Malam harinya, usai makan malam Rania memilih untuk istirahat di kamar. Tiba-tiba ia teringat kado dari para sahabatnya saat menikah. Ia belum sempat membukanya karena menurut Rania itu tidak penting.
"Aku buka nggak ya," ucap Rania seraya melihat tumpukan kado yang tertata di lemari. Rania memang membawa semua kado tersebut ke rumah Reza."Aku penasaran isi kado dari Lina," gumamnya. Setelah itu Rania mengambil kado yang dari Lina."Awas aja kalau isinya barang aneh." Rania mulai membuka kertas yang membungkus kado tersebut. Setelah terbuka, Rania terkejut saat melihat isinya."Astagfirullah, Lina benar-benar ya. Untuk apa sih dia ngasih kaya ginian, kurang .... ""Kurang banyak ngasihnya, tenang saja nanti aku belikan lagi." Suara yang tidak asing bagi Rania, membuat wanita itu menoleh."Reza, apaan sih." Rania melempar kado yang Lina berikan. Sebuah benda yang biasa digunakan oleh pasangan suami istri."Kok dibuang sih, mubazir tahu." Reza menjatuhkan bobotnya di sebelah istrinya."Itu kado dari siapa?" tanya Reza."Dari Lina," jawab Rania."Udah aku nyesel buka kado dari dia, isinya barang lucknut semua." Rania menutup bungkus kado tersebut, ia tidak habis pikir. Untuk apa Lina memberikan kado seperti itu."Coba buka yang lain, siapa tahu .... ""Nggak mau, paling isinya nggak beda jauh sama punya Lina." Rania kembali menyimpan kado-kado tersebut, sementara Reza hanya menggelengkan kepala lalu merebahkan tubuhnya di ranjang."Kok tidur di sini sih, kamu di bawah sana, atau di sofa," ujar Rania saat melihat Reza sudah berbaring di atas tempat tidur."Aku nggak bisa tidur di sofa, apa lagi di lantai. Badan aku bisa sakit semua," sahut Reza."Udah tinggal tidur doang kok ribet, lagian kita kan udah nikah, udah sah. Mau ngapain aja nggak masalah, pahala tahu," ungkap Reza. Seketika Rania terdiam mendengar hal tersebut, memang salah jika terus menunda hak yang seharusnya menjadi milik Reza."Awas kalau kamu berani macem-macem, nanti aku laporin ke polisi," ancamnya. Sementara Reza tersenyum mendengar ancaman dari istrinya itu."Aku nggak suka yang macem-macem, aku sukanya yang satu macem," sahut Reza sembari mengedipkan sebelah matanya."Ish, nyebelin banget sih punya laki kaya Reza," batin Rania. Dengan sangat hati-hati Rania merebahkan tubuhnya di sebelah Reza. Bahkan untuk berjaga-jaga Rania meletakkan bantal guling di tengah sebagai pembatas.***"Rania bangun, Rania." Reza menepuk pelan pipi Rania agar terbangun. Pasalnya sudah hampir jam enam Rania belum juga bangun."Rania bangun." Reza kembali membangunkan istrinya itu.Samar-samar Rania mendengar bisikan di telinganya, bukan itu saja. Rania juga merasakan ada benda kenyal yang menempel di bibirnya. Sontak Rania membuka mata, sedetik kemudian ia terkejut saat melihat wajah Reza sudah ada di depan mata.Buk, Rania menonjok hidung Reza hingga pria itu mundur seraya memegangi hidungnya yang terasa sakit. "Dasar perempuan jadi-jadian, sakit tahu.""Salah kamu sendiri main nyosor aja, kamu pikir aku nggak tahu apa yang kamu lakukan," ujar Rania seraya bangkit dan terduduk.Reza tersenyum. "Memangnya kamu tahu, aku tadi habis ngapain."Sontak Rania salah tingkah, bahkan wanita itu menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Sedetik kemudian Reza tertawa melihat ekspresi wajah Rania. Rania yang melihat Reza tertawa tiba-tiba memukulnya dengan bantal, sungguh sangat menyebalkan."Buruan bangun, setelah itu mandi, sarapan. Katanya hari ini mau mulai kerja lagi," titah Reza."Sepuluh menit lagi." Rania kembali merebahkan tubuhnya."Mau