Jack's POV
"Samosa satu!’’
"Chapati!’’
"Jalebi!’’
"Nasi palao lima!’’
"Kebab Turki tiga!’’
Aku menghabiskan hari-hariku kini berdiri di balik sebuah meja layan bersama sederetan pria yang secara cover sangat berbeda denganku. Mereka tidak putih, pun tak hitam. Rambut mereka tidak pirang, pun tak terlalu hitam. Mata mereka tidak biru, pun tak hitam, tapi hijau seperti zamrud. Garis wajah mereka kuat seolah menegaskan batas-batas darimana mereka berasal. Deretan pria yang ikut bekerja bersamaku adalah mereka yang datang dari daratan asia bagian selatan, barat, dan Afrika utara. Mereka sangat bertenaga, tak ubahnya saat mereka berperang melawan orang-orang kulit putih.
"Nasi palaaouow! Samoouwssaa! Kebbabbe! Semmuwannyya limmaa rrubbell! Tashakor!’’
Suasana kedai saat itu meriah oleh piring-piring, wajan, gelas, televisi, dan kucuran air. Suhu diluar adalah dua derajat celsius. Suhu di dalam mencapai sepuluh derajat. Bau daging merambah ke pelosok ruangan. Orang-orang terus berdatangan menjelang senja, memesan ini itu sambil menunggu dan tertawa terbahak-bahak. Orang-orang itu yang datang ke kedai ini bukan datang dari bangsaku. Mereka adalah para imigran dari dataran Asia bagian selatan dan sekitarnya. Jelas, sebab ini bukan rumah makan Rusia, meski berada di Rusia. Ini adalah rumah makan orang Afghanistan-Samovar.
Aku dipertemukan dengan sepasang suami istri, Rajif dan Gula waktu aku berpetualang mencari kehidupan usai meninggalkan motel Katya. Aku masih miskin tetapi aku sudah terlanjur bertekad untuk melakukan kelahiran baru. Aku ingin mencari pekerjaan dan hidup normal sebagai Jack. Persetan dengan Jay! Aku ingin melupakannya. Aku tak mau menjadi penghuni abadi penjara gara-gara kasus Semenanjung Gulag yang tak kunjung selesai. Semenanjung Gulag adalah wilayah kamp konsentrasi para pekerja yang bekerja untuk komunis. Peristiwa penjeblosan penjaraku bermula dari kamp itu. Ceritanya rumit. Terlalu banyak konspirasi dan penenggelaman bukti. Namun yang pasti, Semenanjung Gulag telah membawa kesempatan bagi orang ahli neraka untuk kabur dari hukumannya. Digantikan dengan insan-insan yang lugu-yang mudah ditipu yang akhirnya harus menderita akibat pemutar balikan fakta. Aku tidak lugu, pun tiada bersalah, tapi aku tahu sesuatu, makanya mereka menjebloskanku.
Dan udara yang menggigit ini telah memutus asaku. Aku sudah cukup puas bisa kabur, sekarang aku berserah apakah rusuh di Semenanjung Gulag harus diusut tuntas atau tidak, biar Tuhan saja yang menentukan. Toh, dunia ini pun penuh oleh orang-orang berdosa yang tidak dihukum?
*****
Pada mulanya aku berjalan kaki dan bergerak ke arah selatan melewati rumah-rumah penduduk yang terkunci dalam dinginnya waktu. Jadi beginilah rasanya berjalan tanpa tujuan, kosong. Pada akhirnya aku berada di suatu titik dimana aku mengalami kelelahan dan kedinginan. Seorang pria menyelamatkanku dan membawaku ke flatnya.
"Terima kasih,’’ kataku saat mulai sadar. Pria itu menggumam dan membawakan semangkuk sup untukku. "Terima kasih,’’ kataku lagi dan menerimanya. Aku tak bisa pura-pura bahwa aku tidak lapar. "Terima kasih,’’ kataku untuk ketiga kalinya. Aku bingung harus bilang apalagi. Dalam dua hari ini hidupku berjalan laksana mukjizat. Dua hari dan aku menemukan dua orang baik, Katya dan…
"Hamzah,’’ ucap pria itu.
Hamzah.
Katya dan Hamzah, orang-orang berhati penolong.. ya setidaknya begitu.
"Terima kasih. Namaku Jack.’’
