"Ehem, maaf. Apa yang anda lakukan pada istri saya?" "Istri?" "Ya, dia adalah istri saya. Jelaskan, kenapa anda bisa begitu entengnya memeluk istri orang lain?""Saya-""Ndra, kamu ngapain di sini?" tanyaku. Seketika rasa nyeri akibat ucapan Mbak Rosa kemarin datang lagi. Membuatku ingin memberi sedikit pelajaran untuk Mas Andra."Lagi check-in aja, ngomong-ngomong orang tuamu mana?" tanyaku. Sepertinya Indra tahu kode yang kukirimkan lewat tatapan mata. "Ada, lagi di toilet," jawabku. "Ning, kamu belum menjawab pertanyaanku. Siapa dia?" "Jangan kepo, Mas." "Ning!" Sungguh aku terkejut mendengar bentakannya. Apakah aku salah? Aku hanya ingin mempunyai satu rahasia saja, dibandingkan dengan dia yang justru ternyata memiliki banyak rahasia di belakangku. "Apa, Mas?' "Mas nanya baik-baik loh," ketusnya. "Kenalin, ini Indra." "Mas tanya, siapa dia?" "Ning!" ucapnya, tatapan tajamnya membuatku sedikit takut. "Kenalin, dia Indra, anaknya Paman Saleh," ucapku mengenalkan. "Pama
"I-iya, Mas. Nining cuma minta penjelasan, bukan sedang menuduh Mas masih memendam perasaan sama almarhumah ibunta Keysha." Mas Andra mencium keningku. "I love you, Ning." Ya Allah, Maaak, jantungku rasanya mau melompat saat mendengar ungkapan cinta Mas Andra barusan. "Iya, Mas." "Iya apa?" "Ya, I love you too." Lalu malam itu, ditutup dengan ibadah tersyahdu. Jomblo harap bersabar. --Enam bulan kemudian. "Aw, Mas!" Mas Andra yang sedang memakai kemeja segera menghampiriku, raut wajahnya terlihat sangat panik. "Kenapa, Ning?" "Mas, sepertinya aku mau melahirkan!" "Apa?" Mas Andra langsung menggendong tubuhku dan mengangkatnya menuju mobil. Sementara Ibu dan Bapak menyusul mengunakan mobil lain karena hendak bersiap dulu. "Mas, cepat!" "Iya, Ning, sebentar."Biasanya aku akan memukul Mas Andra jika ngebut, tapi untuk kali ini, aku akan biarkan karena rasa nyeri di perut semakin terasa. "Sus, tolong!" Suster datang membawa kursi roda, setelah di dudukkan di sana, aku
Aku menikmati sekali hari-hariku menjadi seorang ibu bagi kedua bayi kembarku. Untuk sementara waktu, aku tinggal dulu di kampung, rumah Bapak dan Ibu. Mas Andra pun harus rela bolak-balik karena harus memegang perusahaan, dan aku memaklumi itu. Tapi, semua berat bagiku karena harus berjauhan dengan Keysha. Anak gadis itu terus menangis saat akan pulang dari sini kali terakhir. "Nduk, berjemur dulu dedek bayinya," ucap Ibu. Dengan dibantu Murni, aku pun berdiri. Kemarin setelah melahirkan anak pertama, aku langsung pingsan hingga akhirnya dokter memutuskan untuk melakukan operasi caesar untuk mengeluarkan janinku yang kedua. Sehingga sekarang jalanku masih tertatih. Aku duduk di depan rumah, menggendong Ghanidan, sementara Ibu menggendong Shaniya. Alhamdulillah, aku diberi sepasang anak kembar yang beda jenis kelamin. Sehingga hidupku kian terasa lengkap. "Assalamu'alaikum." "Wa'alaikum salam." Aku memalingkan wajah saat melihat Paman Saleh datang. Bukan apa-apa, aku hanya kesa
