Raras menggulingkan badannya, menetralkan detak jantungnya sendiri, rasa penasaran yang mengakibatkan mereka saling mencoba lebih maju dari yang sebelumnya.Raras tidak menyangka, laki-laki kalem dan pendiam itu begitu ahli. Mereka sepakat menghentikan permainan sebelum semuanya semakin tak terkendali. Pagi ini mereka sudah membuat kemajuan yang sangat besar."Sebelumnya apakah kau pernah menyentuhku?" Raras tidak bisa menahan rasa ingin taunya. Wisnu tersenyum, dia mengangguk sambil menghisap pipinya menahan malu."Kapan?" Raras memicingkan mata, kenapa dia bisa tidak tau."Beberapa kali saat kau tertidur lelap," aku Wisnu, itu memang benar, mana mungkin Wisnu tidak berhayal semenjak aksi menerobos tak sengajanya ke kamar mandi waktu itu."Aku tak menyangka kau bisa senekad itu."Wisnu menyembunyikan wajah malunya diantara lekukan lengan dan bahu Raras, dan selanjutnya adalah urusan mereka berdua.*****Saat mengaku tadi, Raras sedikitpun tidak marah, dia hanya tak habis fikir bagaim
Sehari ini Wisnu mendiamkannya, wajah lembut penuh senyum itu berubah datar, tak mengubris sapaan Raras sedikitpun. Wisnu tipe pria yang cepat ngambek dan tidak mudah mengembalikan suasana hatinya.Sekarang dia menjemur pakaian di belakang rumah, jemuran yang dilindungi atap keropos. Setidaknya pakaian itu bisa mengering dengan terpaan angin sore dan besok bisa kering secara utuh.Wisnu menolak bantuan Raras yang berniat ingin menolongnya, padahal yang dicucinya adalah pakaian istrinya sendiri. Raras menghela nafas, dia tidak punya pengalaman sama sekali untuk membujuk dan merayu Wisnu agar moodnya kembali baik, yang dia lakukan adalah mengekori kemanapun Wisnu berjalan, ke kamar mandi saat Wisnu menjemput pakaian yang habis dicuci, ke dapur mengambil air minum, ke kamar mengambil handuk dan ke belakang rumah mengambil baju keringnya. Wisnu tetap saja mengabaikannya, menganggap kehadirannya seakan tidak ada, tak bicara, tak menatap dan begitu dingin.Raras baru tau, marahnya Wisnu ter
Raras tak lagi menoleh ke belakang, mobilnya melaju kencang memecah keheningan malam yang dingin dan gelap. Wisnu memeluknya erat melepasnya dengan kalut, Raras membalas pelukan itu, dia berjanji akan kembali dalam keadaan hidup, melanjutkan pernikahan mereka dan menjadi orang biasa. Raras meyakinkan Wisnu dan meminta suaminya mendoakan keselamatannya, menghibur suaminya bahwa dia adalah wanita yang tak pernah sial dalam melawan musuh.Dua jam kemudian Raras sampai di bandara, pesawat khusus sudah menunggunya, bahkan sekarang masih jam dua dini hari. Raras merapatkan jaket kulitnya, wajah dingin, datar, tegas tak tersentuhnya kembali terpasang dengan baik.Misi kali ini adalah menyelidiki kelompok pemberontak yang mendapatkan senjata secara ilegal yang diselundupkan dari perbatasan oleh beberapa orang yang dicurigai salah satu dari mereka adalah pejabat pemerintah pusat.Raras membawa identitas sebagai bidan desa yang akan menginap selama dua minggu di pedalaman perbatasan, mengumpulk
