecil sekali ya, Dok? Kayak upil. Dokter pasti salah nih." Interupsi Adrian sembari menunjuk layar monitor berbentuk segi empat di samping ranjang.Jadi, siang harinya di hari yang sama setelah tahu Naomi hamil, Adrian dengan hati yang riang gembira membawa istrinya menemui dokter kandungan lagi. Di rumah sakit yang sama dengan kemarin.Dokter menunjuk bahwa titik hitam kecil dalam layar monitor itu adalah bayi mereka. Naomi juga kaget, tapi dia masih berusaha mempercayainya. Dokter tidak mungkin salah, kan? Apalagi spesialis kandungan, masa tidak bisa membedakan mana titik biasa sama bayi dalam perut.Naomi mendongak memandang Adrian yang menatapnya tanpa dosa. Dia juga tak salah, kan, bertanya seperti itu? Namanya juga orang tidak tahu.Tapi, jangan menyamakan dengan upil juga kali.