Reza terus merem melek melihat pemandangan tak biasa di depan mata. Susah payah ia mengendalikan diri agar tidak terbawa oleh nafsu. Sementara itu, Rania masih pada posisinya, rasa takut dan geli pada cicak membuat Rania melupakan rasa malunya.
"Mau sampai kapan seperti ini terus, Ran? Cicak udah pergi. Aku sih nggak keberatan justru .... " Reza menghentikan ucapannya saat Rania menyentil bibirnya."Kalau bukan karena cicak aku juga nggak bakal kaya gini." Perlahan Rania turun dari tubuh suaminya."Buruan pakai baju, jangan memancingku, jika tidak ingin aku khilaf," ucap Reza. Tanpa pikir panjang Rania mengambil pakaian dan masuk ke dalam kamar mandi.Dua puluh menit kemudian, keduanya sudah berada di meja makan untuk sarapan pagi bersama. Rania terlihat cantik mengenakan seragam kerjanya, hanya saja Reza sedikit risih dengan rok hitam di atas lutut yang Rania pakai."Ran, emang nggak ada rok yang lebih panjang gitu. Aku risih lihat kamu pakai rok sependek itu," ungkap Reza sembari menikmati sarapan paginya."Nggak ada, adanya ya seperti ini," sahut Rania."Wah, anak mama perhatian banget. Rania pasti makin sayang sama kamu," tutur Hesty. Seketika Rania dan Reza saling pandang, sementara Irwan hanya menggelengkan kepalanya saja."Nanti aku mau ngomong sama atasan kamu, kalau harus tetap memakai rok seperti itu. Aku akan membawa kamu kerja di kantor sebagai sekretaris pribadiku," ungkap Reza. Hal tersebut membuat Rania terkejut, bukannya senang tapi justru sedih. Karena jika bekerja dengan Reza pasti tidak akan leluasa seperti bekerja sendiri atau di tempat orang lain."Tapi, Za .... ""Tidak ada tapi-tapian, ini keputusan aku. Kamu juga harus ingat, karena sekarang sudah menjadi tanggung jawabku." Reza memotong ucapan Rania. Wanita itu memilih untuk menurut, karena melawan juga percuma."Huh, nyebelin banget sih," batin Rania. Setelah itu mereka kembali menyantap makanan yang ada di hadapannya. Hesty tersenyum melihat ketegasan putranya itu.Selepas sarapan pagi, mereka segera berangkat bekerja, saat ini Rania serta Reza sudah dalam perjalanan. Rania masih kepikiran soal permintaan Reza saat sarapan tadi. Memang sekarang dirinya sudah menjadi tanggung jawab Reza."Ini untuk kamu," ucap Reza seraya menyerahkan kartu ATM.Rania menatap bingung. "Untuk aku, tapi aku kan .... ""Ini untuk membeli kebutuhan pribadi kamu, yang punya kamu bisa kamu simpan." Reza memotong ucapan istrinya itu."Tapi, Za ... aku nggak enak, apa lagi sikap aku yang .... ""Ingat, kita sudah menikah, aku juga sudah sering bilang kan. Sekarang kamu adalah tanggung jawab aku, sudah sepantasnya seorang suami memberi nafkah untuk istrinya." Reza kembali memotong ucapan Rania."Meskipun kita menikah karena terpaksa, tapi pernikahan kita itu sah." Reza melanjutkan ucapannya. Rania diam mendengar ucapan demi ucapan lelaki yang telah sah menjadi suaminya itu."Ehem, tinggal kamu aja yang peka apa tidak." Reza berdehem membuat Rania mengernyitkan keningnya."Maksud kamu." Rania menatap mata hitam suaminya."Malam pertama untuk pengantin baru lah, masa kayak gitu aja harus dikasih tahu. Jangan-jangan proses malam pertama juga harus dijelaskan secara detail." Reza menjelaskan. Rania yang sudah paham arah pembicaraan suaminya, tiba-tiba melotot."Ish, mulai deh. Otak mesum kamu kumat," ujar Rania kesal."Itu bukan mesum, Sayang. Tapi itu kewajiban, dan kita akan mendapatkan pahala." Reza kembali menjelaskan. Namun Rania hanya diam, gara-gara Reza otaknya kini mulai terkena virus."Ini PIN-nya apa?" tanya Rania, untuk mengalihkan pembicaraan."Tanggal pernikahan kita," jawab Reza. Sementara Rania hanya mengangguk.