Luna masih duduk di ranjang rumah sakit, menatap perutnya yang belum terlihat membesar. Kehamilan ini adalah kejutan yang sama sekali tidak ia duga, bahkan tak pernah ia bayangkan. Anton dan Aris sudah melangkah maju dengan hidupnya bersama Amel, sementara ia masih harus menghadapi kenyataan bahwa ada kehidupan baru dalam rahimnya.Meri dan Faisal pamit duluan karena harus kembali ke kantor, sedangkan Luna masih beristirahat sambil memastikan kepalanya sudah tidak sakit pusing lagi dan ia punya cukup tenaga untuk pulang. Setelah dirasa cukup baik, Luna memutuskan untuk keluar dari ruangan pemeriksaan. Ia ingin segera pulang dan beristirahat di apartemennya. Ia sudah mengirimkan pesan pada Pak Gilang, bosnya, bahwa ia sakit. Namun, sebelum ia mencapai pintu keluar, matanya menangkap sosok yang familiar di salah satu lorong rumah sakit. Wanita itu duduk di kursi tunggu dengan wajah lelah. Rambutnya yang panjang diikat rapi, dan matanya tampak sayu seolah baru saja melewati malam yang b
Luna masih terdiam di kursinya setelah Aini pergi, menatap kosong ke arah lantai rumah sakit. Pertemuan tak terduga itu meninggalkan jejak di hatinya—perasaan yang sulit ia jelaskan. Ia tidak pernah mengira bahwa Aini akan memaafkannya dengan begitu mudah. Tetapi, mungkin memang sudah waktunya mereka berdua melangkah maju.Setelah menghela napas panjang, Luna bangkit dari kursinya dan berjalan keluar dari rumah sakit. Udara sore yang sejuk menyambutnya, namun tidak cukup untuk menghilangkan kelelahan yang menggelayuti tubuhnya. Ia ingin segera pulang, berbaring, dan membiarkan pikirannya tenang. Perjalanan dengan taksi online terasa lebih panjang dari biasanya. Begitu tiba di apartemennya, Luna segera mengganti pakaian dan merebahkan diri di sofa.Namun, ketenangan itu tidak bertahan lama. Belum sempat ia menutup mata, ponselnya bergetar di atas meja. Nama "Mama" terpampang di layar. Luna menatapnya ragu sebelum akhirnya mengangkat."Halo, Ma?" suaranya terdengar lelah."Kamu di rumah
Restoran lesehan yang berada di sudut kota itu tidak terlalu ramai malam ini. Suasana hangat dengan lampu-lampu temaram menciptakan nuansa nyaman. Aini duduk di salah satu meja yang beralaskan tikar, menyesap teh hangat sambil menunggu dua orang yang baru saja datang dan duduk di depannya.Dhuha, pria yang pernah menjadi suaminya, duduk di sisi kanan, sementara di sisi kiri ada Hakim—sepupu Dhuha sekaligus kakak dari Amel, wanita yang sebentar lagi akan menikah dengan Anton, mantan suami Luna. Mereka memang berjanji untuk bertemu. Hakim baru saja menyelesaikan pembangunan proyek hotel keempat milik keluarga besar mereka, sehingga pria itu ingin mentraktir katanya. “Maaf agak telat, tadi macet,” kata Hakim sambil melepas jam tangan dan mengusap wajahnya.Dhuha hanya mengangguk, sementara Aini tersenyum kecil. “Tidak apa-apa, aku juga baru sampai.”Seorang pelayan datang membawakan menu, dan mereka mulai memilih makanan sambil berbincang santai. Namun, setelah beberapa saat, Aini mengh
