Bagaimana pun gundah gulananya hati masing-masing peran utama dari sebuah novel, novel tersebut harus tetap berlanjut, bukan? Begitu pula dengan kehidupan rumah tangga Naomi dan Adrian. Menjalani hari seperti biasa, walau hambar itu terasa begitu kentara.
Tidak ada lagi olahraga malam yang panas, karena Adrian memutuskan untuk lembur hampir setiap malam. Jika tak ada pekerjaan untuk dilemburkan, dia akan mengajak Tristan melewati malam dengan minum.
Sementara Naomi, memilih untuk menunggu, kapan suaminya itu berani berkata jujur padanya. Rasanya memang menyakitkan, seperti ada duri halus yang tertancap di kaki dan tak bisa dicabut, duri tersebut akan terus membuat perih setiap kali ia berjalan. Mau pergi dari kediaman itu, dia tak punya tempat tinggal dan alasan yang tepat. Lagipula, akan ada banyak pihak yang sedih juga kecewa kalau dia pergi dari situ. Mama Nawang, Ayah Arya Satya, Elang, Bi Inah, te
Adrian pulang sekitar pukul 11 malam. Dia melangkah pelan memasuki kamar, tidak mau membuat suara sekecil apapun yang bisa mengganggu tidur Naomi. Selain tak ingin mengganggu tidur pulas sang istri, Adrian juga masih belum siap bertemu mata dengan Naomi.Adrian masuk ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya. Tak lupa, dia menggosok gigi bersih-bersih agar aroma alkohol yang pekat itu hilang dari mulutnya. Naomi tak boleh tahu, kalau dia sampai mabuk-mabukkan di klub.Selesai mandi, Adrian memakai piyama tidurnya yang senada dengan punya Naomi. Mereka memang punya banyak piyama pasangan dengan warna sama. Naomi yang kekeh membelinya, katanya memakai baju tidur sama membuat mereka makin terlihat kompak dan seperti pasangan bahagia.Adrian tersenyum miris melihat kondisi pernikahannya saat ini yang sama sekali tidak harmonis. Memang sih, tidak ada pertengkaran, hanya masing-ma
"Mas! Kamu jangan ngeles lagi. Jujur aja sama aku! Kamu yang udah nabrak bunda aku sampai meninggal, kan?" Naomi menjerit sekuat tenaga dan itu bikin Adrian shock bukan main.Sudahlah. Jantung Adrian sudah tidak berada di tempatnya. Rubuh seketika. Dia rasa akan mati saat ini juga."Naomi, sayang, tolong, jangan tinggalkan aku! Suamimu ini tidak sanggup hidup tanpa kamu." Tanpa berlama-lama, Adrian berlutut di samping ranjang, di bawah telapak kaki Naomi yang sudah pula menjulur ke lantai. Istrinya itu dikiranya hendak pergi meninggalkannya. Adrian tak ingin itu terjadi.Kalau perlu, Adrian akan mencium kaki istrinya sampai kata maaf keluar dari bibir tipis yang agak pucat karena tidak menggunakan pewarnanya."Maaas! Tolong jangan mengalihkan pembicaraan. Aku sedang bahas soal kamu yang menabrak bunda aku sampai meninggal
"Sayang, kamu akan ke mana?" Adrian berteriak kencang saking frustasinya sebelum tubuh Naomi benar-benar menghilang dari pandangan matanya.Sayang seribu sayang, Naomi yang terlalu marah, tidak menoleh apalagi memberitahunya ke mana dia akan pergi."ARGGHHH!" Teriak kencang-kencang pun tidak berguna lagi rasanya, tapi Adrian melakukannya spontan demi melampiaskan emosinya pada diri sendiri. Dia juga memukul tembok berkali-kali sampai buku tangannya memar dan perih, namun itu tak terasa sama sekali. Hatinya lebih sakit, layaknya pas bunga yang jatuh ke lantai dan hancur berkeping-keping."Tuan, kenapa biarkan Nyonya Naomi pergi? Dia seorang wanita yang sedang hamil. Pasti berat untuknya. Lalu, ke mana pula dia akan pergi malam-malam begini? Kasihan dia." Suara Bi Inah parau, karena wanita tua itu sedang menangis sampai hidungnya penuh ingus.
