Reza yang baru selesai mandi bergegas keluar dari kamar mandi. Rania semakin panik saat melihat Reza yang baru saja selesai mandi. Pikiran Rania benar-benar sudah travelling, ia khawatir jika Reza telah merenggut haknya tanpa izin darinya. "Kenapa." Reza berjalan mendekati Rania. "Semalam kamu ngapain, kenapa kamu melakukannya tanpa seizin dariku," tuduh Rania. Rasanya ia ingin menelan hidup-hidup lelaki yang ada di hadapannya itu. Reza mengerutkan keningnya. "Melakukan apa? Aku nggak ngerti maksud kamu apa.""Jangan pura-pura nggak tahu, bajuku lepas itu semua gara-gara kamu kan. Kamu sudah mengambil .... "Reza tertawa. "Oh jadi itu masalahnya, aku pikir ada apa.""Reza kamu harus tanggung jawab," ujar Rania yang masih emosi. "Tanggung jawab apa, wong kita aja udah nikah. Lagian semalam baju kamu basah, kalau nggak dilepas yang ada kamu masuk angin. Yang penting bungkusnya kan masih ada." Reza menjelaskan. Rania melongo saat mendengar penjelasan dari suaminya itu. Kemudian Rani
Reza membuka kaca mobil, dan ternyata dua orang polisi berdiri di sebelah mobil. Jujur, Rania merasa takut dan juga panik, sementara Reza berusaha untuk tetap bersikap tenang. Toh mereka tidak melakukan pelanggaran atau kesalahan. "Selamat malam, apa yang sedang kalian lakukan malam-malam di sini?" tanya pak polisi. "Mobil saya mogok, Pak. Itu sebabnya kami berhenti di sini," jawab Reza. Polisi itu terdiam sejenak. "Kalian bukan pasangan mesum kan.""Bukan lah, Pak. Kami pasangan suami istri." Reza merangkul pundak istrinya, hal tersebut membuat Rania sedikit terkejut. "Ita, Pak. Kami pasangan suami istri," tambahnya. Rania khawatir jika nanti pak polisi itu menangkapnya. "Bisa tunjukkan buku nikah kalian," ujar pak polisi. Reza dan Rania saling pandang. "Ran kamu bawa nggak?" tanya Reza. "Kayaknya enggak, aku simpan di rumah," jawab Rania. "Sebentar, Pak. Ini buktinya kalau kita pasangan suami istri." Reza menunjukkan foto pernikahan mereka, saat proses ijab kabul. Beruntung
Malam telah tiba, setelah kejadian di cafe pagi tadi, Rania memilih untuk mengurung diri di kamar. Hesty sama sekali tidak marah dengan apa yang menantunya itu lakukan, meski itu perbuatan tidak sopan. Namun, Hesty justru bahagia, karena itu tandanya Rania memiliki rasa pada Reza. "Rania, makan dulu ya. Dari siang tadi kamu belum makan." Reza terus membujuk Rania untuk makan, tetapi wanita itu menolak. "Aku nggak lapar." Rania membelakangi Reza."Walaupun kamu cuma ngambek, tapi tetep butuh tenaga loh," ujar Reza. "Sekarang makan dulu ya, nanti ngambeknya dilanjut lagi," lanjutnya. Namun Rania tetap tak bergeming. "Ish, bisa-bisanya Reza ngomong seperti itu," batin Rania. "Ya Tuhan, aku benar-benar malu atas kejadian tadi pagi. Bisa-bisanya aku nggak ngenalin kalau yang bersama Reza itu mama. Mau ditaruh di mana mukaku ini, walaupun mama nggak marah, tetep aja malu," batin Rania. Rasanya Rania ingin menghilang dari muka bumi. "Udah dong ngambeknya, lagian mama juga nggak marah s
