Wisnu membawa kruknya masuk ke dalam rumah, dua pegawainya sudah datang dan dia pun mulai merasa lapar. Sarapan bersama adalah masa -masa yang ditunggu setiap orang di rumah ini, karena dipagi hari meja makan selalu lengkap"Mana Mbak-mu? " tanya Wisnu melihat yang duduk di sekitar meja makan tidak terlihat adanya Raras, Aryo dan Yono bangkit setelah menghabiskan sarapannya, meraih tasnya dan mencium tangan sang abang yang masih keheranan."Mbak Raras gak selera makan katanya," jawab Nela. "Iya, padahal tadi beliau bilang sudah lapar, tapi nunggu abang selesai melayani pembeli dulu," tambah Mira.Wisnu merasa aneh, tidak biasa biasanya istrinya itu bilang tidak selera dengan makanan. Firasat Wisnu menjadi tidak enak. Dia melirik pintu kamar yang ditutup rapat, dimana lagi istrinya itu kalau bukan di kamar.Wisnu mendorong pintu itu berlahan, Raras tengah tidur menelungkup, menutup telinganya dengan bantal."Ras?" Wisnu duduk di ranjang, meraih ujung bantal tapi ditahan istrinya itu.
Raras kehilangan akal, Wisnu kalau merajuk sangat susah membujuknya. Sudah satu jam berlalu, setelah insiden terjatuh dan terluka Beberapa saat yang lalu,Wisnu mengobati lukanya sendiri dan menolak bantuan Raras. Raras tertawa antara lucu dan kasihan, dia tau betul bagaimana suaminya itu, perasaannya sangat peka."Kita harus bicara, Ras," katanya datar."Dari tadi aku sudah bicara, kau saja yang mendiamkanku," canda Raras."Ini serius, Ras!""Oh, oke." Raras akhirnya mengangguk setelah melihat ekspresi berwibawa Wisnu."Kau istri yang sempurna, Ras. Tapi aku menyarankan, kau harus pintar mengendalikan emosimu, aku jadi takut dengan kemarahanmu, Ras. Untung saja aku yang jatuh ke lantai, bagaimana jika kejadian itu terjadi jika kita sudah punya anak? Bisa jadi anak menjadi pelampiasan tidak sengajamu."Raras terdiam, anak? Bahkan mungkin mereka sekarang akan memilikinya, membayangkan anaknya jatuh tersungkur dengan hidung berdarah karena perbuatannya sendiri membuat Raras menjadi nge
Raras masih bersungut-sungut dengan masalah 'pertarungan' yang terjadi beberapa saat yang lalu. Wisnu tersenyum kecil, istrinya yang terbiasa menunjukkan wajah dewasa dan mandiri itu sekarang terlihat seperti remaja yang menggemaskan. Raras sedang asik menikmati es krim di depannya, cuaca panas membuat dia ingin melahap yang dingin-dingin."Ras, mulutmu belepotan," tegur Wisnu, dia mengusapkan jempolnya di sana. Padahal tidak ada es krim yang menempel di sana, semua itu hanya akal-akalan Wisnu. Raras menjauhkan jempol itu dengan wajah cemberut."Masih marah ya, Ras?" Wisnu tersenyum geli."Enggak," ketusnya."Wajahmu dari tadi cemberut terus""Aku masih marah sama kamu," bentaknya."Katanya nggak marah, sekarang bilang marah, yang benar yang mana, Ras?"Raras membuang muka, rambutnya masih basah. Mereka jadi batal pergi ke dokter gara-gara 'pertarungan' yang membuat lawan jadi KO dan cidera."Besok jangan pakai kekerasan!" ketus Raras."Kalau gak 'keras' ya gak bisa masuk , Ras." Wisn
