Amel sedang duduk di ruang tamu rumah Anton ketika ponselnya berdering. Nama Hakim, kakaknya, muncul di layar. Dengan senyuman, ia mengangkat telepon itu. Anton melirik sekilas wajah ceria Amel yang sigap menggeser layar terima pada telepon genggamnya. "Halo, Mas, ada apa?""Kamu lagi di mana?""Di rumah Anton, lagi ada kerjaan."Terdengar Hakim menghela napas. "Kamu ini, udah Mas bilang kan, jangan tinggal berdua saja dengan laki-laki tidak dikenal, nanti kamu kenapa-napa. Cepat pindah dari sana kalau kamu gak mau, Mas beritahu mama papa, bahwa kamu masih kos di sana!""Ish, apaan sih, baru telepon langsung marah-marah. Tutup aja deh!""Eh, jangan! Jangan, adikku sayang. Mas mau minta tolong.""Tolong apa?""Amel, besok kamu ada waktu luang?" tanya Hakim langsung."Besok kan hari libur. Ada apa, Mas?" jawab Amel sambil melirik Anton yang kini juga sedang menatapnya. "Aku butuh bantuanmu. Temani Dhuha ke sebuah acara undangan di Bandung. Dia butuh ditemani," kata Hakim.Amel menger
“Aini, kamu mau ke mana lagi sudah begini?” Suara Bu Asma terdengar tegas, meski ada nada lelah di dalamnya. Wanita itu sejak kemarin menginap di rumahnya Aini untuk membantu calon menantunya itu bersiap-siap. Terutama dalam persiapan dekorasi kamar pengantin dan kini prasmanan yang disediakan untuk tamu-tamu undangan yang tidak bisa datang ke acara akad dan resepsi besok. Aini yang tengah mengambil kunci mobil, lalu segera menghentikan gerakannya. “Ma, Aini cuma mau beli bakso sebentar di depan gang. Tadi pagi kepikiran terus, rasanya pengin banget makan bakso gerobak itu,” jawabnya dengan nada memohon. Matanya menatap Bu Asma penuh harap.“Bakso? Besok kamu menikah, Nak. Kamu harus istirahat. Lagipula, gerimis begini tidak aman untuk keluar sendirian. Sabar sampai besok karena di menu prasmanan juga ada baso,” ujar Bu Asma sembari menghela napas. Wanita paruh baya itu memandang Aini dengan lembut namun tegas.“Tapi, Ma…” Aini mencoba membujuk, namun langkah kakinya terhenti ketika
Keramaian di rumah Aini belum juga surut. Para tamu terus berdatangan, memberi ucapan selamat kepada pasangan pengantin baru. Tenda yang dihias dengan bunga segar kini penuh dengan canda tawa dan percakapan hangat. Namun, di tengah keramaian itu, Izzam, bocah kelas dua sekolah dasar, berdiri mematung di dekat pintu masuk. Matanya tertuju pada sosok lelaki yang tengah berdiri di antara kerumunan tamu, dengan kepala tertunduk dan tangan menggenggam erat sesuatu di saku celananya.Izzam menyipitkan matanya, mencoba memastikan penglihatannya. Ada sesuatu yang familiar pada sosok itu. Meski wajahnya setengah tersembunyi, ia merasa mengenalinya. Naluri kecilnya memaksa kakinya bergerak mendekati lelaki itu.“A-ayah Dhuha?” bisik Izzam perlahan. Suara kecilnya hampir tenggelam dengan suara orang dewasa yang tengah menyaksikan acara sungkeman. "A-ayah," gumam Izzam lagi. Sosok itu tak bergeming. Lelaki bernama Dhuha tetap menunduk, menyembunyikan air mata yang mengalir di wajahnya.“Ayah Dh
