Sesuai dengan janjinya, Raras membawa Wisnu ikut dengannya ke rumahnya di kota. Suaminya itu menikmati setiap waktu, memandang jalan dengan sumringah serta mata berbinar-binar. Raras hanya ingin memastikan ayahnya baik-baik saja, selebihnya dia tidak peduli."Apa kau lelah? Biar aku yang menyetir." Tawaran Wisnu dibalas dengan senyuman sambil berkata."Kau belum pulih betul, untuk saat ini cukup kau duduk manis saja.""Baiklah, ternyata rumahmu jauh ya, Ras. Padahal kita sudah berkendara selama tiga jam, aku tak habis fikir saat kau pulang mengendarai mobil dimalam buta," kata Wisnu."Sudah biasa ," jawab Raras singkat."Siapa saja, Ras? yang ada dirumahmu?" Tanya Wisnu."Ada ayah, kau sudah mengenalnya, sebenarnya ayah adalah laki-laki yang baik, dia hanya tidak membuka mata lebih lebar sehingga menilai sesuatu secara tidak objektif.""Iya aku tau, Ras. Walaupun dulu ayahmu pernah menekanku namun aku bisa menilai sebenarnya dia laki -laki yang baik dan bertanggung jawab." Raras memu
Raras membuka pintu ruang kerja yang didesain secara apik dan mewah milik Divo. Wajahnya datar dan dingin. Laki-laki itu langsung menyingkirkan berkas yang berada di tangannya, mengalihkan perhatiannya dari tabel laporan keuangan kewajah cantik itu."Wow? Raras, aku sangat tersanjung melihat kau mendatangiku, tiga bulan menghilang dan datang tanpa diundang, kau memang penuh kejutan, Raras." Divo tertawa."Aku tak butuh basa-basimu, sekarang aku ingin tau semua kebenaran melalui mulutmu sendiri."Raras menatap lurus mata Divo, laki -laki playboy itu tersenyum sumringah tanpa dosa."Kebenaran yang mana? Aku tidak merasa berbohong kepadamu, kecuali pengakuan cintaku padamu."Raras mendecih dengan semua omongan tak penting Divo, mengeluarkan berkas di tangannya yang berhasil dianalisanya selama satu malam."Apa maksudmu berniat membeli perusahaan ibuku? Kau memang manusia sombong dan angkuh.""Santai, Ras! Hilangkan sikap ketusmu dengan dewa penyelamat di depanmu!" Divo semakin memancing
Raras memacu mobilnya dengan kecepatan sedang, semua hal yang terjadi pada hidupnya adalah sebuah keajaiban. Dia tetap hidup setelah tertembus dua butir peluru dan membuatnya kehilangan banyak darah, lalu koma selama dua minggu dan memiliki harapan hidup yang sangat tipis, serta selamat dari ancaman kebangkrutan.Secara logika manusia semua itu tak mungkin terjadi jika bukan karena pertolongan tuhan, bertahun-tahun berteman dengan Zack tak sedikitpun sahabatnya itu menceritakan identitasnya, dia hanya bercerita hal -hal sederhana dan tidak mengarah ke bisnis.Tentu saja Raras tau perusahaan milik keluarga Zack, sebuah perusahaan raksasa yang memiliki ratusan cabang di berbagai negara, kakayaan ayah Raras belum ada apa-apanya dibandingkan keluarga Zack. Raras sampai dua jam kemudian setelah beristirahat di tengah perjalanan mengisi perutnya. Saat mobilnya berhenti di depan toko, Wisnu langsung menyambutnya dengan senyum cerah, menyerat kruknya tergesa gesa mendekati Raras."Akhirnya k
Raras pagi ini merasa lebih segar, dia bangun tanpa beban. Begitu enaknya menjadi orang biasa, makan enak, tidur lelap dan tak ada senjata api dan pisau tajam yang mengintai. Pagi-pagi sekali Raras ikut ke mesjid menunaikan shalat berjamaah dengan Wisnu. Selesai shalat dia berbincang-bincang sedikit dengan jamaah lain yang tertarik untuk lebih mengenal Raras.Mereka berjalan beriringan dari mesjid menuju rumah, sesekali bertegur sapa dengan jamaah lainnya yang mohon izin lebih dulu."Siang nanti kita ke rumah sakit."Kata Raras sambil memegang lengan suaminya."Jam berapa kira-kira, Ras? ""Dokternya praktek jam sebelas siang, kita harus datang lebih cepat supaya dapat nomor antrian di awal. ""Waktu terakhir periksa, dokter itu mengatakan kemungkinan besar pen-nya tidak dilepas. ""Begitu ya? Dia dokter senior tentu tau yang lebih baik untuk pasiennya."Wisnu tersenyum lembut, memandang istrinya yang masih dibalut mukena putih, wajahnya bersinar dan bercahaya, tak kan ada orang yang
Wisnu membawa kruknya masuk ke dalam rumah, dua pegawainya sudah datang dan dia pun mulai merasa lapar. Sarapan bersama adalah masa -masa yang ditunggu setiap orang di rumah ini, karena dipagi hari meja makan selalu lengkap"Mana Mbak-mu? " tanya Wisnu melihat yang duduk di sekitar meja makan tidak terlihat adanya Raras, Aryo dan Yono bangkit setelah menghabiskan sarapannya, meraih tasnya dan mencium tangan sang abang yang masih keheranan."Mbak Raras gak selera makan katanya," jawab Nela. "Iya, padahal tadi beliau bilang sudah lapar, tapi nunggu abang selesai melayani pembeli dulu," tambah Mira.Wisnu merasa aneh, tidak biasa biasanya istrinya itu bilang tidak selera dengan makanan. Firasat Wisnu menjadi tidak enak. Dia melirik pintu kamar yang ditutup rapat, dimana lagi istrinya itu kalau bukan di kamar.Wisnu mendorong pintu itu berlahan, Raras tengah tidur menelungkup, menutup telinganya dengan bantal."Ras?" Wisnu duduk di ranjang, meraih ujung bantal tapi ditahan istrinya itu.