Wisnu dan Raras langsung pulang setelah konsultasi rutin dengan dokter yang menanganinya selama ini. Dokter menyarankan untuk mulai memijakkan kaki yang masih di tupang kruk. Walau sedikit nyeri dan kaku, Wisnu mulai berjalan sedikit -sedikit dengan bergelayut ke lengan Raras.Wisnu memberi usul agar mereka langsung ke dokter kandungan. Namun Raras menolak, ada alasan tertentu baginya menolak itu semua. Dia takut Wisnu akan melarangnya bekerja jika dia terbukti hamil, padahal sekarang perusahaan sedang membutuhkannya.Raras mengambil telpon genggamnya yang berbunyi dari tadi, dia sedang fokus dengan jalan di depannya. Namun matanya membelalak kaget, saat melihat siapa yang tertera disitu."Ayah?" Katanya meminta pendapat pada suaminya sambil berbisik. Wisnu memberikan kode agar telpon itu diangkat saja. "Halo, ayah."" Pulanglah, Ras! Ayah perlu bicara dengan suamimu.""Baik, ayah." Raras meletakkan telpon genggamnya kembali. Memandang suaminya dengan senyum getir."Ayahmu bilang apa
Seluruh anggota keluarga berkumpul di ruang tamu. Seperti biasa, sang ayah akan duduk di kursi khusus yang berbeda dengan yang lainnya. Di samping ayahnya, siapa lagi kalau bukan ibu tiri yang berpura-/pura manis dengan senyum yang dibuat -buat.Wisnu menegakkan bahunya. Dia adalah suami Raras, takkan sedikitpun dia menundukkan wajah lemah di depan keluarga ningrat yang terkadang secara terang-terangan merendahkannya. Dia tidak bicara apapun, pandangannya lurus ke depan menunggu apa yang akan disampaikan oleh laki-laki itu. Ayah Raras berdehem membersihkan tenggorokannya. Kemudian mulai membuka pembicaraan. "Kau serius dengan anakku?" Tanyanya dengan suara serak berat, khas ayah Raras."Tentu saja, Pak. Sejak ijab qabul di lafaskan, saya tidak main-main dengan pernikahan ini," tegas, lugas dan penuh keyakinan. Ibu tiri Raras mendecih mengejek, sedangkan Andini sibuk menatap Wisnu tanpa kedip. Raras membuang muka. Pembicaraan ini sangat tidak menarik baginya. Dia menjamin, pembicaraa
Satu jam berlalu. Raras merapikan rambutnya dan mengusap wajah sembabnya. Mereka belum beranjak dari pekarangan rumah. Saat ini Raras sudah agak tenang setelah meluapkan emosinya. Wisnu paham betul karakter istrinya yang memiliki tempramen tinggi. Wanita itu tipe yang tidak bisa di kerasi, dia akan memberikan apa saja pada orang terdekatnya jika hatinya senang dan melakukan apa saja jika hatinya sakit. Dia adalah wanita yang unik. Dia akan mengatakan tidak terhadap sesuatu yang tidak disukainya.Wisnu membelai rambut panjang itu, menghapus sisa-sisa air mata di pipinya. Dia tau betul, hanya dia yang dimiliki Raras setelah melihat bagaimana kerasnya ayah gadis itu memojokkannya. Kasihan istrinya itu, menjadi orang asing di rumahnya sendiri pasti sangat berat baginya."Kau sudah lihat bukan? Betapa sombong dan pongahnya keluargaku, sebenarnya ayahku adalah laki-laki yang baik, tapi entah sihir apa yang diberikan dua wanita itu sehingga ayah bisa tunduk kepada mereka.""Kebenaran akan t
Raras membuktikan ucapannya. Tanpa bisa dicegah, lima orang pekerja sudah berhasil menyingkirkan berbagai perabot dan hiasan milik Ibunya Andini. Ayah Raras tidak punya daya menghentikan anaknya itu. Dalam waktu kurang dari dua jam, rumah itu sudah kosong."Cat rumah ini dengan warna putih! Rumah ini lebih mirip taman kanak -kanak dengan warna-warni seperti ini," kata Raras mengamati cat berwarna ungu dan pink dipadu padankan di ruang tamu."Baik, Nona," kata pria itu sambil menanggalkan foto Andini dari pajangan. Ibu tirinya tak punya daya melawan Raras sendirian, karena Andini belum menampakkan batang hidungnya dari tadi malam. "Kenapa kau lakukan ini padaku?" ketus Ibu tirinya, suaranya hampir terdengar seperti akan menangis. Namun malawan Raras hanya akan menyakiti dirinya sendiri. Wanita tua yang bergaya anak muda itu kesal sendiri dengan suaminya yang memilih meninggalkan rumah dengan alasan pekerjaan dari pada membelanya dari serangan Raras."Melakukan apa? Ini rumahku, sertif