"Ya sudah, aku pulang dulu, Mas," ucap Paman. "Iya, aku nggak janji, ya." "Loh, kok gitu? Tadi katanya Insya Allah," ucapnya tak terima, sementara aku dan Ibu hanya saling pandang. Tak tahu dengan permasalahannya. "Iya Insya Allah kan belum tentu jadi. Siapa tahu nanti ada acara mendadak," jawab Bapak. "Walah, Mas. Gaya banget acara-acaraan. Wong kamu ini paling mentok acaranya di sawah. Ini lagi, Nining. Udah nikah sama bos katanya, tapi masih aja di sini. Ngerepotin orang tua. Pikir dong, Ning, udah nikah itu harusnya nyenengin orang tua, bukannya nyusahin," ucapnya padaku. Lah, kok jadi ke aku? "Leh, yang sadar diri kalau ngomong! Anakku nyusahin apanya? Aku malah seneng ngerawat cucuku di sini, karena nanti juga mereka balik lagi ke kota. Kamu itu yang nyusahin, dulu habis nikah, kamu masih numpang sama orang tuamu, bahkan kebun bagian bapaknya Nining aja kamu embat. Mana? Katanya mau ngeganti?" ucap Ibu yang langsung membuat Paman Saleh terkejut. Bukan hanya dia saja yang
Seorang gadis kecil keluar setelah mobil parkir di sebelah rumah yang memang masih lahan kosong. Senyumku merekah seketika. Ya Allah, anak gadisku... "Mama!" Aku yang tengah menggendong Ghani langsung berjalan ke arahnya, Keysha memelukku erat. Ibu yang tadi masih di dalam, menyiapkan Shani mau dijemur pun akhirnya keluar. "Nenek!" "Eh, ya Allah, ada Keysha.""Key, kalau mau masuk ke rumah orang bilang apa?" ucap Mas Andra yang baru turun dari mobil, ia menyeret dua koper besar di belakangnya. Masya Allah suamiku, aku rindu. "Assalamu'alaikum, Mama, Nenek." "Wa'alaikum salam, Sayang." Keysha langsung masuk ke dalam bersama Ibu, sementara Mas Andra mengambil alih Shani dan duduk di sampingku yang tengah menggendong Ghani. "Kenapa, Ning?" tanyanya. "Aku rindu, Mas." Mas Andra mengacak rambutku. Duhai hati, tolong jangan berontak dulu, malu. "Sam, Mas pun rindu." Jika ada cermin, mungkin sudah dapat kulihat betapa meronanya pipi ini. Ghani menggeliat, seakan tahu jika papanya
Mbak Dita memajukan bibirnya, membuatku ingin sekali terkekeh. Ia memang perawan tua, tapi kalau sedang bicara tentang pernikahan, jodoh, dan juga hubungan seseorang, ia seakan lebih tahu. Makanya, tak jarang orang mengejeknya. "Emang iya apa, Ning?" tanya Mbak Dita akhrnya, hemm penasaran banget dia. "Mbak Dita pengen tahu?" tanyaku yang dijawab dengan anggukan olehnya. "Rasanya ... Ah, mantap!" ucapku sambil mengacungkan jempol, lalu membayar belanjaan yang sudah kukumpulkan. "Kembaliannya lima belas ribu ya, Ning," ucap Mak Sowi. "Buat Mak aja. Duluan ya," ucapku. Aku pulang lebih dulu, karena takut jika dijadikan bahan ghibah. Padahal aku masih mendengar sisa-sisa obrolan mereka saat aku menjauh. "Nining semenjak nikah beda, ya? Belanjanya aja selalu seratus ribu lebih," ucap Bu Ria. "Iya lah, Bu, namanya ada suami. Mana suaminya kaya lagi. Tuh, Dit, makanya nikah sana. Biar kaya Nining." Aku hanya menggelengkan kepala, tak habis pikir dengan mereka yang malah mengghibahi
Setelah Shaniya dan Ghanidan berumur lima bulan, aku kembali pulang ke Jakarta. Tepat saat Keysha juga masuk ke sekolah dasar. Mas Andra masih sering bolak-balik dari kota ke kampung. Tentu saja jika tengah weekend. "Sudah disiapkan semuanya, Nduk?" "Sudah, Bu. Nanti malam mungkin baru sampai ke sini.""Hati-hati di sana ya, Nduk. Jaga bener-bener Shaniya sama Ghanidan. Kalau perlu, kamu minta pindah kamar jadi di bawah saja." Aku tersenyum mendengar penuturan Ibu. Lalu mengamit lengannya dan bermanja sebentar. "Apa Ibu mau tinggal di sana saja?" tanyaku. "Eh, nanti Bapakmu sama Murni gimana? Ibu cuma kasih saran aja. Maaf kalau kamu tersinggung, Ning." "Nggak, Bu. Ngapain Nining tersinggung? Terima kasih banget Ibu sudah mau peduli sama Nining."Ibu mengangguk, lalu mengelus lembut kepalaku. Memang ya, kalau ada di dekat ibu kita itu, rasanya sangat nyaman. "Mbak, ini kacangnya cuma dapat lima kilo," ucap Murni begitu datang dari sawah. ."Nggak papa, Mur. Berapa semua?" "Ena