***Waktu berjalan begitu cepat, hari ini Rania terpaksa pulang naik taksi, lantaran Reza ada lembur. Saat ini Rania sedang membantu ibu mertuanya untuk menyiapkan makan malam. Jujur, Rania tidak terlalu pandai memasak, itu sebabnya ia ingin belajar."Gimana rasanya, Ma?" tanya Rania."Kok keasinan ya, memangnya Reza belum ngasih kamu jatah ya," ucap Hesty. Rania mengerutkan keningnya, bingung."Maksud, Mama. Jatah apa ya?" tanya Rania.Hesty tersenyum. "Itu loh, masa kamu nggak paham sih. Katanya kalau seorang istri masaknya keasinan itu gara-gara belum dikasih jatah sama suaminya.""Ish, Mama. Nggak ada hubungannya lah, terus ini gimana dong, Ma." Rania meminta pendapat ibu mertuanya."Kasih gula sedikit lagi, biar nggak keasinan," saran Hesty. Rania pun segera mengambil gula, lalu ia taburkan pada masakannya.Kini Rania sedang sibuk menata hasil masakannya di atas meja makan. Selang beberapa menit, terdengar suara deru mobil yang berhenti di pelataran rumah. Sudah dapat dipastikan jika itu mobil Reza."Assalamu'alaikum, aku pulang. Wah baunya bikin laper." Reza berjalan menuju meja makan di mana ibunya berada, sementara ayahnya masih duduk di sofa ruang tengah."Mandi dulu nanti baru makan." Hesty memukul tangan Reza yang hendak mengambil makanan yang berada di atas meja."Ish, orang laper juga. Rania di mana, Ma?" tanya Reza."Ada di kamar, mandi dulu sana. Nanti makan malam bareng," jawab Hesty. Reza bergegas naik ke lantai atas di mana kamarnya berada.Setibanya di kamar, Reza meletakkan tas kerja serta jasnya di sofa. Pria berkemeja navy itu menyapu pandangannya, mencari sosok istrinya, tetapi tidak ada. Reza menghela napas, lalu memilih mengambil handuk untuk mandi.Sebelum masuk ke dalam kamar mandi, Reza terlebih dahulu melepas pakaian serta celananya, dan hanya melilitkan handuk di pinggang. Setelah itu Reza masuk ke dalam kamar mandi, tiba-tiba ia terkejut saat melihat istrinya baru selesai mandi."Aaaaaa." Rania menjerit karena terkejut bin malu.Buk, Rania menonjok hidung Reza cukup keras. Seketika Reza memegangi hidungnya yang terasa sangat sakit, sementara itu Rania buru-buru mengambil handuk dan langsung memakainya."Reza, Rania ada apa?" tanya Hesty. Kedua mertua Rania bergegas masuk ke dalam kamar putranya saat mendengar jeritan menantunya itu."Rania ini, Ma. Main tonjok-tonjok aja," jawab Reza yang masih memegangi hidungnya."Reza yang salah, Ma. Main masuk ke kamar mandi, nggak ngetuk pintu dulu." Rania membela diri."Salah kamu kenapa nggak dikunci," sahut Reza. Sementara Rania hanya diam."Mama pikir tadi kamu langsung minta jatah, eh nggak tahunnya. Ya udah di lanjut saja ya, biar cepet jadi." Hesty menepuk pundak putranya, lalu bergegas keluar dari kamar Reza."Ada apa, Ma?" tanya Irwan yang hendak masuk ke dalam."Nggak ada apa-apa, mungkin Rania kaget melihat senjata tempur milik Reza. Udah yuk turun, jangan ganggu mereka." Hesty menarik tangan suaminya, dan membawanya turun ke bawah."Za, apa masih sakit?" tanya Rania, jujur ia merasa bersalah karena sejak menikah Reza selalu mendapatkan bogem mentah darinya."Nggak sakit, cuma pegel aja." Reza menurunkan tangannya, seketika Rania terkejut saat melihat hidung Reza mengeluarkan darah."Ya ampun, Za." Rania langsung mengambil tisu untuk mengelap darah yang menetes dari hidung Reza.Reza terdiam saat melihat raut wajah Rania yang