Raras duduk tenang sambil menunggu dokter spesialis kandungan, rasanya seperti mau disidang, tegang dan cemas. Wisnu tak kalah deg-degan, dia memegang jemari Raras dan memberikan senyum terbaiknya pada istrinya itu.Dokter duduk di depan mereka, menjabat tangan Wisnu dan Raras sekilas. "Kapan haid terakhirnya, Bu?" Raras memandang Wisnu seolah bertanya," kapan aku haid?" Wisnu menggeleng, dia sendiri tidak tau masalah itu. Yang jelas selama mereka menikah, dia tidak pernah mengetahui apa Raras haid atau tidak. Wanita itu dulu juga tidak menunaikan shalat, jadi haid atau tidak, sama saja."Aduh, saya gak tau persis, Dok. Yang jelas, mungkin empat bulan yang lalu, tanggalnya gak tau pasti."Dokter itu geli sendiri, inilah pasien yang paling aneh, haid sendiri tidak tau. Bagaimana mau menghitung usia kandungan dan memprediksi waktu kelahiran."Kapan pertama kali kalian melakukannya?" Pertanyaan itu sebenarnya tidak pantas ditanyakan. Tapi tak ada jalan keluar lain. Dua orang ini benar-
Tidak ada yang berbeda ketika Wisnu berada di rumah. Dia suka memasak dan mengerjakan pekerjaan rumah, bahkan, walaupun Raras berusaha membujuknya, pria itu tetap tak terpengaruh sama sekali."Rumah ini sudah terlihat berbeda dari terakhir kita meninggalkannya, bukan?" kata Raras, Raras berusaha bercakap-cakap, tetapi pria itu hanya diam saja."Kau masih ingat ketika kau lumpuh dulu? aku menggendongmu kesana kemari, alangkah indahnya masa itu, tidak terasa sudah bertahun-tahun berlalu, dan sekarang kita kembali di sini, tetapi suasananya sudah berbeda, tidak ada lagi tawamu seperti itu." Suara Raras serak.Raras menghela napasnya, sebenarnya, ia sudah lelah juga membujuk Wisnu. Akan tetapi, pria itu tetap teguh dengan pendiriannya, tidak terpengaruh sama sekali, ia tetap menjawab apa yang dikatakan Raras, tapi tidak seperti biasa, hanya perkataan 'iya' dan 'tidak' saja."Aku masih ingat bagaimana senyum lebarmu menyambutku ketika aku datang, dan untuk pertama kalinya, seumur hidupku,
Felicia tidak berdaya menolak kuasa Andrew. Pria itu memaksanya, dengan cara yang kasar, memerintahkan Felicia mengikutinya.Setelah menempuh perjalanan beberapa jam, mereka memutuskan untuk istirahat di sebuah kafe. Sebuah kafe dengan tema alam yang bisa membuat pikiran mereka sedikit dingin, setelah perdebatan panjang selama beberapa saat.Felicia hanya perlu memasang taktik, untuk sementara ini, dia hanya perlu pura-pura patuh mengikuti Andrew. Dia hanya perlu cara licik, karena Andrew si pengawal dingin, bisa melukainya."Puas?" kata Felicia kemudian kepada Andrew."Untuk alasan apa?" tanya Andrew dengan senyum dingin."Kau berhasil menekanku, sehingga aku akhirnya takluk dan menuruti semua kemauanmu.""Sudahlah, Felicia. Kita ini adalah orang yang sama, kamu mencintai uang dan aku pun sama, aku tau ... kau menikah dengan suamimu karena uang, dan aku bekerja dengannya juga karena uang, jadi ... tidak ada yang lebih baik di antara kita, bukan?" Andrew menyantap santai steaknya."