Cahaya lampu apartemen Dhuha memantul lembut di atas meja makan kecil yang penuh dengan aroma nasi goreng buatan Amel. Tiga piring nasi goreng yang masih mengepul tertata rapi di tengah meja. Hakim, kakak Amel, duduk santai di salah satu kursi, menikmati hidangan sambil sesekali melirik adiknya dengan senyum penuh arti.“Kamu semakin pintar masak, Mel,” kata Hakim sambil menyendokkan nasi goreng ke mulutnya. “Sejak kapan ini? Jangan-jangan gara-gara ngekos di rumah duda, ya?” godanya dengan tawa kecil.Amel mendelik ke arah kakaknya, wajahnya merona. “Mas Hakim, apa sih! Ngomongnya jangan sembarangan, ah. Aku masak karena suka, bukan karena itu,” jawabnya dengan nada setengah kesal."Ya, kamu emang bisa masak, tapi gak seenak ini. Ini tumben sekali enak," kata Hakim lagi setengah menggoda. "Itu karena kalian berdua lapar. Lagian, udah tahu kondangan, bukannya makan yang banyak biar kuat menghadapi mantan yang menikah lagi, malah cuma minum jus doang. Kenyang nggak, kembung iya," omel
Suara angin malam yang mendesir pelan menelusup ke sela-sela jendela kamar, membawa kesejukan yang memeluk lembut tubuh Aini yang duduk gelisah di ujung ranjang. Kamar itu, yang selama bertahun-tahun menjadi ruang pribadinya, kini terasa berbeda. Malam ini adalah malam yang istimewa. Malam yang menandai dimulainya babak baru dalam hidupnya.Aini sudah lebih dahulu masuk ke kamar, setelah acara resepsi selesai dan tamu-tamu semua pulang. Hanya tersisa beberapa orang saja di luar, petugas kebersihan, petugas catering, dan juga teman suaminya. Wanita itu tentu saja sudah menghapus riasannya, mandi, lalu mengenakan pakaian tidur yang dibelikan oleh mertuanya. Pakaian tipis dengan belahan dada terlalu rendah. Pakaian yang ia kenakan di balik selimut bed cover yang menghalau sedikit dingin dari AC kamarnya. Alex pun masuk. Ia tersenyum pada sang Istri, lalu mengunci pintu. Pria itu berjalan ke arah cermin untuk melepas jasnya. Malu-malu Aini memperhatikan suaminya yang berpostur tubuh ting
Cahaya pagi menembus tirai jendela kamar, membawa aroma mawar yang masih segar dari malam sebelumnya. Aini membuka matanya perlahan, merasa tubuhnya masih lelah setelah rangkaian acara resepsi kemarin. Di sampingnya, Alex masih terlelap, napasnya teratur dan wajahnya tampak damai. Baru kali ini ia melihat suaminya dalam keadaan seperti ini, tanpa jas rapi atau senyum sopan yang biasanya menghiasi wajahnya di hadapan orang lain.Aini mencoba bangkit perlahan menuju kamar mandi. Semalam ia tidak keramas karena terlalu dingin. Maka, pagi ini ia putuskan keramas saja. Selesai mandi, suaminya belum juga bangun. Aini lekas memakai pakaian ganti. Berupa dress panjang selutut berbahan kaus. Tok! TokAini menoleh saat pintu kamarnya diketuk. “Aini, Alex! Sudah bangun, kan?” suara Bu Asma, ibu mertua mereka, terdengar dari balik pintu.Aini melirik Alex yang mulai bergerak, setengah terjaga. Ia buru-buru menuju pintu dan membukanya sedikit.“Selamat pagi, Ma,” sapanya pelan.“Oh, rambutmu ba
Di ujung balkon kamar yang menghadap ke halaman belakang, Dhuha berdiri termenung. Angin malam yang lembut menyapu wajahnya, namun tak sedikit pun membawa kesejukan ke dalam hatinya. Pikirannya dipenuhi oleh bayangan Aini dan Alex, dua orang yang kini terikat dalam ikatan suci. Bayangan itu terus menghantuinya sejak pagi. Ia tak lagi bisa tidur nyenyak setelah menyadari takdir pernikahan Aini dengan Alex. Ia kembali tak bersemangat melakukan kegiatan apapun. Padahal, hari ini harusnya ia pergi ke kantor. Om Fauzan ingin Dhuha kembali berkarir di perusahaan keluarga mereka. Namun, sejak pulang dari pernikahan Aini, isi kepalanya hanya tentang Aini dan takdir mereka yang tidak berjalan dengan baik. Telepon genggamnya bergetar. Sebuah panggilan masuk, dan nama yang muncul di layar membuat bibirnya sedikit melengkung. Izzam. Dhuha segera mengangkat panggilan itu. Tentu ia senang dengan panggilan dari putranya. “Assalamu’alaikum, Ayah!” suara ceria Izzam menyapa dari seberang telepon.“