yang panik. Mungkinkah wanita yang ada di hadapannya itu mulai membuka hati untuknya. Atau gara-gara Reza terluka, sehingga Rania khawatir, dan juga panik."Ran, kamu pakai baju dulu sana. Aku takut khilaf, kalau terlalu lama melihat aset berharga milik kamu itu," kata Reza.Detik itu juga Rania menyilangkan tangan untuk menutupi dadanya. Rania juga baru sadar, jika dirinya hanya memakai handuk biasa, bukan handuk kimono. Sementara Reza tersenyum saat melihat raut wajah Rania yang merona, karena malu.Rania bergegas menuju lemari untuk mengambil pakaian, sementara itu Reza memilih untuk mandi terlebih dahulu. Usai mandi dan berpakaian, kini keduanya segera turun untuk makan malam bersama. "Reza, Rania, kapan kalian pergi honeymoon?" tanya Hesty. Mendengar hal itu membuat Rania tersedak. Uhuk, uhuk, dengan cepat Reza memberinya segelas air putih. Rania langsung menerimanya, lalu meneguknya. Sementara itu Hesty terlihat khawatir melihat menantu kesayangannya itu sampai tersedak. "Rania kamu baik-baik saja kan?" tanya Hesty. "Aku nggak apa-apa kok, Ma." Rania menggelengkan kepalanya. "Mama sih nanyanya aneh-aneh," timpal Irwan. "Ya nggak aneh lah, Pa. Kan biar kita cepat dapat cucu," sahut Hesty seraya memukul lengan suaminya itu. "Apa tidak terlalu cepat, Ma? Umur mereka saja masih muda," kata Irwan. Kemudian Hesty menatap putra dan menantunya secara bergantian. "Rania apa kamu belum siap untuk pergi honeymoon?" tanya Hesty dengan lembut. "Hah, aku ... em, aku .... ""Kami s
"Berhenti, Za. Aku nggak kuat lagi," ucap Rania seraya mengatur napasnya yang ngos-ngosan. Keduanya berhenti di sebuah jalan yang cukup sepi, Reza menyapu pandangannya ke sekeliling, ia khawatir jika mereka masih mengejar. Entah kenapa Reza merasa ada yang aneh dan juga janggal. "Mereka sudah tidak mengejar kita," kata Reza seraya bernapas lega."Iya, Za." Rania mengangguk. Reza menatap wajah Rania yang basah oleh keringat. "Kamu capek?" tanya Reza. Sementara Rania hanya mengangguk. "Ya udah kita pulang sekarang," kata Reza. "Ish, aku pikir sini aku gendong. Nggak tahunnya cuma ngajak pulang." Rania ngedumel, gara-gara kesal dengan jawaban yang Reza berikan. "Emang mau digendong," tawarnya. Sontak Rania terkejut, ia pikir Reza tidak akan mendengarnya. "Enggak, aku bisa jalan sendiri," kata Rania seraya melangkahkan kakinya mendahului Reza. "Huh dasar, wanita memang selalu begitu, gengsinya kegedean," gerutunya. Reza bergegas mengikuti langkah istrinya itu. Setelah cukup lama
Reza yang baru selesai mandi bergegas keluar dari kamar mandi. Rania semakin panik saat melihat Reza yang baru saja selesai mandi. Pikiran Rania benar-benar sudah travelling, ia khawatir jika Reza telah merenggut haknya tanpa izin darinya. "Kenapa." Reza berjalan mendekati Rania. "Semalam kamu ngapain, kenapa kamu melakukannya tanpa seizin dariku," tuduh Rania. Rasanya ia ingin menelan hidup-hidup lelaki yang ada di hadapannya itu. Reza mengerutkan keningnya. "Melakukan apa? Aku nggak ngerti maksud kamu apa.""Jangan pura-pura nggak tahu, bajuku lepas itu semua gara-gara kamu kan. Kamu sudah mengambil .... "Reza tertawa. "Oh jadi itu masalahnya, aku pikir ada apa.""Reza kamu harus tanggung jawab," ujar Rania yang masih emosi. "Tanggung jawab apa, wong kita aja udah nikah. Lagian semalam baju kamu basah, kalau nggak dilepas yang ada kamu masuk angin. Yang penting bungkusnya kan masih ada." Reza menjelaskan. Rania melongo saat mendengar penjelasan dari suaminya itu. Kemudian Rani