Bab Lanjutan“Ya, kan, Ai?”Dhuha menatap Aini dengan tatapan penuh harap. Suara Hakim yang masih tertawa pelan di samping mereka terasa seperti latar belakang semata bagi Aini saat ini. Aini menggenggam gelas tehnya erat-erat, berusaha menenangkan debaran jantung yang mendadak tak beraturan. Kata-kata Dhuha begitu jelas, namun terasa berat di telinganya.“Aku...” Aini membuka mulut, tetapi kemudian mengatupkannya lagi. Ia menatap Dhuha dan Hakim bergantian, lalu menghela napas panjang. “Dhuha, ini bukan soal aku mau atau tidak. Kamu tahu aku... aku mau. Tapi—”“Enggak ada tapi,” potong Dhuha cepat, suaranya mantap namun lembut. “Aku tahu Mama akan sulit menerima kamu karena masa lalu, bibit, bebet, bobot. tapi itu gak masalah bagiku kan?"Hakim menyandarkan tubuhnya ke dinding kayu, memperhatikan interaksi mereka dengan senyum tipis. “Mami Maria itu keras kepala, Dhuh. Tapi gue percaya kalau lo memang serius, lo pasti bisa meyakinkan mami. Perjuangkan Aini kali ini, Dhu."Aini tersen
Aini terdiam, menatap Luna dengan campuran rasa iba dan kebingungan. Baginya, menyembunyikan kehamilan ini dari Anton adalah keputusan yang berisiko, tapi ia juga memahami ketakutan Luna.“Luna,” suara Aini terdengar lembut namun tegas, “aku tahu kamu takut. Tapi kamu yakin bisa menyembunyikan ini selamanya? Anton akan tahu cepat atau lambat. Apalagi kalau nanti anak ini lahir dan….”Luna mengusap wajahnya dengan kedua tangan, putus asa. “Aku tahu, Ai. Aku tahu! Tapi aku nggak mau jadi alasan pernikahan Anton dan Amel gagal. Aku nggak mau jadi orang jahat lagi. Aku udah gak mau berbuat buruk. Aku ingin melakukan kebaikan, walau tak banyak. Lagian, aku InsyaAllah mampu mengurusnya." Luna mengusap perutnya. Aini terhenyak. Ia tahu Luna masih dihantui rasa bersalah karena telah merebut Dhuha darinya dulu, meskipun pada akhirnya Luna juga terluka dalam kisah itu. Tapi kali ini, situasinya berbeda. Ada nyawa kecil di dalam kandungan Luna. Nyawa yang berhak mengenal ayahnya.“Kamu nggak ja
Hakim terkejut, langsung melompat dari kursinya dan menghampiri Luna yang tergeletak di lantai. “Luna! Luna!” panggilnya panik, mengguncang tubuh wanita itu perlahan. Beberapa pengunjung kafe menoleh, penasaran dengan keributan yang terjadi.Seorang pelayan mendekat. “Pak, perlu kami panggilkan ambulans?”Hakim mengangguk cepat. “Iya, tolong panggil ambulans secepatnya.”Sementara menunggu, Hakim mengeluarkan sapu tangan, mengelap keringat di dahi Luna yang bercucuran. Pikiran Hakim kalut. Ada apa dengan Luna? Apakah ini sekadar kelelahan atau ada sesuatu yang lebih serius? Tanpa sengaja, ia menatap perut Luna dari balik baju kebesarannya. Seperti lebih besar dan apa mungkin hanya karena kekenyangan? batin Hakim. Ambulans tiba dalam waktu singkat, dan Hakim ikut menemani Luna ke rumah sakit. Di perjalanan, ia mengirim pesan kepada Aini.Mbak Aini, saya di rumah sakit sama Luna. Dia pingsan tadi di kafe. Saya nggak tahu dia sakit apa, tapi saya khawatir. Kalau bisa, tolong ke sini ya.