"Itu, loh, yang bekas rumahnya Pak Dato, sekarang ada yang menempati. Dia punya anak kecil seumuran Keysha, jadi anak itu betah." Aku mengangguk saja. "Jadi, temannya itu lebih berharga dari pada aku ya, Mas? Padahal aku udah kangen berat sama Keysha, loh." "Haha, kamu cemburu sama temannya Keysha, Ning? Bagaimana kalau nanti anak sulung kita besar dan punya pacar?" "Ish, Mas, beda konteks, lah!" "Wih, istriku sekarang lebih maju, ih. Tau konteks segala." Aku memutar bola mata jengah. Aku memang tahu, Mas. Masa tidak? Rugi lah aku sekolah di toktok, hahaha. -Pukul delapan pagi, kami berpamitan pada Bapak dan Ibu. Ada rasa berat sebenarnya, tapi bagaimana lgi ya, kan? "Ini nanti salah satunya gimana?" tanya Mas Andra. Ah, iya. Aku kebingungan juga karena tidak memikirkan hal ini. "Bu, mau nemenin dulu, nggak? Nanti minggu depan, Mas Andra anterin lagi," ucapku. "Duh, gimana, ya." "Kamu sih, Mas. Harusnya ajak Desi ke sini." "Aku dan Desi itu bukan mahromnya, Ning. Masa se
"Des?" panggilku. "Ah, iya, Bu." Lalu muncul Ibu dengan tergesa-gesa. Beliau langsung berlari ke tempat anak bungsunya itu. Bukannya memeluk, beliau malah memukulnya. "Bagus, ya! Kerjaanmu itu gak jelas! Pergi-pergi terus gak pulang-pulang! Sekalian aja lupain kalau Ibu sudah meninggal!" "Ibu! Kok gitu? Ibu gak boleh meninggal sebelum Kino menikah." "Menikah? Alhamdulillah, Ya Allah! Kamu sudah punya pacar, Kin? Siapa itu?" "Ada, Bu. Nanti Kino kenalkan. Sekarang dia lagi jauh." Jauh? Ah, tentu saja. Kenapa aku berpikir kalau Kino ada hubungan dengan Desi? Ibu pun mengajak Mas Kino ke meja makan dan mengambilkan jus jambu kesukaannya. "Kok pulang nggak ngasih kabar?" "Kan surprise, Bu." "Ya sudah, Ibu tinggal dulu ke kamar. Kamu habis ini istirahat." Ibu menarik tanganku ke kamar, lalu menutup pintu meski tak rapat. "Bu, ngapain?" "Sssst! Diem dulu." Tak lama kemudian, Kino ke depan, menghampiri Desi yang tengah duduk di tangga. Mataku membulat, saat melihat Kino memeluk
Aku tersenyum, dasar mirip bocah! Selesai menyuapi Ghani dan Shani, aku pun mengajak mereka ke kamar Keysha untuk kususui sambil menunggu Keysha pulang sekolah. Kuminta Desi untuk ikut, sambil menjaga Shani yang nanti menunggu giliran kususui. "Pacarmu orang mana, Des?" tanyaku. "Eh? Emmm, gak jauh dari sini kok, Ning.""Aku kenal?" Pelan, Desi mengangguk. Hal itu membuatku makin bingung dengan teka-teki pacarnya Desi ini. Jika aku mengenalnya, lantas ia siapa? "Siapa?" "Ada deh, nanti juga dia datang ke sini." Aku mengangguk saja, tak ingin mengorek lebih dalam lagi. Aku sadar akan privasinya. Jika ia mengatakan akan mengenalkannya padaku suatu hari nanti, maka aku tinggal menunggu saja. Lalu kami bercerita lagi, tentang apapun. Sampai aku tak sadar jika Ghani sudah terlelap. Kupindahkan Ghani ke tempat Shani, lalu Shani pindah ke tempat Ghani untuk kuberi asi. "Nikah itu, enak gak sih, Ning?" tanya Desi tiba-tiba. "Ya ada enaknya, ada gak enaknya. Tinggal gimana kita dan