mandi sendiri atau aku mandiin," kata Reza. Detik itu juga Rania melotot mendengar hal tersebut."Iya, iya, bawel banget sih kayak emak-emak KBM." Rania bangkit dari tempat tidur, lalu bergegas masuk ke dalam kamar mandi.Tepat pukul tujuh Rania serta Reza sudah dalam perjalanan menuju ke tempat kerja. Sebelum Reza pergi ke kantor ia akan mengantar Rania terlebih dahulu ke toko di mana istrinya itu bekerja."Nanti pulang jam berapa?" tanya Reza."Biasanya jam lima, memangnya kenapa." Rania balik bertanya."Nanti aku jemput," jawab Reza."Terserah kalau nggak ngerepotin," sahut Rania, pengen nolak tapi Reza pasti akan memaksa."Tumben langsung setuju, biasanya pakai acara protes dulu," sindirnya. Memang biasanya Rania akan protes jika Reza melakukan sesuatu yang tidak ia sukai."Lagi males, lagian kamu kan tukang paksa. Percuma juga protes," sahut Rania, hal tersebut membuat Reza tersenyum."Gitu dong, kalau nurut kan enak." Reza mengacak rambut panjang Rania. Seketika bibir Rania mengerucut lantaran rambutnya berantakan.Tidak butuh waktu lama, kini mobil Reza sudah berhenti di depan toko tempat Rania bekerja. Sejujurnya Reza ingin melarang istrinya itu untuk bekerja, tetapi Rania menolak dengan alasan akan bosan jika berada di rumah terus."Salim dulu." Reza mengulurkan tangannya."Memang harus ya?" tanya Rania."Iya lah, wajib malahan," sahut Reza, dengan sedikit terpaksa Rania mencium punggung tangan Reza.Setelah berpamitan, Rania bergegas turun dari mobil, lalu melangkahkan kakinya masuk ke dalam toko. Baru saja menginjakkan kaki, tiba-tiba Lina serta teman kerja yang lain heboh. Mereka berjalan menghampiri Rania yang baru saja datang."Cie, cie pengantin baru, gimana malam pertamanya, pasti seru dong," kata Lina seraya mengedipkan sebelah matanya."Ish apaan sih, bisa nggak sih nanyain yang lain aja," sahut Rania yang kesal akan pertanyaan temannya itu."Nggak seru dong kalau nanya yang lain. Iya nggak, Lin." Nila menimpali."Betul banget itu," sahut Lina."Terserah deh, aku ke sini mau kerja bukan untuk ngeladenin pertanyaan nggak penting dari kalian." Rania berjalan menuju meja kasir. Sementara kedua temannya itu tertawa melihat ekspresi wajah Rania.***Waktu berjalan begitu cepat, tepat pukul lima sore Rania keluar dari tempat kerjanya. Setibanya di luar, Reza sudah menunggunya, gegas Rania berjalan menuju mobil lalu masuk ke dalam."Langsung pulang ya, sepertinya akan hujan udah mendung banget," ujar Reza, lalu menyalakan mesin mobilnya."Iya, aku juga udah capek banget, pengen istirahat," sahut Rania. Perlahan mobil melaju meninggalkan pelataran toko.Dalam perjalanan Rania memilih untuk diam, ia masih kesal dengan berbagai pertanyaan yang Lina serta teman lainnya lontarkan selama di tempat kerja. Sementara itu, Reza memilih untuk fokus menyetir.Tiba-tiba saja, di tengah jalan mobil berhenti, Reza berusaha untuk menyalakan mesin mobilnya kembali, tetapi tidak bisa. Jujur, Rania merasa khawatir dan juga panik. Tempat sepi, di tambah hujan deras, hal itu membuat pikiran Rania travelling."Mobilnya kenapa, Za?" tanya Rania."Sepertinya mogok, soalnya udah lama banget nggak aku servis," jawab Reza."Ish, percuma mobil bagus, tapi nggak dirawat," sahut Rania."Sepertinya kita akan terjebak di sini," ujar Reza, hal tersebut membuat Rania semakin khawatir."Jangan bercanda deh, kamu cek ke luar sana," pinta Rania."Nggak mau, hujan gede banget dingin tahu." Reza menolak perintah Rania."Ran, kayaknya enak nih, hujan-hujan gini. Jadi anget," ujar Reza, detik itu juga Rania memukul lengan