Reza membuka kaca mobil, dan ternyata dua orang polisi berdiri di sebelah mobil. Jujur, Rania merasa takut dan juga panik, sementara Reza berusaha untuk tetap bersikap tenang. Toh mereka tidak melakukan pelanggaran atau kesalahan. "Selamat malam, apa yang sedang kalian lakukan malam-malam di sini?" tanya pak polisi. "Mobil saya mogok, Pak. Itu sebabnya kami berhenti di sini," jawab Reza. Polisi itu terdiam sejenak. "Kalian bukan pasangan mesum kan.""Bukan lah, Pak. Kami pasangan suami istri." Reza merangkul pundak istrinya, hal tersebut membuat Rania sedikit terkejut. "Ita, Pak. Kami pasangan suami istri," tambahnya. Rania khawatir jika nanti pak polisi itu menangkapnya. "Bisa tunjukkan buku nikah kalian," ujar pak polisi. Reza dan Rania saling pandang. "Ran kamu bawa nggak?" tanya Reza. "Kayaknya enggak, aku simpan di rumah," jawab Rania. "Sebentar, Pak. Ini buktinya kalau kita pasangan suami istri." Reza menunjukkan foto pernikahan mereka, saat proses ijab kabul. Beruntung
Malam telah tiba, setelah kejadian di cafe pagi tadi, Rania memilih untuk mengurung diri di kamar. Hesty sama sekali tidak marah dengan apa yang menantunya itu lakukan, meski itu perbuatan tidak sopan. Namun, Hesty justru bahagia, karena itu tandanya Rania memiliki rasa pada Reza. "Rania, makan dulu ya. Dari siang tadi kamu belum makan." Reza terus membujuk Rania untuk makan, tetapi wanita itu menolak. "Aku nggak lapar." Rania membelakangi Reza."Walaupun kamu cuma ngambek, tapi tetep butuh tenaga loh," ujar Reza. "Sekarang makan dulu ya, nanti ngambeknya dilanjut lagi," lanjutnya. Namun Rania tetap tak bergeming. "Ish, bisa-bisanya Reza ngomong seperti itu," batin Rania. "Ya Tuhan, aku benar-benar malu atas kejadian tadi pagi. Bisa-bisanya aku nggak ngenalin kalau yang bersama Reza itu mama. Mau ditaruh di mana mukaku ini, walaupun mama nggak marah, tetep aja malu," batin Rania. Rasanya Rania ingin menghilang dari muka bumi. "Udah dong ngambeknya, lagian mama juga nggak marah s
"Auh, Raza sakit." Rania mencubit pinggang Reza, hal tersebut membuat pria beralis tebal itu mengaduh kesakitan. "Rania, sakit tahu." Reza memegangi pinggangnya yang terasa sakit, akibat ulah istrinya itu. "Salah kamu sendiri, kamu pikir nggak sakit apa jatuh ke lantai," ujar Rania. Ia berusaha untuk bangkit lalu masuk ke dalam kamar mandi, tetapi niatnya terhenti saat Reza memegang kakinya. "Kamu mau ke mana?" tanya Reza, lalu bangkit. "Mau ganti baju," jawab Rania. Ia masih merinding mengingat kejadian tadi. "Tanggung jawab dulu, kamu sudah membangunnya." Reza tersenyum nakal, meski pinggang masih terasa sakit. Rania mengernyitkan keningnya. "Membangunkan, membangunkan siapa.""Membangunkan ular tidur, sekarang kamu harus bertanggung jawab." Reza mendorong tubuh Rania hingga menempel di dinding. Wanita itu kembali gemetar saat melihat senyum nakal Reza. "Please, Za. Tahan dulu ya, soalnya aku sedang datang bulan," kata Rania. Seketika Reza memundurkan langkahnya, jujur ia mer
Lima belas menit kemudian, Reza sudah kembali ke mobil, ia panik saat melihat mata Rania terpejam. Buru-buru Reza melempar baju yang ia beli tadi lalu memeriksa kondisi Rania. Tubuhnya sangat dingin, sangat tidak mungkin Reza membawa pulang atau pun rumah sakit, karena jarak cukup jauh. "Rania maafkan aku, tapi ini demi kebaikanmu." Dengan tangan gemetar Reza membuka baju yang melekat di tubuh istrinya. Ia akan menggantinya agar suhu tubuhnya kembali hangat. Saat Reza hendak melepas pakaian Rania, tiba-tiba sebuah tamparan mendarat di pipi Reza. Seketika pria berkemeja navy itu terkejut lalu mengusap pipinya yang terasa sakit. "Aduh, sakit tahu." Reza masih mengusap pipinya. "Dasar mesum, cari kesempatan aja," semburnya. Rania membuka mata saat merasa jika Reza hendak melepas pakaiannya. "Bukan mesum, aku cuma mau ganti pakaian kamu saja," terangnya. "Karena aku pikir kamu pingsan.""Aku ngantuk, bukan pingsan." Rania menjelaskan. "Ya udah ini bajunya, kamu ganti dulu gih. Badan
