“Aini, aku bersumpah anak-anak tifak baik-baik saja, Aini,” ujar Alex, suaminya, dengan nada memohon. Suaranya terdengar parau dari seberang telepon.Aini menghela napas panjang. Ia duduk di bangku panjang di depan teras, dengan tangan kanannya menggenggam erat ponsel sementara tangan kirinya bergetar. “Aku ingin melihat mereka, Alex. Sekarang.”“Aku sedang di rumah sakit bersama mereka. Kalau kamu tidak percaya, aku bisa buktikan.”Aini menatap layar ponselnya dengan cemas. Dalam hitungan detik, panggilan video dimulai. Wajah Alex muncul pertama kali, dengan latar belakang dinding putih rumah sakit yang terasa dingin. Ia lalu mengarahkan kamera ke dua anak kecil yang terbaring di ranjang rumah sakit. Intan, si Bungsu mereka, tampak lemah dengan infus di tangannya, sementara Izzam terlihat sedang tertidur.Air mata Aini mengalir begitu saja. “Intan... Izzam...” bisiknya pelan. Dhuha hanya bisa menghela napas melihat Aini yang gampang dan sedih. Pria itu bisa menebak, bahwa Aini tidak
Aini menatap kedua anaknya yang masih lelap di ranjang rumah sakit. Ia tidak menyangka akan menghadapi situasi seperti ini. Alex, suaminya, baru saja dibawa oleh polisi tanpa penjelasan rinci. Hatinya cemas dan bingung, tetapi ia tahu satu hal pasti: anak-anak harus segera dibawa pulang.“Bu, kami sudah siapkan dokumen kepulangan pasien,” kata seorang perawat yang baru saja masuk.Aini mengangguk pelan. “Terima kasih, Sus.”Ia berusaha tetap tenang, meski pikirannya penuh dengan pertanyaan. Apa yang sebenarnya terjadi pada Alex? Polisi menyebut ada kasus pemer kosaan, tetapi mereka tidak memberikan detail. Sambil mengemas barang-barang anaknya, Aini menguatkan dirinya.Suci benar-benar melaporkan suaminya dan hal itu yang masih belum dimengerti oleh Aini. Wanita itu pun memesan taksi online dengan meminjam ponsel suster. "HP saya jadul, Sus, jadi gak bisa download aplikasi seperti gojrek dan grap." Aini menunjukkan ponsel yang dibelikan oleh Alex untuknya. "Eh, ponsel ginian masih a
Suara langkah kaki Bu Asma terdengar pelan tapi berat memasuki ruang tamu. Sepasang sendalnya dilepas dengan gerakan lambat, lalu diletakkan di sudut pintu. Aini, yang sudah duduk menunggu dengan wajah gelisah, langsung berdiri dan menghampiri ibu mertuanya."Ma, bagaimana? Apa yang terjadi di sana?" Aini bertanya dengan suara cemas, kedua tangannya saling menggenggam erat di depan dada.Bu Asma menghela napas panjang, matanya tampak sayu. Ia meletakkan tas kecil yang dibawanya di atas meja dan duduk di sofa tanpa menjawab. Gestur itu cukup membuat Aini semakin panik. Ia berjongkok di hadapan mertuanya, menatap penuh harap."Alex bagaimana, Ma? Katakan sesuatu, tolong," pintanya, nyaris seperti sebuah rintihan.Bu Asma menunduk, meremas tangan sendiri. Setelah beberapa saat, ia akhirnya bersuara, tapi pelan, seolah takut mendengar suaranya sendiri. "Alex... dia akan tetap di penjara kalau kita tidak memenuhi syarat dari keluarga Suci."Aini tertegun. "Syarat? Apa maksud Mama? Apa yang