Adrian tidak bisa tidur. Mana bisa dia tidur enak sementara di luar sana Naomi sendirian, entah di mana. Seperti setrikaan, ia mondar-mandir di dalam kamar seraya mengacak rambutnya. Jantungnya juga berdebar tak karuan, takut sesuatu yang tak diinginkan terjadi pada istri kesayangannya beserta calon buah hati mereka. Kira-kira dia menginap di hotel mana ya? Adrian sedang mengira-ngira ketika ponsel di tangannya berdenting, menandakan ada sms atau notifikasi yang masuk dari entah aplikasi apa di ponselnya itu. Cepat Adrian memeriksanya. Anda telah membayar sejumlah 5 juta rupiah...Mata Adrian yang sejak tadi diselimuti awan kabut yang serta merta membuat tampangnya kusut seketika berubah cerah. Rupanya yang barusan masuk itu notifikasi dari mbanking yang kartu kreditnya dipegang oleh Naomi. Sudut bibir Adrian terangkat naik. Setidaknya dia lega untuk sekarang. Apa aku cek ke sana aja? Ah, iya sebaiknya begitu. Adrian bicara sendiri dengan pancaran mata yang berbinar-binar. Dia pu
"Nyebelin banget sih. Baru sehari jauh dari Mas Adrian, rasanya udah seperti setahun." Naomi mengeluh di tempat tidurnya yang terasa kosong, hampa. Biasanya, bangun tidur pagi begini, ada tubuh lain yang kekar dan atletis sedang memeluknya erat dari belakang. Sekalinya tidak ada, rasanya aneh sekali. Nggak mungkin dong kalau aku pulang begitu aja ke rumah? Ketahuan banget kalau aku tidak bisa hidup jauh-jauh dari dia. Padahal, kan, aku sedang marah padanya gara-gara menyembunyikan sebuah fakta penting. Naomi juga tak bisa menelpon Desy untuk sekedar curhat dengan sahabatnya itu. Bagaimana kalau Desy curiga lalu tanya yang macam-macam? Atau, bagaimana kalau Mas Adrian sudah menghubungi Desy tentang kepergiannya dari rumah? Ah, tidak mungkin. Kalau sudah tahu, Desy pasti heboh dan mencari ke mana-mana. Sahabatnya itu pasti tak akan berhenti menghubungi sampai Naomi mengangkatnya. Ah, jadi bosan sendiri, kan? Tok... Tok... Tok... Suara ketukan pintu membuyarkan pikiran Naomi. Ini ma
Hari Senin pun tiba. Hari di mana Desy akan melaksanakan sidang akhir, penentu apakah dia lulus menjadi sarjana atau tidak. Seperti yang telah direncanakan, Naomi akan pergi sendirian. Dia akan berdalih kalau Mas Adrian sibuk ada pekerjaan di luar kota, makanya tidak bisa ikut menyaksikan Desy sidang. Akan tetapi, rencananya tak berjalan mulus karena Desy menelpon pagi sekali dan mengingatkan agar Naomi datang bersama Mas Adrian. Desy bilang akan merajuk kalau sampai Adrian tidak dibawa apapun alasannya. Ah, bikin Naomi pening saja. Lebih tidak mungkin lagi kalau dia juga mengaku tak bisa datang, kan? Yang ada, Desy malah tambah kecewa. Menarik nafas panjang, kemudian menghembusnya lagi, Naomi meremas jemarinya sebelum melakukan panggilan telpon. Terpaksa deh. Tidak butuh waktu lama, panggilannya langsung dijawab, seolah di seberang sana Adrian memang sedang mematut ponsel, menunggu telpon darinya. "Halo Mas—""Halo sayang. Kenapa? Ada apa kamu menelpon? Apa kamu udah maafin aku?