"Bu Nining tenang saja, Pak Andra ga mungkin nikah lagi. Orang kaya kulkas gitu, siapa yang mau?" "Buktinya, Mbak Nesha mau tuh. Andai Mas Andra ngeladenin, pasti mangsanya itu Mas Andra.""Untungnya Pak Andra gak nanggepin, ya?" Aku mengangguk. Lalu fokus mengambil bayam yang sangat menggoda mataku itu. "Bu Wina juga katanya nemuin duit di tumpukan selimut yang nggak pernah dipake. Pas ditanya, katanya mau buat gugurin kandungannya Bu Nesha." "Apa?" Kami semua terkejut mendengar penuturan Bu Dian. Selama ini, Bu Wina memang lebih dekat dengan Bu Dian, sehingga beliau selalu up to date tentang temannya itu. "G*la, ya? Jadi perempuan itu sudah hamil?" Aku benar-benar tak menyangka dengan berita pagi ini. Mbak Nesha, pantas saja akhir-akhir ini sering pakai baju kegedean, nyatanya ada yang tengah coba ia sembunyikan?Setelah membayar belanjaan, aku pun pamit pulang pada ibu-ibu yang lain. Kasihan Shani dan Ghani yang belum sarapan. "Des, sudah siap sarapan si kembar?" "Sudah, Bu
"Hampir, andai Winto tak melihatmu, mungkin orang itu sudah membawamu pergi.""Ah, nggak sampai hutang budi kok, Mbak. Biasa aja." "Jadi, Nesha yang centil itu, istrimu?" "Mantan istri, Mbak." "Kok, semalem aku nggak lihat kamu? Kapan datangnya?" "Pak Winto datang setelah Ibu pulang. Paling selisih tiga menit Ibu masuk, mobil Pak Winto datang." "Oh, iya. Bagus lah kalau kamu ceraikan dia. Bukan bermaksud mengompori, tapi istrimu itu emang benar-benar, kok! Masa rumah tangga anakku mau dirusakin?" "Ah, masa, Mbak? Benar begitu, Bu Nining?" "Panggil Nining saja, Pak. Iya, begitu lah, Pak." "Ah, kan Bu Nining istrinya Pak Andra, jadi saya harus menghormati. Sebelumnya, saya mau minta maaf kalau kelakuan mantan istri saya keterlaluan ya, Pak, Bu, Mbak." "Nggak papa, Win. Namanya manusia. Tapi untungnya anakku nggak goyah. Mantan istrimu itu pakaiannya sexy banget. Sampe mau muntah aku lihatnya." "Bu...." Mas Andra mengingatkan Ibu, supaya jangan terlalu jauh menceritakan tentang
"Betul." "Ingat, ya. Kalau aku jadi Bu Wina, bukan hanya kupukul kalian, tapi kumusnahkan senj*t*mu dan kucabein punya si perempuan. Jangan main-main sama aku, Mas." "Ish! Ngeri amat, sih?" protes Mas Andra dengan wajah meringis, aku malah jadi ingin tertawa melihatnya. "Makanya, mau gitu, nggak?" "Ya nggak, lah." "Bagus!" "Punya satu aja pusing, apa lagi dua." "Apaaaa?" --Pagi hari. Biasanya aku hanya mengurus Keysha, namun kali ini juga ada Aura. Meski mempunyai Sinta dan Desi, tapi aku tetap akan turun tangan jika itu urusan anak-anak. "Aura, nanti setelah mandi, ambil seragam sekolah di rumah, ya? Biar diantar sama Mbak Desi. Soalnya Kalau bareng sama Keysha, beda arah," ucapku sambil mengolesi salep di bekas lukanya. Memar yang terlihat seperti baru, kupikir hanya bagian lengan saja, tapi ternyata saat Desi membuka bajunya, makin banyak terlihat. Aku sampai bergidik ngeri, kok ada ibu sejahat ini pada anaknya? "Aura, kenapa banyak luka begini?" "Karena Aura nakal, T
Aku membeliakkan mata saat melihat Mbak Nesha terkena tinjuan Pak Winto. Lelaki itu bukannya merasa bersalah telah meninju istrinya malah makin menjadi. Beruntung, semua itu bisa dipisahkan dan akhirnya Pak RT duduk di antara mereka. "Jadi bagaimana ini, Pak Winto? Bu Wina?" "Saya sih sudah nggak mau tahu, Pak RW. Pokoknya saya mau mereka diusir dari sini." "Ma, kan tadi Papa sudah bilang..." "Maaf, Pa, tapi kami menolak kehadiran Papa di tengah-tengah kami lagi," ucap Wandi sambil berdiri di samping Bu Wina, begitupun Meriska. "Begini saja, silakan selesaikan urusannya secara pribadi. Tapi, kami mengharapkan hal seperti ini tak akan terulang kembali, alis Pak Adi dan Bu Nesha pergi dari komplek ini," ucap Bu Dian. "Saya setuju." "Saya juga." Terdengar sahutan dari yang lain. Begitu pula aku dan Mas Andra. Lelaki itu sibuk menggenggam jemariku. "Tapi, Papa mau ke mana kalau nggak di rumah kita, Ma?" "Ya terserah. Pergi saja sama wanita selingkuhanmu itu. Lagi pula, itu rumah