“Aku yakin kali ini akan lebih baik, Nak.” Suara lembut Maria terdengar penuh harap, mengawali pembicaraan yang sudah sangat akrab di telinga Dhuha. Ia sedang duduk di ruang makan bersama Maria, ibunya, sembari menyeruput kopi hangat. Tidak ada semangat dalam dirinya setelah mengantar Aini pulang ke Bandung. Lagi-lagi ia patah hati. Awalnya, ia berharap Aini berpisah dari Alex saja, tetapi karena Izzam dan Intan, Aini mengalah dan memutuskan kembali bersama Alex. "Dhuha, kenapa, sih? Kamu ada masalah di kantor? Mama udah pesan sama Om Fauzan, kalau kamu jangan ditugaskan yang berat-berat dulu. Kamu juga harus bagi waktu untuk diri kamu sendiri. Termasuk mencari jodoh."Dhuha menghela napas panjang. “Ma, aku nggak yakin. Yang kemarin saja sudah cukup merepotkan.”“Dhuha." Maria menatapnya dengan pandangan yang tegas namun penuh kasih. “Mama tahu, kamu merasa kurang cocok waktu itu. Tapi Marissa anaknya baik. Mama sudah kenal keluarganya lama, dan... kali ini Mama cuma minta kamu menc
“Jadi, bagaimana kemarin? Kamu dan Marissa cocok, kan?” Maria memulai pembicaraan pagi itu di ruang makan. Ia terlihat santai, namun dari raut wajahnya, jelas ia ingin mendapatkan jawaban yang ia harapkan. Wajahnya berbinar saat menuangkan teh di cangkir Dhuha. "Bu, saya mau ke pasar dulu ya," ujar bibik menginterupsi. "Oh, iya, jangan lupa beli jeruk mandarin kecil untuk anak-anak ya, Bik.""Baik, Bu." Setelah bibik pergi, Maria kembali menatap sang Putra. Dhuha mengangkat cangkir tehnya perlahan, mencoba memilih kata yang tepat. “Biasa saja, Ma. Kami makan, ngobrol sedikit, terus nonton.”Maria menatapnya penuh perhatian. “Oh, kalian nonton juga? Itu bagus. Berarti ngobrolnya nyambung, ya? Ih, Mama senang banget dengernya." Maria tersenyum lebar. “Lumayan, Ma.” Dhuha mencoba tersenyum sopan, meski hatinya tidak terlalu tertarik untuk melanjutkan diskusi ini. “Dia orangnya baik, tapi aku belum tahu sejauh mana bisa cocok.”Maria mengangguk perlahan. “Yang penting kamu sudah mau
“Aini, sudah pulang?” suara lembut Bu Asma menyambut Aini yang baru saja melangkah masuk ke rumah. Tubuhnya sedikit lelah setelah menjemput Intan dari sekolah. Ia hanya menjawab seadanya, “Sudah, Ma,” sambil membantu Intan melepas sepatunya.“Mana Izzam?” tanya Bu Asma lagi.“Masih di sekolah, les tambahan, Ma, " jawab Aini singkat tanpa menoleh. Ia merasa sesak setiap kali berada di rumah ini, tempat di mana luka hatinya semakin dalam.Suci, yang muncul dari dapur sambil membawa nampan berisi teh untuk Bu Asma, menyambut Aini dengan senyum ramah. “Hai, Mbak Aini. Capek ya jemput Intan?”Aini hanya melirik sekilas tanpa membalas sapaan itu. Ia menarik napas dalam-dalam, menahan diri agar tidak mengeluarkan kata-kata yang mungkin akan disesalinya nanti.Bu Asma mengerutkan kening. “Aini, jangan begitu. Suci cuma ingin menyapa. Dia istri Alex juga, sama seperti kamu. Kalian harus belajar saling menerima.”Aini menahan amarahnya. Kata-kata itu baginya seperti garam yang ditaburkan ke luk
Pagi itu, Aini berdiri di depan gerbang sekolah, melambaikan tangan kepada Intan dan Izzam yang berjalan masuk ke dalam. Senyum kecil tersungging di bibirnya, meskipun hatinya masih terasa berat. Rutinitas ini seolah menjadi tameng dari rasa sakit yang terus menggerogoti dirinya.Mobil sudah terparkir sempurna di parkiran sekolah. Ia sengaja menaruh kendaraan di sana selagi ia ada urusan dengan Dhuha. Begitu anak-anak menghilang di balik pintu sekolah, ia memesan ojek online lewat ponselnya. Tujuannya bukan kembali ke rumah, melainkan sebuah apartemen di pusat kota, tempat Dhuha menunggunya. Dalam perjalanan, pikirannya bercampur aduk antara rasa bersalah, keraguan, dan semacam kegembiraan yang aneh.Tak lama kemudian, Aini sampai di apartemen Dhuha. Namun, ia tidak masuk ke dalam unitnya, melainkan menuju restoran di lantai bawah seperti yang telah mereka sepakati. Dhuha sudah menunggunya di sana, mengenakan kemeja kasual biru muda yang membuatnya tampak lebih muda dari usia sebenar