"Mas, kamu yakin kita ke kampus bawa buket segini besarnya? Kita bisa jadi pusat perhatian gara-gara ini loh?"Naomi memandang takjub sekaligus tak percaya pada buket bunga yang dibawa oleh Adrian. Mereka saat ini sedang dalam perjalanan masuk ke gedung fakultas di mana sidang skripsi diadakan. Bagaimana kalau semua orang melihat? Nanti dikira pamer pula."Bukan bisa jadi, sekarang saja semua mata melihat pada kita sayang." Adrian menekan suaranya pada kata bisa jadi seraya memamerkan gigi putihnya lebar-lebar. Percaya diri sekali. "Desy pasti senang deh dapat hadiah seperti ini. Dia pasti makin bersemangat untuk ujian." Hmm... Desy memang pasti kesenangan dapat hadiah segini besarnya. Dia juga jadi besar kepala nanti. Naomi mengomel sendiri sembari memandang malu-malu pada setiap wajah yang menjadikan mereka pusat perhatian. Di antara mereka, ada juga Gema, tapi Naomi tak menyadarinya. Pemuda yang pernah jadi pacar Naom
"Naomi, Mas Adrian, makasih ya makan siangnya, kenyang banget. Makasih udah nganterin sampai rumah. Makasih untuk buketnya juga." Desy berterima kasih atas apa yang dia dapat hari ini dari Naomi dan Adrian sebagai hadiah. Kalau tidak ada Naomi dan suaminya, pasti hari kelulusan Desy akan terlewati biasa saja, seperti tidak terjadi apa-apa. "Iya Des, sama-sama. Kami senang kok kalau kamu senang."Seharusnya aku yang terima kasih sama kamu Des, gara-gara kamu minta aku datang, aku jadi bisa bertemu Naomi hari ini. Adrian hanya mengucapnya dalam hati seraya memandang lekat istrinya. Setelah ini apa ya? Naomi masih melambaikan tangan ke arah Desy ketika mobil yang dikendarai Adrian sudah jauh meninggalkan pekarangan rumah sahabatnya. Entahlah, rasanya agak canggung saja setelah tinggal berdua dengan Adrian. Tidak ada juga topik yang hendak dibicarakan. "Sayang, kamu mau ke mana lagi? Mumpung kamu ke luar, mungkin
Hidup itu memang tak bisa ditebak ya. Naomi yang berencana bekerja membantu keluarga setelah kuliah, malah terpaksa menikah dengan pria duda anak satu. Banyak hal yang dilalui, mulai dari putra sambung yang tak merestui pernikahan papanya, sikap anak sambung yang jutek dengannya, lalu suami yang menikahinya bukan karena cinta. Banyak deh masalah yang datang. Padahal secara batin Naomi belum saatnya menghadapi itu semua, tapi takdir membuatnya melewatinya. Berapa banyak air mata yang keluar, sebaliknya banyak juga tawa yang hadir. Sekarang, ia sudah berbahagia dengan kehidupan yang dia punya. Lalu, Korea adalah tempat yang ingin Naomi kunjungi sebagai lokasi babymoon. Dan Adrian menyetujuinya, membawa keluarga besar sekaligus. "Mas, terima kasih ya. Kamu adalah hadiah terindah yang Tuhan kirimkan untukku.""Kamu juga, sayang. Kamu adalah jawaban atas segala keresahanku. Bersamamu aku merasa hidup itu lebih bermakna. Sejak ada kamu, duniaku yang semula buram, jadi lebih berwarna. Ter
Waktu berlalu begitu cepat. Tanpa terasa 4 bulan telah terlewati. Adrian masih ke kantor walaupun tidak setiap hari, saat ada pertemuan penting saja, selebihnya dia mempercayakan pada Tristan. Seperti hari ini, dia tidak berangkat, tapi entah kenapa Naomi malah membangunkannya. Masih enak-enakan tidur juga. "Mas, kita jadi ke Korea, kan? Usia kandungan aku sekarang udah 7 bulan loh, udah waktunya babymoon. Sekalian ketemu sama Nam Joo Hyuk. Kamu udah janji loh." Adrian belum sepenuhnya sadar dan Naomi sudah menagih janji ke Korea. Tentu saja hal itu membuat Adrian gemas. Bisa tidak jangan menagih ke Korea dulu? Ada yang lebih penting sekarang. "Sayang, bisa tidak jangan minta bertemu dengan pria pucat itu, siapa namanya? Nam...""Nam Joo Hyuk!""Nah itu, aku tidak mau anak kita jadi seperti dia. Kulit terlalu putih, bibir merah bagai pakai lipstik, jenis kelamin pria tapi terlalu cantik," keluh Adrian sambil menahan sesuatu di bawah sana yang mulai membengkak."Kamu udah janji loh,