"Mas!" teriak Bu Wina. Namanya wanita, maka akan tetap berperilaku seperti wanita. Di luar tadi, Bu Wina mengatakan takkan mengeluarkan satu tetes pun air mata untuk kedua pasangan zina itu. Nyatanya, kini wajahnya sudah bersimbah air mata. "Mama." Bu Wina merangsek maju, menarik selimut yang digunakan oleh Mbak Nesha untuk menutupi badannya. Saat semuanya tersingkap, aku langsung menyuruh Mas Andra untuk keluar. "Iya, Ning, aku juga takkan melihat." Ibu-ibu lain sudah menjambaki Mbak Nesha, sementara aku masih bingung harus berbuat apa?"Ibu-ibu, jangan main hakim!" teriak Pak RW, sementara Pak RT sudah dalam cengkeraman Pak Satpam. Teriakan Pak RW nampaknya tak dihiraukan oleh ibu-ibu itu, sementara warga lain yang mungkin mendengar suara bising dari rumah ini pun keluar. "Sudah, Bu Wina. Jangan disiksa, nanti kalau dia mengadu pada polisi bagaimana?" "Biarkan saja, Ning! Dasar lakor murahan kamu, ya! Sudah jadi bini kedua, masih aja nggaet suami orang. Sadar woy! Busuk m***
"Sudah kamu hubungi, Mas?" Mas Andra mengangguk. Aku melihat jam di dinding, sudah pukul sebelas malam. Apakah tindakanku ini tak sembrono? Ah, semoga saja tidak. Bismillah, semoga ini adalah titik terang di balik siapa sebenarnya suami Mbak Nesha itu. "Kamu benar melihat Pak RT di sana, Ning?" tanya Bu Mega. Beliau kuberi tahu karena melihatku dan Mas Andra turun dengan tergesa."Iya, Bu. Masa Nining bohong?" Ibu hanya nyengir saja, kemudian ikut kami keluar. Bu Aisyah dan suaminya sudah keluar, Bu Isah, Bu Dian, pun begitu. Kami semua berkumpul di depan rumah Bu Dian. "Memang siapa yang di rumah itu, Bu Nining?" "Suaminya Bu Wina," jawabku sambil berbisik. "Hah? Pak RT?" Aku mengangguk, kemudian kami menoleh saat ada yang baru bergabung. Dia Bu Wina. Aku terkesiap saat melihat di tangannya banyak perkakas. "Sebenarnya aku sudah curiga kalau suamiku ada main sama perempuan tak jelas asal-usulnya itu." Kami semua terperanjat. Niat hati ingin menenangkan dan memberi kesabaran,
"Ma?" "Eh, iya, Sayang?" Aku tersentak saat Keysha memanggilku. "Ayo masuk. Adek Shani bangun." Aku mengangguk, kemudian menuju kamar dan menggendong Shani yang tengah digendong oleh Mas Andra. "Papa, minggu depan ada acara rekreasi sama teman teman sekolah," ucap Keysha seraya mengulurkan selembar kertas yang memiliki cap sekolahan TK. Darul Iman itu. "Tanya Mama dulu, Key, mau nggak?" "Gimana, Ma?" "Harus sama wali murid?" Keysha mengangguk. Aku bimbang. Jika aku ikut, maka kasihan Shani dan Ghani karena kuajak pergi terus. Tapi, tak apa kan? Bukannya itu bagus? "Ke mana rekreasinya?" "Ke taman mini, Ma." Aku mengangguk, lalu terkekeh saat melihat anak kecil itu melompat riang.--"Kamu yakin mau ikut rekreasi?" tanya Mas Andra saat kami hendak bersiap untuk tidur. "Iya, Mas. Sekalian kita jalan-jalan. Nanti ajak juga Desi. Kebetulan, besok pagi Bik Minah datang, kan?" "Iya, sih. Emang hari apa perginya?" "Tuh, kan? Makanya kalau ada surat dari sekolahan begitu, usahak