"Pak Dhuha, ini draf terakhir untuk presentasi laporan pembangunan hotel Surabaya,” kata Marsha dengan suara tenang, sambil menyerahkan tablet ke hadapan pria itu. Matanya yang indah terfokus pada layar, meskipun pikirannya sedikit mengembara.Dhuha, yang duduk di belakang meja besar di ruangannya, mengalihkan pandangannya dari tumpukan dokumen yang sedang ia telaah. Wajahnya tetap serius seperti biasa. “Bagian anggaran sudah diperiksa? Pastikan tidak ada angka yang meleset. Investor kita tidak akan mentoleransi kesalahan sekecil apa pun.”Marsha mengangguk. “Sudah saya pastikan, Pak. Semua data telah saya verifikasi dua kali, bahkan saya konsultasikan juga dengan tim keuangan untuk menghindari kekeliruan.”Dhuha menatap layar tablet yang disodorkan Marsha, jarinya menggulirkan halaman demi halaman dokumen presentasi itu. Tak ada komentar keluar dari mulutnya, hanya sesekali alisnya mengernyit, tanda ia menganalisis dengan cermat. Marsha berdiri di dekat meja, menunggu instruksi lebih
Hakim kembali memijat pelipisnya setelah pertemuannya dengan Salsabila. Dua miliar bukan jumlah yang kecil, tetapi ia tahu bahwa dengan posisi dan kekayaan keluarganya, itu bukan angka yang mustahil. Yang menjadi pertanyaannya sekarang, apakah Tania akan meminta hal yang sama?Ia meraih ponselnya dan menghubungi Amel."Halo, Mas Hakim," suara Amel terdengar ceria seperti biasa."Amel, aku baru saja bertemu dengan Salsabila dan dia setuju, tapi ada syaratnya," kata Hakim."Syarat seperti apa?" tanya Amel penasaran."Dua miliar sebagai kompensasi atas perannya. Dia ingin semuanya berjalan profesional tanpa perasaan terlibat," jawab Hakim jujur.Amel terdiam sesaat sebelum tertawa kecil. "Wah, nggak kaget sih. Salsabila memang tipe wanita yang tahu apa yang dia mau.""Nah, itu yang mau aku tanyakan ke kamu. Apakah menurutmu Tania juga akan meminta kompensasi seperti itu?" Hakim bertanya hati-hati.Amel menghela napas. "Sejujurnya, aku nggak tahu, Mas. Tania orangnya berbeda dari Salsabil
Hakim duduk di kursinya dengan perasaan campur aduk setelah mengirim pesan kepada Amel. Ia memijat pelipisnya, mencoba mencerna semua pilihan yang tiba-tiba datang dalam hidupnya. Tiga minggu bukan waktu yang lama untuk mencari pasangan hidup, meskipun hanya sekadar pernikahan pura-pura.Di satu sisi, ada Salsabila. Wanita yang direkomendasikan oleh Aini dan tampak sangat profesional. Sikapnya tegas dan penuh perhitungan. Hakim bisa melihat bahwa Salsabila bukan tipe orang yang mudah dibohongi atau dimanfaatkan. Jika ia setuju, Hakim yakin mereka bisa menyusun kesepakatan yang jelas dan tidak akan ada drama di kemudian hari. Namun, justru itulah yang sedikit membuatnya khawatir. Wanita seperti Salsabila pasti punya standar tinggi dan bisa jadi ia tidak akan mau menjalani sandiwara ini tanpa syarat yang ketat.Di sisi lain, ada Tania. Wanita yang diperkenalkan oleh Amel. Dari deskripsi Amel, Tania tampak seperti gadis sederhana yang pekerja keras dan penuh tanggung jawab. Yatim piatu,