Adrian lagi-lagi menghela nafas berat. Ia sudah terlanjur mengaku, ia tak bisa mundur. Yang harus dilakukan hanyalah memberi penjelasan dan mengkambing hitamkan Tristan. Memang benar ini terjadi atas saran pria itu, kan? "Tris, jelaskan yang sebenarnya pada Naomi! Katakan kalau ini ide mu!" Perintah Adrian dengan wajah merah. Tristan memandang Adrian lalu Naomi bergantian. Apa sudah ketahuan? Secepat ini? Kok bisa? "Cepatlah Tristan, aku tidak tahan berlama-lama di rumah sakit ini. Aku tidak terlalu pandai berpura-pura, itu juga menyiksaku karena harus berbohong dengan istriku sendiri."Giliran Naomi yang memandang bergiliran Adrian lalu Tristan, keningnya berkerut, tak sabar mendengar penjelasan, walau ia sudah bisa menebak soal apa itu. "Jadi Nyonya sudah tahu? Maaf, ini semua memang ideku, tapi atas permintaan bos sendiri kok. Bos sudah seperti orang gila karena ditinggal istrinya, aku juga prihatin melihatnya. Dia mungkin salah karena berbohong, tapi itu untuk kepentingan kali
"Dokter, bagaimana kondisi suami saya sekarang?" Naomi sangat tidak sabaran. Belum sempat sang dokter pria paruh baya itu menjelaskan, dia sudah lebih dulu bertanya. "Mas-nya sudah membaik, sepertinya banyak yang mendoakan dan dikelilingi orang-orang yang mencintainya, makanya bisa cepat sembuh." "Apa saya perlu menginap di sini untuk semalam lagi, dok? Katanya sudah membaik?" tanya Adrian dengan kening bergerak-gerak seolah dia sedang berbicara bahasa isyarat dengan sang dokter. Apa kebetulan mereka saling mengenal? Pak dokter menanggapi dengan senyum, membuat Adrian yakin kalau ia pasti akan pulang hari ini. Tristan pasti berhasil melobi dokter ini untuk mempercepat kepulangannya. Yes, akhirnya! Adrian tersenyum penuh kemenangan. "Maaf Mas, tetap harus menginap semalam lagi, kami harus memastikan Mas-nya beneran pulih, baru boleh pulang ke rumah."What? Sialan! Tristan, apa saja yang telah kau lakukan? Wajah Adrian yang mengembangkan senyum beberapa menit tadi berubah drastis,
"Tuan... Nyonya... Astaga—" Cuaca malam yang mulai dingin membuat Bi Inah khawatir dengan kedua majikannya itu. Makanya beliau pergi ke luar untuk memanggil mereka kembali ke kamar. Tapi apa yang Bi Inah lihat? Wanita itu sontak memalingkan wajahnya ke samping. Begitu pula dengan Naomi dan Adrian, ketika saja mendengar suara Bi Inah, keduanya langsung menjauhkan bibir masing-masing. Ampun deh. Ketahuan. Malu-maluin. Kesekian kalinya, Naomi rasa pipinya memanas hari ini. "Ya udah yuk, kita masuk. Aku mulai kedinginan deh kayaknya." Naomi memeluk tubuhnya sendiri yang hanya dibaluti dress tipis.Adrian menurut dengan mengangguk, sekilas dapat dilihat wajahnya kecut, mungkin karena Bi Inah mengganggu kesenangannya. Padahal lagi enak-enaknya ciuman di bawah sinar rembulan, romantis gitu, tapi semuanya ambyar karena kedatangan pembantu rumah tangganya. Dengan sedikit perasaan bersalah, Bi Inah berjalan di belakang Naomi yang mendorong kursi roda. Dia lalu menyenggol siku Naomi, menatap