Pukul enam pagi, Rania mulai mengerjapkan matanya, sinar mentari yang masuk ke dalam melalui jendela kaca membuat tidur nyenyak Rania terganggu. Setelah kelopak matanya terbuka sempurna, seketika Rania terkejut saat menyadari jika dirinya berada di ranjang, bukan sofa seperti tadi malam. "Astaghfirullah, semoga Reza nggak berbuat macam-macam." Rania mengeratkan selimut yang menutupi tubuhnya. Setelah itu, perlahan ia membuka selimut tersebut. "Alhamdulillah, untung Reza nggak ngapa-ngapain aku." Rania bernapas lega saat melihat pakaian yang membungkus tubuhnya masih utuh. Tiba-tiba pintu kamar mandi berderit, sontak Rania menoleh, terlihat jika Reza baru selesai mandi. Pria beralis tebal itu berjalan menuju koper dengan hanya memakai handuk. Jujur, Rania terpesona dengan bentuk tubuh Reza yang seperti roti potong itu. "Udah bangun kamu." Reza berjalan menuju ranjang seraya mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil. "Udah, kok aku bisa ada di sini, bukankah semalam aku tidur di s
Waktu terus bergulir, tidak terasa pernikahan Reza dan Rania kini menginjak tujuh tahun. Suka dan duka mereka lalui bersama, tak jarang pertengkaran dan rasa cemburu ikut mewarnai kehidupan mereka. Namun, keduanya mampu melawan dan melaluinya bersama. "Mama, kaos kakinya mana!" teriak Sean dan Sheina secara bersamaan. "Sebentar, Sayang," sahut Rania dari dalam kamar. "Astaghfirullah, Mas kamu tuh kebiasaan banget sih. Udah aku bilang, jangan naruh handuk sembarangan," omelnya, saat melihat Reza menaruh handuk basah di atas kasur. "Aku buru-buru, Sayang." Reza mengambil kemeja lalu memakainya.Rania menggelengkan kepala, lalu keluar dari kamar, dan masuk ke dalam kamar si kembar. Sean dan Sheina nampak sudah siap dengan seragam sekolahnya. Kini keduanya sudah duduk di bangku sekolah dasar. "Ini kaos kakinya." Rania menyerahkan kaos kaki tersebut pada si kembar. "Ma, iketin rambut Sheina," pinta Sheina. "Iya, Sayang sebentar ya." Rania segera mengambil sisir serta dua ikat rambut
Butuh waktu setengah jam untuk imunisasi si kembar, pasalnya Reza yang takut jarum suntik membuat Lina sedikit kewalahan. Sementara Rania hanya bisa menggelengkan kepala, heran. Ia pikir setelah punya anak, rasa takut terhadap jarum suntik akan hilang, tapi ternyata tidak. "Sheina kamu memang hebat, nggak kaya papa kamu. Sama jarum suntik aja takut," pujinya. Lina baru saja selesai melakukan tugasnya itu. "Nggak usah nyindir deh," sahut Reza yang merasa sedikit kesal. "Aku nggak nyindir, tapi ini kan fakta. Sheina sama Sean nggak nangis waktu disuntik," kata Lina. "Ish nyebelin banget sih." Reza berdecih. Setelah selesai mereka bergegas untuk pulang, Rania terus tersenyum saat mengingat kejadian tadi saat berada di rumah sakit. "Kamu kenapa senyum-senyum begitu?" tanya Reza. Kini mereka sudah dalam perjalanan pulang. "Nggak papa, ingat tadi aja waktu .... ""Mau ikutan nyindir iya, sama kaya Lina." Reza memotong ucapan istrinya, sementara Rania hanya tersenyum. "Sayang, nanti k
