"Nyonya, dari mana saja? Kenapa pulang-pulang, Nyonya menangis seperti ini? Apa yang sebenarnya terjadi?"
Bi Inah berlari tergopoh menyambut kepulangan Naomi, setelah setengah jam tadi beliau khawatir karena Naomi pergi tanpa mengabarinya. Bi Inah baru saja hendak menelpon Tuan Adrian.
"Aku baik-baik aja kok, Bik."
"Baik-baik aja gimana, Nyonya? Menangis begini kok. Apa lebih baik Bibik hubungi Tuan Adrian?"
Naomi menggeleng lemah. Dia tahu betapa Bi Inah sangat menyayanginya dan khawatir akan yang terjadi padanya sekarang. Namun, sebagai seorang yang menyayanginya, seharusnya Bik Inah tidak mengadu hal ini pada Adrian. Suaminya itu tidak boleh tahu dulu kalau tadi Naomi ke kantor dan mendengar semua pembicaraannya dengan Regina.
"Jangan telpon Mas Adrian ya, Bik." mohon Naomi dengan tatapanny
"Sayang, Naomi, kamu baik-baik saja?" Adrian membantu istrinya itu duduk karena dilihatnya Naomi seperti seorang yang sangat kecapean.Tidak. Adrian tidak membangunkan Naomi. Mana mungkin dia setega itu membangunkan istrinya yang sedang tidur pulas. Tapi, yang membuatnya mengerut kening adalah kenapa Naomi terlihat lelah, lalu bekas air mata di pipinya itu, apa wanitanya itu habis menangis?Sebenarnya, Adrian menunggu Naomi bangun tidur selama hampir setengah jam. Selama itu pula dia melihat perubahan wajah istrinya yang tertidur. Sebentar Naomi terlihat merungut, mungkin dalam mimpinya sedang mengomeli seseorang, entah siapa, sebentar terlihat mencebik seperti tengah kecewa, sebentar juga dia terlihat ngos-ngosan seperti seorang yang berlari.Apa sebenarnya yang Naomi mimpikan dalam tidurnya? Rasa penasaran Adrian makin bertambah ketika Naomi mendadak memundurkan tub
Bagaimana pun gundah gulananya hati masing-masing peran utama dari sebuah novel, novel tersebut harus tetap berlanjut, bukan? Begitu pula dengan kehidupan rumah tangga Naomi dan Adrian. Menjalani hari seperti biasa, walau hambar itu terasa begitu kentara.Tidak ada lagi olahraga malam yang panas, karena Adrian memutuskan untuk lembur hampir setiap malam. Jika tak ada pekerjaan untuk dilemburkan, dia akan mengajak Tristan melewati malam dengan minum.Sementara Naomi, memilih untuk menunggu, kapan suaminya itu berani berkata jujur padanya. Rasanya memang menyakitkan, seperti ada duri halus yang tertancap di kaki dan tak bisa dicabut, duri tersebut akan terus membuat perih setiap kali ia berjalan. Mau pergi dari kediaman itu, dia tak punya tempat tinggal dan alasan yang tepat. Lagipula, akan ada banyak pihak yang sedih juga kecewa kalau dia pergi dari situ. Mama Nawang, Ayah Arya Satya, Elang, Bi Inah, te
Adrian pulang sekitar pukul 11 malam. Dia melangkah pelan memasuki kamar, tidak mau membuat suara sekecil apapun yang bisa mengganggu tidur Naomi. Selain tak ingin mengganggu tidur pulas sang istri, Adrian juga masih belum siap bertemu mata dengan Naomi.Adrian masuk ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya. Tak lupa, dia menggosok gigi bersih-bersih agar aroma alkohol yang pekat itu hilang dari mulutnya. Naomi tak boleh tahu, kalau dia sampai mabuk-mabukkan di klub.Selesai mandi, Adrian memakai piyama tidurnya yang senada dengan punya Naomi. Mereka memang punya banyak piyama pasangan dengan warna sama. Naomi yang kekeh membelinya, katanya memakai baju tidur sama membuat mereka makin terlihat kompak dan seperti pasangan bahagia.Adrian tersenyum miris melihat kondisi pernikahannya saat ini yang sama sekali tidak harmonis. Memang sih, tidak ada pertengkaran, hanya masing-ma
"Mas! Kamu jangan ngeles lagi. Jujur aja sama aku! Kamu yang udah nabrak bunda aku sampai meninggal, kan?" Naomi menjerit sekuat tenaga dan itu bikin Adrian shock bukan main.Sudahlah. Jantung Adrian sudah tidak berada di tempatnya. Rubuh seketika. Dia rasa akan mati saat ini juga."Naomi, sayang, tolong, jangan tinggalkan aku! Suamimu ini tidak sanggup hidup tanpa kamu." Tanpa berlama-lama, Adrian berlutut di samping ranjang, di bawah telapak kaki Naomi yang sudah pula menjulur ke lantai. Istrinya itu dikiranya hendak pergi meninggalkannya. Adrian tak ingin itu terjadi.Kalau perlu, Adrian akan mencium kaki istrinya sampai kata maaf keluar dari bibir tipis yang agak pucat karena tidak menggunakan pewarnanya."Maaas! Tolong jangan mengalihkan pembicaraan. Aku sedang bahas soal kamu yang menabrak bunda aku sampai meninggal
"Sayang, kamu akan ke mana?" Adrian berteriak kencang saking frustasinya sebelum tubuh Naomi benar-benar menghilang dari pandangan matanya.Sayang seribu sayang, Naomi yang terlalu marah, tidak menoleh apalagi memberitahunya ke mana dia akan pergi."ARGGHHH!" Teriak kencang-kencang pun tidak berguna lagi rasanya, tapi Adrian melakukannya spontan demi melampiaskan emosinya pada diri sendiri. Dia juga memukul tembok berkali-kali sampai buku tangannya memar dan perih, namun itu tak terasa sama sekali. Hatinya lebih sakit, layaknya pas bunga yang jatuh ke lantai dan hancur berkeping-keping."Tuan, kenapa biarkan Nyonya Naomi pergi? Dia seorang wanita yang sedang hamil. Pasti berat untuknya. Lalu, ke mana pula dia akan pergi malam-malam begini? Kasihan dia." Suara Bi Inah parau, karena wanita tua itu sedang menangis sampai hidungnya penuh ingus.