"Auh, Raza sakit." Rania mencubit pinggang Reza, hal tersebut membuat pria beralis tebal itu mengaduh kesakitan. "Rania, sakit tahu." Reza memegangi pinggangnya yang terasa sakit, akibat ulah istrinya itu. "Salah kamu sendiri, kamu pikir nggak sakit apa jatuh ke lantai," ujar Rania. Ia berusaha untuk bangkit lalu masuk ke dalam kamar mandi, tetapi niatnya terhenti saat Reza memegang kakinya. "Kamu mau ke mana?" tanya Reza, lalu bangkit. "Mau ganti baju," jawab Rania. Ia masih merinding mengingat kejadian tadi. "Tanggung jawab dulu, kamu sudah membangunnya." Reza tersenyum nakal, meski pinggang masih terasa sakit. Rania mengernyitkan keningnya. "Membangunkan, membangunkan siapa.""Membangunkan ular tidur, sekarang kamu harus bertanggung jawab." Reza mendorong tubuh Rania hingga menempel di dinding. Wanita itu kembali gemetar saat melihat senyum nakal Reza. "Please, Za. Tahan dulu ya, soalnya aku sedang datang bulan," kata Rania. Seketika Reza memundurkan langkahnya, jujur ia mer
Lima belas menit kemudian, Reza sudah kembali ke mobil, ia panik saat melihat mata Rania terpejam. Buru-buru Reza melempar baju yang ia beli tadi lalu memeriksa kondisi Rania. Tubuhnya sangat dingin, sangat tidak mungkin Reza membawa pulang atau pun rumah sakit, karena jarak cukup jauh. "Rania maafkan aku, tapi ini demi kebaikanmu." Dengan tangan gemetar Reza membuka baju yang melekat di tubuh istrinya. Ia akan menggantinya agar suhu tubuhnya kembali hangat. Saat Reza hendak melepas pakaian Rania, tiba-tiba sebuah tamparan mendarat di pipi Reza. Seketika pria berkemeja navy itu terkejut lalu mengusap pipinya yang terasa sakit. "Aduh, sakit tahu." Reza masih mengusap pipinya. "Dasar mesum, cari kesempatan aja," semburnya. Rania membuka mata saat merasa jika Reza hendak melepas pakaiannya. "Bukan mesum, aku cuma mau ganti pakaian kamu saja," terangnya. "Karena aku pikir kamu pingsan.""Aku ngantuk, bukan pingsan." Rania menjelaskan. "Ya udah ini bajunya, kamu ganti dulu gih. Badan
Pukul enam pagi, Rania mulai mengerjapkan matanya, sinar mentari yang masuk ke dalam melalui jendela kaca membuat tidur nyenyak Rania terganggu. Setelah kelopak matanya terbuka sempurna, seketika Rania terkejut saat menyadari jika dirinya berada di ranjang, bukan sofa seperti tadi malam. "Astaghfirullah, semoga Reza nggak berbuat macam-macam." Rania mengeratkan selimut yang menutupi tubuhnya. Setelah itu, perlahan ia membuka selimut tersebut. "Alhamdulillah, untung Reza nggak ngapa-ngapain aku." Rania bernapas lega saat melihat pakaian yang membungkus tubuhnya masih utuh. Tiba-tiba pintu kamar mandi berderit, sontak Rania menoleh, terlihat jika Reza baru selesai mandi. Pria beralis tebal itu berjalan menuju koper dengan hanya memakai handuk. Jujur, Rania terpesona dengan bentuk tubuh Reza yang seperti roti potong itu. "Udah bangun kamu." Reza berjalan menuju ranjang seraya mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil. "Udah, kok aku bisa ada di sini, bukankah semalam aku tidur di s
Pukul enam pagi, Rania mulai mengerjapkan mata, setelah kelopak matanya terbuka sempurna, wanita berambut panjang itu mengedarkan pandangannya. Badannya terasa sakit semua, Rania ingat jika semalam ia telah memberikan haknya. Rania tersenyum saat mengingatnya, Reza benar-benar sangat menjaganya. Rania pikir malam pertama itu menyakitkan, tetapi ternyata ... memang sakit. Namun sakit yang memberikan kenikmatan, rasanya Rania ingin mengulanginya lagi. "Pagi-pagi udah senyum-senyum seperti itu, kesambet apaan kamu," ujar Reza yang baru saja keluar dari kamar mandi. "Ish, apaan sih. Ganggu aja," cebiknya. Rania memiringkan tubuhnya dan kembali tersenyum. Semalam Reza melakukanya dengan sangat hati-hati. "Ehem, sepertinya ada yang sedang ... bagaimana yang semalam, mau lagi nggak," godanya. Seketika Rania menutup wajahnya dengan selimut. Reza tersenyum melihat tingkah istrinya itu, sangat menggemaskan. "Buruan mandi, atau mau aku mandiin." Reza membuka selimut yang menutupi wajah Rani
