Darline menunduk, menghindari tatapan Hayden yang menanti jawabannya.
Dia sungguh tidak tahu harus menjawab apa. Satu sisi hatinya merasa nyaman dengan Hayden, tapi dia tahu tidaklah etis jika dia langsung berada dalam pelukan Hayden di saat statusnya baru saja resmi bercerai.
Karenanya Darline menggeleng.
“Aku rasa, kita jangan terburu-buru, Mas.”
Hayden terlihat kecewa, karena itulah Darline cepat melanjutkan, “Aku tidak mau kita menjadi bahan gosip, Mas. Pikirkan status dan jabatanmu. Kita bisa dianggap melakukan hubungan terlarang.”
Hayden terlihat tak terima dengan kata-kata Darline, tapi belum suaranya keluar, pintu sudah diketuk dan terdengar gerakan membuka pintu beserta suara dari luar.
“Selamat siang, Pak!”
Cekrek ... cekrek ...
Pintu terkunci dan tidak berhasil dibuka.
Sedangkan suara tadi adalah suara Bu Alma.
Darline panik seketika itu juga sedangkan Hayden tampak t
“Darl, malam ini kita lembur lho!” ucap Hayden ketika sore itu Darline datang membawakan esspresonya yang hitam pekat dan tanpa gula sama sekali.Aroma ruangan CEO langsung berubah harum penuh aroma kopi.“Lembur? Lembur ngapain, Mas? Ada meeting ya? Kok sekretaris Mas ini nggak tau sama sekali ya?” tanya Darline seraya memberikan sarkasme kecil pada Hayden.Hubungan Darline dan Hayden semakin dekat sejak berkas perceraian telah resmi keluar. Meskipun Hayden lebih banyak menahan diri dan tidak lagi mendesak-desak Darline untuk segera menjadi kekasihnya.Hayden menyadari apa yang Darline katakan sebelum ini ada benarnya. Wanita itu baru bercerai dan jika tiba-tiba sudah menjalin hubungan dengannya, akan timbul gosip tak sedap dalam kantor ini.Sekalipun sebenarnya mudah saja untuk meredam gosip itu, Hayden memilih untuk tidak membebani mental Darline dengan ketakutan akan gosip dan tekanan-tekanan lainnya.Jadi, sekalipun dekat, saat ini mereka lebih intens sebagai atasan dan bawahan s
“Maasssss ...!”Darline mendorong kuat tubuh Hayden hingga menjauh dari tubuhnya.“Kita nggak bisa seperti ini!” serunya seraya mengatur napasnya menjadi tenang.“Kenapa? Kamu sudah resmi terlepas dari statusmu, Darl! Sekarang kamu single lagi!”Hayden terheran sekalipun saat ini dia sudah menghentikan sentuhannya, meski tubuhnya masih di atas Darline.Hayden melayangkan tatapan lembut penuh hasrat, tapi juga terlihat dari sorot matanya, betapa kuat dia harus menahan dirinya.“Sudah pernah kubilang, bukan? Aku akan bertanggung jawab padamu atas malam itu, andai kamu bukan istrinya Willson. Sekarang, kamu sudah bukan istrinya lagi. Aku ingin kamu menjadi milikku, Darline.”“Iya, Mas, aku ingat. Tapi ...”“Tapi apa?”“Waktu itu kan aku takut Willson tahu kita tak sengaja bersama. Sekarang, semuanya sudah terkuak dan Willson adalah dalangnya. Jadi
Darline membuka matanya pagi itu akibat dering ponsel yang membangunkannya.Alarmnya telah berbunyi tapi entah mengapa kedua matanya masih terasa berat.Hatinya bagai masih terus terkenang-kenang atas kejadian semalam. Meski dia tidak mengerti, tapi dinginnya sikap Hayden seakan masih membayangi benaknya.Diraihnya ponsel untuk mematikan alaram.Begitu Darline hendak bangkit, perutnya terasa asam luar biasa.Sesuatu seakan mengaduk-aduk perutnya.Darline bangkit dan berlari menuju toilet dan memuntahkan isi perutnya.Setelah beberapa kali muntah, Darline akhirnya kembali ke ranjang dan duduk bersandar.Drrrt. Drrrrt.Terdengar ponselnya bergetar.Darline membuka pesan masuk untuknya.Dari Pak Boss.[Darline, pagi ini aku golf sebentar dengan Mr. Fritzer. Setelahnya baru aku ke kantor. Kamu ke kantor sendiri bisa? Atau aku minta Gael mengantarkanmu?]Darline tersenyum kecil. Setidaknya, Pak Boss ternyata masih perhatian padanya. Walau terdengar aneh, masa dia yang karyawan tapi dia jug
Saat tiba di kantor, Hayden langsung mendapatkan kunjungan dari Bu Alma.Apa lagi jika bukan karena mau mengecek apakah keterlambatan datang Mr. CEO mereka ada hubungan dengan sakitnya Darline?Biar bagaimana pun Bu Alma sudah curiga dan semakin curiga.“Selamat siang, Pak. Tumben masuknya siang, Pak?” tanya Bu Alma dengan nada bercanda.Dia tahu Hayden takkan tersinggung jika ditanya seperti ini.“Iya, tadi menemani Mr. Fritzer dulu bermain gold. Ada agenda urgent hari ini?”‘Oh, benar yang tadi Darline katakan, main golf dulu ...’Bu Alma melanjutkan,“Oh, iya, Pak. Perwakilan dari Top-Oil Asia ingin bertemu siang ini membahas penawaran kerjasama.”“Top-Oil Asia? Hmm, Oke. Nanti minta bagian produksi ikut meeting ini dengan saya.”“Baik, Pak. Oh ya ... hmm ... Darline sakit ya, Pak? Tadi katanya dia sudah minta izin sama Bapak?”