Kami tenggelam dalam obrolan seru selama beberapa hari dan suatu kejutan karena aku merasa cocok dengannya. Saat bersama Katya aku membeku. Tetapi Hamzah seolah-oleh merupakan wujud dari pelampiasan atas apa yang telah terjadi denganku, atas apa yang melelahkanku dan aku benar-benar rindu untuk tertawa. Hamzah jadi temanku-untuk beberapa hari. Sama seperti Katya (Oh, kenapa aku selalu mengungkit namanya) Hamzah adalah orang baik. Aku rasa begitu. Ia adalah orang blasteran Indonesia-Rusia. Maka dari itu kulitnya sedikit gelap dan badannya agak kecil. Tetapi matanya biru. Ia humoris selama ini. Namun hidupnya ternyata tak lebih beruntung dariku. Ia kehilangan istrinya dan untuk menemukannya kembali, ia bertekad keliling dunia. Tuhan, Engkau luar biasa telah menciptakan manusia seperti Hamzah!
Aku tinggal bersama Hamzah untuk beberapa waktu. Selama itu, aku juga diam-diam sibuk mencari pekerjaan. Namun, sering kali, aku belum mendapatkan keberuntungan.
"Minggu ini aku akan ke London,’’ sahut Hamzah. "Sedih berpisah denganmu, tetapi aku harus menemukan istriku.’’
Seharusnya aku yang sedih, kehilangan manusia sebaik Hamzah. Aku ragu apakah setelah ini, setelah Hamzah terbang ke Eropa, aku akan bertemu seseorang yang baik lagi? Kemungkinannya pasti satu banding satu juta. Namun betapa pun, aku harus yakin bahwa orang baik itu selalu ada. Mungkin aku bisa menjadi salah satunya atau tidak sama sekali.
"Kau boleh memiliki tempat ini ..’’
"Tidak perlu, kau tidak usah repot-repot. Aku akan segera pergi juga,’’ potongku, merasa tidak enak hati.
"Pergi kemana?’’ tanya Hamzah penuh selidik. Aku kebingungan menjawab untuk beberapa saat.
"Aku akan mencari pekerjaan dan hidup dengan pekerjaanku.’’
Hamzah memandangku, ekspresinya sulit ditebak. Lalu ia merogoh kantung celananya, mengambil dompet dan mengeluarkan suatu kartu serta sebuah kaset.
"Ini kartu namaku. Semoga kita bisa bertemu kembali.’’
Aku mengamati kaset yang diberikannya. Hamzah adalah seorang penyanyi.
"Ya, aku berharap begitu. Senang bertemu denganmu.’’
Aku mengeryitkan dahi. Hamzah tertawa renyah, seperti biasanya.
"Hari pertama yang kau lihat adalah teman, hari berikutnya yang kau lihat adalah saudara. Itu pepatah Afghan.’’
Aku terkesan. "Bahasa farsimu mengagumkan.’’
Ia menjawab sambil tertawa, memperlihatkan gigi-giginya yang putih. "Istriku orang Afghanistan.’’
Oh, aku terkejut. Lalu terkesan lagi.
"Kau adalah saudaraku.’’
Kami berpelukan dengan gentleman. Oh Tuhan, aku benar-benar tidak bisa mengerti bagaimana kehidupan itu sesungguhnya berjalan. Aku merasa sangat beruntung bertemu Hamzah, dan saat ia hendak pergi aku merasa takut takkan bertemu orang seperti dia lagi.
"Hah!’’ Hamzah berteriak. Aku kaget. Ia mengacungkan tangannya di dekat dahi. "Aku tahu siapa yang kira-kira bisa memberimu pekerjaan!’’
Jadi begitulah akhirnya aku diperkenalkan dengan Rajif dan Gula, lalu akhirnya bekerja untuk mereka.
*****
Katya's Pov
Aku mengukur bulan yang terjebak di jendela. Jendela bujur sangkar berwarna cokelat kayu, bergaya feodal kuno. Bulan baru, bulan sabit, setengah lingkaran, seperempat lingkaran, lingkaran. Proses itu memakan waktu berhari-hari. Jika dikonversikan ke menit dan detik maka bilangannya barangkali sudah seperti nomor telepon. Namun selama itu, sepanjang fase-fase bulan berganti. Aku terus teringat padanya. Dan aku gelisah memikirkan kenyatan bahwa ia mungkin tidak mengingatku. Meski ia bilang takkan melupakanku. Ah, aku gelisah.