Setelah hampir setengah hari di rumah sakit, kini Reza sudah berada di rumah. Awalnya dokter menyarankan untuk dirawat, tetapi Reza kekeh untuk pulang. Trauma dengan jarum suntik, membuat Reza paling anti untuk berurusan dengan dokter atau rumah sakit. Beruntung, saat Reza dikejar oleh suster, Rania sudah tiba di rumah sakit. Layaknya anak kecil, Rania harus membujuk Reza agar mau diobati dan diperiksa oleh dokter. Dengan sabar Rania menemani suaminya saat dokter dan suster mengobati luka di kepala Reza. "Jadi kamu tidak tahu siapa pelakunya?" tanya Irwan. Reza menggelengkan kepala. "Enggak, Pa. Pelakunya pakai masker dan kaca mata hitam, serta topi.""Kamu tidak punya musuh kan," timpal Rudy, ayah mertua Reza. "Enggak, Pa." Reza kembali menggelengkan kepalanya. "Apa mungkin ini ulah, Evan." Dugaan Rania, membuat semua orang yang berada di kamar Reza menoleh. "Bisa jadi, Evan pasti nggak suka lihat kalian nikah. Tapi ini terjadi kan gara-gara ulah, Evan sendiri," sahut Indah, ib
Waktu terus bergulir, tidak terasa pernikahan Reza dan Rania kini menginjak tujuh tahun. Suka dan duka mereka lalui bersama, tak jarang pertengkaran dan rasa cemburu ikut mewarnai kehidupan mereka. Namun, keduanya mampu melawan dan melaluinya bersama. "Mama, kaos kakinya mana!" teriak Sean dan Sheina secara bersamaan. "Sebentar, Sayang," sahut Rania dari dalam kamar. "Astaghfirullah, Mas kamu tuh kebiasaan banget sih. Udah aku bilang, jangan naruh handuk sembarangan," omelnya, saat melihat Reza menaruh handuk basah di atas kasur. "Aku buru-buru, Sayang." Reza mengambil kemeja lalu memakainya.Rania menggelengkan kepala, lalu keluar dari kamar, dan masuk ke dalam kamar si kembar. Sean dan Sheina nampak sudah siap dengan seragam sekolahnya. Kini keduanya sudah duduk di bangku sekolah dasar. "Ini kaos kakinya." Rania menyerahkan kaos kaki tersebut pada si kembar. "Ma, iketin rambut Sheina," pinta Sheina. "Iya, Sayang sebentar ya." Rania segera mengambil sisir serta dua ikat rambut
Butuh waktu setengah jam untuk imunisasi si kembar, pasalnya Reza yang takut jarum suntik membuat Lina sedikit kewalahan. Sementara Rania hanya bisa menggelengkan kepala, heran. Ia pikir setelah punya anak, rasa takut terhadap jarum suntik akan hilang, tapi ternyata tidak. "Sheina kamu memang hebat, nggak kaya papa kamu. Sama jarum suntik aja takut," pujinya. Lina baru saja selesai melakukan tugasnya itu. "Nggak usah nyindir deh," sahut Reza yang merasa sedikit kesal. "Aku nggak nyindir, tapi ini kan fakta. Sheina sama Sean nggak nangis waktu disuntik," kata Lina. "Ish nyebelin banget sih." Reza berdecih. Setelah selesai mereka bergegas untuk pulang, Rania terus tersenyum saat mengingat kejadian tadi saat berada di rumah sakit. "Kamu kenapa senyum-senyum begitu?" tanya Reza. Kini mereka sudah dalam perjalanan pulang. "Nggak papa, ingat tadi aja waktu .... ""Mau ikutan nyindir iya, sama kaya Lina." Reza memotong ucapan istrinya, sementara Rania hanya tersenyum. "Sayang, nanti k