Hakim menatap layar ponselnya dengan ekspresi serius. Setelah menelepon Dhuha, ia merasa sedikit lebih tenang, tetapi tetap saja, waktu yang diberikan orang tuanya sangatlah singkat. Ia bukan tipe pria yang terbiasa terburu-buru dalam mengambil keputusan besar, apalagi soal pernikahan. Namun, kali ini ia tidak punya banyak pilihan.Di sisi lain, Dhuha masih mencerna ucapan Hakim barusan. Ini bukan permintaan yang biasa. Mencari calon istri dalam waktu tiga minggu saja sudah sulit, apalagi jika syaratnya adalah pernikahan pura-pura. Ia merebahkan diri di sofa sambil menatap langit-langit. Aini, yang baru saja selesai mandi, keluar dari kamar dan melihat ekspresi suaminya yang sedang berpikir keras."Kenapa bengong begitu?" tanya Aini sambil mengeringkan rambutnya.Dhuha menoleh dan tersenyum kecil. "Barusan Hakim nelepon. Dia butuh istri dalam tiga minggu."Aini mengernyit. "Istri? Maksud Mas, dia mau menikah? Emang Hakim punya ayang? ""Iya. Tapi bukan pernikahan yang sebenarnya. Dia
Hotel Mulia Sahabat sudah beroperasi sejak subuh. Para staf dengan cekatan mempersiapkan segala sesuatu untuk memastikan tamu mendapatkan pelayanan terbaik. Dari lobi yang dipenuhi dengan aroma kopi segar hingga restoran yang mulai menyajikan sarapan prasmanan, semuanya berjalan dengan rapi dan efisien. Hakim duduk di ruang rapat utama, menatap layar presentasi yang menunjukkan proyek ekspansi terbaru hotel mereka di Kota Malang."Baik, untuk grand opening di Malang, saya ingin semua berjalan sesuai jadwal. Pak Irwan, bagaimana progres renovasi gedungnya?" tanya Hakim dengan suara tegas namun tetap tenang."Alhamdulillah, Pak Hakim. Progresnya sudah mencapai 85 persen. Kami hanya tinggal menyelesaikan beberapa bagian interior dan pelatihan staf baru."Hakim mengangguk puas. "Bagus. Saya ingin kita pastikan bahwa pelayanannya tetap setara dengan standar hotel kita di kota lain. Bu Siska, bagaimana dengan marketingnya?""Sudah berjalan sesuai rencana, Pak. Kami sudah melakukan kampanye
Dhuha menatap ibunya dengan perasaan terluka. "Mama, jangan bicara seperti itu. Aku memilih Aini bukan karena sihir atau apapun yang Mama pikirkan. Aku memilihnya karena aku mencintainya. Mama, aku mohon, berhentilah mencurigainya tanpa bukti yang jelas. Aini tulus mencintaiku, Ma. Dulu kami berpisah karena aku yang tidak dewasa. Sekarang aku sudah dewasa dan paham. Aku gak mau sampai pernikahanku gagal lagi.""Kamu tidak pernah tahu kan, kenapa bisa cinta berat sama Aini? Kamu saja jarang solat. Orang yang jarang solat itu, mudah dimasukin jin." Dhuha menggelengkan kepala. Mamanya selalu saja keras kepala dan pasti tidak akan menerima pembelaan darinya. Maria menghela napas panjang. Ia ingin membantah, tetapi dalam hatinya, ia pun ragu. Foto-foto itu memang tampak mencurigakan, tetapi apakah itu cukup sebagai bukti bahwa Aini tidak layak untuk Dhuha? Apalagi setelah mendengar bahwa foto tersebut adalah foto lama."Mama akan mencari tahu lebih lanjut. Tapi untuk sekarang, Mama tidak
Setelah membaca pesan itu, Aini merasa hatinya mulai tidak tenang. Meskipun Dhuha sudah meyakinkannya bahwa ia akan selalu melindunginya, tetap saja perasaan gelisah itu tidak bisa hilang begitu saja. Ia mencoba mengabaikan rasa takutnya dan melanjutkan aktivitasnya, tetapi firasat buruk itu terus menghantuinya.Keesokan harinya, Aini dan Dhuha pergi ke Sentul seperti yang mereka rencanakan. Udara pagi yang sejuk dan pemandangan hijau pegunungan sedikit mengurangi kegelisahan yang masih tersisa dalam hati Aini. Mereka mengunjungi rumah yang akan segera menjadi milik mereka, sebuah hunian minimalis dengan halaman luas dan suasana yang tenang."Masya Allah, indah sekali," gumam Aini takjub.Dhuha tersenyum melihat ekspresi bahagia istrinya. "Aku ingin kamu bahagia di sini. Aku ingin kita membangun rumah tangga yang penuh ketenangan dan cinta."Aini menggenggam tangan suaminya erat. "Terima kasih, Mas. Aku tidak butuh rumah besar atau barang mewah, yang penting kita selalu bersama." Mesk