Hujan tidak berhenti mengguyur desa sejak tadi malam, bahkan udara dingin ini tidak mematahkan semangat Wisnu untuk bangun jam 03.00 Subuh menunaikan kewajibannya sebagai seorang muslim yang taat. Dia mendirikan dua rakaat salat tahajud yang tidak pernah absen dilakukannya. Dia adalah pria yang dibesarkan dengan agama yang kuat. Akan tetapi, sejauh ini, sebuah ujian sebagai suami, dia belum mampu membuat Raras untuk istiqomah dalam menjalankan ibadahnya. Wanita itu bahkan belum bisa menutup auratnya secara sempurna. Dia dulu pernah sempat memakai hijab, lalu kembali berhenti memakainya, alasannya karena merasa tidak nyaman. Entah untuk alasan apa, yang jelas ... Wisnu tidak pernah memaksakan. Yang penting, Raras bisa menunaikan kewajiban salat lima waktu. Memang benar, pengalaman agama Raras begitu minim, dia dibesarkan di lingkungan keluarga yang moderat dan tidak begitu mementingkan persoalan agama, aqidah serta ibadah, akan tetapi Wisnu berusaha membimbingnya.Seusai salat tahaju
Walau keadaan terasa berbeda saat ini, Wisnu memutuskan untuk duduk di beranda rumahnya. Mengamati Aryo yang sibuk melayani pembeli.Adiknya itu tumbuh menjadi anak yang tampan, pemuda baik hati dan pengganti Wisnu di rumah itu. Dua adik Wisnu pun sudah tumbuh menjadi remaja yang cantik. Begitu cepat waktu berlalu, membuat Wisnu merasa terharu. Andaikan ibunya masih hidup, tentu dia akan bangga memiliki anak-anak yang begitu pintar, cerdas, tampan dan cantik seperti mereka.Wisnu kemudian berusaha menghabiskan air mineral yang ada di tangannya. Sudah tiga hari dia berada di sini, dan sama sekali dia belum berniat untuk menghubungi Raras. Dia sengaja mematikan ponselnya, bahkan beberapa kali Raras menelepon ke ponsel adiknya, Wisnu melarang untuk mengangkatnya, entah kenapa ... dia hanya butuh sendiri. Ketika mengingat tuduhan Raras, hatinya benar-benar sakit.Setelah pelanggan cukup sepi, Aryo kemudian mendekati Wisnu, pria yang tingginya sudah menyamai Wisnu itu, menatap sang kakak d
Katakanlah Felicia adalah jalang yang sesungguhnya. Wanita itu bahkan tidak butuh waktu lama untuk ditaklukkan oleh Andrew. Dalam beberapa menit saja, dia mengerang dan memohon kepada pria itu.Mungkin Andrew adalah pria yang bisa memperlakukan dia seperti apa yang dia butuhkan. Dia begitu lihai dalam memanjakan setiap inci kulitnya, semua itu membuat Felicia mengakui, bahwa Andrew adalah pria terbaik yang pernah menemaninya."Sialan kau, Andrew!" Felicia memakai pria itu, di tangah napasnya yang tersengal. Sedangkan Andrew memamerkan senyum iblisnya.Felicia menyumpahi dirinya yang begitu bodoh, seakan tidak lagi memiliki harga diri di depan pria itu. Dengan mudahnya Andrew menghancurkan semua keangkuhannya, bahkan dengan status sebagai atasan itu, sama sekali tidak membuat Andrew segan padanya.Setelah pertempuran semalaman itu, paginya Felicia dihantam oleh kesadaran, bahwa apa yang terjadi pada dirinya saat ini, adalah hal gila yang selalu terulang. Ditambah kenyataan, dia tengah