Hari itu, Aini meluangkan seluruh waktunya untuk merawat Dhuha yang masih terbaring lemah di apartemennya. Pria itu tampak pucat, tetapi perlahan kondisinya mulai membaik. Aini membuatkan bubur ayam hangat di dapur kecil apartemen, mengaduknya dengan hati-hati agar rasanya pas. Aroma bubur yang menguar memenuhi ruangan, memberikan kesan rumah yang hangat.Ketika bubur itu matang, Aini membawanya ke kamar dan meletakkannya di meja samping tempat tidur. Dhuha membuka matanya perlahan, senyumnya muncul saat melihat Aini di sana.“Kamu benar-benar masak sendiri?” tanya Dhuha dengan suara serak.Aini mengangguk. “Aku nggak tahu rasanya enak atau nggak. Tapi kamu harus makan biar cepat sembuh. Wajah kamu pucet banget."Dhuha mencoba duduk, dan Aini buru-buru membantunya menyandarkan punggungnya ke bantal. Ia mengambil sendok, menyuapkan bubur ke mulut Dhuha seperti yang dilakukan pria itu kepadanya beberapa hari lalu.“Rasanya jauh lebih enak daripada bubur di restoran,” ujar Dhuha, mencoba
Hakim kembali memijat pelipisnya setelah pertemuannya dengan Salsabila. Dua miliar bukan jumlah yang kecil, tetapi ia tahu bahwa dengan posisi dan kekayaan keluarganya, itu bukan angka yang mustahil. Yang menjadi pertanyaannya sekarang, apakah Tania akan meminta hal yang sama?Ia meraih ponselnya dan menghubungi Amel."Halo, Mas Hakim," suara Amel terdengar ceria seperti biasa."Amel, aku baru saja bertemu dengan Salsabila dan dia setuju, tapi ada syaratnya," kata Hakim."Syarat seperti apa?" tanya Amel penasaran."Dua miliar sebagai kompensasi atas perannya. Dia ingin semuanya berjalan profesional tanpa perasaan terlibat," jawab Hakim jujur.Amel terdiam sesaat sebelum tertawa kecil. "Wah, nggak kaget sih. Salsabila memang tipe wanita yang tahu apa yang dia mau.""Nah, itu yang mau aku tanyakan ke kamu. Apakah menurutmu Tania juga akan meminta kompensasi seperti itu?" Hakim bertanya hati-hati.Amel menghela napas. "Sejujurnya, aku nggak tahu, Mas. Tania orangnya berbeda dari Salsabil
Hakim duduk di kursinya dengan perasaan campur aduk setelah mengirim pesan kepada Amel. Ia memijat pelipisnya, mencoba mencerna semua pilihan yang tiba-tiba datang dalam hidupnya. Tiga minggu bukan waktu yang lama untuk mencari pasangan hidup, meskipun hanya sekadar pernikahan pura-pura.Di satu sisi, ada Salsabila. Wanita yang direkomendasikan oleh Aini dan tampak sangat profesional. Sikapnya tegas dan penuh perhitungan. Hakim bisa melihat bahwa Salsabila bukan tipe orang yang mudah dibohongi atau dimanfaatkan. Jika ia setuju, Hakim yakin mereka bisa menyusun kesepakatan yang jelas dan tidak akan ada drama di kemudian hari. Namun, justru itulah yang sedikit membuatnya khawatir. Wanita seperti Salsabila pasti punya standar tinggi dan bisa jadi ia tidak akan mau menjalani sandiwara ini tanpa syarat yang ketat.Di sisi lain, ada Tania. Wanita yang diperkenalkan oleh Amel. Dari deskripsi Amel, Tania tampak seperti gadis sederhana yang pekerja keras dan penuh tanggung jawab. Yatim piatu,