lelaki di sampingnya itu."Kok mukul sih, emang aku salah apaan," ujar Reza."Dasar otak mesum, nggak ingat tadi habis ngomong apa," sahut Rania. Detik itu juga Reza tertawa."Yang otak mesum itu aku atau kamu, aku lagi bayangin kalau makan bakso hujan-hujan kaya gini, enak. Badan jadi anget, sekarang yang pikirannya mesum siapa." Reza menjelaskan, seketika Rania salah tingkah."Reza nyebelin banget sih, ampun deh punya suami kaya dia," batin Rania. Tiba-tiba saja terdengar petir menyambar, sontak Rania menjerit."Aaa, Mama." Rania menjerit, lalu menghambur ke pelukan Reza.Reza sedikit tersentak, sementara Rania terkejut hingga matanya melotot saat menyadari jika kedua benda kenyal mereka menempel. Bagi Reza adalah sebuah anugerah, tetapi bagi Rania itu adalah bencana.Plak, buk. Rania memukul lengan dan juga hidung Reza. Detik itu juga Reza memegangi hidungnya, beruntung tidak mengeluarkan darah. Entah kenapa Rania selalu seperti itu saat dekat dengan Reza, padahal mereka sudah sah menjadi suami istri. "Kasar banget jadi cewek, aku kutuk jadi istri penurut baru tahu rasa," ujar Reza seraya mengusap hidungnya yang masih terasa sakit. "Salah kamu sendiri, kenapa ... aaa." Rania kembali menjerit saat mendengar petir. Bukan itu saja, Rania juga memeluk tubuh Reza seperti sebelumnya. "Tuh kan, yang meluk dulu siapa," sindirnya. Seketika Rania terdiam, lalu membuka matanya. Detik itu juga Rania melepas pelukannya. "Maaf, itu reflek. Bukan kesengajaan," kata Rania pelan. Raut wajahnya sudah memerah, karena malu. "Nggak apa-apa kok, rezeki nomplok nggak bakal ditolak," sahut Reza. Rania melotot mendengar hal itu, seolah-olah Reza menggunakan kesempatan dalam kesempitan. "Nggak usah melotot kaya gitu, nanti itu biji mata jatuh siapa juga yang repot,"
Reza terus merem melek melihat pemandangan tak biasa di depan mata. Susah payah ia mengendalikan diri agar tidak terbawa oleh nafsu. Sementara itu, Rania masih pada posisinya, rasa takut dan geli pada cicak membuat Rania melupakan rasa malunya. "Mau sampai kapan seperti ini terus, Ran? Cicak udah pergi. Aku sih nggak keberatan justru .... " Reza menghentikan ucapannya saat Rania menyentil bibirnya. "Kalau bukan karena cicak aku juga nggak bakal kaya gini." Perlahan Rania turun dari tubuh suaminya."Buruan pakai baju, jangan memancingku, jika tidak ingin aku khilaf," ucap Reza. Tanpa pikir panjang Rania mengambil pakaian dan masuk ke dalam kamar mandi. Dua puluh menit kemudian, keduanya sudah berada di meja makan untuk sarapan pagi bersama. Rania terlihat cantik mengenakan seragam kerjanya, hanya saja Reza sedikit risih dengan rok hitam di atas lutut yang Rania pakai. "Ran, emang nggak ada rok yang lebih panjang gitu. Aku risih lihat kamu pakai rok sependek itu," ungkap Reza sembar
Rania bergegas menuju lemari untuk mengambil pakaian, sementara itu Reza memilih untuk mandi terlebih dahulu. Usai mandi dan berpakaian, kini keduanya segera turun untuk makan malam bersama. "Reza, Rania, kapan kalian pergi honeymoon?" tanya Hesty. Mendengar hal itu membuat Rania tersedak. Uhuk, uhuk, dengan cepat Reza memberinya segelas air putih. Rania langsung menerimanya, lalu meneguknya. Sementara itu Hesty terlihat khawatir melihat menantu kesayangannya itu sampai tersedak. "Rania kamu baik-baik saja kan?" tanya Hesty. "Aku nggak apa-apa kok, Ma." Rania menggelengkan kepalanya. "Mama sih nanyanya aneh-aneh," timpal Irwan. "Ya nggak aneh lah, Pa. Kan biar kita cepat dapat cucu," sahut Hesty seraya memukul lengan suaminya itu. "Apa tidak terlalu cepat, Ma? Umur mereka saja masih muda," kata Irwan. Kemudian Hesty menatap putra dan menantunya secara bergantian. "Rania apa kamu belum siap untuk pergi honeymoon?" tanya Hesty dengan lembut. "Hah, aku ... em, aku .... ""Kami s