Sepuluh menit kemudian Reza sudah mengganti kemejanya, bahkan pria itu harus kembali mandi. Kini Reza sudah bersiap untuk berangkat ke kantor, sementara Rania masih sibuk memberikan ASI untuk Sean. "Sayang, aku pergi sekarang ya." Reza mencium kening istrinya. "Iya, hati-hati di jalan," ujar Rania. "Iya, Sayang papa pergi dulu ya. Jangan rewel kasihan mama." Reza mencium pipi Sean, lalu mencium pipi Sheina. Setelah itu Reza bergegas keluar dari kamar. Selang beberapa menit, pintu kamar kembali terbuka, terlihat Hesty berjalan menghampiri menantunya itu. Sementara Rania baru saja merebahkan tubuh Sean di ranjangnya. "Wah, cucu-cucu nenek udah pada kenyang ya." Hesty mencium pipi si kembar secara bergantian. "Sayang kamu sarapan dulu sana, apa mau mama bawakan ke sini," ujar Hesty. "Nggak usah, Ma. Aku turun saja," sahut Rania. "Ya sudah, si kembar biar sama mama," balas Hesty. Setelah itu Rania beranjak keluar dari kamarnya, lalu turun ke lantai bawah. Setibanya di ruang makan
Satu jam kemudian, Rania sudah dipindahkan ke ruang perawatan, tak lupa kedua buah hatinya diletakkan di box. Rania melahirkan bayi kembar, baby girl dan baby boy, Reza benar-benar bahagia karena dalam satu kali hamil, istrinya bisa melahirkan dua bayi sekaligus, terlebih sang istri melahirkan anak laki-laki, seperti keinginannya. Reza terus menghujani sang istri dengan kecupan, tak peduli jika mereka masih berada di rumah sakit."Ehem." Deheman Lina membuat Reza dan Rania menoleh."Ish, mengganggu saja kau. Ada apa, Lin," ujar Reza, kini pria merubah posisi duduknya."Ish, aku nggak ada urusan denganmu, tapi istrimu." Lina berjalan mendekati brangkar di mana Rania terbaring."Aku akan memeriksa kondisinya sekarang," ujar Lina. Reza hanya mendengus kesal, lalu segera bangkit dan berdiri di sebelah brangkar."Aku periksa dulu ya," ucap Lina, sementara Rania hanya mengangguk.Lina segera memeriksa kondisi Rania, kondisinya memang sudah stabil, mungkin hanya tubuhnya yang masih membutuhk
Hari ini Reza terpaksa tidak pergi ke kantor, dan semua itu gara-gara Rania. Namun bagi Reza tidak masalah, asal bisa membuat wanita yang sangat dicintainya bahagia dan tersenyum. Apa pun akan Reza lakukan. Saat ini Rania dan Reza sedang duduk santai di depan televisi. Rania sedang sibuk menyantap rujak mangga muda buatannya sendiri. Sementara Reza memilih sibuk bermain game di ponselnya. "Enak rujaknya?" tanya Reza tanpa mengalihkan pandangan. "Enak banget, mau coba." Rania menyodorkan sepotong mangga muda yang sudah berlumuran bumbu rujak. "Enggak, buat kamu aja," tolaknya. "Cobain dulu, dijamin nanti ketagihan," bujuknya."Enggak, Sayang. Buat kamu aja, nggak usah aneh-aneh deh," tolaknya, tetapi Rania terus membujuk Reza untuk memakan rujak tersebut. "Yang ngidam kan kamu, masa aku yang makan rujaknya," sambungnya. "Aku ngidam pengen lihat kamu makan rujak," kata Rania, mendengar itu mata Reza langsung melotot. "Rania, Sayang. Kamu minta apa pun aku mau nurutin, tapi pleas
Panik, itu yang Rania rasakan, walaupun sudah sering melihat dalam keadaan seperti saat ini. Rania tetap saja merasa malu, dengan panik ia mengambil handuk kimono lalu memakaikannya pada sang suami. "Maaf, a-aku tadi kaget jadi reflek deh." Rania nyengir, menunjukkan deretan giginya yang putih. Reza hanya menggelengkan kepala lalu beranjak keluar dari kamar mandi. Dengan masih menutup hidungnya menggunakan tangan, Reza memilih untuk duduk di sofa. Rasa sakit di hidungnya masih terasa, bahkan kepalanya sedikit pening. Melihat Reza diam, Rania langsung berlari menyusul suaminya itu, ada rasa bersalah karena sudah sering sekali membuat Reza terluka. Sementara Reza, ia diam karena merasa sakit, bukan karena marah. "Coba aku lihat, Za." Rania meminta Reza untuk menurunkan tangannya. Dengan perlahan Reza menuruti apa yang Rania inginkan. "Astagfirullah." Rania langsung mengambil tisu untuk mengelap darah yang keluar dari hidung suaminya itu. "Lama-lama hidung aku pesek gara-gara kamu