Hakim menatap layar ponselnya dengan ekspresi serius. Setelah menelepon Dhuha, ia merasa sedikit lebih tenang, tetapi tetap saja, waktu yang diberikan orang tuanya sangatlah singkat. Ia bukan tipe pria yang terbiasa terburu-buru dalam mengambil keputusan besar, apalagi soal pernikahan. Namun, kali ini ia tidak punya banyak pilihan.Di sisi lain, Dhuha masih mencerna ucapan Hakim barusan. Ini bukan permintaan yang biasa. Mencari calon istri dalam waktu tiga minggu saja sudah sulit, apalagi jika syaratnya adalah pernikahan pura-pura. Ia merebahkan diri di sofa sambil menatap langit-langit. Aini, yang baru saja selesai mandi, keluar dari kamar dan melihat ekspresi suaminya yang sedang berpikir keras."Kenapa bengong begitu?" tanya Aini sambil mengeringkan rambutnya.Dhuha menoleh dan tersenyum kecil. "Barusan Hakim nelepon. Dia butuh istri dalam tiga minggu."Aini mengernyit. "Istri? Maksud Mas, dia mau menikah? Emang Hakim punya ayang? ""Iya. Tapi bukan pernikahan yang sebenarnya. Dia
Hotel Mulia Sahabat sudah beroperasi sejak subuh. Para staf dengan cekatan mempersiapkan segala sesuatu untuk memastikan tamu mendapatkan pelayanan terbaik. Dari lobi yang dipenuhi dengan aroma kopi segar hingga restoran yang mulai menyajikan sarapan prasmanan, semuanya berjalan dengan rapi dan efisien. Hakim duduk di ruang rapat utama, menatap layar presentasi yang menunjukkan proyek ekspansi terbaru hotel mereka di Kota Malang."Baik, untuk grand opening di Malang, saya ingin semua berjalan sesuai jadwal. Pak Irwan, bagaimana progres renovasi gedungnya?" tanya Hakim dengan suara tegas namun tetap tenang."Alhamdulillah, Pak Hakim. Progresnya sudah mencapai 85 persen. Kami hanya tinggal menyelesaikan beberapa bagian interior dan pelatihan staf baru."Hakim mengangguk puas. "Bagus. Saya ingin kita pastikan bahwa pelayanannya tetap setara dengan standar hotel kita di kota lain. Bu Siska, bagaimana dengan marketingnya?""Sudah berjalan sesuai rencana, Pak. Kami sudah melakukan kampanye
Dhuha menatap ibunya dengan perasaan terluka. "Mama, jangan bicara seperti itu. Aku memilih Aini bukan karena sihir atau apapun yang Mama pikirkan. Aku memilihnya karena aku mencintainya. Mama, aku mohon, berhentilah mencurigainya tanpa bukti yang jelas. Aini tulus mencintaiku, Ma. Dulu kami berpisah karena aku yang tidak dewasa. Sekarang aku sudah dewasa dan paham. Aku gak mau sampai pernikahanku gagal lagi.""Kamu tidak pernah tahu kan, kenapa bisa cinta berat sama Aini? Kamu saja jarang solat. Orang yang jarang solat itu, mudah dimasukin jin." Dhuha menggelengkan kepala. Mamanya selalu saja keras kepala dan pasti tidak akan menerima pembelaan darinya. Maria menghela napas panjang. Ia ingin membantah, tetapi dalam hatinya, ia pun ragu. Foto-foto itu memang tampak mencurigakan, tetapi apakah itu cukup sebagai bukti bahwa Aini tidak layak untuk Dhuha? Apalagi setelah mendengar bahwa foto tersebut adalah foto lama."Mama akan mencari tahu lebih lanjut. Tapi untuk sekarang, Mama tidak
Setelah membaca pesan itu, Aini merasa hatinya mulai tidak tenang. Meskipun Dhuha sudah meyakinkannya bahwa ia akan selalu melindunginya, tetap saja perasaan gelisah itu tidak bisa hilang begitu saja. Ia mencoba mengabaikan rasa takutnya dan melanjutkan aktivitasnya, tetapi firasat buruk itu terus menghantuinya.Keesokan harinya, Aini dan Dhuha pergi ke Sentul seperti yang mereka rencanakan. Udara pagi yang sejuk dan pemandangan hijau pegunungan sedikit mengurangi kegelisahan yang masih tersisa dalam hati Aini. Mereka mengunjungi rumah yang akan segera menjadi milik mereka, sebuah hunian minimalis dengan halaman luas dan suasana yang tenang."Masya Allah, indah sekali," gumam Aini takjub.Dhuha tersenyum melihat ekspresi bahagia istrinya. "Aku ingin kamu bahagia di sini. Aku ingin kita membangun rumah tangga yang penuh ketenangan dan cinta."Aini menggenggam tangan suaminya erat. "Terima kasih, Mas. Aku tidak butuh rumah besar atau barang mewah, yang penting kita selalu bersama." Mesk