Suara di radio terus berdendang. Menyanyikan lagu yang sama semenjak Jack lepas landas dari motel ini.
Like a castle, built upon a sandy beach.. gone too soon…
Like a perfect flower, that is just beyond your reach… gone too soon…
Born to amuse, to inspire to delight… here one day… gone one night…
Like a sunset, dying with the rising of the moon… gone too soon…’’
Aku teringat pesan seseorang, Nyonya Koo, salah satu tetanggga terbaikku. Ia pernah berkata "Jika seorang pria bilang bahwa ia takkan melupakanmu, maka itu benar adanya.'' aku terlonjak senang mengingat ini, sekaligus menjadi sangat sedih karena hari demi hari, perkataan Nyonya Koo terus mendekati salah. Ah!
Jack's PovMenjadi pelayan di restoran Afghanistan adalah sesuatu yang fatal. Begitu menurutku. Bukan gajinya sedikit, bukan majikannya yang bawel, bukan teman-temannya yang norak, bukan pengunjungnya yang heboh, tapi bekerja disini seolah-olah telah menyambungkan rantai sejarah yang baru saja putus. Rantai sejarah yang merupakan proyek gagal bangsaku, tapi jebolan Afghani. Kau tahu maksudku? Tidak. Ah, sudahlah. Berarti kau tak pernah belajar sejarah.Rajif dan Gula memandangiku dari ujung kaki sampai ujung jidat saat pertama kali aku datang melamar pekerjaan pada mereka. Hamzah sampai harus berdehem untuk menurunkan mereka dari langit kejayaan dan keunggulan dari suatu yang diremehkan. Aku mengerti betapa bersoraknya mereka menjadi majikan di negeri yang dulu membabukan negerinya."So, what’s your name, boy?’’ tanya Rajif saat menangkap mataku menyapu ruang depan restorannya. Aku segera berpindah pandang men
Leningrad, Akhir musim dingin 1992…Katya's PovLangit di atas kota Leningrad keruh, seperti langit pada umumnya di musim dingin. Angin bertiup kencang dan pohon-pohon castuarina bergoyang ke kanan dan ke kiri. Wusshhhh… kadang-kadang beberapa genteng terbang berantakan karena tak mampu menahan laju angin. Juga benda-benda yang ringan yang berserakan di atas salju, bahkan salju sendiri bisa ikut terhempas layaknya pasir di gurun.Motelku tak begitu ramai pada musim ini. Alasannya banyak, cuaca, salju, dan pada akhirnya ekonomi yang anjlok usai jatuhnya rezim komunis. Aku masih belum bisa mewujudkan impianku membeli tv untuk setiap kamar sebagai hiburan baru bagi penginap di motelku. Masih dengung radio yang meletup-letup. Betapa bosannya! Kemarin, aku mendengarkan suara dari penyiar BBC melaporkan kabar tentang politik, kejahatan, perang, dan ambisi. Kemarinnya lagi, aku mendengarkan kabar dari CNN
Aku menghela nafas dan nafasku menampar udara, bergema ke segala sudut."Ah, Katya!’’ Nyonya Koo menyahutku saat ia mendengar gema nafasku. Suaranya bergema juga ke segala sudut sehingga aku hampir merasa ia memanggil namaku empat kali. Katya..Katya...Katya....Katya...! hal itu terjadi karena kami tengah berjalan di antara koridor kamar yang dibatasi dinding-dinding menjulang sehingga dilihat dari hukum fisika, bisa menghasilkan gema, begitulah. Aku tersenyum."Kau terlihat semakin cantik,’’ puji Nyonya Koo."Terima kasih,’’ kataku."Pasti sudah banyak pria yang tergila-gila padamu.’’Hmmm, kenyataannya tidak. Aku sedih jika harus memikirkan nasib ini. Ternyata cantik pun tak bisa menjamin seorang gadis akan mudah mendapatkan pacar. Baru-baru ini aku membaca artikel berisi keajaiban cinta dari majalah Vogue. Isinya menjelaskan bahwa ada seorang lelaki tampan yang menikahi ga