"Berhenti, Za. Aku nggak kuat lagi," ucap Rania seraya mengatur napasnya yang ngos-ngosan. Keduanya berhenti di sebuah jalan yang cukup sepi, Reza menyapu pandangannya ke sekeliling, ia khawatir jika mereka masih mengejar. Entah kenapa Reza merasa ada yang aneh dan juga janggal. "Mereka sudah tidak mengejar kita," kata Reza seraya bernapas lega."Iya, Za." Rania mengangguk. Reza menatap wajah Rania yang basah oleh keringat. "Kamu capek?" tanya Reza. Sementara Rania hanya mengangguk. "Ya udah kita pulang sekarang," kata Reza. "Ish, aku pikir sini aku gendong. Nggak tahunnya cuma ngajak pulang." Rania ngedumel, gara-gara kesal dengan jawaban yang Reza berikan. "Emang mau digendong," tawarnya. Sontak Rania terkejut, ia pikir Reza tidak akan mendengarnya. "Enggak, aku bisa jalan sendiri," kata Rania seraya melangkahkan kakinya mendahului Reza. "Huh dasar, wanita memang selalu begitu, gengsinya kegedean," gerutunya. Reza bergegas mengikuti langkah istrinya itu. Setelah cukup lama
Reza yang baru selesai mandi bergegas keluar dari kamar mandi. Rania semakin panik saat melihat Reza yang baru saja selesai mandi. Pikiran Rania benar-benar sudah travelling, ia khawatir jika Reza telah merenggut haknya tanpa izin darinya. "Kenapa." Reza berjalan mendekati Rania. "Semalam kamu ngapain, kenapa kamu melakukannya tanpa seizin dariku," tuduh Rania. Rasanya ia ingin menelan hidup-hidup lelaki yang ada di hadapannya itu. Reza mengerutkan keningnya. "Melakukan apa? Aku nggak ngerti maksud kamu apa.""Jangan pura-pura nggak tahu, bajuku lepas itu semua gara-gara kamu kan. Kamu sudah mengambil .... "Reza tertawa. "Oh jadi itu masalahnya, aku pikir ada apa.""Reza kamu harus tanggung jawab," ujar Rania yang masih emosi. "Tanggung jawab apa, wong kita aja udah nikah. Lagian semalam baju kamu basah, kalau nggak dilepas yang ada kamu masuk angin. Yang penting bungkusnya kan masih ada." Reza menjelaskan. Rania melongo saat mendengar penjelasan dari suaminya itu. Kemudian Rani
Reza membuka kaca mobil, dan ternyata dua orang polisi berdiri di sebelah mobil. Jujur, Rania merasa takut dan juga panik, sementara Reza berusaha untuk tetap bersikap tenang. Toh mereka tidak melakukan pelanggaran atau kesalahan. "Selamat malam, apa yang sedang kalian lakukan malam-malam di sini?" tanya pak polisi. "Mobil saya mogok, Pak. Itu sebabnya kami berhenti di sini," jawab Reza. Polisi itu terdiam sejenak. "Kalian bukan pasangan mesum kan.""Bukan lah, Pak. Kami pasangan suami istri." Reza merangkul pundak istrinya, hal tersebut membuat Rania sedikit terkejut. "Ita, Pak. Kami pasangan suami istri," tambahnya. Rania khawatir jika nanti pak polisi itu menangkapnya. "Bisa tunjukkan buku nikah kalian," ujar pak polisi. Reza dan Rania saling pandang. "Ran kamu bawa nggak?" tanya Reza. "Kayaknya enggak, aku simpan di rumah," jawab Rania. "Sebentar, Pak. Ini buktinya kalau kita pasangan suami istri." Reza menunjukkan foto pernikahan mereka, saat proses ijab kabul. Beruntung