Hakim terdiam mendengar ucapan mamanya. Rasa was-was di hatinya semakin menjadi. Mamanya memang tidak pernah benar-benar merestui Anton, terlebih karena statusnya sebagai duda dengan anak. Namun, Hakim tahu kekhawatiran mamanya bukan sekadar prasangka. Luna—wanita yang kini menyimpan rahasia besar—benar-benar bisa menjadi ancaman bagi masa depan Amel jika sewaktu-waktu rahasia kehamilannya terbongkar.“Mama, percaya saja sama Amel. Dia sudah dewasa dan tahu apa yang dia lakukan,” ujar Hakim, mencoba menenangkan. Tidak mungkin ia membiarkan mamanya tahu perihal Luna. Mamanya menghela napas panjang. “Bukan soal Amel, Kim. Tapi soal orang-orang di sekitarnya. Mama takut… masa lalu Anton membayangi pernikahan mereka.”Hakim memahami kekhawatiran itu. Namun, ia sudah berjanji pada Luna untuk menjaga rahasia ini. Ia hanya berharap semua akan berjalan baik.“Kalau perlu, Mama mau ketemu Luna. Mama harus pastikan dia benar-benar nggak akan muncul dan bikin masalah,” tegas mamanya.Hakim ters
Pernikahan Amel dan Anton tinggal delapan hari lagi, dan meskipun semua persiapan hampir selesai, atmosfer di rumah Hakim terasa semakin tegang. Semua orang merasa lelah, namun ada sesuatu yang mengganjal, terutama dalam diri Anton. Ia berusaha menekan perasaan itu, mencoba fokus pada Amel dan kehidupan baru yang akan mereka mulai bersama. Namun, semakin ia berusaha melupakan masa lalunya, semakin ia merasa perasaan itu justru semakin membebani pikirannya.Malam itu, Anton tidak bisa tidur. Ia berbaring di tempat tidur, menatap langit-langit, mencoba menenangkan pikirannya. Bukannya memang seperti itu jika kita akan menikah, akan timbul perasaan aneh yang membuat ragu dan tentu saja sulit diungkapkan. Keesokan harinya, Aini kembali ke rumah sakit. Luna sudah boleh pulang karena kondisinya sudah lebih baik. Aini sengaja menjemput Luna agar ia tahu di mana Luna tinggal. "Suster, Ibu Luna ke mana ya? tidak ada di kamarnya?" tanya Aini pada suster jaga ruangan. "Oh, Bu Luna sudah kel
Hari itu, matahari bersinar lembut, seolah ikut merayakan kebahagiaan yang memenuhi hati Aini dan Dhuha. Kabar kehamilan Aini menjadi hadiah yang tidak pernah mereka sangka akan datang secepat ini. Setelah bertahun-tahun penantian dan berbagai ujian, akhirnya doa mereka terjawab.Setelah meninggalkan klinik, Dhuha tidak henti-hentinya menggenggam tangan Aini. Tatapan matanya penuh dengan cinta dan rasa syukur.“Aku masih tidak percaya, Sayang,” gumamnya sambil mencuri pandang ke arah istrinya yang duduk di sebelahnya di dalam mobil.Aini tersenyum, meski air matanya belum benar-benar kering. “Aku juga, Mas. Sepertinya Allah benar-benar ingin menguji kesabaran kita sebelum akhirnya memberikan anugerah ini.”Dhuha mengangguk. “Dan kamu lulus ujian itu dengan begitu sabar dan tulus.”Aini menatap suaminya. “Bukan cuma aku. Kita berdua.”Sesampainya di rumah, Dhuha langsung menghubungi keluarganya. Maria awalnya tidak percaya, tapi saat Dhuha menunjukkan foto USG Aini, maka wanita paruh b
Ria berdiri tidak jauh dari meja mereka, mengenakan blouse berwarna pastel dan rok panjang yang anggun. Wajahnya tampak terkejut, tetapi segera berubah menjadi senyum hangat saat ia mendekat."Aku tidak menyangka akan bertemu kalian di sini," katanya sambil menarik kursi kosong di samping Aini.Dhuha hanya mengangguk kecil. Ia masih merasa canggung setiap kali bertemu Ria, mengingat alasan keberadaan wanita itu dalam hidup mereka. Sementara itu, Aini mencoba tersenyum, meski di dalam hatinya ada perasaan tak nyaman yang berputar."Kak Aini, bagaimana kabarmu?" tanya Ria, nada suaranya lembut dan penuh perhatian."Baik, meskipun sedikit tidak enak badan hari ini," jawab Aini sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi.Dhuha menatap istrinya dengan cemas. "Kalau masih merasa pusing, kita pulang saja, Sayang. Istirahat lebih penting."Aini menggeleng pelan. "Tidak apa-apa, Mas. Aku justru senang bertemu Ria di sini."Mata Ria menatap Dhuha dan Aini bergantian. Ia bisa merasakan ketegangan yan