ARGGHHH! Naomi yang sudah selesai dari kamar kecil seketika melajukan langkah karena mendengar suara teriakan dari arah kamar inap suaminya. Suara teriakan itu mirip suara Mas Adrian. Kenapa Mas Adrian teriak-teriak ya? Apa terjadi sesuatu? "Mas, kamu kenapa?" tanya Naomi setelah saja kepalanya muncul di balik pintu. Ia begitu khawatir sesuatu yang buruk terjadi, mungkin suaminya kaget mendapati sekujur badannya dibaluti perban, dan berpikiran yang tidak-tidak tentang kondisinya. Aiuuuh. Namun, yang terjadi selanjutnya, kening Naomi juga berkerut-kerut sama seperti Bi Inah. Bagaimana bisa sekarang Mas Adrian duduk dengan nyaman tanpa bantuan dari Elang yang berdiri di dekatnya? Mas Adrian tidak terlihat seperti orang kesakitan atau paling tidak menahan sakit. Lalu, kenapa dia teriak ya? Bi Inah juga kelihatannya aneh. Seperti orang kebingungan dan lebih banyak diam. "Tris, kenapa barusan aku dengar Mas Adrian
Adrian bergegas ke rumah sakit, mengerahkan seluruh pikiran dan uangnya untuk melobi pihak terkait agar mau bekerjasama dengannya. Tentu saja untuk membuat Naomi percaya kalau dia memang sedang dirawat karena mengalami kecelakaan lalu lintas. Setelah semuanya siap, kini giliran Adrian yang menyiapkan dirinya untuk berakting, terbaring lemah di bangsal rumah sakit, dengan segala perban di kepala, tangan juga kaki. Lama ia menunggu, hingga akhirnya langkah kaki terdengar mendekati kamar. Buru-buru Adrian memejam matanya, mulai berakting. Ceklek. Pintu dibuka dari luar. "Tuan, astaghfirullah, apa yang telah terjadi?" Rupanya Bi Inah yang datang. Adrian sampai menghela nafas, sedikit kecewa karena bukan Naomi. Ke mana sih Naomi? Kenapa lama sekali datangnya?Bi Inah yang datang bersama Elang tampak kasak kusuk, mau melakukan sesuatu untuk meringankan beban tuannya, tapi tidak tahu apa yang bisa dilakukan. Sementara Elang duduk tertunduk di samping sang papa."Den Elang, bagaimana ini?
Ah, uh, oh, euh, serta bermacam lagi suara erangan dan desahan kenikmatan yang keluar dari mulut keduanya. Tubuh bersimbah peluh menambahkan kesan seksi, padahal percintaan dilakukan di ruangan ber-AC. Bagaimana tidak? Hampir seminggu juga Adrian tidak mendapatkan jatah malamnya, sekalinya dapat, ia memiliki tenaga yang cukup banyak untuk menggagahi Naomi. Hanya saja, Adrian masih punya hati dan memikirkan anaknya yang berada dalam kandungan Naomi. Ia tak boleh menghentak terlalu kuat, dan terlalu dalam, khawatir mengganggu ketenangan bayinya. "Ahhh, Mas, aku nggak tahan lagi, aku mau keluar," desahnya dengan nafas yang kian tersengal. Seperti ada gunung berapi yang akan meledakkan lahar panas di dalam sana. "Aku juga, sayang. Ayo kita ke luar bersama." Detik berikutnya, tubuh polos keduanya mengejang, seolah berlomba-lomba menyemprotkan cairan cinta masing-masing. Cairan yang menghasilkan benih yang ada dalam perut Naomi saat ini. Beberapa saat, dengan posisi Adrian yang masih men
"Naomi, Mas Adrian, makasih ya makan siangnya, kenyang banget. Makasih udah nganterin sampai rumah. Makasih untuk buketnya juga." Desy berterima kasih atas apa yang dia dapat hari ini dari Naomi dan Adrian sebagai hadiah. Kalau tidak ada Naomi dan suaminya, pasti hari kelulusan Desy akan terlewati biasa saja, seperti tidak terjadi apa-apa. "Iya Des, sama-sama. Kami senang kok kalau kamu senang."Seharusnya aku yang terima kasih sama kamu Des, gara-gara kamu minta aku datang, aku jadi bisa bertemu Naomi hari ini. Adrian hanya mengucapnya dalam hati seraya memandang lekat istrinya. Setelah ini apa ya? Naomi masih melambaikan tangan ke arah Desy ketika mobil yang dikendarai Adrian sudah jauh meninggalkan pekarangan rumah sahabatnya. Entahlah, rasanya agak canggung saja setelah tinggal berdua dengan Adrian. Tidak ada juga topik yang hendak dibicarakan. "Sayang, kamu mau ke mana lagi? Mumpung kamu ke luar, mungkin