Perlu diketahui bahwa aku mendapatkan banyak cerita tentang Nyonya Koo bukan dari empunya nama itu sendiri, melainkan dari orang-orang yang hidup di kota ini, atau di sekitar lingkungannya. Nyonya Koo memang dekat denganku, tetapi ia tidak pernah menceritakan kisah hidupnya secara detil padaku. Ia menceritakan pokok-pokoknya saja, kadang-kadang itu pun berkat usahaku membujuknya. Sering kali aku berpikir apakah Nyonya Koo tak butuh seseorang untuk membagi pengalaman hidupnya. Setidaknya berbagilah tips-tips bagaimana ia bisa menjadi begitu kaya dan berpengaruh di China. Tidak. Ia tak bercerita sedetil itu.Begitu banyak varian kisah tentang keluarga Koo, Tuan dan Nyonya Koo tepatnya. Tetapi tetap saja ada beberapa pertanyaan yang tak terjawab mengenainya. Seperti yang sudah kusebut, bagaimana ia bisa begitu kaya dan berpengaruh di China? Bagaimana pemerintah Soviet mengabulkan permintaan mereka menjadi warga negara Soviet dengan mudah? Dan mengapa pemerintah Soviet membiarkan
Musim Dingin, Rusia, 1992...Jack's PovApa yang dapat aku ingat dari bangunan konstruksi gaya renaissance yang kelabu itu? Apa yang dapat aku kenang dari gerbang besinya yang karatan, yang suka berderit-derit waktu angin tertawa, juga yang suka dijadikan wadah bagi burung-burung gereja?Apa yang aku lihat hanyalah sipir penjara yang berjalan mondar mandir tanpa tujuan, gerombolan pria brutal yang tak memiliki asa, juga benda-benda hitam seperti alat penyiksa. Yang kulihat saat itu hanyalah gelap.Apa yang dapat aku dengar hanyalah deritan gerbang tua, irama mesin ketik, denting-denting alat makan, gemuruh nafas orang-orang gila, dan kaokan burung-burung gagak di malam hari.Aku benar-benar tak mengerti bagaimana sebenarnya kehidupan itu berjalan. Ia seperti petir, muncul dan menghilang begitu cepat. Namun, tiba-tiba mementaskan suara gelegar.Kemarin aku adalah belalang di padang bebas. Hari ini, aku mungkin perkutut di da
Katya PovAku bertemu dengannya di stasiun kereta api, bukan mungkin di dekat tempat pembelian tiketnya, bukan mungkin di peronnya, ah-sama saja, apalah itu sekarang tidak begitu berarti. Bagian terpentingnya adalah aku kehilangan tiket perjalanan ke Leningrad dan benar-benar kalut karena hal itu. Masalahnya kereta yang ke jurusan itu adalah kereta terakhir hari ini. Aku tidak mengerti bagaimana tiket itu bisa hilang? Aku tertidur dan lupa segalanya.Aku sungguh terkejut ketika seorang lelaki datang padaku dan mengatakan, "Maaf, ini tiketmu."Aku membeku sepersekian detik, tak tahu harus bagaimana. Sore itu udara di Rusia sangat dingin dan salju turun seperti gugusan kapas. Aku berterima kasih padanya."Tidak perlu berterima kasih, sebenarnya aku tadi mencuri tiketmu," katanya.Aku seperti tersengat listrik seribu volt dan lelaki itu hanya tersenyum kecut."Beraninya kau mencuri tiketku!!! Berani sekali!! Dasar Baj*ng*n!!! K
Jack's POVAku membolak-balik lembaran koran crocodile, dan beberapa koran merk lain, lokal maupun internasional pagi ini. Berita tentang pembantaian Srebenica terpampang sebagai tampilan awal pada rata-rata koran, disusul masalah robohnya perang dingin, perang di Afghanistan, konflik di Timur tengah, kelaparan di Ethiopia, rusuh di Somalia, kejayaan Eropa, inflasi di Asia Tenggara, politik di Rusia, persoalan hidup di pelosok Rusia, musim dingin di Moskow, macam-macam resep makanan untuk musim dingin, macam-macam pernak-pernik untuk musim dingin, macam-macam hiburan di musim dingin, cara mendekorasi pohon cemara, cara membuat kue tart cokelat, pemutaran ulang film ‘Lolita’, asal usul nama crocodile dari koran crocodile, dan akhirnya… pas foto seorang napi yang kabur dari penjara. Aku menelan ludah. Tanpa aku insyafi lagi aku membaca biografi diriku. Yah, barangkali tidak ada bedanya dengan sesosok artis yang suka