Dhuha menggeleng-geleng sambil tertawa, menarik Aini kembali ke dalam pelukannya. "Adek benar-benar bikin abang kalah terus ya?"Aini terkikik. "Bukannya kalah, tapi harusnya bangga punya istri cerdas."Dhuha mengecup kening istrinya lembut. "Iya, iya, abang bangga sekali."Mereka duduk berdua di ranjang, menikmati momen tenang setelah kejadian barusan. Aini bersandar di bahu Dhuha, memainkan jari-jarinya di telapak tangan suaminya. "Mas, menurutmu, Mama akan terus begini?"Dhuha menghela napas panjang. "Entahlah. Aku tahu Mama butuh waktu. Tapi aku yakin lama-lama beliau akan menerima kamu sepenuhnya."Aini mengangguk. "Aku tidak ingin buru-buru. Yang penting kita berdua tetap satu hati."Dhuha tersenyum. "Selalu."Sementara itu, di kamar Maria, wanita paruh baya itu duduk di depan cermin riasnya, memandangi wajahnya dengan ekspresi penuh pertimbangan. Ia memegang dompet pemberian Monic, mengelus permukaannya pelan. Pikirannya penuh dengan berbagai kemungkinan.Monic adalah kandidat
Aini tertawa kecil melihat ekspresi terkejut Dhuha. "Sudah, sekarang kita diam saja di dalam kamar, biarkan Mama dan Monic di luar."Dhuha menggelengkan kepala, tetapi akhirnya hanya bisa tersenyum pasrah. Ia menarik Aini ke dalam pelukannya, membiarkan istrinya bersandar di dadanya. "Kamu benar-benar tidak ada takutnya, ya?""Kenapa harus takut? Aku istrimu, sah di mata agama dan negara. Mau Mama undang Monic, Silvi, atau siapa pun, yang terpenting hatimu hanya untukku, kan?" goda Aini.Dhuha tertawa pelan. "Iya, iya. Kamu memang satu-satunya buatku.""Ada yang bilang, selama suami berpihak pada istri, jangankan pelakor, set an pun gak berani menggoda." Dhuha kembali tertawa. "Jadi, apa kita ada momen untuk bikin bayi siang-siang begini?" goda Dhuha. "Of, course, Sayang. Kali ini, aku di atas ya." Dhuha terbahak sambil menekan hidung istrinya karena gemas. Sementara itu, di ruang tamu, Maria menyambut Monic dengan senyuman ramah. Wanita itu terlihat anggun dengan gaun merah marunn
Setelah kunjungan mereka ke panti asuhan Cahaya Kasih, Dhuha dan Aini kembali ke rumah mereka yang nyaman. Hari itu terasa begitu indah bagi Aini, berbagi kebahagiaan dengan anak-anak di panti asuhan yang telah menjadi bagian dari hidupnya. Namun, kebahagiaan itu tidak bertahan lama.Sore itu, ketika mereka baru saja tiba di rumah, ponsel Dhuha bergetar. Nama yang tertera di layar membuatnya menghela napas panjang sebelum mengangkat panggilan itu. "Mama," sapanya pelan."Dhuha, Mama ingin bicara. Bisa Mama datang sekarang?" suara Maria terdengar lebih lembut dari biasanya.Dhuha melirik Aini yang sedang menata beberapa barang di ruang tamu. Ia mengangguk kecil seolah mengizinkan, meski tak tahu apa yang akan dibahas mamanya kali ini. "Baik, Ma. Mama ke sini sekarang?""Ya, tunggu Mama sebentar.""Kenapa, Mas?" tanya Aini sambil menatap suaminya. "Mama mau berkunjung ke sinu." Aini mengangguk. "Terus kenapa?""Kamu gak papa?" tanya Dhuha khawatir. "Ish, Mama itu juga mamaku sekarang