Hari ini jadwal Wisnu ke rumah sakit, Aryo yang kebetulan libur mengantarnya menggunakan mobil juragan desa, mobil tua yang cukup layak dibawa berjalan jauh. Tiga hari dia sudah berpisah dengan Raras, selalu menyelipkan nama istrinya disetiap doa-doanya, dia memiliki keyakinan bahwa Raras akan pulang dalam keadaan utuh, keyakinan itu yang harus dipupuknya supaya dia tidak menjadi pesimis.Aryo membantu Wisnu masuk ke dalam mobil, semua itu mengingatkan Wisnu dengan semua kenangan bahagia dan romantisnya bersama Raras. Bagaimana saat Raras memeluknya, mengangkat berlahan dan menarik masuk kedalam mobil dengan posisi Raras mendarat lebih dahulu, wanita itu memperlakukannya dengan lembut dan hati-hati, selalu menerbitkan senyum cerah setiap saat kepada Wisnu, kebahagiaan sederhana itu hanya Raras yang bisa menciptakannya. Hari-hari penuh canda tawa yang mereka lalui selama ini takkan pernah dilupakan Wisnu, Raras tidak hanya cantik wajahnya, tapi cantik juga hatinya, dia adalah manusia y
Wajah tua yang lelah, mata putus asa milik Susno yang tak lain adalah ayah Raras. Dia tengah duduk sendiri di kursi kerjanya, mernungi setiap kejutan yang terjadi beberapa hari ini, bocornya Video Andini, istrinya yang terlibat skandal perjudian, belum lagi urusan perusahaan yang dalam kondisi tidak baik.Sudah seminggu Raras tidak menampakkan diri dan pulang ke rumah, terakhir saat memberikan dokumen dan Video hina milik Andini. Setelah itu tidak lagibada kabar darinya.Dalam hatinya yang paling dalam dia sangat menyayangi putrinya itu, wajah lembut yang mewarisi wajah istrinya, karakter keras yang diwarisi dari dirinya sendiri berpadu dalam diri Raras. Dari kecil dia sudah menampakkan sifat yang terlalu mandiri, tidak ingin memiliki pengawal ataupun sopir pribadi, tidak menyukai keramaian, paling benci dengan pesta, dan tidak bisa dikerasi. Dari kecil Raras lebih dekat dengan ibunya, karena dengan sang ayah mereka sering berlawanan.Kekhilafan dimasa lalu membuat hubungan ayah dan
Puskesmas sudah mulai sepi karena matahari hampir terbenam. Raras sibuk membereskan semua peralatan medis yang selesai dipakai seharian, dia cukup lelah, bahkan yang datang berobat juga berasal dari desa-desa tetangga yang sudah mengantri dari subuh." Ras, anakku sakit." Wajah Yuli terlihat murung dan gelisah.Yuli adalah bidan yang ikut menginap di rumah dinas di samping pukesmas, sekali seminggu dia pulang ke rumahnya yang berjarak enam jam dari sini. Dia memiliki anak berusia dua tahun, baru dua bulan ini dia terangkat menjadi PNS yang ditempatkan di sini."Aku ikut khawatir, mbak.""Bolehkah, Ras? aku pulang? Hatiku tidak tenang."Raras tersenyum lembut, mengangguk tanpa ragu, wajah putus asa milik Yuli langsung berbinar bahagia, dia memeluk Raras dengan erat."Terimakasih, Ras.""Sama-sama, mbak.""Kau tidak takut sendiri kan Ras? jika ada tamu dimalam hari kau harus berhati-hati," pesannya.Raras mengangguk paham.*****Hujan tidak berhenti turun mulai dari habis magrib, daerah
Puskesmas cukup ramai walaupun sudah tidak seramai tadi pagi, kebanyakan yang datang adalah ibu -ibu hamil dan balita. Di sini jarak kehamilan sangat dekat, rata-rata anak pertama dengan anak kedua dan seterusnya hanya berjarak satu tahun, kurangnya pemahaman akan pemakaian alat kontrasepsi membuat wanita tidak bisa memprogram kehamilannya sendiri.Raras memasang wajah ramah pada pasien yang ditanganinya. Beberapa dari mereka memuji kecantikan Raras, kulit seputih porselen itu sangat mencolok dibandingkan warna kulit penduduk asli setempat.Dalam senyumnya Raras tetap berfikir, puncak operasi akan berlangsung hari ini, akan ada hal tak terduga yang akan terjadi mengingat kelompok pemberontak bukan orang sembarangan. Jumlah mereka cukup banyak, mereka memiliki ketangkasan dalam memakai senjata, memahami ilmu militer dasar yang dipelajari secara otodidak.Raras menerima informasi bahwa polisi sudah berjarak lumayan dekat dengan lokasi transaksi, berdasarkan pengakuan anggota yang tertan
