Kami semua menoleh, terlihat Mbak Rosa dengan senyum mengembang tengah berdiri di dekat Mas Andra yang duduk di pinggir. Ah, aku jadi menyesal sudah menyuruhnya untuk duduk di pinggir. "Kok diam? Aku nanya, loh," ucap Mbak Rosa karena tak ada satu pun suara dari kami yang mdnjawabnya. "Mbak Rosa bisa melihat kami di sini, tentu lah kami ada di sini. Kalo tidak, apa Mbak pikir kami ini arwah? Maaf, Mbak, lebih baik Mbak duluan saja," jawabku pada akhirnya. Mas Andra tersenyum, hampir saja tertawa jika tidak aku cubit pahanya. "Dih, kamu nyumpahin saya mati, Ning? Nggak lah ya, nanti Mas Andra malah nangis bombay karena di dunia ini nggak ada yang kaya aku. Ya kan, Mas?" tanya Mbak Rosa sambil memeluk lengan Mas Andra. Anehnya, lelaki itu malah diam saja. Seolah menerima perlakuan Mbak Rosa yang sudah di luar batas. "Mbak, sudah bukan mahramnya. Jangan nempel gitu lah," ucap Kino, seakan membelaku. "La h, aku ini masih istri Mas Andra loh. Ya meskipun secara hukum saja. Tapi aku in
Kusentak tangannya kasar. Lalu tersenyum sinis padanya, sepertinya Mbak Rosa terlalu menganggapku remeh. Pengalaman kekasihku direbut dulu, membuatku sedikit berani untuk melindungi apa yang telah menjadi milikku. "Mbak mengancam? Coba saja kalau bisa. Buat Mas Andra mencintaimu lagi. Kamu ini sudah seperti tak ada harga dirinya saja, Mbak. Sudah tak laku kamu sampai mencoba menggondol milik orang? Ah iya aku lupa, kalau kamu masih laku, tentu kamu takkan sampai open bo, ya?" tanyaku, masih dengan nada sinis dan tatapan meremehkan. Wajah Mbak Rosa seketika menegang mendengar ucapanku. Heh, dia pikir, aku ini terlalu polos hingga tak tahu apapun? "Atau jangan-jangan, dia pasanganmu yang sudah membookingmu, Mbak? Kalo aku jadi kamu sih jijik, lihat saja perut dia yang buncit, kumisnya yang berantakan. Tapi demi uang, kamu mengesampingkan itu. Dan yang utama, kamu lupa Allah pasti melihat semua perbuatanmu? Bertaubat lah, Mbak, sebelum akhirnya Allah mencabut nyawamu," ucapku, lalu be
Mas Andra terkekeh, mungkin dikiranya aku sedang bercanda. Aku memang tak memberi tahu soal pembicaraanku dengan Mbak Rosa waktu di restoran tadi, karena aku beralasan ke toilet dulu sebentar. "Kenapa?" tanyanya sambil merengkuh tubuhku. "Pusing, Mas." "Rosa?" Aku mendongak. Apa dia bisa membaca pikiranku? Ngeri juga kalo iya. "Kok Mas nebaknya gitu?" Mas Andra tersenyum, tubuhnya semakin dirapatkan padaku. "Maafkan Mas ya, Ning.""Tak perlu minta maaf, Mas. Semuanya aku jalani dengan ikhlas," jawabku. Mas Andra tersenyum, kemudian mengajakku untuk pindah ke kamar atas karena Keysha sudah terlelap. Mas Andra membawaku ke peraduan, namun saat hendak naik ke atas ranjang, sesuatu terasa dari perut. Astaghfirullah."Ning, kenapa?" tanya Mas Andra. "Mas, sakit," lirihku. "Apanya?" "Aw, Mas!" "Ning? Nining? Kamu kenapa?""Perutku sakit. Aw!" Mas Andra nampak panik, ia segera keluar. Ya Allah, kenapa semakin lama semakin terasa sakit? Lalu pandanganku menggelap. --Aku terban
Mas Andra terus menatapku, ditambah kini dengan tatapan setajam elang. Membuatku menghela napas dan akhirnya mengalah. "Jadi, tadi itu aku nggak ke kamar mandi, Mas," ucapku mengawali. "Ya, Mas tahu." Aku membeliakkan mata. Dia, tahu? Sungguh? Aku mengerjapkan mata sekali lagi. "Benar, Mas?" "Ya, kamu berbohong. Karena saat kamu tak kunjung kembali, Mas mengecek ke dalam. Ternyata kamu sedang bersama Rosa. Awalnya Mas ingin mendekat, takut jika ia melakukan hal yang buruk. Tapi kemudian Mas sadar, kalau kamu bukan lagi anak kecil yang harus dijaga dua puluh empat jam. Tapi, Mas menyesal karena telah mengambil pilihan itu. Andai saja, Mas nggak ninggalin kamu, mungkin saat ini kamu takkan di sini," ucap Mas Andra sambil menundukkan kepalanya. Kuusap kepalanya, lelaki sedingin kulkas itu telah pergi. Berganti dengan sesosok suami yang teramat peduli pada istrinya. Dan aku bangga, sudah bisa mengubah sikapnya padaku, menjadi selembut ini. "Ini bukan salah Mas. Memang semua ini sa