Putus asa, sedih serta merasa tertekan, itu yang dirasakan oleh wanita cantik berambut lurus bernama Raras. Tidak terhitung sudah berapa jam dia berkeliling di pulau kecil itu. Dia mendatangi tempat-tempat yang mungkin bisa jadi akan didatangi oleh Wisnu. Akan tetapi suaminya itu sama sekali tidak terlihat batang hidungnya.Raras kemudian mematikan motornya. Jam 01.00 dini hari, sewajarnya tidak pantas wanita sendirian di malam hari dengan suasana yang teramat sepi di tepi pantai.Wanita itu kemudian membuka jaket kulitnya. Menanggalkan helm. Tak lupa sepatu sportnya. Kakinya yang jenjang, menapak pasir basah. Mata wanita itu terlihat basah, dengan semua keputus-asaannya, dia tak tau, apa yang harus dilakukannya."Kenapa ponselmu mati?"Raras menyugar rambutnya yang berantakan. Dia lebih memilih, bertengkar hebat asalkan dia bisa melihat suaminya walaupun tak menegurnya sama sekali.Ketika Wisnu lebih memilih untuk diam saja, maka itu adalah sebuah wujud kemarahan yang tidak bisa dib
Raras masih termangu di tempatnya semula. Kedua tangannya menopang dagunya yang berada di atas meja makan. Bahkan wanita itu tidak berniat menyalakan lampu sama sekali. Ruangan gelap dan hanya ada cahaya lampu di luar sana yang menerangi."Apa yang terjadi padaku, Tuhan?" Raras menutup wajahnya. Hatinya campur aduk.Lauk yang dimasak Wisnu masih utuh di atas meja makan. Pria yang tak pernah gengsi mengerjakan pekerjaan rumah itu, adalah suami idaman siapa saja."Kenapa aku begitu bodoh!" Rara memijit kepalanya. Perasaan hampa dan kehilangan begitu menyiksanya. Bahkan ratusan kali dia menelepon, tak sekalipun panggilannya masuk ke nomor suaminya itu."Beginikah rasanya ditinggalkan?* kata Raras pada dirinya. Dia sering pergi ke luar kota meninggalkan Wisnu, bahkan dalam waktu berhari-hari. Bahkan ketika Wisnu memohon untuk pulang, dia tetap saja bertahan di Jakarta dengan alasan sangat sibuk.Baru beberapa jam suaminya itu meninggalkan rumah, Raras merasa hatinya kosong dan hampa.Otak
Mata Mega memerah, dia merasa nyawanya sudah berada di ujung tanduk. Sepertinya, Raras memang serius ingin menghabisi dirinya. Buktinya cengkraman wanita itu bahkan mampu mengangkat tubuhnya dari lantai. Pandangan Mega mulai buram, dia tak bisa bernapas, bahkan kakinya kejang menendang udara.Mega merasakan dadanya seperti terbakar. Dia yakin, sebentar lagi, dia akan mati. Pandangannya mulai gelap.Brak!Tiba-tiba Raras melemparnya begitu saja ke sudut ruangan. Pinggangnya menabrak dinding."Arggggh!" erang Mega.Mega takjub dengan kekuatan wanita itu, bahkan dengan satu tangan saja, mampu mengangkat beban tubuhnya yang memiliki berat 56 kg.Mega mengambil nafas sepuasnya. Oksigen memenuhi paru-parunya. Tadi dia merasakan paru-paru itu akan meledak. Mega terbatuk-batuk. Dia meraba lehernya yang merasa seperti masih ada cengkraman tangan Raras di sana."Bagaimana rasanya sakit?" Raras menatap Mega dengan tatapan sinis. Dia marah dan Mega cocok untuk pelampiasan.Mega masih dilanda pusi
Mega gentar, selama dia mengenal Raras, dia tidak pernah melihat tatapan murka seperti itu. Tatapan tajam rasa seakan-akan bisa mengoyaknya."Aku perlu bicara!"Mega tergagap. Tapi, saat inilah dia perlu melangkah maju. Dia takkan menyerah, memperjuangkan apa yang dia inginkan."Baik, katakan saja apa yang ingin Mbak katakan."Raras mengamati sekeliling, pengunjung kafe sedang sepi, sedangkan ada satu asisten yang bertugas sebagai koki, tengah santai di meja kasir. "Di dalam saja," ucap Raras ketus, kakinya menapak anak tangga. Mega mengikuti dari belakang. "Duduk!" ketus Raras saat mereka sampai di ruang tengah."Apa yang terjadi? Apa benar kau masuk ke dalam kamarku saat aku tak ada di rumah?"Raras ingin mendengar kalimat bantahan Mega. Akan tetapi, beberapa detik menunggu, wanita itu tak menyanggah."Tepatnya, Mas Wisnu yang masuk ke kamar saya!"Seperti petir yang menyambar di siang hari, sebuah kalimat itu menampar harga diri Raras. Dia berusaha menahan emosinya ketika mendeng