Hari yang dijanjikan Raras tiba, hari ini tepat enam belas hari Raras pergi ke Papua. Hari ini begitu ditunggu oleh Wisnu, dia sudah bangun sejak jam tiga dini hari, mendirikan shalat malam dan melanjutkannya dengan zikir. Sambil menunggu waktu subuh laki-laki itu meneruskan tilawahnya yang hampir khatam untuk yang ketiga kalinya dibulan ini.Pagi datang, seperti biasanya dipagi hari sampai siang adalah tugas Wisnu menjaga toko mereka, walaupun dibantu oleh dua karyawan. Wisnu tetap turun tangan melayani pembeli. Toko maju pesat dan semakin banyak pelanggan yang datang bahkan berasal dari desa-desa tetangga, Wisnu berencana menambah satu karyawan lagi karena banyaknya pembeli yang tidak terlayani.Apa saja yang dibutuhkan ada di tokonya, mulai dari barang dapur sampai barang harian dan kosmetik beserta obat-obatan ada di sana. Wisnu menghela nafas, setiap shalatnya dia mendoakan orang misterius yang telah menyampaikan rejeki Allah melalui tangan orang itu. Wisnu selalu mendoakan agar
Tidak ada yang berbeda ketika Wisnu berada di rumah. Dia suka memasak dan mengerjakan pekerjaan rumah, bahkan, walaupun Raras berusaha membujuknya, pria itu tetap tak terpengaruh sama sekali."Rumah ini sudah terlihat berbeda dari terakhir kita meninggalkannya, bukan?" kata Raras, Raras berusaha bercakap-cakap, tetapi pria itu hanya diam saja."Kau masih ingat ketika kau lumpuh dulu? aku menggendongmu kesana kemari, alangkah indahnya masa itu, tidak terasa sudah bertahun-tahun berlalu, dan sekarang kita kembali di sini, tetapi suasananya sudah berbeda, tidak ada lagi tawamu seperti itu." Suara Raras serak.Raras menghela napasnya, sebenarnya, ia sudah lelah juga membujuk Wisnu. Akan tetapi, pria itu tetap teguh dengan pendiriannya, tidak terpengaruh sama sekali, ia tetap menjawab apa yang dikatakan Raras, tapi tidak seperti biasa, hanya perkataan 'iya' dan 'tidak' saja."Aku masih ingat bagaimana senyum lebarmu menyambutku ketika aku datang, dan untuk pertama kalinya, seumur hidupku,
Felicia tidak berdaya menolak kuasa Andrew. Pria itu memaksanya, dengan cara yang kasar, memerintahkan Felicia mengikutinya.Setelah menempuh perjalanan beberapa jam, mereka memutuskan untuk istirahat di sebuah kafe. Sebuah kafe dengan tema alam yang bisa membuat pikiran mereka sedikit dingin, setelah perdebatan panjang selama beberapa saat.Felicia hanya perlu memasang taktik, untuk sementara ini, dia hanya perlu pura-pura patuh mengikuti Andrew. Dia hanya perlu cara licik, karena Andrew si pengawal dingin, bisa melukainya."Puas?" kata Felicia kemudian kepada Andrew."Untuk alasan apa?" tanya Andrew dengan senyum dingin."Kau berhasil menekanku, sehingga aku akhirnya takluk dan menuruti semua kemauanmu.""Sudahlah, Felicia. Kita ini adalah orang yang sama, kamu mencintai uang dan aku pun sama, aku tau ... kau menikah dengan suamimu karena uang, dan aku bekerja dengannya juga karena uang, jadi ... tidak ada yang lebih baik di antara kita, bukan?" Andrew menyantap santai steaknya."