"Lain kali jaga kesehatanmu, Ning. Jangan hiraukan Rosa. Ibu ga suka, selain membahayakan kehamilanmu, Ibu juga ga suka dia mengusik keluarga kita," ucap Ibu setelah Keysha dibawa pergi Sinta. "Iya, Bu. Maafin Nining ya, kemarin lepas kontrol." "Iya. Ibu sudah mengirimkan supir ke kampung kamu, Ning.""Loh? Ngapain, Bu?" "Ya jemput keluargamu, lah. Jangan bikin mereka khawatir karena memikirkan kamu yang masuk rumah sakit. Mending mereka datang, melihatmu secara langsung. Lagipula, semenjak pernikahan kalian, Ibu belum bertemu lagi dengan keluargamu." "Tapi, apa nggak papa, Bu? Nanti repotin." "Hus, kamu ini kaya sama siapa aja! Ibumu itu kan keluarga Ibu juga. Jadi jangan ngomong kaya gitu lagi, ya?" "Hehe, iya, Bu." Pukul dua belas siang, Ibu, Keysha dan Sinta pulang. Tentu saja setelah drama Keysha nangis karena tak mau pulang. "Kamu apakan sih Keysha itu, Ning? Lengket banget sama kamu?" tanya Mas Andra. "Jangankan Keysha, papanya aja bisa lengket banget. Padahal dulu kan
"Key mau ke bawah dulu ya, Ma." "Key sini saja. Nanti kita ke bawah bareng. Mama mau ke kamar mandi dulu." Anak itu mengangguk. Dorongan untuk buang air besar kian terasa karena seharian ini memang belum membuang hajat. Saat keluar, tak kudapati Keysha di atas ranjang. Hemm, bocah itu memang selalu saja kepo. Dengan pelan, aku menuruni tangga. Terlihat Ibu tengah terduduk lemas, sementara Bik Minah di sampingnya. Aku mendekat pada Desi dan Sinta yang bersembunyi. Selepas mengantarku, Mas Andra pamit mau ke kantor sebentar. Mengingat jam menunjukkan pukul tiga, masih ada sisa satu jam sebelum kantor tutup. "Kalian ngapain di sini?" tanyaku saat sampai di bawah. "Eh, astaghfirullah. Ibu, ngagetin aja!" ucap Sinta sambil mengelus dadanya. Aku nyengir, rasa bersalah menyergap. Harusnya aku tak mengejutkan mereka. Tapi penasaran juga, kenapa Ibu sampai begitu? "Ada apa, Des?" "A-anu, Bu...""Anu apa?" Aku semakin penasaran. "Keysha mana?" tanyaku lagi karena mereka terlihat gugup
"Sebenarnya, tadi Bu Rosa datang baik-baik ingin menjemput Keysha. Minta izin juga untuk membawanya menginap sampai tiga hari. Tapi Nyonya melarang, Ning. Bu Rosa sepertinya kepancing, sampai ribut. Nggak lama kemudian Keysha datang. Lelaki yang bersama Bu Rosa langsung membawa Keysha pergi ke mobilnya. Lalu Bu Rosa ngikutin dari belakang. Nyonya sudah mengejar keluar, tapi kan dari fisik pun sudah kalah, Ning. Mereka masih muda, lari dari sini ke luar itu mudah. Sementara Bibik tadi lagi nyuci piring. Tahu sendiri kalau asisten rumah tangga pantang untuk ikut campur keluarganya," jelas Bik Minah. "Laki-laki? Mbak Rosa datang ke sini kapan memangnya, Bik?" "Tepat saat kamu naik, Ning." "Tapi, Bik, rasanya berlebihan sekali. Apalagi kan Mbak Rosa adalah ibu kandung dari Keysha. Masa iya, mau nyakitin gitu aja?" Bik Minah hanya menunduk, seolah ada yang ingin disampaikan, namun urung. "Ada apa, Bik?" "Nggak apa-apa, Ning. Ya sudah, Bibik sama yang lain ke belakang dulu. Tadi Pak
"A-apa?" "Bik, bawa Nining ke kamar. Saya mau ke luar lagi. Pastikan dia nggak ke mana-mana." "Baik, tuan.""Mas!" "Ayo, Ning, kita ke kamar." "Tapi Bik." Bik Minah tak mengindahkan perkataanku, dia tetap menarik tubuh ini ke atas. Aku pun menurutinya, mungkin nanti aku bisa menanyakan hal ini pada Bik Minah di kamar. Saat sampai kamar, segera kucekal tangan Bik Minah saat hendak meninggalkanku, meskipun berat, akhirnya ia mau duduk juga. "Bik, Nining mau nanya," ucapku. "Tanyalah Ning," ucap Bik Minah. "Sebenarnya, apa maksud Mas Andra lagi? Keysha, bukan anak Mbak Rosa?" Bik Minah menghela napas. Ia seperti melepas beban yang seakan berat di pundaknya. "Bibik takut nanti dimarahi sama Pak Andra dan Nyonya, Ning." "Nining janji, nggak akan kasih tahu Ibu, Bik. Janji!" ucapku sungguh-sungguh. Meskipun ragu, akhirnya Bik Minah mulai membuka mulutnya. Menceritakan kembali saat kedatangan Keysha ke sini. "Jadi, Keysha itu bukan anak Pak Andra maupun anak Bu Rosa. Dulu, Bu R