Adrian tidak bisa tidur. Mana bisa dia tidur enak sementara di luar sana Naomi sendirian, entah di mana. Seperti setrikaan, ia mondar-mandir di dalam kamar seraya mengacak rambutnya. Jantungnya juga berdebar tak karuan, takut sesuatu yang tak diinginkan terjadi pada istri kesayangannya beserta calon buah hati mereka. Kira-kira dia menginap di hotel mana ya? Adrian sedang mengira-ngira ketika ponsel di tangannya berdenting, menandakan ada sms atau notifikasi yang masuk dari entah aplikasi apa di ponselnya itu. Cepat Adrian memeriksanya. Anda telah membayar sejumlah 5 juta rupiah...Mata Adrian yang sejak tadi diselimuti awan kabut yang serta merta membuat tampangnya kusut seketika berubah cerah. Rupanya yang barusan masuk itu notifikasi dari mbanking yang kartu kreditnya dipegang oleh Naomi. Sudut bibir Adrian terangkat naik. Setidaknya dia lega untuk sekarang. Apa aku cek ke sana aja? Ah, iya sebaiknya begitu. Adrian bicara sendiri dengan pancaran mata yang berbinar-binar. Dia pu
"Nyebelin banget sih. Baru sehari jauh dari Mas Adrian, rasanya udah seperti setahun." Naomi mengeluh di tempat tidurnya yang terasa kosong, hampa. Biasanya, bangun tidur pagi begini, ada tubuh lain yang kekar dan atletis sedang memeluknya erat dari belakang. Sekalinya tidak ada, rasanya aneh sekali. Nggak mungkin dong kalau aku pulang begitu aja ke rumah? Ketahuan banget kalau aku tidak bisa hidup jauh-jauh dari dia. Padahal, kan, aku sedang marah padanya gara-gara menyembunyikan sebuah fakta penting. Naomi juga tak bisa menelpon Desy untuk sekedar curhat dengan sahabatnya itu. Bagaimana kalau Desy curiga lalu tanya yang macam-macam? Atau, bagaimana kalau Mas Adrian sudah menghubungi Desy tentang kepergiannya dari rumah? Ah, tidak mungkin. Kalau sudah tahu, Desy pasti heboh dan mencari ke mana-mana. Sahabatnya itu pasti tak akan berhenti menghubungi sampai Naomi mengangkatnya. Ah, jadi bosan sendiri, kan? Tok... Tok... Tok... Suara ketukan pintu membuyarkan pikiran Naomi. Ini ma
Hari Senin pun tiba. Hari di mana Desy akan melaksanakan sidang akhir, penentu apakah dia lulus menjadi sarjana atau tidak. Seperti yang telah direncanakan, Naomi akan pergi sendirian. Dia akan berdalih kalau Mas Adrian sibuk ada pekerjaan di luar kota, makanya tidak bisa ikut menyaksikan Desy sidang. Akan tetapi, rencananya tak berjalan mulus karena Desy menelpon pagi sekali dan mengingatkan agar Naomi datang bersama Mas Adrian. Desy bilang akan merajuk kalau sampai Adrian tidak dibawa apapun alasannya. Ah, bikin Naomi pening saja. Lebih tidak mungkin lagi kalau dia juga mengaku tak bisa datang, kan? Yang ada, Desy malah tambah kecewa. Menarik nafas panjang, kemudian menghembusnya lagi, Naomi meremas jemarinya sebelum melakukan panggilan telpon. Terpaksa deh. Tidak butuh waktu lama, panggilannya langsung dijawab, seolah di seberang sana Adrian memang sedang mematut ponsel, menunggu telpon darinya. "Halo Mas—""Halo sayang. Kenapa? Ada apa kamu menelpon? Apa kamu udah maafin aku?