Sepuluh menit kemudian Reza sudah mengganti kemejanya, bahkan pria itu harus kembali mandi. Kini Reza sudah bersiap untuk berangkat ke kantor, sementara Rania masih sibuk memberikan ASI untuk Sean. "Sayang, aku pergi sekarang ya." Reza mencium kening istrinya. "Iya, hati-hati di jalan," ujar Rania. "Iya, Sayang papa pergi dulu ya. Jangan rewel kasihan mama." Reza mencium pipi Sean, lalu mencium pipi Sheina. Setelah itu Reza bergegas keluar dari kamar. Selang beberapa menit, pintu kamar kembali terbuka, terlihat Hesty berjalan menghampiri menantunya itu. Sementara Rania baru saja merebahkan tubuh Sean di ranjangnya. "Wah, cucu-cucu nenek udah pada kenyang ya." Hesty mencium pipi si kembar secara bergantian. "Sayang kamu sarapan dulu sana, apa mau mama bawakan ke sini," ujar Hesty. "Nggak usah, Ma. Aku turun saja," sahut Rania. "Ya sudah, si kembar biar sama mama," balas Hesty. Setelah itu Rania beranjak keluar dari kamarnya, lalu turun ke lantai bawah. Setibanya di ruang makan
Satu jam kemudian, Rania sudah dipindahkan ke ruang perawatan, tak lupa kedua buah hatinya diletakkan di box. Rania melahirkan bayi kembar, baby girl dan baby boy, Reza benar-benar bahagia karena dalam satu kali hamil, istrinya bisa melahirkan dua bayi sekaligus, terlebih sang istri melahirkan anak laki-laki, seperti keinginannya. Reza terus menghujani sang istri dengan kecupan, tak peduli jika mereka masih berada di rumah sakit."Ehem." Deheman Lina membuat Reza dan Rania menoleh."Ish, mengganggu saja kau. Ada apa, Lin," ujar Reza, kini pria merubah posisi duduknya."Ish, aku nggak ada urusan denganmu, tapi istrimu." Lina berjalan mendekati brangkar di mana Rania terbaring."Aku akan memeriksa kondisinya sekarang," ujar Lina. Reza hanya mendengus kesal, lalu segera bangkit dan berdiri di sebelah brangkar."Aku periksa dulu ya," ucap Lina, sementara Rania hanya mengangguk.Lina segera memeriksa kondisi Rania, kondisinya memang sudah stabil, mungkin hanya tubuhnya yang masih membutuhk
Hari ini Reza terpaksa tidak pergi ke kantor, dan semua itu gara-gara Rania. Namun bagi Reza tidak masalah, asal bisa membuat wanita yang sangat dicintainya bahagia dan tersenyum. Apa pun akan Reza lakukan. Saat ini Rania dan Reza sedang duduk santai di depan televisi. Rania sedang sibuk menyantap rujak mangga muda buatannya sendiri. Sementara Reza memilih sibuk bermain game di ponselnya. "Enak rujaknya?" tanya Reza tanpa mengalihkan pandangan. "Enak banget, mau coba." Rania menyodorkan sepotong mangga muda yang sudah berlumuran bumbu rujak. "Enggak, buat kamu aja," tolaknya. "Cobain dulu, dijamin nanti ketagihan," bujuknya."Enggak, Sayang. Buat kamu aja, nggak usah aneh-aneh deh," tolaknya, tetapi Rania terus membujuk Reza untuk memakan rujak tersebut. "Yang ngidam kan kamu, masa aku yang makan rujaknya," sambungnya. "Aku ngidam pengen lihat kamu makan rujak," kata Rania, mendengar itu mata Reza langsung melotot. "Rania, Sayang. Kamu minta apa pun aku mau nurutin, tapi pleas