Raras kehilangan akal, Wisnu kalau merajuk sangat susah membujuknya. Sudah satu jam berlalu, setelah insiden terjatuh dan terluka Beberapa saat yang lalu,Wisnu mengobati lukanya sendiri dan menolak bantuan Raras. Raras tertawa antara lucu dan kasihan, dia tau betul bagaimana suaminya itu, perasaannya sangat peka."Kita harus bicara, Ras," katanya datar."Dari tadi aku sudah bicara, kau saja yang mendiamkanku," canda Raras."Ini serius, Ras!""Oh, oke." Raras akhirnya mengangguk setelah melihat ekspresi berwibawa Wisnu."Kau istri yang sempurna, Ras. Tapi aku menyarankan, kau harus pintar mengendalikan emosimu, aku jadi takut dengan kemarahanmu, Ras. Untung saja aku yang jatuh ke lantai, bagaimana jika kejadian itu terjadi jika kita sudah punya anak? Bisa jadi anak menjadi pelampiasan tidak sengajamu."Raras terdiam, anak? Bahkan mungkin mereka sekarang akan memilikinya, membayangkan anaknya jatuh tersungkur dengan hidung berdarah karena perbuatannya sendiri membuat Raras menjadi nge
Raras masih bersungut-sungut dengan masalah 'pertarungan' yang terjadi beberapa saat yang lalu. Wisnu tersenyum kecil, istrinya yang terbiasa menunjukkan wajah dewasa dan mandiri itu sekarang terlihat seperti remaja yang menggemaskan. Raras sedang asik menikmati es krim di depannya, cuaca panas membuat dia ingin melahap yang dingin-dingin."Ras, mulutmu belepotan," tegur Wisnu, dia mengusapkan jempolnya di sana. Padahal tidak ada es krim yang menempel di sana, semua itu hanya akal-akalan Wisnu. Raras menjauhkan jempol itu dengan wajah cemberut."Masih marah ya, Ras?" Wisnu tersenyum geli."Enggak," ketusnya."Wajahmu dari tadi cemberut terus""Aku masih marah sama kamu," bentaknya."Katanya nggak marah, sekarang bilang marah, yang benar yang mana, Ras?"Raras membuang muka, rambutnya masih basah. Mereka jadi batal pergi ke dokter gara-gara 'pertarungan' yang membuat lawan jadi KO dan cidera."Besok jangan pakai kekerasan!" ketus Raras."Kalau gak 'keras' ya gak bisa masuk , Ras." Wisn
Wisnu dan Raras langsung pulang setelah konsultasi rutin dengan dokter yang menanganinya selama ini. Dokter menyarankan untuk mulai memijakkan kaki yang masih di tupang kruk. Walau sedikit nyeri dan kaku, Wisnu mulai berjalan sedikit -sedikit dengan bergelayut ke lengan Raras.Wisnu memberi usul agar mereka langsung ke dokter kandungan. Namun Raras menolak, ada alasan tertentu baginya menolak itu semua. Dia takut Wisnu akan melarangnya bekerja jika dia terbukti hamil, padahal sekarang perusahaan sedang membutuhkannya.Raras mengambil telpon genggamnya yang berbunyi dari tadi, dia sedang fokus dengan jalan di depannya. Namun matanya membelalak kaget, saat melihat siapa yang tertera disitu."Ayah?" Katanya meminta pendapat pada suaminya sambil berbisik. Wisnu memberikan kode agar telpon itu diangkat saja. "Halo, ayah."" Pulanglah, Ras! Ayah perlu bicara dengan suamimu.""Baik, ayah." Raras meletakkan telpon genggamnya kembali. Memandang suaminya dengan senyum getir."Ayahmu bilang apa