Perlu diketahui bahwa aku mendapatkan banyak cerita tentang Nyonya Koo bukan dari empunya nama itu sendiri, melainkan dari orang-orang yang hidup di kota ini, atau di sekitar lingkungannya. Nyonya Koo memang dekat denganku, tetapi ia tidak pernah menceritakan kisah hidupnya secara detil padaku. Ia menceritakan pokok-pokoknya saja, kadang-kadang itu pun berkat usahaku membujuknya. Sering kali aku berpikir apakah Nyonya Koo tak butuh seseorang untuk membagi pengalaman hidupnya. Setidaknya berbagilah tips-tips bagaimana ia bisa menjadi begitu kaya dan berpengaruh di China. Tidak. Ia tak bercerita sedetil itu.Begitu banyak varian kisah tentang keluarga Koo, Tuan dan Nyonya Koo tepatnya. Tetapi tetap saja ada beberapa pertanyaan yang tak terjawab mengenainya. Seperti yang sudah kusebut, bagaimana ia bisa begitu kaya dan berpengaruh di China? Bagaimana pemerintah Soviet mengabulkan permintaan mereka menjadi warga negara Soviet dengan mudah? Dan mengapa pemerintah Soviet membiarkan
Aku menghela nafas dan nafasku menampar udara, bergema ke segala sudut."Ah, Katya!’’ Nyonya Koo menyahutku saat ia mendengar gema nafasku. Suaranya bergema juga ke segala sudut sehingga aku hampir merasa ia memanggil namaku empat kali. Katya..Katya...Katya....Katya...! hal itu terjadi karena kami tengah berjalan di antara koridor kamar yang dibatasi dinding-dinding menjulang sehingga dilihat dari hukum fisika, bisa menghasilkan gema, begitulah. Aku tersenyum."Kau terlihat semakin cantik,’’ puji Nyonya Koo."Terima kasih,’’ kataku."Pasti sudah banyak pria yang tergila-gila padamu.’’Hmmm, kenyataannya tidak. Aku sedih jika harus memikirkan nasib ini. Ternyata cantik pun tak bisa menjamin seorang gadis akan mudah mendapatkan pacar. Baru-baru ini aku membaca artikel berisi keajaiban cinta dari majalah Vogue. Isinya menjelaskan bahwa ada seorang lelaki tampan yang menikahi ga
Leningrad, Akhir musim dingin 1992…Katya's PovLangit di atas kota Leningrad keruh, seperti langit pada umumnya di musim dingin. Angin bertiup kencang dan pohon-pohon castuarina bergoyang ke kanan dan ke kiri. Wusshhhh… kadang-kadang beberapa genteng terbang berantakan karena tak mampu menahan laju angin. Juga benda-benda yang ringan yang berserakan di atas salju, bahkan salju sendiri bisa ikut terhempas layaknya pasir di gurun.Motelku tak begitu ramai pada musim ini. Alasannya banyak, cuaca, salju, dan pada akhirnya ekonomi yang anjlok usai jatuhnya rezim komunis. Aku masih belum bisa mewujudkan impianku membeli tv untuk setiap kamar sebagai hiburan baru bagi penginap di motelku. Masih dengung radio yang meletup-letup. Betapa bosannya! Kemarin, aku mendengarkan suara dari penyiar BBC melaporkan kabar tentang politik, kejahatan, perang, dan ambisi. Kemarinnya lagi, aku mendengarkan kabar dari CNN
Jack's PovMenjadi pelayan di restoran Afghanistan adalah sesuatu yang fatal. Begitu menurutku. Bukan gajinya sedikit, bukan majikannya yang bawel, bukan teman-temannya yang norak, bukan pengunjungnya yang heboh, tapi bekerja disini seolah-olah telah menyambungkan rantai sejarah yang baru saja putus. Rantai sejarah yang merupakan proyek gagal bangsaku, tapi jebolan Afghani. Kau tahu maksudku? Tidak. Ah, sudahlah. Berarti kau tak pernah belajar sejarah.Rajif dan Gula memandangiku dari ujung kaki sampai ujung jidat saat pertama kali aku datang melamar pekerjaan pada mereka. Hamzah sampai harus berdehem untuk menurunkan mereka dari langit kejayaan dan keunggulan dari suatu yang diremehkan. Aku mengerti betapa bersoraknya mereka menjadi majikan di negeri yang dulu membabukan negerinya."So, what’s your name, boy?’’ tanya Rajif saat menangkap mataku menyapu ruang depan restorannya. Aku segera berpindah pandang men