Sore itu, langit menguning keemasan, memberi nuansa hangat yang kontras dengan perasaan Dhuha yang penuh beban. Ia melangkah menuju rumah besar yang sudah sejak kecil ia tinggali, rumah tempat ibunya, Maria, menunggunya dengan segudang pertanyaan yang selalu ia hindari."Duduklah, Nak," Maria mempersilakan putranya duduk di kursi teras yang nyaman. Di hadapannya, teh melati mengepul, menebar aroma menenangkan. Namun, Dhuha tahu, pembicaraan kali ini tidak akan senyaman teh itu."Apa kabar, Ma?" tanya Dhuha, mencoba mencairkan suasana. Pria itu membuka sepatunya, sekaligus melepas dua kancing kemeja abu-abunya paling atas. "Mama sehat, kamu minum dulu!" Dhuha mengangguk. Mengambil teh melati yang aromanya sangat sedap itu. "Mama bikin pisang goreng?" "Bukan, bibik yang masak. Kamu cuci tangan dulu sana, kalau mau makan pisang goreng." Dhuha mengangguk dan langsung masuk ke dalam rumah. Ia mencuci tangan di wastafel ruang tengah. "Keliatannya Mama sehat, ada apa Mama panggil aku ke
Aini meraih tangan Alex dan menjabatnya pelan. Kesepakatan ini mungkin bukan yang terbaik baginya, tapi setidaknya ini adalah langkah awal untuk bisa kembali dekat dengan anak-anaknya."Terima kasih, Mas," ucapnya dengan suara nyaris berbisik.Alex mengangguk tanpa ekspresi, sementara Zita masih menampilkan senyum ramahnya. Dhuha yang duduk di samping Aini tetap tenang, meskipun tatapannya sesekali bergeser pada Zita, menilai bagaimana wanita itu bersikap."Kapan aku bisa mulai bertemu mereka?" tanya Aini hati-hati.Alex menatap Zita sejenak, seolah meminta pendapatnya."Bagaimana kalau akhir pekan ini? Hari Sabtu setelah makan siang? Kita bisa bertemu di taman dekat rumah," usul Zita."Anak-anak pasti senang sekali," tambahnya masih dengan senyum yang sama. Aini tersenyum lega. "Baik, aku akan datang."Percakapan pun berlanjut dengan membahas hal-hal ringan mengenai kegiatan anak-anak. Zita dengan santai bercerita bagaimana Intan kini semakin menyukai menggambar dan Izzam mulai tert
Mobil sedan hitam itu berhenti di halaman rumah besar dengan taman yang tertata rapi. Anton menatap bangunan megah itu dengan napas berat. Sudah lebih dari sebulan Amel tinggal di sini, di rumah orang tuanya, meninggalkan rumah mereka yang seharusnya menjadi tempat membangun kebahagiaan bersama.Anton turun dari mobil, mengetuk pintu dengan sedikit ragu. Tak lama, seorang asisten rumah tangga membukakan pintu.“Masuklah, Mas. Mbak Amel ada di ruang tamu,” katanya dengan sopan.Anton melangkah masuk, mendapati Amel duduk di sofa, wajahnya dingin tanpa ekspresi. Sejujurnya, ia sudah mengira istrinya akan bereaksi seperti ini.“Assalamualaykum, Amel…” Anton membuka suara, suaranya bergetar. Kakinya melangkah pelan, sesekali melirik ruang tengah yang besar itu teramat sepi. Amel duduk di depan televisi dengan tatapan kosong. "Amel," panggil Anton lagi. Amel menoleh sekilas, lalu kembali menatap layar ponselnya tanpa minat. “Ada perlu apa datang ke sini?” tanya wanita itu sinis. Anton m