Malam telah tiba, setelah kejadian di cafe pagi tadi, Rania memilih untuk mengurung diri di kamar. Hesty sama sekali tidak marah dengan apa yang menantunya itu lakukan, meski itu perbuatan tidak sopan. Namun, Hesty justru bahagia, karena itu tandanya Rania memiliki rasa pada Reza. "Rania, makan dulu ya. Dari siang tadi kamu belum makan." Reza terus membujuk Rania untuk makan, tetapi wanita itu menolak. "Aku nggak lapar." Rania membelakangi Reza."Walaupun kamu cuma ngambek, tapi tetep butuh tenaga loh," ujar Reza. "Sekarang makan dulu ya, nanti ngambeknya dilanjut lagi," lanjutnya. Namun Rania tetap tak bergeming. "Ish, bisa-bisanya Reza ngomong seperti itu," batin Rania. "Ya Tuhan, aku benar-benar malu atas kejadian tadi pagi. Bisa-bisanya aku nggak ngenalin kalau yang bersama Reza itu mama. Mau ditaruh di mana mukaku ini, walaupun mama nggak marah, tetep aja malu," batin Rania. Rasanya Rania ingin menghilang dari muka bumi. "Udah dong ngambeknya, lagian mama juga nggak marah s
"Auh, Raza sakit." Rania mencubit pinggang Reza, hal tersebut membuat pria beralis tebal itu mengaduh kesakitan. "Rania, sakit tahu." Reza memegangi pinggangnya yang terasa sakit, akibat ulah istrinya itu. "Salah kamu sendiri, kamu pikir nggak sakit apa jatuh ke lantai," ujar Rania. Ia berusaha untuk bangkit lalu masuk ke dalam kamar mandi, tetapi niatnya terhenti saat Reza memegang kakinya. "Kamu mau ke mana?" tanya Reza, lalu bangkit. "Mau ganti baju," jawab Rania. Ia masih merinding mengingat kejadian tadi. "Tanggung jawab dulu, kamu sudah membangunnya." Reza tersenyum nakal, meski pinggang masih terasa sakit. Rania mengernyitkan keningnya. "Membangunkan, membangunkan siapa.""Membangunkan ular tidur, sekarang kamu harus bertanggung jawab." Reza mendorong tubuh Rania hingga menempel di dinding. Wanita itu kembali gemetar saat melihat senyum nakal Reza. "Please, Za. Tahan dulu ya, soalnya aku sedang datang bulan," kata Rania. Seketika Reza memundurkan langkahnya, jujur ia mer
Waktu terus bergulir, tidak terasa pernikahan Reza dan Rania kini menginjak tujuh tahun. Suka dan duka mereka lalui bersama, tak jarang pertengkaran dan rasa cemburu ikut mewarnai kehidupan mereka. Namun, keduanya mampu melawan dan melaluinya bersama. "Mama, kaos kakinya mana!" teriak Sean dan Sheina secara bersamaan. "Sebentar, Sayang," sahut Rania dari dalam kamar. "Astaghfirullah, Mas kamu tuh kebiasaan banget sih. Udah aku bilang, jangan naruh handuk sembarangan," omelnya, saat melihat Reza menaruh handuk basah di atas kasur. "Aku buru-buru, Sayang." Reza mengambil kemeja lalu memakainya.Rania menggelengkan kepala, lalu keluar dari kamar, dan masuk ke dalam kamar si kembar. Sean dan Sheina nampak sudah siap dengan seragam sekolahnya. Kini keduanya sudah duduk di bangku sekolah dasar. "Ini kaos kakinya." Rania menyerahkan kaos kaki tersebut pada si kembar. "Ma, iketin rambut Sheina," pinta Sheina. "Iya, Sayang sebentar ya." Rania segera mengambil sisir serta dua ikat rambut
Butuh waktu setengah jam untuk imunisasi si kembar, pasalnya Reza yang takut jarum suntik membuat Lina sedikit kewalahan. Sementara Rania hanya bisa menggelengkan kepala, heran. Ia pikir setelah punya anak, rasa takut terhadap jarum suntik akan hilang, tapi ternyata tidak. "Sheina kamu memang hebat, nggak kaya papa kamu. Sama jarum suntik aja takut," pujinya. Lina baru saja selesai melakukan tugasnya itu. "Nggak usah nyindir deh," sahut Reza yang merasa sedikit kesal. "Aku nggak nyindir, tapi ini kan fakta. Sheina sama Sean nggak nangis waktu disuntik," kata Lina. "Ish nyebelin banget sih." Reza berdecih. Setelah selesai mereka bergegas untuk pulang, Rania terus tersenyum saat mengingat kejadian tadi saat berada di rumah sakit. "Kamu kenapa senyum-senyum begitu?" tanya Reza. Kini mereka sudah dalam perjalanan pulang. "Nggak papa, ingat tadi aja waktu .... ""Mau ikutan nyindir iya, sama kaya Lina." Reza memotong ucapan istrinya, sementara Rania hanya tersenyum. "Sayang, nanti k