Jack's POV"Samosa satu!’’"Chapati!’’"Jalebi!’’"Nasi palao lima!’’"Kebab Turki tiga!’’Aku menghabiskan hari-hariku kini berdiri di balik sebuah meja layan bersama sederetan pria yang secara cover sangat berbeda denganku. Mereka tidak putih, pun tak hitam. Rambut mereka tidak pirang, pun tak terlalu hitam. Mata mereka tidak biru, pun tak hitam, tapi hijau seperti zamrud. Garis wajah mereka kuat seolah menegaskan batas-batas darimana mereka berasal. Deretan pria yang ikut bekerja bersamaku adalah mereka yang datang dari daratan asia bagian selatan, barat, dan Afrika utara. Mereka sangat bertenaga, tak ubahnya saat mereka berperang melawan orang-orang kulit putih."Nasi palaaouow! Samoouwssaa! Kebbabbe! Semmuwannyya limmaa rrubbell! Tashakor!’’Suasana kedai saat itu meriah oleh piring
Jack's POVAku membolak-balik lembaran koran crocodile, dan beberapa koran merk lain, lokal maupun internasional pagi ini. Berita tentang pembantaian Srebenica terpampang sebagai tampilan awal pada rata-rata koran, disusul masalah robohnya perang dingin, perang di Afghanistan, konflik di Timur tengah, kelaparan di Ethiopia, rusuh di Somalia, kejayaan Eropa, inflasi di Asia Tenggara, politik di Rusia, persoalan hidup di pelosok Rusia, musim dingin di Moskow, macam-macam resep makanan untuk musim dingin, macam-macam pernak-pernik untuk musim dingin, macam-macam hiburan di musim dingin, cara mendekorasi pohon cemara, cara membuat kue tart cokelat, pemutaran ulang film ‘Lolita’, asal usul nama crocodile dari koran crocodile, dan akhirnya… pas foto seorang napi yang kabur dari penjara. Aku menelan ludah. Tanpa aku insyafi lagi aku membaca biografi diriku. Yah, barangkali tidak ada bedanya dengan sesosok artis yang suka
Katya PovAku bertemu dengannya di stasiun kereta api, bukan mungkin di dekat tempat pembelian tiketnya, bukan mungkin di peronnya, ah-sama saja, apalah itu sekarang tidak begitu berarti. Bagian terpentingnya adalah aku kehilangan tiket perjalanan ke Leningrad dan benar-benar kalut karena hal itu. Masalahnya kereta yang ke jurusan itu adalah kereta terakhir hari ini. Aku tidak mengerti bagaimana tiket itu bisa hilang? Aku tertidur dan lupa segalanya.Aku sungguh terkejut ketika seorang lelaki datang padaku dan mengatakan, "Maaf, ini tiketmu."Aku membeku sepersekian detik, tak tahu harus bagaimana. Sore itu udara di Rusia sangat dingin dan salju turun seperti gugusan kapas. Aku berterima kasih padanya."Tidak perlu berterima kasih, sebenarnya aku tadi mencuri tiketmu," katanya.Aku seperti tersengat listrik seribu volt dan lelaki itu hanya tersenyum kecut."Beraninya kau mencuri tiketku!!! Berani sekali!! Dasar Baj*ng*n!!! K
Musim Dingin, Rusia, 1992...Jack's PovApa yang dapat aku ingat dari bangunan konstruksi gaya renaissance yang kelabu itu? Apa yang dapat aku kenang dari gerbang besinya yang karatan, yang suka berderit-derit waktu angin tertawa, juga yang suka dijadikan wadah bagi burung-burung gereja?Apa yang aku lihat hanyalah sipir penjara yang berjalan mondar mandir tanpa tujuan, gerombolan pria brutal yang tak memiliki asa, juga benda-benda hitam seperti alat penyiksa. Yang kulihat saat itu hanyalah gelap.Apa yang dapat aku dengar hanyalah deritan gerbang tua, irama mesin ketik, denting-denting alat makan, gemuruh nafas orang-orang gila, dan kaokan burung-burung gagak di malam hari.Aku benar-benar tak mengerti bagaimana sebenarnya kehidupan itu berjalan. Ia seperti petir, muncul dan menghilang begitu cepat. Namun, tiba-tiba mementaskan suara gelegar.Kemarin aku adalah belalang di padang bebas. Hari ini, aku mungkin perkutut di da