Panik, itu yang Rania rasakan, walaupun sudah sering melihat dalam keadaan seperti saat ini. Rania tetap saja merasa malu, dengan panik ia mengambil handuk kimono lalu memakaikannya pada sang suami. "Maaf, a-aku tadi kaget jadi reflek deh." Rania nyengir, menunjukkan deretan giginya yang putih. Reza hanya menggelengkan kepala lalu beranjak keluar dari kamar mandi. Dengan masih menutup hidungnya menggunakan tangan, Reza memilih untuk duduk di sofa. Rasa sakit di hidungnya masih terasa, bahkan kepalanya sedikit pening. Melihat Reza diam, Rania langsung berlari menyusul suaminya itu, ada rasa bersalah karena sudah sering sekali membuat Reza terluka. Sementara Reza, ia diam karena merasa sakit, bukan karena marah. "Coba aku lihat, Za." Rania meminta Reza untuk menurunkan tangannya. Dengan perlahan Reza menuruti apa yang Rania inginkan. "Astagfirullah." Rania langsung mengambil tisu untuk mengelap darah yang keluar dari hidung suaminya itu. "Lama-lama hidung aku pesek gara-gara kamu
Reza langsung mengangkat tubuh istrinya dan membawanya ke kamar. Di kamar Reza membaringkan Rania di atas tempat tidur, panik dan khawatir bercampur menjadi satu, bahkan Hesty langsung menelpon dokter untuk memeriksa kondisi menantunya itu. "Dokter mau ngapain?" tanya Reza saat melihat Dokter Andi hendak memeriksa kondisi Rania. "Mau memeriksa kondisi istri .... ""Jangan dipegang, apa lagi diraba. Tutup mata, jangan ngintip." Reza memotong ucapan Dokter Andi. Hal tersebut membuat kedua orang tuanya merasa heran dan juga bingung. "Za kamu apa-apaan sih, Dokter Andi itu mau memeriksa kondisi Rania, kamu nggak lihat istrimu itu pingsan," ujar Hesty. Ia sering bingung dengan kelakuan putranya itu. "Iya, tapi dilarang memegang anggota tubuh Rania. Apa lagi kalau sampai melihat dalamnya," sahut Reza. Seketika mereka saling pandang. "Aduh, Za. Kamu tuh ya, udah sekarang kamu duduk, lihat bagaimana Dokter Andi memeriksa kondisi Rania." Hesty mendudukkan putranya tepat di sebelah Rania.
Melihat Reza kembali tersungkur, Evan menarik paksa tangan Rania dan hendak membawanya pergi dari tempat tersebut. Reza yang melihat istrinya akan dibawa pergi tidak tinggal diam. Pria berjaket hitam itu bangkit lalu memukul tengkuk Evan. Bugh, saking kerasnya tubuh Evan ambruk ke ubin, melihat itu Reza langsung membawa pergi istrinya. Rasa sakit di kepala tidak sebanding jika harus kehilangan Rania. Kini mereka sudah ada di mobil, tetapi sebelum itu Rania telah membayar makanan yang telah dipesan. "Za, kita ke rumah sakit ya," kata Rania. "Enggak mau, kita pulang saja," tolaknya. "Tapi luka kamu .... ""Please, Rania. Tolong jangan bawa aku ke rumah sakit." Reza memotong ucapan istrinya itu. "Ya udah kita pulang." Rania segera menyalakan mesin mobilnya. Setelah itu mobil melaju meninggalkan halaman resto. Dalam perjalanan, Reza terus memegangi kepala bagian belakang, sementara Rania memilih fokus untuk menyetir. Sesekali Rania menoleh ke arah di mana suaminya duduk. Khawatir, i
Kini Reza dan Rania sudah tiba di rumah, awalnya Reza hendak membawa istrinya itu ke rumah sakit, tetapi Rania menolak dan meminta untuk pulang ke rumah. Setibanya di rumah, Reza langsung membaringkan istrinya di sofa ruang tengah. Hesty yang melihatnya bergegas menghampiri menantunya itu. "Reza, Rania kenapa, Sayang kamu kenapa?" tanya Hesty dengan raut wajah khawatir. "Biasa lah, Ma. Cemburu buta ya kaya gini," sahut Reza, seketika Rania mencubit lengan suaminya itu. Hesty tersenyum. "Wah mantu, mama sekarang nambah cinta ya sama, Reza. Tapi kok bajunya bisa kotor begini, terus itu kakinya kenapa.""Sepertinya terkilir, Ma. Mama bisa mijit kan, mau ke rumah sakit Rania nggak mau," jawab Reza. "Yang bisa mijit kan kamu, buktinya pas mama keseleo kamu yang mijit. Udah sana kamu bawa Rania ke kamar, jangan lupa bajunya diganti, setelah itu kakinya kamu pijit," perintahnya. Rania hanya bisa pasrah, toh kakinya memang benar-benar sakit. "Ya udah, Ma." Reza segera mengangkat tubuh is