Sepuluh menit kemudian Reza sudah mengganti kemejanya, bahkan pria itu harus kembali mandi. Kini Reza sudah bersiap untuk berangkat ke kantor, sementara Rania masih sibuk memberikan ASI untuk Sean. "Sayang, aku pergi sekarang ya." Reza mencium kening istrinya. "Iya, hati-hati di jalan," ujar Rania. "Iya, Sayang papa pergi dulu ya. Jangan rewel kasihan mama." Reza mencium pipi Sean, lalu mencium pipi Sheina. Setelah itu Reza bergegas keluar dari kamar. Selang beberapa menit, pintu kamar kembali terbuka, terlihat Hesty berjalan menghampiri menantunya itu. Sementara Rania baru saja merebahkan tubuh Sean di ranjangnya. "Wah, cucu-cucu nenek udah pada kenyang ya." Hesty mencium pipi si kembar secara bergantian. "Sayang kamu sarapan dulu sana, apa mau mama bawakan ke sini," ujar Hesty. "Nggak usah, Ma. Aku turun saja," sahut Rania. "Ya sudah, si kembar biar sama mama," balas Hesty. Setelah itu Rania beranjak keluar dari kamarnya, lalu turun ke lantai bawah. Setibanya di ruang makan
Satu jam kemudian, Rania sudah dipindahkan ke ruang perawatan, tak lupa kedua buah hatinya diletakkan di box. Rania melahirkan bayi kembar, baby girl dan baby boy, Reza benar-benar bahagia karena dalam satu kali hamil, istrinya bisa melahirkan dua bayi sekaligus, terlebih sang istri melahirkan anak laki-laki, seperti keinginannya. Reza terus menghujani sang istri dengan kecupan, tak peduli jika mereka masih berada di rumah sakit."Ehem." Deheman Lina membuat Reza dan Rania menoleh."Ish, mengganggu saja kau. Ada apa, Lin," ujar Reza, kini pria merubah posisi duduknya."Ish, aku nggak ada urusan denganmu, tapi istrimu." Lina berjalan mendekati brangkar di mana Rania terbaring."Aku akan memeriksa kondisinya sekarang," ujar Lina. Reza hanya mendengus kesal, lalu segera bangkit dan berdiri di sebelah brangkar."Aku periksa dulu ya," ucap Lina, sementara Rania hanya mengangguk.Lina segera memeriksa kondisi Rania, kondisinya memang sudah stabil, mungkin hanya tubuhnya yang masih membutuhk
Hari ini Reza terpaksa tidak pergi ke kantor, dan semua itu gara-gara Rania. Namun bagi Reza tidak masalah, asal bisa membuat wanita yang sangat dicintainya bahagia dan tersenyum. Apa pun akan Reza lakukan. Saat ini Rania dan Reza sedang duduk santai di depan televisi. Rania sedang sibuk menyantap rujak mangga muda buatannya sendiri. Sementara Reza memilih sibuk bermain game di ponselnya. "Enak rujaknya?" tanya Reza tanpa mengalihkan pandangan. "Enak banget, mau coba." Rania menyodorkan sepotong mangga muda yang sudah berlumuran bumbu rujak. "Enggak, buat kamu aja," tolaknya. "Cobain dulu, dijamin nanti ketagihan," bujuknya."Enggak, Sayang. Buat kamu aja, nggak usah aneh-aneh deh," tolaknya, tetapi Rania terus membujuk Reza untuk memakan rujak tersebut. "Yang ngidam kan kamu, masa aku yang makan rujaknya," sambungnya. "Aku ngidam pengen lihat kamu makan rujak," kata Rania, mendengar itu mata Reza langsung melotot. "Rania, Sayang. Kamu minta apa pun aku mau nurutin, tapi pleas