Hujan tidak berhenti mengguyur desa sejak tadi malam, bahkan udara dingin ini tidak mematahkan semangat Wisnu untuk bangun jam 03.00 Subuh menunaikan kewajibannya sebagai seorang muslim yang taat. Dia mendirikan dua rakaat salat tahajud yang tidak pernah absen dilakukannya. Dia adalah pria yang dibesarkan dengan agama yang kuat. Akan tetapi, sejauh ini, sebuah ujian sebagai suami, dia belum mampu membuat Raras untuk istiqomah dalam menjalankan ibadahnya. Wanita itu bahkan belum bisa menutup auratnya secara sempurna. Dia dulu pernah sempat memakai hijab, lalu kembali berhenti memakainya, alasannya karena merasa tidak nyaman. Entah untuk alasan apa, yang jelas ... Wisnu tidak pernah memaksakan. Yang penting, Raras bisa menunaikan kewajiban salat lima waktu. Memang benar, pengalaman agama Raras begitu minim, dia dibesarkan di lingkungan keluarga yang moderat dan tidak begitu mementingkan persoalan agama, aqidah serta ibadah, akan tetapi Wisnu berusaha membimbingnya.Seusai salat tahaju
Walau keadaan terasa berbeda saat ini, Wisnu memutuskan untuk duduk di beranda rumahnya. Mengamati Aryo yang sibuk melayani pembeli.Adiknya itu tumbuh menjadi anak yang tampan, pemuda baik hati dan pengganti Wisnu di rumah itu. Dua adik Wisnu pun sudah tumbuh menjadi remaja yang cantik. Begitu cepat waktu berlalu, membuat Wisnu merasa terharu. Andaikan ibunya masih hidup, tentu dia akan bangga memiliki anak-anak yang begitu pintar, cerdas, tampan dan cantik seperti mereka.Wisnu kemudian berusaha menghabiskan air mineral yang ada di tangannya. Sudah tiga hari dia berada di sini, dan sama sekali dia belum berniat untuk menghubungi Raras. Dia sengaja mematikan ponselnya, bahkan beberapa kali Raras menelepon ke ponsel adiknya, Wisnu melarang untuk mengangkatnya, entah kenapa ... dia hanya butuh sendiri. Ketika mengingat tuduhan Raras, hatinya benar-benar sakit.Setelah pelanggan cukup sepi, Aryo kemudian mendekati Wisnu, pria yang tingginya sudah menyamai Wisnu itu, menatap sang kakak d
Katakanlah Felicia adalah jalang yang sesungguhnya. Wanita itu bahkan tidak butuh waktu lama untuk ditaklukkan oleh Andrew. Dalam beberapa menit saja, dia mengerang dan memohon kepada pria itu.Mungkin Andrew adalah pria yang bisa memperlakukan dia seperti apa yang dia butuhkan. Dia begitu lihai dalam memanjakan setiap inci kulitnya, semua itu membuat Felicia mengakui, bahwa Andrew adalah pria terbaik yang pernah menemaninya."Sialan kau, Andrew!" Felicia memakai pria itu, di tangah napasnya yang tersengal. Sedangkan Andrew memamerkan senyum iblisnya.Felicia menyumpahi dirinya yang begitu bodoh, seakan tidak lagi memiliki harga diri di depan pria itu. Dengan mudahnya Andrew menghancurkan semua keangkuhannya, bahkan dengan status sebagai atasan itu, sama sekali tidak membuat Andrew segan padanya.Setelah pertempuran semalaman itu, paginya Felicia dihantam oleh kesadaran, bahwa apa yang terjadi pada dirinya saat ini, adalah hal gila yang selalu terulang. Ditambah kenyataan, dia tengah
