Mendengar pertanyaan Willson, Laura Bella merapatkan bibirnya agar tidak lagi bersuara. Tapi picingan mata Willson membuat Laura Bella tak bisa tidak membela dirinya. “Ka- kan dia mandul, Will. Kamu sendiri yang pernah cerita, kan?” Kali ini giliran Willson yang termangu. “Iya, sih. Memang. Tapi kan siapa tahu dia tiba-tiba tidak mandul lagi. Atau dia sebenarnya tidak mandul. Kan aneh rasanya kalau tidak hamil dan belum ada ikatan apa-apa, tapi sudah pergi periksa bareng ke dokter kandungan. Apa mereka nggak malu, ya?” “Y- yaaa ... bisa aja sih. Mungkin pamanmu mau benar-benar pastiin sebelum merajut hubungan yang lebih jauh lagi.” “Oh, begitu kah?” “Ya, kan bisa aja, Will. Namanya juga dia kan bekasanmu. Pastilah pamanmu juga merasa harus yakin bahwa dia bersih.” “Maksud kamu, mereka cek HIV gitu?” “Ya, nggak tau. Tapi bisa aja. Kalau pastinya ya mana kutahu juga, Will.” Willson akhirnya hanya berdecak-decak kesal sambil menggelengkan kepalanya. Bu Mira yang akhirnya menutupi
Hayden cukup aneh hari ini. Begitu yang Darline pikirkan saat menjelang sore dan pekerjaannya sudah lumayan santai.Biasanya, pria itu minum espresso di pagi hari, sekitar jam 08.00. Lalu sekitar jam 11.30. Dan terakhir menjelang sore sekitar jam 15.00.Tiga kali sehari minum espresso di tempat kerja. Jika malam ada jamuan makan dengan klien, maka selepas jam kantor, Hayden akan meminta dibuatkan secangkir espresso lagi.Tapi kali ini ... hari ini ... dia bahkan berpesan dengan suara beratnya dan wajah yang dibuatnya teramat serius, “Tidak perlu membuatkan aku espresso. Pokoknya, kamu duduk manis saja di ruanganmu, Darl! Awas kalau aku melihatmu naik turun ke pantry lah toilet lah. Pokoknya, duduk manis!”“Lah, kenapa begitu, Mas? Kalau nggak boleh ke pantry, trus kalau aku laper mau makan siang gimana? Dan kalau nggak boleh ke toilet, kalau aku mau pipis gimana?”“Kalau kamu lapar, beritahu aku. Biar aku suruh OB belikan. Atau pesan delivery kan bisa! Kalau mau pipis, pakai toilet pr
“Ng- nggak, kok, Bu! Masa iya saya senyum-senyum sendiri??!” Darline menggeleng dan langsung menyimpan senyumnya itu. Dia memasang wajah serius. Bayangan wajah Hayden yang cemburu memang langsung lenyap ketika dia berhadapan dengan Bu Alma yang semakin hari semakin sinis padanya. Awalnya, wanita itu bagaikan induk ayam yang begitu melindungi anaknya. Tapi entah kenapa, sekarang Bu Alma bagai berubah menjadi predator yang mengamati setiap liku tingkah laku Darline penuh kecurigaan. “Itu kamu senyum-senyum sendiri! Nggak usah menyangkal kamu!” Galaknya Bu Alma sekarang sudah menyamai ibunya Willson. Darline pun tetap menyangkal karena tidak mungkin baginya untuk mengakui apa dan siapa sosok yang membuatnya tersenyum-senyum seorang diri. “Nggak kok, Bu. Ibu salah lihat mungkin.” “Lah, kamu malah menuduh saya yang salah lihat?! Jangan mentang-mentang saya berkacamata, kamu menuduh saya setengah buta, ya!” Darline terkesiap dan lang
Melihat tatapan mata Bu Alma yang seakan menyelidikinya, Darline pun menundukkan wajahnya dalam-dalam. Dia sembari memainkan ponsel di tangannya.Di saat itu barulah tercetus ide dadakan di benaknya.Darline berpura-pura membuka pesan di ponselnya dan membaca.“Oh, in- ini, Bu, Bapak ternyata ad- ada chat tadi bilang ada meeting dengan klien di Amuz Gourmet. Sa- saya yang nggak terbaca.”Dia mengarahkan ponsel ke Bu Alma, tapi tidak seluruhnya. Karena apa yang dia tunjukkan sebenarnya tidak ada buktinya.Darline langsung menurunkan lagi ponselnya.Bu Alma tidak langsung menjawab dan wajah wanita itu menatap Darline masih penuh kecurigaan.Darline pun cepat-cepat memasukkan ponsel ke dalam tasnya takut Bu Alma tiba-tiba meminta untuk melihat isi pesan dari Pak Hayden.Tidak mungkin dia membiarkan Bu Alma melihat isi chatnya dengan pak boss. Bisa ketahuan bagaimana hubungannya dan Hayden yang sebenarnya.Dan ketika dilihatnya Bu Alma masih berpikir keras untuk memberikan pertanyaan skak