Dhuha menggeleng-geleng sambil tertawa, menarik Aini kembali ke dalam pelukannya. "Adek benar-benar bikin abang kalah terus ya?"Aini terkikik. "Bukannya kalah, tapi harusnya bangga punya istri cerdas."Dhuha mengecup kening istrinya lembut. "Iya, iya, abang bangga sekali."Mereka duduk berdua di ranjang, menikmati momen tenang setelah kejadian barusan. Aini bersandar di bahu Dhuha, memainkan jari-jarinya di telapak tangan suaminya. "Mas, menurutmu, Mama akan terus begini?"Dhuha menghela napas panjang. "Entahlah. Aku tahu Mama butuh waktu. Tapi aku yakin lama-lama beliau akan menerima kamu sepenuhnya."Aini mengangguk. "Aku tidak ingin buru-buru. Yang penting kita berdua tetap satu hati."Dhuha tersenyum. "Selalu."Sementara itu, di kamar Maria, wanita paruh baya itu duduk di depan cermin riasnya, memandangi wajahnya dengan ekspresi penuh pertimbangan. Ia memegang dompet pemberian Monic, mengelus permukaannya pelan. Pikirannya penuh dengan berbagai kemungkinan.Monic adalah kandidat
Aini tertawa kecil melihat ekspresi terkejut Dhuha. "Sudah, sekarang kita diam saja di dalam kamar, biarkan Mama dan Monic di luar."Dhuha menggelengkan kepala, tetapi akhirnya hanya bisa tersenyum pasrah. Ia menarik Aini ke dalam pelukannya, membiarkan istrinya bersandar di dadanya. "Kamu benar-benar tidak ada takutnya, ya?""Kenapa harus takut? Aku istrimu, sah di mata agama dan negara. Mau Mama undang Monic, Silvi, atau siapa pun, yang terpenting hatimu hanya untukku, kan?" goda Aini.Dhuha tertawa pelan. "Iya, iya. Kamu memang satu-satunya buatku.""Ada yang bilang, selama suami berpihak pada istri, jangankan pelakor, set an pun gak berani menggoda." Dhuha kembali tertawa. "Jadi, apa kita ada momen untuk bikin bayi siang-siang begini?" goda Dhuha. "Of, course, Sayang. Kali ini, aku di atas ya." Dhuha terbahak sambil menekan hidung istrinya karena gemas. Sementara itu, di ruang tamu, Maria menyambut Monic dengan senyuman ramah. Wanita itu terlihat anggun dengan gaun merah marunn
Setelah kunjungan mereka ke panti asuhan Cahaya Kasih, Dhuha dan Aini kembali ke rumah mereka yang nyaman. Hari itu terasa begitu indah bagi Aini, berbagi kebahagiaan dengan anak-anak di panti asuhan yang telah menjadi bagian dari hidupnya. Namun, kebahagiaan itu tidak bertahan lama.Sore itu, ketika mereka baru saja tiba di rumah, ponsel Dhuha bergetar. Nama yang tertera di layar membuatnya menghela napas panjang sebelum mengangkat panggilan itu. "Mama," sapanya pelan."Dhuha, Mama ingin bicara. Bisa Mama datang sekarang?" suara Maria terdengar lebih lembut dari biasanya.Dhuha melirik Aini yang sedang menata beberapa barang di ruang tamu. Ia mengangguk kecil seolah mengizinkan, meski tak tahu apa yang akan dibahas mamanya kali ini. "Baik, Ma. Mama ke sini sekarang?""Ya, tunggu Mama sebentar.""Kenapa, Mas?" tanya Aini sambil menatap suaminya. "Mama mau berkunjung ke sinu." Aini mengangguk. "Terus kenapa?""Kamu gak papa?" tanya Dhuha khawatir. "Ish, Mama itu juga mamaku sekarang