Panik, itu yang Rania rasakan, walaupun sudah sering melihat dalam keadaan seperti saat ini. Rania tetap saja merasa malu, dengan panik ia mengambil handuk kimono lalu memakaikannya pada sang suami. "Maaf, a-aku tadi kaget jadi reflek deh." Rania nyengir, menunjukkan deretan giginya yang putih. Reza hanya menggelengkan kepala lalu beranjak keluar dari kamar mandi. Dengan masih menutup hidungnya menggunakan tangan, Reza memilih untuk duduk di sofa. Rasa sakit di hidungnya masih terasa, bahkan kepalanya sedikit pening. Melihat Reza diam, Rania langsung berlari menyusul suaminya itu, ada rasa bersalah karena sudah sering sekali membuat Reza terluka. Sementara Reza, ia diam karena merasa sakit, bukan karena marah. "Coba aku lihat, Za." Rania meminta Reza untuk menurunkan tangannya. Dengan perlahan Reza menuruti apa yang Rania inginkan. "Astagfirullah." Rania langsung mengambil tisu untuk mengelap darah yang keluar dari hidung suaminya itu. "Lama-lama hidung aku pesek gara-gara kamu
Reza langsung mengangkat tubuh istrinya dan membawanya ke kamar. Di kamar Reza membaringkan Rania di atas tempat tidur, panik dan khawatir bercampur menjadi satu, bahkan Hesty langsung menelpon dokter untuk memeriksa kondisi menantunya itu. "Dokter mau ngapain?" tanya Reza saat melihat Dokter Andi hendak memeriksa kondisi Rania. "Mau memeriksa kondisi istri .... ""Jangan dipegang, apa lagi diraba. Tutup mata, jangan ngintip." Reza memotong ucapan Dokter Andi. Hal tersebut membuat kedua orang tuanya merasa heran dan juga bingung. "Za kamu apa-apaan sih, Dokter Andi itu mau memeriksa kondisi Rania, kamu nggak lihat istrimu itu pingsan," ujar Hesty. Ia sering bingung dengan kelakuan putranya itu. "Iya, tapi dilarang memegang anggota tubuh Rania. Apa lagi kalau sampai melihat dalamnya," sahut Reza. Seketika mereka saling pandang. "Aduh, Za. Kamu tuh ya, udah sekarang kamu duduk, lihat bagaimana Dokter Andi memeriksa kondisi Rania." Hesty mendudukkan putranya tepat di sebelah Rania.
Melihat Reza kembali tersungkur, Evan menarik paksa tangan Rania dan hendak membawanya pergi dari tempat tersebut. Reza yang melihat istrinya akan dibawa pergi tidak tinggal diam. Pria berjaket hitam itu bangkit lalu memukul tengkuk Evan. Bugh, saking kerasnya tubuh Evan ambruk ke ubin, melihat itu Reza langsung membawa pergi istrinya. Rasa sakit di kepala tidak sebanding jika harus kehilangan Rania. Kini mereka sudah ada di mobil, tetapi sebelum itu Rania telah membayar makanan yang telah dipesan. "Za, kita ke rumah sakit ya," kata Rania. "Enggak mau, kita pulang saja," tolaknya. "Tapi luka kamu .... ""Please, Rania. Tolong jangan bawa aku ke rumah sakit." Reza memotong ucapan istrinya itu. "Ya udah kita pulang." Rania segera menyalakan mesin mobilnya. Setelah itu mobil melaju meninggalkan halaman resto. Dalam perjalanan, Reza terus memegangi kepala bagian belakang, sementara Rania memilih fokus untuk menyetir. Sesekali Rania menoleh ke arah di mana suaminya duduk. Khawatir, i
Kini Reza dan Rania sudah tiba di rumah, awalnya Reza hendak membawa istrinya itu ke rumah sakit, tetapi Rania menolak dan meminta untuk pulang ke rumah. Setibanya di rumah, Reza langsung membaringkan istrinya di sofa ruang tengah. Hesty yang melihatnya bergegas menghampiri menantunya itu. "Reza, Rania kenapa, Sayang kamu kenapa?" tanya Hesty dengan raut wajah khawatir. "Biasa lah, Ma. Cemburu buta ya kaya gini," sahut Reza, seketika Rania mencubit lengan suaminya itu. Hesty tersenyum. "Wah mantu, mama sekarang nambah cinta ya sama, Reza. Tapi kok bajunya bisa kotor begini, terus itu kakinya kenapa.""Sepertinya terkilir, Ma. Mama bisa mijit kan, mau ke rumah sakit Rania nggak mau," jawab Reza. "Yang bisa mijit kan kamu, buktinya pas mama keseleo kamu yang mijit. Udah sana kamu bawa Rania ke kamar, jangan lupa bajunya diganti, setelah itu kakinya kamu pijit," perintahnya. Rania hanya bisa pasrah, toh kakinya memang benar-benar sakit. "Ya udah, Ma." Reza segera mengangkat tubuh is