Pagi harinya, Aini bangun dengan tubuh lebih segar, meski pikirannya masih penuh dengan pertanyaan yang belum terjawab. Setelah menunaikan salat subuh berjamaah dengan Dhuha, ia menyiapkan sarapan sederhana berupa roti panggang dan omelet.Dhuha duduk di meja makan sambil menggulir layar ponselnya. Sesekali ia menatap Aini sambil tersenyum. "Aku selalu senang kalau lihat rambut kamu basah." Aini yang sedang mengangkat roti dari panggangan, langsung menoleh ke belakang. "Dih, dingin tahu!" balasnya sambil tersipu malu. Malu bila ingat kejadian semalam, ia yang terlalu bersemangat sampai mereka berdua jatuh dari ranjang. Suara tawa Dhuha menggema. "Tapi aku suka sama yang semalam. Boleh diulang dia hari lagi ha ha ha.... ""Emmoh!" Aini menaruh piring yang sudah ada roti panggang coklat di depan suaminya. "Diulang gerakannya, bukan jatohnya, ha ha ha... huk! huk!""Makanya jangan iseng, jadinya tersedak!" Aini memberikan air putih pada suaminya. "Maaf, Sayang, kenapa sih, aku selal
Aini menghapus air matanya dengan ujung jari, berusaha menenangkan diri. Dhuha masih menggenggam tangannya erat, memberikan kehangatan di tengah gemuruh emosinya. Dari kejauhan, ia memperhatikan Intan dan Izzam berjalan masuk ke dalam gerbang sekolah, sesekali menoleh ke belakang untuk melambaikan tangan pada wanita yang mengantar mereka.Siapa dia? Wanita itu tersenyum hangat, begitu akrab dengan Intan dan Izzam. Aini menelan ludah. Ada perasaan aneh yang menjalar di hatinya—perasaan kehilangan yang semakin nyata. Wanita yang sama persis dengan yang ada di media sosial Alex tempo hari. Apa wanita itu sudah menjadi istri Alex? "Mas, aku ingin tahu siapa dia," gumamnya pelan, hampir seperti bisikan.Dhuha menoleh ke arahnya, menatap dengan mata penuh pengertian. "Kalau kamu penasaran, kita bisa cari tahu. Tapi kamu harus siap dengan jawabannya."Aini menarik napas panjang. Apakah ia benar-benar siap? Ia tidak tahu. Namun, melihat bagaimana anak-anaknya terlihat nyaman dengan wanita it
Maria menatap Miranti lekat-lekat, memastikan bahwa gadis itu benar-benar yakin dengan keputusannya. Sejak awal, ia tidak pernah membayangkan akan ada seseorang yang begitu rela mengorbankan dirinya seperti ini.“Tante akan bicara dengan Dhuha dan Aini,” ulang Maria, memastikan Miranti tidak berubah pikiran.Miranti mengangguk. “Terima kasih, Tante. Saya siap menghadapi mereka kapan pun. Kami hanya perlu bicara dari hati ke hati. Apapun nanti jawaban Aini dan Dhuha, saya juga gak keberatan."Maria menyandarkan punggungnya ke kursi. Pikirannya mulai mencari cara terbaik untuk menyampaikan hal ini kepada putranya dan menantunya. Aini mungkin masih belum sepenuhnya terbuka terhadap gagasan ini, meskipun ia sendiri yang mengusulkannya. Dhuha? Maria yakin putranya masih berada dalam fase menolak.Namun, waktu terus berjalan.Setelah makan siang mereka selesai, Maria dan Miranti berpisah. Namun, bagi Maria, ini bukan akhir, melainkan awal dari perjalanan yang lebih rumit. Apa Dhuha akan set
Aini terdiam mendengar syarat yang diajukan Dhuha. Matanya menatap suaminya, mencari keyakinan di balik permintaannya."Satu tahun, Mas?" ulangnya pelan.Dhuha mengangguk. "Iya, Ai. Kita sudah menunggu sejauh ini. Aku ingin kita memberi waktu untuk pernikahan kita lebih matang sebelum kita mengambil keputusan sebesar ini. Lagipula, dokter bilang kamu masih punya peluang hamil secara alami. Kenapa kita tidak mencoba lebih lama? Kamu bukan tidak bisa hamil, tapi memang belum waktunya. Sayang, aku ingin kita benar-benar yakin akan langkah yang ke depannya kita tempuh ini. Termasuk segala hal berkaitan dengan dampaknya, terutama mama."Aini menggigit bibirnya. Ia tahu suaminya tidak sepenuhnya setuju dengan usulannya, tapi setidaknya Dhuha tidak langsung menolaknya mentah-mentah. Ini sudah lebih baik daripada tidak ada kompromi sama sekali.Ria, yang sejak tadi memperhatikan mereka, akhirnya ikut angkat bicara. "Menurut saya, keputusan Mas Dhuha masuk akal, Kak Aini. Ini bukan hal kecil.