Putus asa, sedih serta merasa tertekan, itu yang dirasakan oleh wanita cantik berambut lurus bernama Raras. Tidak terhitung sudah berapa jam dia berkeliling di pulau kecil itu. Dia mendatangi tempat-tempat yang mungkin bisa jadi akan didatangi oleh Wisnu. Akan tetapi suaminya itu sama sekali tidak terlihat batang hidungnya.Raras kemudian mematikan motornya. Jam 01.00 dini hari, sewajarnya tidak pantas wanita sendirian di malam hari dengan suasana yang teramat sepi di tepi pantai.Wanita itu kemudian membuka jaket kulitnya. Menanggalkan helm. Tak lupa sepatu sportnya. Kakinya yang jenjang, menapak pasir basah. Mata wanita itu terlihat basah, dengan semua keputus-asaannya, dia tak tau, apa yang harus dilakukannya."Kenapa ponselmu mati?"Raras menyugar rambutnya yang berantakan. Dia lebih memilih, bertengkar hebat asalkan dia bisa melihat suaminya walaupun tak menegurnya sama sekali.Ketika Wisnu lebih memilih untuk diam saja, maka itu adalah sebuah wujud kemarahan yang tidak bisa dib
Raras masih termangu di tempatnya semula. Kedua tangannya menopang dagunya yang berada di atas meja makan. Bahkan wanita itu tidak berniat menyalakan lampu sama sekali. Ruangan gelap dan hanya ada cahaya lampu di luar sana yang menerangi."Apa yang terjadi padaku, Tuhan?" Raras menutup wajahnya. Hatinya campur aduk.Lauk yang dimasak Wisnu masih utuh di atas meja makan. Pria yang tak pernah gengsi mengerjakan pekerjaan rumah itu, adalah suami idaman siapa saja."Kenapa aku begitu bodoh!" Rara memijit kepalanya. Perasaan hampa dan kehilangan begitu menyiksanya. Bahkan ratusan kali dia menelepon, tak sekalipun panggilannya masuk ke nomor suaminya itu."Beginikah rasanya ditinggalkan?* kata Raras pada dirinya. Dia sering pergi ke luar kota meninggalkan Wisnu, bahkan dalam waktu berhari-hari. Bahkan ketika Wisnu memohon untuk pulang, dia tetap saja bertahan di Jakarta dengan alasan sangat sibuk.Baru beberapa jam suaminya itu meninggalkan rumah, Raras merasa hatinya kosong dan hampa.Otak
Mata Mega memerah, dia merasa nyawanya sudah berada di ujung tanduk. Sepertinya, Raras memang serius ingin menghabisi dirinya. Buktinya cengkraman wanita itu bahkan mampu mengangkat tubuhnya dari lantai. Pandangan Mega mulai buram, dia tak bisa bernapas, bahkan kakinya kejang menendang udara.Mega merasakan dadanya seperti terbakar. Dia yakin, sebentar lagi, dia akan mati. Pandangannya mulai gelap.Brak!Tiba-tiba Raras melemparnya begitu saja ke sudut ruangan. Pinggangnya menabrak dinding."Arggggh!" erang Mega.Mega takjub dengan kekuatan wanita itu, bahkan dengan satu tangan saja, mampu mengangkat beban tubuhnya yang memiliki berat 56 kg.Mega mengambil nafas sepuasnya. Oksigen memenuhi paru-parunya. Tadi dia merasakan paru-paru itu akan meledak. Mega terbatuk-batuk. Dia meraba lehernya yang merasa seperti masih ada cengkraman tangan Raras di sana."Bagaimana rasanya sakit?" Raras menatap Mega dengan tatapan sinis. Dia marah dan Mega cocok untuk pelampiasan.Mega masih dilanda pusi
Mega gentar, selama dia mengenal Raras, dia tidak pernah melihat tatapan murka seperti itu. Tatapan tajam rasa seakan-akan bisa mengoyaknya."Aku perlu bicara!"Mega tergagap. Tapi, saat inilah dia perlu melangkah maju. Dia takkan menyerah, memperjuangkan apa yang dia inginkan."Baik, katakan saja apa yang ingin Mbak katakan."Raras mengamati sekeliling, pengunjung kafe sedang sepi, sedangkan ada satu asisten yang bertugas sebagai koki, tengah santai di meja kasir. "Di dalam saja," ucap Raras ketus, kakinya menapak anak tangga. Mega mengikuti dari belakang. "Duduk!" ketus Raras saat mereka sampai di ruang tengah."Apa yang terjadi? Apa benar kau masuk ke dalam kamarku saat aku tak ada di rumah?"Raras ingin mendengar kalimat bantahan Mega. Akan tetapi, beberapa detik menunggu, wanita itu tak menyanggah."Tepatnya, Mas Wisnu yang masuk ke kamar saya!"Seperti petir yang menyambar di siang hari, sebuah kalimat itu menampar harga diri Raras. Dia berusaha menahan emosinya ketika mendeng