Reza langsung mengangkat tubuh istrinya dan membawanya ke kamar. Di kamar Reza membaringkan Rania di atas tempat tidur, panik dan khawatir bercampur menjadi satu, bahkan Hesty langsung menelpon dokter untuk memeriksa kondisi menantunya itu. "Dokter mau ngapain?" tanya Reza saat melihat Dokter Andi hendak memeriksa kondisi Rania. "Mau memeriksa kondisi istri .... ""Jangan dipegang, apa lagi diraba. Tutup mata, jangan ngintip." Reza memotong ucapan Dokter Andi. Hal tersebut membuat kedua orang tuanya merasa heran dan juga bingung. "Za kamu apa-apaan sih, Dokter Andi itu mau memeriksa kondisi Rania, kamu nggak lihat istrimu itu pingsan," ujar Hesty. Ia sering bingung dengan kelakuan putranya itu. "Iya, tapi dilarang memegang anggota tubuh Rania. Apa lagi kalau sampai melihat dalamnya," sahut Reza. Seketika mereka saling pandang. "Aduh, Za. Kamu tuh ya, udah sekarang kamu duduk, lihat bagaimana Dokter Andi memeriksa kondisi Rania." Hesty mendudukkan putranya tepat di sebelah Rania.
Melihat Reza kembali tersungkur, Evan menarik paksa tangan Rania dan hendak membawanya pergi dari tempat tersebut. Reza yang melihat istrinya akan dibawa pergi tidak tinggal diam. Pria berjaket hitam itu bangkit lalu memukul tengkuk Evan. Bugh, saking kerasnya tubuh Evan ambruk ke ubin, melihat itu Reza langsung membawa pergi istrinya. Rasa sakit di kepala tidak sebanding jika harus kehilangan Rania. Kini mereka sudah ada di mobil, tetapi sebelum itu Rania telah membayar makanan yang telah dipesan. "Za, kita ke rumah sakit ya," kata Rania. "Enggak mau, kita pulang saja," tolaknya. "Tapi luka kamu .... ""Please, Rania. Tolong jangan bawa aku ke rumah sakit." Reza memotong ucapan istrinya itu. "Ya udah kita pulang." Rania segera menyalakan mesin mobilnya. Setelah itu mobil melaju meninggalkan halaman resto. Dalam perjalanan, Reza terus memegangi kepala bagian belakang, sementara Rania memilih fokus untuk menyetir. Sesekali Rania menoleh ke arah di mana suaminya duduk. Khawatir, i
Kini Reza dan Rania sudah tiba di rumah, awalnya Reza hendak membawa istrinya itu ke rumah sakit, tetapi Rania menolak dan meminta untuk pulang ke rumah. Setibanya di rumah, Reza langsung membaringkan istrinya di sofa ruang tengah. Hesty yang melihatnya bergegas menghampiri menantunya itu. "Reza, Rania kenapa, Sayang kamu kenapa?" tanya Hesty dengan raut wajah khawatir. "Biasa lah, Ma. Cemburu buta ya kaya gini," sahut Reza, seketika Rania mencubit lengan suaminya itu. Hesty tersenyum. "Wah mantu, mama sekarang nambah cinta ya sama, Reza. Tapi kok bajunya bisa kotor begini, terus itu kakinya kenapa.""Sepertinya terkilir, Ma. Mama bisa mijit kan, mau ke rumah sakit Rania nggak mau," jawab Reza. "Yang bisa mijit kan kamu, buktinya pas mama keseleo kamu yang mijit. Udah sana kamu bawa Rania ke kamar, jangan lupa bajunya diganti, setelah itu kakinya kamu pijit," perintahnya. Rania hanya bisa pasrah, toh kakinya memang benar-benar sakit. "Ya udah, Ma." Reza segera mengangkat tubuh is