Ting tong ting tong‘Siapa ya kira-kira?’ pikir Darline seraya meraih pegangan pintu dan membukanya tapi hanya sedikit saja.Hanya terbentuk celah sekitar satu sentimeter dari pintu, hanya untuk dirinya mengintip siapa yang menekan bell pintu.Begitu dia melihatnya, Darline seakan menghela napas lega lalu membuka pintu lebar-lebar.“Bukannya tadi barusan kirim pesan. Ngapain kirim pesan kalau memang mau datang ke sini?” cerocos Darline dengan wajah galak.Hayden masuk tanpa basa basi. Melihat sekeliling selama dua detik, lalu mengangkat salah satu tangannya.“Aku membawakan ini!” katanya menunjukkan sekantung kresek di tangan sedangkan wajahnya terpeta senyum memukau karena mengandung kejahilan.“Apa itu?” tanya Darline. Di saat bersamaan aroma dari kantong kresek begitu harum. Tanpa jawaban Hayden pun Darline sudah tahu apa itu yang ada di dalamnya.Sekejap saja, Darline bertambah lapar dan perutnya tiba-tiba berbunyi.Kruk ... kruk ... kruk ...Darline melihat perutnya, lalu mengang
Ketika Hayden tiba di penthouse-nya, dia langsung menginjakkan kaki ke balkon atas nya yang berupa rooftop. Di sana, Gael berada bersama dengan seorang wanita dengan 4 pria lain yang merupakan bawahan wanita itu. “Hmm, cepat juga pekerjaan kalian,” katanya pada wanita itu. Miss Deliah mengangguk dan tersenyum. “Apakah ini sudah seperti keinginan Anda, Pak Hayden?” tanyanya seraya tangannya menunjuk ke arah sekelilingnya. Hayden menelisik sekelilingnya dan mengangguk. “Hmm, aku rasa cukup.” Ada banyak dekorasi indah di sana. Dari bunga yang berwarna soft, taburan bunga, karpet, tanaman hias, hingga lampu kerlap kerlip semua sudah tertata rapi. Meski belum selesai sempurna, tapi Hayden bisa melihat kondisi di roof top nya sudah jadi. “Baiklah, Mr. Hayden. Kami hanya tinggal memasang kabel saja, lalu kami akan mengerjakan yang bawah,” kata Miss Deliah lagi. Setelah menelisik semua yang di roof top oke, sesuai keinginannya, Hayden pun mengajak Gael dan Miss Deliah ke bawah. Sesampa
Darline terheran-heran. Dia diminta memakai gaun terbaik hanya untuk pergi ke tempat yang berada beberapa lantai di atas tempat tinggalnya? Diliriknya Hayden yang tampak tenang dan santai. Pria itu menatap ke nomor lift yang menyala merah. Ketika tiba dan lift berbunyi, ‘Ting!’, akhirnya Hayden mempersilakan Darline keluar terlebih dahulu. Raut keheranan Darline terpeta begitu pekat di wajahnya. Itu semua membuat Hayden harus bersusah payah menahan senyumnya. “Aku disuruh memakai gaun seperti ini hanya untuk ke tempatmu, Mas?” Akhirnya Darline tak mampu menahan rasa penasarannya lagi. Dia bertanya, tapi Hayden hanya tersenyum simpul. Semakin membuatnya penasaran. “Mas!” seru Darline lagi. Entah kenapa tiba-tiba saja Darline merasakan firasat yang tidak enak. Bagaimana jika di kediaman Hayden sedang diselenggarakan pesta, lalu ada banyak orang tak dikenalnya di sana? Bagaimana jika Hayden tiba-tiba mengenalkannya sebagai pacar? Kekasih? Atau yang lebih parah ... jika pria itu m
Notes: Ini adalah part non-gembok. Di publish karena ada kesalahan publish bab sebelumnya. Tapi sekarang sudah beres semua jadi ... part ini skip saja ya. Terima kasih. ***Notes: Ini adalah part non-gembok. Di publish karena ada kesalahan publish bab sebelumnya. Tapi sekarang sudah beres semua jadi ... part ini skip saja ya. Terima kasih. ***Notes: Ini adalah part non-gembok. Di publish karena ada kesalahan publish bab sebelumnya. Tapi sekarang sudah beres semua jadi ... part ini skip saja ya. Terima kasih. ***Notes: Ini adalah part non-gembok. Di publish karena ada kesalahan publish bab sebelumnya. Tapi sekarang sudah beres semua jadi ... part ini skip saja ya. Terima kasih. ***Notes: Ini adalah part non-gembok. Di publish karena ada kesalahan publish bab sebelumnya. Tapi sekarang sudah beres semua jadi ... part ini skip saja ya. Terima kasih. ***Notes: Ini adalah part non-gembok. Di publish karena ada kesalahan publish bab sebelumnya. Tapi sekarang