“Selamat, Pak, istri Anda tidak enak badan karena hamil. Ini kantung kehamilannya yang sudah berusia kurang lebih 6 minggu. Sudah terlihat jelas. Bahkan ini, perhatikan yang ini, dalam satu dua minggu ke depan, embrio akan terbentuk lebih jelas. Sudah akan bisa dilihat mana kepala, tangan, badan, dan kaki. Yah ... pokoknya selamat!”Ucapan selamat dari dokter paruh baya, yang dilontarkan pada mereka dengan penuh keceriaan, tidak juga membuat Darline tersenyum lebar.Hayden memang mendaftarkan Darline sebagai pasien dengan menyebut diri mereka sebagai suami istri. Jadi tidak salah jika dokter mengira mereka pasangan suami istri yang sudah lama menunggu buah hati.Darline sendiri memang sudah lama menunggu kabar kehamilan dirinya. Sepanjang pernikahannya dengan Willson, Darline sudah tak sabar mendapati dirinya hamil. Tapi, tiga tahun pernikahan dan dia tak kunjung hamil, Darline mengira ada yang salah dengan dirinya.Sekalipun hasil pemeriksaan kesuburan yang dia lakukan diam-diam meny
Lissa sedang menunggu pemeriksaan Marina bersama dua orang teman kost-nya ketika dia berjalan-jalan sendiri di koridor rumah sakit, hendak menuju kafetaria untuk membeli minuman ketika tatapannya tanpa sengaja tertuju pada dua orang yang snagat dikenalnya. Paman Hayden dan Darline? Di benaknya langsung terbersit berbagai hal negatif yang mungkin dilakukan pamannya dan mantan kakak iparnya itu. “Ben- bentar ya, gaes, gue ke toilet dulu!” seru Lissa yang langsung meninggalkan dua temannya itu. “Eh? Toilet emangnya di sebelah sana? Perasaan di sana deh!” seru seorang temannya tapi tak lagi digubris Lissa. Rasa penasaran yang disertai keengganan menampakkan dirinya pada dua orang itu membuat Lissa membuntuti mereka. Paman Hayden tampak begitu melindungi Darline saat berjalan. Lissa mendengus kesal melihat tangan pamannya itu bertengger di pinggang belakang Darline. “Kapan ya gue dapet cowok kayak gitu! Huh!” gumam Lissa seraya terus membuntuti dari jarak beberapa meter. Tak lama k
Mendengar pertanyaan Willson, Laura Bella merapatkan bibirnya agar tidak lagi bersuara. Tapi picingan mata Willson membuat Laura Bella tak bisa tidak membela dirinya. “Ka- kan dia mandul, Will. Kamu sendiri yang pernah cerita, kan?” Kali ini giliran Willson yang termangu. “Iya, sih. Memang. Tapi kan siapa tahu dia tiba-tiba tidak mandul lagi. Atau dia sebenarnya tidak mandul. Kan aneh rasanya kalau tidak hamil dan belum ada ikatan apa-apa, tapi sudah pergi periksa bareng ke dokter kandungan. Apa mereka nggak malu, ya?” “Y- yaaa ... bisa aja sih. Mungkin pamanmu mau benar-benar pastiin sebelum merajut hubungan yang lebih jauh lagi.” “Oh, begitu kah?” “Ya, kan bisa aja, Will. Namanya juga dia kan bekasanmu. Pastilah pamanmu juga merasa harus yakin bahwa dia bersih.” “Maksud kamu, mereka cek HIV gitu?” “Ya, nggak tau. Tapi bisa aja. Kalau pastinya ya mana kutahu juga, Will.” Willson akhirnya hanya berdecak-decak kesal sambil menggelengkan kepalanya. Bu Mira yang akhirnya menutupi
Hayden cukup aneh hari ini. Begitu yang Darline pikirkan saat menjelang sore dan pekerjaannya sudah lumayan santai.Biasanya, pria itu minum espresso di pagi hari, sekitar jam 08.00. Lalu sekitar jam 11.30. Dan terakhir menjelang sore sekitar jam 15.00.Tiga kali sehari minum espresso di tempat kerja. Jika malam ada jamuan makan dengan klien, maka selepas jam kantor, Hayden akan meminta dibuatkan secangkir espresso lagi.Tapi kali ini ... hari ini ... dia bahkan berpesan dengan suara beratnya dan wajah yang dibuatnya teramat serius, “Tidak perlu membuatkan aku espresso. Pokoknya, kamu duduk manis saja di ruanganmu, Darl! Awas kalau aku melihatmu naik turun ke pantry lah toilet lah. Pokoknya, duduk manis!”“Lah, kenapa begitu, Mas? Kalau nggak boleh ke pantry, trus kalau aku laper mau makan siang gimana? Dan kalau nggak boleh ke toilet, kalau aku mau pipis gimana?”“Kalau kamu lapar, beritahu aku. Biar aku suruh OB belikan. Atau pesan delivery kan bisa! Kalau mau pipis, pakai toilet pr